Share

Bab 3. Pernikahan Paksa

"Hai, Wanita Buruk Rupa. Saya dengar dari suamimu, kamu habis ke-grep, ya. Kasihan. Baguslah, itu berarti saya bisa lekas menggantikan posisimu.”

Nilna tahu betul siapa wanita yang kini ada di hadapannya. Dialah Rosa, kekasih Satria. Keduanya bahkan tidak segan dan sering menunjukkan kemesraan di depan Nilna. Entah itu secara langsung atau via telepon.

Rosa mengetuk-ngetukkan jari di meja depan Nilna. Sementara seperti biasa, Nilna hanya menunjukkan wajah tenang.

“Kenapa diam? Ngerasa malu? Etapi, masih punya nyali juga kerja di sini,” ujar Rosa sambil tersenyum buaya.

Nilna ikut tersenyum meski batinnya berdenyut manyun. “Cepat sekali, ya, beritanya menyebar. Heran. Pasti kamu puas banget.”

“Jelas. Jadi, saya tidak perlu bersusah-susah memutar otak, mengotori tangan saya demi memisahkan kalian. Nggak nyangka, kelihatannya alim, berkerudung, ternyata kelakuannya busuk. Digrebek pula sama semua keluarga. Malu nggak, tuh? Atau jangan-jangan kerudungmu cuma buat tutup aja? Padahal lehernya ....” Rosa berucap sambil memainkan kukunya yang panjang.

“Jaga ucapanmu!” desis Nilna. Kalau tidak sedang ada di tempat kerja, mungkin ia bisa menghadiahi bibir Rosa dengan telapak tangannya.

“Jadi penasaran, kira-kira siapa, ya, yang doyan sama wanita buruk rupa kayak kamu ini.” Rosa kembali tertawa.

Awalnya Nilna geram luar biasa, tetapi ia mencoba kuat. Akhirnya, ikut tertawa demi meladeni Rosa. “Terserahlah, ya, mau mikir apa. Toh, dijelaskan pun hanya buang-buang tenaga. Saya jadi curiga ini semua justru karena persekongkolanmu sama Bang Satria untuk memfitnah saya.”

Rosa ikut tertawa. “Pinter juga berkilah dan mencoba memutar fakta. Eh, kalau selingkuh, ya, selingkuh aja. Jangan malah menuduh saya. Tapi apa pun itu, saya sangat bahagia karena sekarang kamu sudah hancur. Selamat menderita, selamat menjanda.”

“Waw, terima kasih atas ucapannya. Saya sangat terharu.” Nilna menguatkan diri untuk bersikap bijak menghadapi wanita ular di hadapannya.

“Nanti kalau kamu sudah resmi menjanda, saya akan syukuran.” Rosa tertawa sangat kencang.

Meski mereka bertengkar, tetapi terlihat seperti bercanda.

“Saya tunggu hari bahagianya. Daa.”

Rosa kemudian berlalu menuju salah satu kursi dan memesan makanan kepada seorang waitress. Nilna mengembuskan napas panjang. Ia harus terlihat kuat dalam menghadapi letusan fitnah yang begitu menyakitkan ini.

“Kuat, Na, kuat!” Nilna mengepalkan tangannya kuat-kuat.

**

Jam sepuluh malam, Nilna masih duduk di taman belakang restoran. Ia bingung harus ke mana. Kembali ke kos-kosan Anggi atau ke rumah untuk menyelesaikan masalahnya dengan Satria. Ia merasa tidak bisa terus menghindar. Hanya saja, perlu sedikit waktu menguatkan mental ketika bertemu mereka lagi.

“Belum pulang?” sapa suara bariton. Nilna menoleh. Ada Lukman, pria bagian koki di restoran berdiri di hadapan, lalu duduk di sampingnya. Nilna menggeleng.

“Tapi motor di parkiran sudah nggak ada. Kamu nggak bawa motor?”

“Iya, Mas. Aku nggak bawa motor. Ini masih berusaha pesen ojek online.” Nilna berbohong. Ia juga tidak tahu nasib sepeda motornya yang mungkin ada di teras saat ia dibekap.

