MasukKeheningan di ruang tamu itu terasa semakin menyesakkan, sesaat setelah pintu tertutup di belakang Leon yang kini pergi meninggalkan rumah itu. Tak ada yang berani bicara di sana.Megan menggenggam tangan nenek Anne, sementara kakek Anne hanya menghela napas panjang dan memilih mundur ke kamar, seolah terlalu lelah menyaksikan drama yang seharusnya tak pernah terjadi.Valerie menatap Anne dengan wajah campur aduk antara marah, sedih, dan khawatir.“Anne, masuk kamar!” ucap Valerie akhirnya. “Kau butuh istirahat.”“Iya, Ma." Anne mengangguk pelan tanpa menatap siapa pun. Ia berjalan perlahan dan melewati Damara begitu saja tanpa sepatah kata pun.Gadis itu naik ke lantai atas, dan pintu kamar tertutup dengan suara pelan. Ruangan pyn kembali sunyi. Damara berdiri kaku di tempatnya. Untuk pertama kalinya, ia tidak merasa menang.Valerie berbalik menatapnya dengan wajah tenang, kali ini tanpa emosi dan tanpa nada tinggi.“Apa kau puas sekarang?” tanyanya datar.Damara menggeleng pelan."
Semua orang di ruangan itu sontak menoleh ke arah suara tersebut. Tubuh Anne kembali terasa kaku.Sosok pria itu berdiri di ambang pintu dengan tubuh tegap dan wajah dingin yang jelas menyimpan amarah. Mantel hitamnya masih basah oleh sisa hujan, dan sorot matanya tajam, mengarah lurus ke Leon.“Damara?” suara Anne nyaris berbisik tak percaya.Leon menyipitkan mata. Pandangannya beralih cepat antara Anne dan pria asing itu. Nama yang barusan disebut Anne membuat dadanya mendadak terasa panas.“Damara?” ulang Leon pelan.“Jadi kau …?”Damara melangkah masuk dengan tenang, tetapi aura mengancamnya memenuhi ruangan. Ia berhenti tepat beberapa langkah di depan Leon, lalu mengulurkan tangannya dengan ekspresi datar.“Salam kenal, Leon Dominic,” ucapnya dingin.“Aku Damara Kastanova.”Kalimat itu menghantam Leon seperti petir di siang bolong. Wajah Leon seketika merah padam. Rahangnya mengeras. Nama itu adalah nama yang selama ini hanya ia dengar dari laporan anak buahnya. Nama musuh yang s
Anne terdiam dan melamun sesaat. Namun, suara bel pintu itu kembali berbunyi dan kali ini lebih lama. Valerie mengajak Anne untuk turun dan melihat siapa yang datang.“Ayo, Sayang,” ajak Valerie.“Iya, Ma.”Mereka pun pergi ke ruang tamu. Begitu tiba di sana, Anne menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah mendekat. Entah kenapa, dadanya terasa sesak. Tangannya sedikit gemetar saat ia memutar gagang pintu ruangan itu.Ceklek!Pintu itu pun terbuka. Dan ketika melihat siapa sosok di luar sana, tiba-tiba dunia Anne seakan berhenti berputar.“Kau … Leon?” Suara Anne bergetar.Leon berdiri tepat di hadapannya. Wajah pria itu sedikit lebih tirus dari terakhir kali ia lihat. Ada bekas luka samar yang belum sepenuhnya hilang. Namun sorot matanya masih sama. Mata yang tajam, posesif, dan penuh emosi yang berantakan.“Anne,” suara Leon terdengar serak dan nyaris bergetar.Tubuh Anne terasa membeku sepersekian detik, lalu ia refleks melangkah mundur. Napasnya memburu. Tubuhnya bereaksi lebih c
“Apa?”Valerie pun sontak terdiam. Kata-kata Damara bukan terdengar seperti pembelaan, melainkan sebuah pengakuan yang jujur. Bahkan terlalu jujur untuk pria dengan reputasi yang kelam seperti dirinya.“Pelindung?” Valerie mengulang pelan.“Kau tahu siapa dirimu, Damara. Dunia yang kau hidupi bukan dunia yang aman untuk Anne. Kau sama saja dengan Leon. Kau bukannya membuat Anne merasa nyaman dan lebih baik, tapi kau bisa membuat Anne berada dalam masalah besar.”“Aku tahu,” jawab Damara tanpa ragu. “Justru karena itu aku berdiri di sini, bukan untuk menariknya masuk ke duniaku. Lagipula jangan pernah samakan aku dengan si brengsek Leon itu. Aku jelas berbeda dengannya. Aku punya tanggung jawab yang tidak dia miliki.”Valerie menatap pria itu lama. Ia mencoba mencari celah kebohongan di wajah Damara, tapi yang ia temukan hanya keteguhan yang dingin dan suatu kejujuran yang jarang ia lihat pada pria seperti Damara.“Anne tidak tahu apa-apa tentang dunia kalian,” ujar Valerie akhirnya.“
Leon membuka mata dengan napas berat. Bau antiseptik masih menyengat di ruang rawat itu, dan rasa nyeri di tubuhnya belum sepenuhnya hilang. Tapi satu hal yang jelas, bahwa ia masih ditakdirkan untuk hidup lebih lama. Dan selama ia hidup, maka pikirannya hanya tertuju pada satu nama.Anne.“Cari dia,” perintah Leon lirih dan tegas pada Adrian yang berdiri di samping ranjang.“Cari ke mana pun dia pergi. Kita sudah kehilangan jejaknya selama ini. Aku tidak ingin kita sampai gagal lagi. Aku ingin menemukan istriku secepatnya.”Adrian mengangguk.“Semua jaringan sudah digerakkan, Tuan. Di Eropa, Asia, bahkan Amerika Selatan. Semua sudah ditugaskan untuk melacak keberadaan Anne, Megan, dan Nyonya Valerie.”“Bagus. Pastikan kalau semuanya berjalan dengan lancar."" Baik, Tuan.”Leon menyeringai tipis. Luka fisik bisa sembuh, tapi rasa kehilangan itu tidak akan pernah bisa. Ia sembuh bukan untuk beristirahat, melainkan untuk mengambil kembali apa yang menurutnya adalah miliknya.Hari demi h
Lengan Anne gemetar saat ia berlutut di samping Damara. Tangannya ragu-ragu menyentuh bahu pria itu yang kini memar kemerahan.“Kau benar-benar gila,” ucapnya lagi, kali ini lebih pelan, dan suaranya bergetar. “Kalau mobil itu sedikit lebih cepat tadi, maka ….”“Aku melihatnya dari jauh,” potong Damara lirih. Ia menahan sakit saat mencoba duduk.“Semua itu refleks saja. Aku hanya ingin kau menjauh dan tidak tertabrak,” jawabnya santai.Megan pun ikut berlari mendekat, wajahnya seketika pucat. “Ya Tuhan, Damara! Kau berdarah!”Damara mengangkat tangan memberi isyarat agar Megan tenang.“Tenanglah. Ini hanya bahu. Tidak parah.”Namun Anne tidak percaya begitu saja. Matanya menyapu tubuh Damara, dan napasnya memburu. Ia sangat sadar jika Damara terlambat sepersekian detik, mungkin kini ia yang tergeletak di aspal. Dirinya pasti terluka parah, dan entah bagaimana nasib calon bayi di dalam kandungannya.“Kau tidak seharusnya berada di sini,” ucap Anne akhirnya. “Kau bilang kau akan menjag







