LOGINKrak!
Gaun Anne robek tepat di bagian pahanya, hingga belahan itu terbentuk sangat tinggi. Bahkan g string yang dikenakan oleh Anne juga sempat terlihat. Warna hitam gelapnya membuat para pria itu sampai terbelalak dan menatap takjub. “Aaa! Apa yang kalian lakukan?” teriak Anne murka, seraya berusaha menutupi daerah intimnya dengan telapak tangan. “Wah, lihat! Dia sangat seksi. Apalagi kalau hanya mengenakan g string dan lingerie, pasti dia semakin seksi. Hahaha,” tawa pria botak yang tadi merobek gaun Anne. “Hahaha, tunggu apalagi, ayo kita robek seluruh gaunnya dan kita lucuti dia di sini.” Pria yang lain menyarankan. Dengan tawa terbahak-bahak, mereka semakin mendekati Anne. Gadis malang itu hanya bisa menangis dan berteriak minta tolong. Tangan salah satu pria bahkan sudah mencengkeram belahan gaun di dada Anne dan bersiap untuk merobeknya. “Tidak, jangan lakukan itu!” Anne menjerit histeris. Kedua tangannya berusaha menutup dadanya. Air mata menitik membasahi wajahnya. Tubuhnya pun gemetar ketakutan. Para pria itu semakin bersemangat untuk menelanjangi Anne di sana. Namun, tiba-tiba saja …. “Hentikan tanganmu, Dony!” Bugh! Bugh! Pukulan keras dari Leon menghantam wajah pria botak yang baru saja merobek gaun Anne. Darah muncrat dari hidung Dony, dan tubuhnya seketika terhuyung lalu jatuh ke lantai. Suasana hening sesaat, hanya terdengar suara napas berat Anne yang terisak dan tersengal-sengal. Mata Leon berkilat dingin, menatap penuh murka pada mereka semua. “Berani-beraninya kalian menyentuh milikku!” suaranya berat, nyaris seperti raungan binatang buas. Semua pria yang tadi tertawa, kini serempak menunduk dalam-dalam. Tak ada satu pun yang berani membalas tatapan Leon. Mereka gemetar, dan saling menyalahkan satu sama lain. “Gadis ini milikku!” Leon menggeram, suaranya menggema di seluruh ruangan itu. “Dia budakku. Kalian boleh melihatnya, tapi jangan pernah menyentuhnya tanpa izinku!” lanjutnya lagi. Dony yang dipukul oleh Leon tadi berusaha untuk bangkit. Ia menatap ke arah si penguasa pasar gelap itu dengan mata penuh dendam. Tetapi ketakutan membuatnya tak bisa berkata apa-apa. Leon meludah ke lantai, meluapkan amarahnya yang sudah membara. “Kalian semua sampah. Jika kalian tak bisa patuh pada kata-kataku, apa gunanya aku biarkan kalian hidup?” “Kalau tangan kalian berani macam-macam lagi padanya, aku akan patahkan sekarang juga!” Seketika semua pria menunduk lebih dalam. Mulut mereka seakan terkunci rapat. “Ma … maaf, Leon. Kami salah. Kami berjanji tidak akan mengulanginya lagi.” Leon tak menjawab. Ia melepaskan jas hitamnya, lalu menyampirkannya ke tubuh Anne yang masih bergetar. Jemarinya mencengkeram lengan gadis itu dengan kasar. “Cukup kau main sandiwara,” desisnya marah. Tanpa basa-basi, Leon menyeret Anne keluar dari cafe dengan sangat kasar. Cengkeramannya di pergelangan tangan Anne begitu kuat, hingga membuat tangan gadis itu memerah dan terasa perih. Suara hak sepatu Anne beradu dengan lantai marmer, diiringi isak tangisnya yang tak henti. “Tuan, maafkan aku. Tolong lepaskan aku, ini sakit,” rintihnya, tapi Leon tetap saja tak peduli. Hatinya yang beku itu tak tersentuh sama sekali. Leon menyeret Anne dengan kejam, meninggalkan para pria yang kini hanya diam dan tak berani bersuara. Di sana, Dony yang tadi dipukul Leon, kini masih duduk dengan wajah lebam. Segelas whiskey berada di tangannya, matanya