“Aku antar aja ayo. Daripada nunggu ojek lama. Lagian, sudah malam. Driver udah pada pulang mungkin.”

“Nggak usah, Mas.”

Awalnya Nilna menolak, tetapi Lukman terus memaksa. Akhirnya, wanita itu pasrah saat Lukman memakaikan helm di kepalanya.

Dengan dibonceng Lukman, Nilna pulang ke rumah. Ia tidak peduli bagaimana nanti tanggapan keluarganya.

“Bahkan selama menikah, Bang Tria nggak pernah memboncengku seperti ini. Astagfirullah.” Nilna bergumam lirih. Ia yang sempat membanding-bandingkan, lekas kembali waras. Wanita itu merutuki diri sendiri yang selama ini begitu bodoh dan selalu memaklumi sikap sang suami. Padahal jelas dari awal pernikahannya berpenyakit.

Tiba di jalan depan rumah, sepeda motor Lukman berhenti. Nilna pun turun.

“Makasih, ya, Mas.”

“Iya, sama-sama. Selamat malam, Na. Assalamualaikum.”

Pria itu langsung tancap gas setelah Nilna menjawab salamnya.

Kunci masih setia berada di tas Nilna. Ia tidak perlu repot membangunkan orang dalam rumah. Begitu masuk, kondisinya gelap. Karena haus, wanita itu langsung menuju dapur. Alangkah terkejutnya saat ia melihat seseorang tergeletak di lantai.

Cepat-cepat Nilna menghampiri dan melihatnya. “Ibu!”

Mata Maya terkatup, tubuhnya sangat lemah. Nilna berusaha membalik tubuh mertuanya yang awalnya telungkup.

“Bang Tria, Samira! Ibu pingsan!” Nilna berteriak. Beberapa kali dilakukan. Dalam teriakan ketiga, Samira datang.

“Ibu kenapa?” tanya Samira.

“Nggak tahu. Panggil abangmu, Ra. Kita bawa Ibu ke rumah sakit.”

“Abang dari tadi belum pulang, Kak. Apa Kakak nggak tahu kalau mobilnya nggak ada!” Samira malah membentak.

“Ya udah, kamu tunggu di sini. Biar Kakak ke rumah Pak RT minta bantuan.”

Nilna bangkit dan berjalan tergesa-gesa keluar rumah. Begitu sampai di depan gerbang, ada lampu mobil yang menyorotnya. Hampir saja tubuh itu tertabrak kalau saja pengemudi tidak menginjak rem. Nilna berhenti seketika.

Pengemudinya turun, lalu menatap Nilna nyalang. “Selain buruk rupa, apa sekarang kamu juga buta! Depresi? Sampai-sampai kamu ingin bunuh diri, hah!”

“Bang, I-ibu pingsan di dalam. Aku tadi mau ke rumah Pak RT minta bantuan karena Abang–“ Belum lengkap penjelasan Nilna, Satria menabrak tubuhnya dan berlari memasuki rumah. Nilna sedikit terhuyung dan lekas memegangi pagar rumah agar tidak terjatuh.

Nilna hanya menghela napas panjang dan mengembuskannya kasar. Dalam kondisi krisis pun, Satria tetap menyakitinya.

Tak butuh waktu lama, Satria kembali keluar seraya menggotong Maya diikuti Samira dari belakang. Nilna mencoba membantu dengan membuka pintu mobil bagian belakang, tetapi tangannya mengambang di udara saat suara seseorang menginterupsi.

“Jangan sentuh karena sulit mendapatkan debu untuk membersihkannya setelah tanganmu hinggap di situ!” Suara Satria penuh penekanan.

Nilna terbengong-bengong. Begitu jahatnya Satria yang menilai sentuhannya seperti sentuhan an*jing.

Samira menggeser tubuh Nilna dan membuka pintu. Nilna yang tahu diri, mundur beberapa langkah. Lalu, tubuh Maya dimasukkan setelah sebelumnya Samira berada di dalam.

