ログイン
Eleanor berjalan ke sana kemari dengan perasaan gembira. Hari ini, Nathan—suaminya akan kembali ke rumah setelah dua bulan bekerja di Maine.
Eleanor bekerja keras menyiapkan sambutan hangat untuk kepulangan Nathan. Bahkan, wanita itu turun tangan sendiri ke dapur dan memasak khusus untuk suaminya. “Nyonya, mau saya bantu?” Eleanor menoleh, menatap kepala pelayan yang menawarkan bantuan kepadanya. Dia langsung menggeleng cepat dengan senyum hangat yang tak lepas dari bibir sejak tadi. “Tolong ambilkan ponselku saja, Mary. Seharusnya Nathan sudah tiba di bandara sekarang.” “Baik, Nyonya.” Mary menganggukkan kepala dengan sopan. Dia menghormati keputusan Eleanor dan segera melaksanakan perintah wanita yang tampak berbahagia itu. Siapa pun bisa melihat betapa bahagianya Eleanor hari itu. Senyuman lebar di bibirnya tak pernah lepas sejak pagi, membuat suasana di rumah besar itu seolah ikut terhanyut dalam semangat yang sama. Begitu Mary menyerahkan ponsel, Eleanor langsung menghubungi suaminya. Pada deringan pertama tak ada jawaban, tetapi di deringan kedua, suara yang paling dia rindukan akhirnya terdengar. “Kau sudah sampai di bandara, Nath?” Eleanor bertanya dengan tangan yang tampak sibuk. "Aku benar-benar merindukanmu." “Aku baru tiba, Sayang. Sebentar lagi aku langsung pulang.” “Aku akan meminta sopir menjemputmu kalau begitu.” “Tidak perlu, Eleanor.” Nathan mencegah dengan suara lembut, seperti biasa. “Aku sudah menyuruh orang mengirimkan mobil ke bandara. Aku akan mengemudi sendiri.” “Tapi, kau pasti lelah.” Eleanor menghela napas dengan panjang. Dia sedikit tidak setuju dengan gagasan suaminya yang ingin menyetir sendirian. Namun, lagi-lagi suara Nathan tampak menenangkan ketika kembali menyanggah ucapan Eleanor yang tampak khawatir. “Hanya sebentar, Sayang. Baiklah, aku tutup dulu. Sampai jumpa nanti, istriku.” Eleanor membuka mulut, hendak menahan, tetapi panggilan itu sudah berakhir sepihak. Dia mencoba menelepon kembali, tetapi nomor Nathan sudah tidak aktif. Eleanor berusaha mengusir rasa khawatir di dalam hatinya sendiri. “Aku bahkan lupa menanyakan apakah aku harus mandi dulu, atau menunggunya untuk mandi bersama nanti,” gumam Eleanor sambil tertawa kecil, wajahnya memerah. Ada gelenyar panas di tubuh yang berbaur dengan rindu yang membuncah di dadanya. Dia ingin menyambut Nathan dengan cara terbaik. Pada akhirnya, Eleanor melangkah ke kamar mandi seorang diri. Setelah mengisi bath up dengan air hangat dan meneteskan aroma terapi kesukaan Nathan, Eleanor masuk perlahan ke dalamnya. Aroma lembut yang menguar menenangkan tubuh, sekaligus pikiran Eleanor yang sejenak merasa cemas. Tanpa sadar, rasa nyaman itu membuat Eleanor terlelap untuk beberapa saat. Sampai terdengar suara ketukan di pintu yang membuat Eleanor tersentak, membuat wanita itu segera melihat jam di ponselnya. “Satu jam?” desis Eleanor dengan sedikit panik. Dia benar-benar ketiduran di dalam kamar mandi. “Nyonya!” Suara Mary dari luar terdengar tergesa dan bergetar, disertai dengan suara ketukan pintu yang semakin kencang. Eleanor buru-buru turun dari bath up, meraih handuk dan membungkus tubuh yang masih basah. Mendengar suara Mary yang tampak panik, Eleanor segera membuka pintu, dan wajah Mary yang pucat langsung menyambut pandangannya. “Ada apa, Mary?” “Nyonya, Tuan Nathan—” suara Mary tercekat, dengan napas memburu. Eleanor bisa merasakan jantungnya yang berdegup kencang begitu mendengar nama Nathan. “Kenapa dengan Nathan? Katakan, Mary!” “Tuan ... Nyonya. Tuan Nathan ... kecelakaan!” *** Eleanor merasa dunianya runtuh seketika itu juga. Mobil yang dikendarai suaminya dikabarkan mengalami kecelakaan hebat di jalan bebas hambatan. “Di mana rumah sakitnya, Mary?” Suara Eleanor terdengar bergetar hebat, dengan wajah pucat pasi. Mary menyebutkan alamat rumah sakit di mana Nathan dilarikan, sementara Lucas—ajudan pribadi Eleanor, bergegas mempersiapkan mobil. Eleanor bahkan tak sempat berpikir. Dia