menyala dengan amarah. “Leon, kau akan menyesal karena sudah mempermalukanku di depan semua orang,” desisnya menahan dendam. Ancaman yang kelak akan menjadi bara, dan menunggu waktu untuk menyala. Sementara di luar sana, langit malam semakin gelap. Hujan tipis mulai turun membasahi jalanan kota. Anne berjalan tertatih, dan masih berusaha menutupi tubuhnya dengan jas Leon. “Tuan, aku ….” “Diam!” bentak Leon, matanya tak lepas dari jalanan. “Jangan menangis seperti anak kecil. Kau membuatku muak!” Anne terisak lebih keras, tapi ia menutup mulutnya dengan tangan, takut kalau suara tangisnya membuat Leon makin murka. Sebuah mobil sport keluaran terbaru berwarna hitam terlihat sudah menunggu di depan cafe. Seorang pria tampan bertubuh tinggi tegap segera membuka pintu ketika melihat Leon datang. Tanpa banyak bicara, Leon mendorong Anne masuk ke kursi belakang. Dorongan itu cukup keras, hingga membuat kepala Anne nyaris terantuk bagian mobil. “Akh!” Anne memekik kecil, sangat lirih agar tak didengar oleh Leon. “Jangan mengeluh, atau kutinggal kau disini!” Bentakan Leon membuat Anne seketika diam. Ia berusaha mengontrol apapun yang keluar dari mulutnya. “Adrian, cepat!” perintah Leon pada driver tampan itu. “Baik, Tuan.” Adrian mengangguk. Sepanjang perjalanan, hanya hening menegangkan yang menguasai mobil. Anne menatap kaca jendela yang dipenuhi tetesan hujan. Sementara Leon terlihat menyalakan rokok, membuat asapnya mengepul tajam. Setibanya di mansion megah milik Leon, gerbang besi besar terbuka perlahan. Lampu-lampu taman menyinari jalan beraspal hingga ke pintu utama. Mobil berhenti, dan Leon turun lebih dulu, lalu menarik tangan Anne keluar dengan kasar. “Keluar!” Anne mengangguk dan keluar dengan langkah kaki yang terasa lemah. Begitu tiba di depan pintu, Leon tiba-tiba mendorong tubuh Anne dengan cukup kuat. “Masuk!” perintahnya dingin. Anne terhuyung dan hampir terjatuh, tapi ia segera menurut. Pintu besar pun terbuka, memperlihatkan interior marmer putih dengan pilar-pilar tinggi. Namun, kemegahan itu tak mampu menghapus rasa takut yang mengikat di dada Anne. Sejak masuk ke dalam mansion, Leon sudah mencengkeram lengan Anne kuat-kuat. Kukunya bahkan terasa menembus sampai ke dalam kulit, membuat Anne hanya bisa meringis kecil. Leon menyeret gadis itu ke lantai dua, lalu mendorong tubuh Anne masuk ke kamar besar yang diterangi lampu kristal. Pintu pun ditutup keras di belakang mereka. “Bersihkan dirimu! Aku tak ingin ada bekas tangan pria lain di tubuhmu. Cepat!” perintah Leon dengan nada dingin. Anne berdiri kaku. Tubuhnya terasa lemah dan gemetar. Kaki jenjangnya itu rasanya juga sangat lemah untuk menapaki lantai. Perlahan tangannya meraih jas Leon yang menutupi tubuhnya. Ia ingin bicara dan ingin memohon, tapi lidahnya mendadak kelu. Dengan hati-hati, Anne melangkah menuju ke kamar mandi. Namun, ketika ia berdiri tepat di hadapan Leon, tiba-tiba saja gaun minim yang sudah robek-robek itu terlepas dari tubuhnya. Kain halus itu jatuh ke lantai marmer begitu saja, memperlihatkan tubuh indahnya yang hanya terbalut pakaian dalam tipis. “Akh!” pekik Anne yang refleks menutupi belahan dada dan daerah kewanitaannya dengan telapak tangan. Wajah gadis itu mendadak pucat pasi. Bibirnya bergetar, dan matanya menatap takut-takut pada Leon. Mata Leon membelalak melihat pemandangan itu. Rokok mahal yang dipegangnya jatuh, dan