“Semua ini pasti karena ulahmu! Kalau ada apa-apa sama Ibu, awas kamu!” Satria mengacungkan telunjuk di wajah Nilna. Ia lalu berlari menuju pintu bagian kemudi dan masuk.

Mobil itu kemudian melaju, meninggalkan Nilna dengan segala kesakitan dan air matanya.

**

Nilna masih ingat betul awal mula ia dan Maya bertemu. Maya seorang pengusaha kerupuk yang memiliki beberapa karyawan. Wanita itu juga seorang ketua PKK dan UMKM warga sekitar. Berkat usahanya, banyak kaum ibu yang terbantu perekonomian karena bekerja dengannya.

Saat itu, Maya menawarkan produk makanan ringan hasil dari UMKM kepada pihak restoran lewat Nilna. Sambutan baik diterima pihak restoran. Maya dan Nilna sering berinteraksi hingga keduanya akrab. Maya juga sering memesan katering di restoran itu jika ada acara di rumahnya. Pun Nilna kalau senggang, ikut belajar membuat kerupuk di tempat Maya. Simbiosis mutualisme.

Suatu hari, Maya yang punya riwayat darah tinggi, tiba-tiba pingsan saat di restoran. Dengan cekatan dan sabar, Nilna yang mengurus setelah meminta izin sang manajer untuk membawa Maya ke rumah sakit. Sang bos mengizinkan.

Dari situ, Maya makin sayang dan jatuh hati kepada Nilna yang tidak banyak bicara tetapi pekerja keras.

“Mau nggak jadi mantu Ibu? Pokoknya harus mau, ya?” Pertanyaan berulang-ulang dari Maya selalu seperti itu. Nilna pun hanya tertawa karena menganggap itu hanya lelucon.

“Yang jadi pertanyaan, mau nggak anak Ibu sama aku?”

“Dia itu anaknya manut. Pasti maulah. Apalagi sama kamu yang cantik ini.”

Nilna yang dulu memang cantik alami. Wajahnya hanya disapu sedikit bedak dan lipstik saat bekerja. Hanya saja, tubuhnya agak berisi. Itu yang membuatnya sering minder.

“Pacar anak Ibu itu matre, boros karena diam-diam, Ibu sering memata-matai dan mengecek bagaimana anak Ibu menghabiskan uangnya. Tiap pulang pacaran, dia mengeluh uangnya habis. Nggak bisa dibiarkan, bukan?”

Nilna hanya tersenyum.

“Atau kamu sudah punya pacar?” Pertanyaan Maya kembali dijawab Nilna dengan senyuman.

“Aku nggak pernah punya pacar dan nggak ingin pacaran, Bu. Lagi pula, mana ada laki-laki yang mau sama orang bulat kayak pentol macam aku ini?”

Maya tertawa, lalu menggenggam telapak tangan Nilna. “Kamu itu cantik luar dalam. Tapi sebenarnya, sejatinya cantik itu dari hati, bukan dari wajah. Dari ceritamu yang tidak punya pacar itu, menunjukkan kamu wanita terjaga. Dan Ibu makin yakin kamu pasangan tepat untuk Satria, anak Ibu.”

Nyatanya, keadaan visual masih menjadi patokan termasuk Satria. Pria itu menolak keras dan selalu menyindir Nilna karena kondisi tubuhnya.

Nilna dari awal juga tidak terlalu yakin menerima tawaran Maya. Namun, ada beberapa alasan yang membuatnya nekat meski tahu Satria jelas-jelas menolak. Salah satunya, Maya pernah sakit parah dan terus memohon kepada Nilna.

Suara deru mobil terdengar, membuyarkan lamunan Nilna. Ia sengaja tidak tidur karena menunggu kabar dari sang mertua. Cepat-cepat ia berdiri dan keluar kamar. Begitu kakinya baru satu langkah melewati pintu, seseorang menatapnya seolah-olah menguliti.

“Keluar dari rumahku! Kamu bukan lagi istriku tapi kenapa masih di sini, hah!”

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status