berlari keluar seperti orang kehilangan akal, menyusuri koridor mansion keluarga Carter, menuju rumah utama tempat orang tua Nathan tinggal. “Mama! Mama, di mana?” seru Eleanor panik. Namun, rumah itu sunyi. Tak ada satu orang pun yang seolah mendengar suara teriakannya, sampai akhirnya Lucas berlari menghampirinya. “Tuan dan Nyonya besar sudah berangkat ke rumah sakit, Nyonya,” ucap Lucas pelan, menatap Eleanor dengan prihatin. “Mereka sudah tahu?” tanya Eleanor dengan gemetar. “Ya.” Seketika, perasaan tak nyaman menyusup di hati Eleanor. Mengapa semua orang sudah tahu ... sementara dirinya justru menjadi orang yang terakhir tahu tentang apa yang menimpa suaminya? “Nyonya, kita berangkat sekarang?” tanya Lucas dengan ragu-ragu. Sungguh, siapa pun orangnya pasti bisa merasakan bagaimana Eleanor tampak terasingkan di keluarga Carter sekarang. Eleanor hanya mengangguk pelan. Dengan langkah yang terasa melayang, dia segera masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan, tangan Eleanor terus saja gemetar. Berkali-kali dia melirik ponsel yang ada di tangannya. Tak ada satu pun dari pihak keluarga yang mau menjawab panggilannya. Namun, Eleanor sama sekali tak mempermasalahkan semua itu. Ini bukan waktunya meratapi nasib seperti ini. Begitu mobil berhenti, Eleanor langsung berlari masuk, tanpa peduli dengan teriakan Lucas di belakang. Di setiap langkah kakinya, napas Eleanor terdengar memburu, dengan dada yang kian terasa sesak. “Kumohon, Nath ... kumohon bertahanlah." Langkah kaki Eleanor berhenti di depan ruang operasi, sesuai dengan arahan perawat yang mengantarnya tadi. Di sana, Eleanor melihat ibu mertuanya yang sedang menangis dalam pelukan ayah mertua. Mendadak dunia Eleanor seakan berhenti. “Mama,” panggil Eleanor lirih. Namun, yang menyambutnya bukan pelukan, melainkan satu tamparan keras di pipi Eleanor. Plak! Suara tamparan itu terdengar menggema di lorong rumah sakit yang sunyi. “Dasar perempuan pembawa sial!” maki Nyonya Carter dengan menunjuk wajah Eleanor penuh amarah.Eleanor diminta berkumpul bersama semua orang di rumah utama. Dia sudah berusaha menolak. Bukan karena tak menghargai kedua orang tuanya, hanya saja setiap menatap wajah Noah—putra Nathan yang ternyata begitu mirip dengan pria itu, kian menambah luka di hatinya. “Eleanor.” Suara Tuan Carter terdengar menembus kesunyian di ruangan yang hening. Tidak ada orang lain di sana, kecuali Olivia dan Noah, dua sosok yang entah mengapa masih berdiam diri di rumah keluarga Carter. “Papa dan mama ingin minta maaf atas nama Nathan.” Mendengar hal itu, Nyonya Carter langsung menatap suaminya dengan tidak suka. “Kenapa harus minta maaf? Lagi pula dia tidak bisa memberikan Nathan seorang anak. Andai saja tidak ada Noah, putraku itu meninggal dalam keadaan tak punya keturunan.” Mulut Nyonya Carter berujar tanpa peduli dengan perasaan Eleanor. Eleanor hanya bisa mengigit bibir. Dia sungguh merasa asing di tengah keluarga Carter secara tiba-tiba. “Mama, jangan bicara begitu. Apa pun itu
Eleanor tampak mengerjapkan matanya berkali-kali, mencoba mencerna setiap ucapan yang baru dia dengar dari wanita asing di depannya. “Ini bukan suasana yang pas untuk bergurau. Aku dan Nathan—kami belum memiliki seorang anak pun.” “Siapa bilang dia putramu dan Nathan?” Olivia menyilangkan kakinya. Menampakkan senyuman angkuh, yang seolah tak mau kalah. “Dia putraku bersama Nathan.” Pening. Kepala Eleanor benar-benar tak bisa berpikir jernih sekarang. Dia menggeleng dengan kuat. “Tidak mungkin! Aku kenal Nathan. D-dia bukan pria seperti itu,” jawab Eleanor dengan terbata-bata. “Pa, Ma, katakan pada wanita ini jika Nathan bukan pria seperti itu.” Namun, Eleanor tak mendapatkan jawaban yang diinginkan dari kedua orang tua Nathan. Mereka berdua hanya diam saja. “Pa, Ma—” “Kau butuh bukti kan, Eleanor?” tanya Olivia dengan menekankan nama wanita itu. Eleanor menoleh, menatap Olivia dengan dada naik turun. “Jangan sebut namaku dengan bibir kotormu itu!” Eleanor segera b
