MasukAnne menatap layar ponselnya cukup lama. Nomor itu tidak asing dan tidak tersimpan di ponselnya, tapi entah kenapa dadanya langsung terasa berat begitu membaca pesannya. Ia tidak perlu menebak terlalu lama.“Pasti Leon,” gumamnya lirih.Tangannya sedikit gemetar saat menggenggam ponsel. Ia menoleh ke arah pintu kamar, memastikan rumah sedang sepi. Valerie dan Megan masih berada di dapur, nenek dan kakeknya sedang tidur di kamar belakang.“Sepertinya aku harus menemui dia sekali saja. Setidaknya aku harus membuat perhitungan dengannya." Anne menarik napas dalam-dalam, lalu meraih mantel dan melangkah turun tanpa banyak suara.Beberapa menit kemudian, Anne sudah berdiri di depan pagar rumah neneknya. Udara malam Hamburg terasa dingin menusuk tulang. Lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan di aspal yang basah.Baru saja Anne berhenti di sana, tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti perlahan di hadapannya. Beberapa saat kemudian, pintu pun terbuka. Dari dalam sana, terlihat sosok Leon ya
Leon masih berdiri di luar gedung itu ketika kelas ibu hamil berakhir. Ia tidak masuk dan tidak mendekat sama sekali. Ia hanya mengamati dari balik kaca seperti seseorang yang takut menghancurkan sesuatu yang rapuh.Sebab ia tahu, jika dirinya mendekat, maka Anne bisa saja ketakutan dan semakin membenci dirinya. Leon tak ingin itu terjadi. Ia ingin membangun kepercayaan Anne lagi, dan ia harus sedikit bersabar untuk itu.Satu jam ini terasa seperti seharian penuh bagi Leon.Hingga akhirnya pintu kelas itu pun terbuka. Para ibu hamil keluar satu per satu, disusul tawa kecil dan obrolan ringan.Anne juga muncul di antara mereka. Ia berjalan pelan dengan Megan di sisinya. Tangannya masih mengusap perutnya dengan penuh kasih sayang. Aksi kecilnya itu refleks yang membuat dada Leon kembali bergemuruh kencang.“Adrian, ayo kita sembunyi! Jangan sampai Anne dan Megan melihat kita." “Baik, Tuan." Leon pun mundur selangkah dengan diikuti oleh Adrian. Mereka bersembunyi di balik pilar agar ti
Beberapa hari berlalu sejak malam menegangkan itu. Suasana di Hamburg tetap dingin dan kelabu, seolah ikut menyimpan ketegangan yang ada di antara dua pria yang sama-sama memilih diam, tapi tidak pernah benar-benar berhenti bergerak.Leon dan Damara berada di kota yang sama. Mereka tidak pernah saling mendekat dan tidak saling menyerang.Namun keduanya memiliki satu tujuan yang sama, yakni memastikan bahwa Anne baik-baik saja.*Pagi itu, Leon duduk di dekat jendela apartemennya. Cahaya matahari musim dingin menembus kaca, dan jatuh tepat di cangkir espresso yang masih mengepulkan asap. Tangannya menggenggam cangkir itu dengan erat, seolah ia butuh sesuatu untuk menahan pikirannya yang terus berputar.Beberapa saat ia disibukkan dengan pikirannya sendiri, tak lama tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar.Tok! Tok! Tok!“Masuk!" perintah Leon tanpa mengalihkan pandangannya, tanpa menoleh sama sekali ke arah pintu.Ceklek!Pintu pun terbuka. Adrian dan Jonathan masuk hampir bersamaan. W
Keheningan di ruang tamu itu terasa semakin menyesakkan, sesaat setelah pintu tertutup di belakang Leon yang kini pergi meninggalkan rumah itu. Tak ada yang berani bicara di sana.Megan menggenggam tangan nenek Anne, sementara kakek Anne hanya menghela napas panjang dan memilih mundur ke kamar, seolah terlalu lelah menyaksikan drama yang seharusnya tak pernah terjadi.Valerie menatap Anne dengan wajah campur aduk antara marah, sedih, dan khawatir.“Anne, masuk kamar!” ucap Valerie akhirnya. “Kau butuh istirahat.”“Iya, Ma." Anne mengangguk pelan tanpa menatap siapa pun. Ia berjalan perlahan dan melewati Damara begitu saja tanpa sepatah kata pun.Gadis itu naik ke lantai atas, dan pintu kamar tertutup dengan suara pelan. Ruangan pyn kembali sunyi. Damara berdiri kaku di tempatnya. Untuk pertama kalinya, ia tidak merasa menang.Valerie berbalik menatapnya dengan wajah tenang, kali ini tanpa emosi dan tanpa nada tinggi.“Apa kau puas sekarang?” tanyanya datar.Damara menggeleng pelan."
Semua orang di ruangan itu sontak menoleh ke arah suara tersebut. Tubuh Anne kembali terasa kaku.Sosok pria itu berdiri di ambang pintu dengan tubuh tegap dan wajah dingin yang jelas menyimpan amarah. Mantel hitamnya masih basah oleh sisa hujan, dan sorot matanya tajam, mengarah lurus ke Leon.“Damara?” suara Anne nyaris berbisik tak percaya.Leon menyipitkan mata. Pandangannya beralih cepat antara Anne dan pria asing itu. Nama yang barusan disebut Anne membuat dadanya mendadak terasa panas.“Damara?” ulang Leon pelan.“Jadi kau …?”Damara melangkah masuk dengan tenang, tetapi aura mengancamnya memenuhi ruangan. Ia berhenti tepat beberapa langkah di depan Leon, lalu mengulurkan tangannya dengan ekspresi datar.“Salam kenal, Leon Dominic,” ucapnya dingin.“Aku Damara Kastanova.”Kalimat itu menghantam Leon seperti petir di siang bolong. Wajah Leon seketika merah padam. Rahangnya mengeras. Nama itu adalah nama yang selama ini hanya ia dengar dari laporan anak buahnya. Nama musuh yang s
Anne terdiam dan melamun sesaat. Namun, suara bel pintu itu kembali berbunyi dan kali ini lebih lama. Valerie mengajak Anne untuk turun dan melihat siapa yang datang.“Ayo, Sayang,” ajak Valerie.“Iya, Ma.”Mereka pun pergi ke ruang tamu. Begitu tiba di sana, Anne menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah mendekat. Entah kenapa, dadanya terasa sesak. Tangannya sedikit gemetar saat ia memutar gagang pintu ruangan itu.Ceklek!Pintu itu pun terbuka. Dan ketika melihat siapa sosok di luar sana, tiba-tiba dunia Anne seakan berhenti berputar.“Kau … Leon?” Suara Anne bergetar.Leon berdiri tepat di hadapannya. Wajah pria itu sedikit lebih tirus dari terakhir kali ia lihat. Ada bekas luka samar yang belum sepenuhnya hilang. Namun sorot matanya masih sama. Mata yang tajam, posesif, dan penuh emosi yang berantakan.“Anne,” suara Leon terdengar serak dan nyaris bergetar.Tubuh Anne terasa membeku sepersekian detik, lalu ia refleks melangkah mundur. Napasnya memburu. Tubuhnya bereaksi lebih c