bara merah panas itu padam di lantai. “Kau …?” Suara Leon tercekat. Tatapannya tajam dan lekat. Bukan sekadar marah, tapi ada sesuatu yang lain di sana. Campuran dari murka, hasrat, dan kekuasaan atas diri Anne. Leon menatap setiap inci tubuh Anne dari atas sampai bawah, tanpa ada yang terlewat. Jakunnya naik turun, membuktikan betapa susahnya ia menelan saliva. Ia tak bisa berkedip menatap belahan dada Anne yang cukup besar dan padat. Juga bagian bawah gadis itu yang sangat seksi, pinggang rampingnya, serta setiap lekuk tubuhnya yang seolah mengundang Leon untuk menjamahnya. Wajah Leon menunduk, menatap pada miliknya di bawah sana yang tampak menonjol dari balik celana. Darahnya berdesir hebat, membuat pria itu memejamkan mata rapat-rapat. “Ah sialan! Punyaku bereaksi gara-gara dia.”Satu detik kemudian, Leon kehilangan kendali. Sisi gelapnya kembali mengambil alih. Tamparan itu mendarat dengan keras dan kasar.Begitu kuatnya tamparan Leon hingga membuat Anne terjerembab. Air matanya seketika jatuh. Ia memegang pipinya yang memerah, dengan rasa terkejut dan tak percaya atas apa yang sudah dilakukan oleh suaminya barusan.“Leon,” lirih Anne dengan suaranya yang pecah.Namun, Leon tak memberi kesempatan sedikit pun pada Anne untuk berkata lebih banyak. Ia mengambil sebuah dress dari lemari, dress tipis yang bahkan Anne tak pernah mengenakannya. Leon melemparkan dress itu ke Anne dengan kasar, membuangnya tepat hingga menampar wajah Anne.“Pakai ini!” Suaranya datar, dingin, mematikan.“Dan setelah itu, keluar kau dari rumahku!” “Leon, tolong dengarkan aku dulu. Aku juga tidak tahu apa yang terjadi. Aku bahkan ….”“Pakai! Sebelum aku melenyapkanmu dengan tanganku sendiri!”“Bukankah aku sudah bilang, kalau aku sangat membenci penghianatan!” sentak Leon lagi, suarany
“Ini … ini tidak mungkin.”Isi dalam kotak itu membuat tubuh Leon rasanya membeku. Di dalamnya terdapat begitu banyak foto-foto, bahkan sangat banyak.“Foto Anne?” ucapnya lirih, suaranya bahkan terdengar bergetar.Ia raih foto-foto itu dan dilihatnya satu per satu.Ya, semua foto-foto Anne itu diambil saat bulan madu mereka di Paris. Tetapi anehnya, hanya ada foto Anne saja di dalamnya. Anne sedang berjalan sendirian di depan villa, Anne sedang memandang ke arah laut, dan masih banyak lagi foto-foto yang lain. Hanya Anne seorang diri, tanpa adanya Leon sama sekali.Dan semua foto itu seolah diambil dari sudut yang mencurigakan. Angle nya bahkan sangat tak tertebak, seperti ada seseorang yang menguntitnya dari jarak jauh.Namun bukan itu yang membuat darah Leon mendidih. Tepat di dekat foto-foto itu, ada sebuah surat yang ditulis dengan tulisan tangan. Leon mengambil kertas itu dengan cepat. Kerta tipis itu beraroma parfum yang asing, dan bukan dari siapa pun yang Leon kenal.Dengan c
Beberapa hari berlalu, tak terasa malam ini merayap dengan pelan, membawa hawa dingin yang menempel di jendela kamar Leon dan Anne. Lampu kamar itu temaram, cukup redup untuk memberi rasa nyaman. Namun cukup terang untuk memperlihatkan betapa lelahnya Anne secara batin.Sejak Valerie ditemukan dalam kondisi mengenaskan, tubuh Anne seperti kehilangan tenaga. Tapi malam ini, Leon tampak berbeda. Ada sesuatu dalam sorot matanya. Sesuatu yang menginginkan kedekatan, kehangatan dan mungkin pelarian dari stres yang menumpuk.Ketika Anne sedang berdiri di depan jendela dan menatap ke luar sana, Leon tiba-tiba saja memeluk pinggang istrinya itu dari belakang.“Sayang,” bisiknya rendah, tepat di telinga Anne.Leon meletakkan dagunya di pundak Anne, dan perlahan bibirnya mulai menjamah tengkuk sang istri, membuat tubuh Anne meremang.Anne menoleh perlahan dengan tak bersemangat. Ia sebenarnya tidak sedang ingin disentuh, karena pikirannya masih kacau oleh kondisi mamanya. Tapi ia juga tahu, ia