Siang itu hujan turun dengan begitu deras, seolah alam sedang membantu Eleanor untuk menyembunyikan air mata yang sejak kemarin tak berhenti menetes. Hari ini, Eleanor akan benar-benar melepaskan Nathan untuk yang terakhir kalinya. Setelah upacara pemakaman yang memakan waktu cukup lama, kini Eleanor melihat bagaimana peti yang di dalamnya terdapat tubuh Nathan itu turun ke bawan tanah secara perlahan. Kaki Eleanor tak sanggup berdiri lagi. Sejak tadi Mary dan Lucas lah yang membantunya dengan sepenuh hati. Hanya kedua orang tesebut yang peduli dengan keadaan Eleanor yang tampak begitu kacau. Saat tanah terakhir menutup peti itu, pandangan mata Eleanor perlahan menggelap. Kepalanya terasa berputar, dan tak lama setelah itu dia merasakan tubuhnya begitu ringan sampai matanya tertutup disertai dengan teriakan beberapa orang. “Nyonya Eleanor.” *** Eleanor membuka matanya yang terasa begitu berat. Mata biru pekat itu menatap sekeliling ruangan tempatnya berada. Ini bu
Tak ada yang bisa menggambarkan duka yang dirasakan Eleanor saat ini. Seharusnya kemarin adalah hari yang indah. Hari yang dia nantikan selama dua bulan terakhir. Namun, siapa yang menduga jika di hari itu juga Nathan benar-benar pergi meninggalkannya sendirian untuk selamanya. “Ini semua gara-gara wanita pembawa sial ini!” Nyonya Carter masih terus menunjuk wajah Eleanor dengan amarah yang membara. “Panggilan terakhir Nathan dari dia. Pasti dia yang merengek meminta Nathan pulang dengan cepat.” Eleanor hanya mampu menundukkan wajah dengan linangan air mata yang tak pernah terhenti. Biarlah, murka mertuanya tak sebanding dengan duka Eleanor saat ini. “Jawab aku, kau pasti merengek seperti biasa dan meminta Nathan untuk tiba dengan cepat, kan?” Nyonya Carter menjambak rambut Eleanor yang langsung dilerai oleh Tuan Carter. “Lepaskan, Ma. Dia juga sama-sama merasa kehilangan seperti kita.” “Tidak!” bentak Nyonya Carter dengan suara bergetar. “Gara-gara dia putra kesa
Eleanor tak memberikan reaksi apa pun. Dia terlalu terkejut mendapatkan perlakuan yang kasar dari ibu mertuanya. Eleanor tahu dan tak menutup mata jika selama ini, Nyonya Carter—ibu mertuanya itu memang tak pernah menyukai keberadaanya. Akan tetapi, perlakuannya sekarang benar-benar di luar dugaan Eleanor. “Dasar wanita pembawa sial!” maki Nyonya Carter lagi. “Mama sudah.” Suara Tuan Carter bergetar saat mencoba menenangkan istrinya. “Ma, bagaimana dengan kondisi Nathan sekarang?” tanya Eleanor dengan penuh harap. Dia mengabaikan semua perlakuan buruk yang diterima barusan. Namun, Nyonya Carter sama sekali tak menjawab. Dia justru kembali menampar pipi Eleanor untuk yang kedua kalinya. Setelah itu, wanita paruh baya itu kembali menangis dengan kencang. Menjerit dan meraung dalam pelukan suaminya. “Oh, Nath-ku. Putraku sayang yang malang.” Eleanor terpaku. Pikirannya berusaha keras mencerna apa yang sedang terjadi, hingga rasa sesak kembali menghantam dadanya. “Ma
Eleanor berjalan ke sana kemari dengan perasaan gembira. Hari ini, Nathan—suaminya akan kembali ke rumah setelah dua bulan bekerja di Maine. Eleanor bekerja keras menyiapkan sambutan hangat untuk kepulangan Nathan. Bahkan, wanita itu turun tangan sendiri ke dapur dan memasak khusus untuk suaminya. “Nyonya, mau saya bantu?” Eleanor menoleh, menatap kepala pelayan yang menawarkan bantuan kepadanya. Dia langsung menggeleng cepat dengan senyum hangat yang tak lepas dari bibir sejak tadi. “Tolong ambilkan ponselku saja, Mary. Seharusnya Nathan sudah tiba di bandara sekarang.” “Baik, Nyonya.” Mary menganggukkan kepala dengan sopan. Dia menghormati keputusan Eleanor dan segera melaksanakan perintah wanita yang tampak berbahagia itu. Siapa pun bisa melihat betapa bahagianya Eleanor hari itu. Senyuman lebar di bibirnya tak pernah lepas sejak pagi, membuat suasana di rumah besar itu seolah ikut terhanyut dalam semangat yang sama. Begitu Mary menyerahkan ponsel, Eleanor lang