“Ma! Mama!” Anne mengguncang tubuh Valerie dengan panik saat ibunya itu tiba-tiba jatuh pingsan.“Megan, ambilkan selimut! Jonathan, ambil air dingin!” seru Leon tegas.Namun tidak ada satu pun tindakan yang mampu menenangkan Anne yang sudah histeris.“Leon, mama kenapa? Apa yang terjadi pada mama kenapa?” tangisnya sudah pecah begitu saja.Leon segera mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menekan nomor dengan cepat. Dengan panik, ia menghubungi seseorang di seberang sana.“Dokter Ethan, datang ke mansion sekarang juga. Ini darurat,” suara Leon tajam dan tergesa, ia tidak memberi ruang untuk pertanyaan sedikit pun.Tak butuh waktu lama. Dalam hitungan menit, dokter pribadi keluarga Dominic itu sudah datang dengan membawa tas medis. Valerie dipindahkan ke kamar utama untuk tamu. Tangannya terpasang infus, dan diletakkan alat monitor kecil di sisi tempat tidur.“Kondisi Nyonya Valerie masih lemah. Dia harus istirahat total,” kata Dokter Ethan setelah semua tugasnya selesai.Anne dudu
Leon menatap kotak hitam itu dengan hati-hati. Pita emasnya sudah ia pegang dan separuh sudah terlepas. Anne berdiri di sampingnya dengan napas tertahan, seolah kotak itu bisa saja berisi sesuatu yang Mengejutkan dan mengubah hidup mereka.Namun sebelum Leon sempat membuka kotak itu sepenuhnya, tiba-tiba saja ….Drttt! Drrtt!Ponselnya bergetar cukup kuat. Nada dering itu memecah keheningan di antara Anne dan Leon yang terlihat tegang. Leon mengurungkan niat untuk membuka kotak itu. Ia meraih ponsel dan melirik layarnya.Anne pun ikut melihat ponsel suaminya tersebut.“Dari Adrian,” ujar Leon sambil melirik pada Anne.“Adrian? Ada apa? Tumben sekali dia menelfon?” Anne bertanya-tanya dengan cemas.“Dia tidak mungkin sampai menelfon kalau tidak ada sesuatu yang penting. Dia tidak akan seberani itu untuk mengganggu bulan madu kita.” Leon setengah bergumam.Secara bersamaan, Anne dan Leon merasakan hal yang sama. Mereka punya firasat buruk yang cukup mengusik pikiran. Leon mengangkat tel
Suasana kamar mandi yang seharusnya dingin, kini perlahan berubah menjadi panas. Leon sudah melucuti seluruh pakaian istrinya, begitu juga Anne yang sudah membuat suaminya itu kini telan*j*ng bulat. Saat Anne duduk di pangkuannya, Leon perlahan mulai mengarahkan juniornya yang sudah tegang itu ke dalam milik sang istri. Jleb! Milik Leon lesap sepenuhnya ditelan oleh kehangatan lembah milik Anne yang membuatnya ketagihan. Leon segera melahap bibir sang istri, sambil tangannya meremas-remas kedua payudara Anne yang besar dan berguncang. “Ahh! Ahh! Ahh.” Anne mendesah-desah sambil menggenjot milik suaminya naik turun. “Ohh, ohh, terus sayang. Mmm, nikmat sekali.” Leon sampai terpejam karena keenakan. Kedua pasangan baru itu terus melakukan percintaan panas tersebut hingga akhirnya mereka mencapai pelepasannya. Dan cairan cinta mereka pun tumpah di mana-mana. Setelah puas dengan adegan mandi bersama, Leon dan Anne pun segera bersiap-siap. Mereka lantas menuju ke ruang makan







