Share

Bab 4. Haus Kasih Sayang?

"Keluar dari rumahku! Kamu bukan lagi istriku, tapi kenapa masih di sini, hah!”

“Gi-gimana keadaan Ibu, Bang? Tadi aku udah beresin barang Ibu yang mau dibawa.” Terbata-bata Nilna mengucapkannya saat sang suami kian merapatkan tubuh kepadanya.

Satria mendekat, sedangkan Nilna bergerak mundur. Tatapan tajam Satria beradu dengan pandangan sendu Nilna. Keduanya berhenti saat tubuh Nilna terantuk tembok. Satria mengurungnya dengan kedua tangan.

“Masih berani kamu tanya kondisi ibu?” Satria bertanya lirih, tetapi penuh penekanan.

“A-aku salah apa lagi?”

“Ibu kena stroke dan ini gara-gara kamu, Nilna! Dia pasti kepikiran dengan kelakuan busukmu tadi pagi!”

“Bang, berkali-kali aku bilang demi Allah aku enggak ngelakuin apa-apa. Aku nggak sadar.”

“Lantas kenapa kamu bisa ada di hotel!”

“Kalau pertanyaannya dibalik. Kenapa Abang bisa tahu aku ada di hotel!”

“Kamu masih bisa tanya? Hah! Lawak. Ada seorang pria yang menghubungiku dengan ponselmu! Dan apa katanya? Dia mengakui semua kalau kalian habis ena-ena! Harga diriku sebagai seorang suami rasanya terinjak-injak kau tahu itu!”

“Setelah semua yang terjadi Abang baru mengakui aku ini istrimu? Ke mana saja beberapa bulan ini?” Nilna memberanikan diri membalas tatapan Satria.

“Asal kamu tahu, Nilna. Aku bukan pria bodoh yang tidak tahu apa-apa. Kamu mau menikah denganku pun karena alasan tertentu. Kamu pikir aku tidak tahu? Aku tahu semuanya! Sekarang, kita akhiri semua permainan ini. Kau bukan lagi istriku dan lekas kemasi rongsokanmu dari rumah ini! Segera aku urus perceraian.”

“La-lalu ibu?”

“Ibu sudah tahu kelakuan busukmu dan dia sudah sangat benci sama kamu. Apa? Mau alasan apa lagi? Mau mengiba agar aku nggak nyerein kamu?”

Nilna hanya diam. Pantang baginya mengemis iba agar tetap tinggal atau meminta agar Satria mengurungkan niatnya.

“Baiklah. Kalau itu yang buat jalan kita sama-sama enak. Aku hanya mau terima beres tanpa dipersulit saat perceraian nanti. Akan aku tinggalkan beberapa berkas untuk keperluannya.”

“Ya! Aku pun tidak sabar ingin segera pisah. Tanpa berlu berbuat banyak hal, kedok busukmu terbongkar dengan sendirinya!” Wajah Satria begitu dekat dengan wajah Nilna.

“Terserah Abang mau mikir apa!”

“Apa jangan-jangan kamu ngelakuin ini karena haus nafkah batin dariku? Sampai segitunya. Berapa kamu pasang tarif semalam?”

Plak!

Telapak tangan Nilna mendarat di pipi Satria.

“Jaga ucapanmu, Bang!”

Satria mengelus pipinya, lalu tergelak. “Nilna, Nilna. Kamu terlalu muna jadi wanita!”

Satria melotot, lantas meninju dinding tepat di sebelah kiri wajah Nilna, membuat wanita itu terpejam.

“Ngaku saja, Nilna. Kamu haus belaian dari suami, makanya mencari kehangatan dari luar rumah. Hahaha!”

“Aku benci sama kamu, Nilna!”

Pria itu lalu menuju kamar Maya untuk mengambil barang yang sekiranya dibutuhkan di rumah sakit sambil terus tergelak.

Pria itu melihat koper kecil yang teronggok di ranjang sang ibu. Ia tahu itu mungkin saja barang yang ditata Nilna. Ia melempar koper itu dan memilih mengambil sendiri barang yang akan dibawa dan memasukkannya dalam tas.

Nilna yang mengintip hanya bisa memandang dengan sorot sendu. Wanita itu lalu masuk dapur untuk meneguk air sebanyak-banyaknya.

“Dengan minum sebanyak ini, semoga air mataku tidak pernah kering. Teruslah menangis, Na. Hanya ini yang bisa kamu lakukan untuk mengurangi beban saat tidak ada seorang pun yang peduli.” Nilna terus minum sampai tersedak.

Kebiasaan aneh itu memang sering dilakukan saat kondisi psikisnya sedang tidak baik-baik saja.

“Ibu, aku rindu. Peluk aku, Bu.” Lelah mengisi lambungnya dengan air, Nilna menutup wajah dengan kedua tangan.

Ibu, seorang peri pelindung yang tidak pernah dilihat dan dirasa keberadaannya. Sang ibu meninggal saat melahirkannya.

Nilna menuju kamar untuk mengemasi ‘rongsokan’ saat suara mobil Satria terdengar meninggalkan rumah. Wanita itu memasukkan barang yang tidak seberapa dalam ransel. Dihubunginya Anggi setelah semuanya beres.

Karena malam sudah kian larut dan mungkin saja Anggi sudah tidur, Nilna memutuskan untuk langsung ke sana.

Dengan mengendarai sepeda motor miliknya sendiri yang bahkan sampai sekarang belum lunas cicilannya, Nilna menuju kos-kosan Anggi. Sebenarnya Maya sudah menyiapkan kendaraan untuknya. Namun, Nilna menolak memakai dengan alasan lebih nyaman jika barang yang dipakai hak miliknya sendiri.

Dengan rasa takut dan kewaspadaan tinggi, Nilna mengendara dengan fokus. Ini pengalaman pertama kali ia berkendara malam-malam di tengah kota Yogyakarta yang sedang marak-maraknya klitih.

Dua puluh menit kemudian, Nilna sampai juga di tempat yang dituju. Diketuknya pintu kos-kosan Anggi. Setelah berkali-kali, akhirnya pintu dibuka. Anggi tampak malas dengan tampilan berantakan.

“Nilna,” ujar Anggi sambil menguap.

“Ada kamar kos kosong nggak di sini? Aku ... aku ... sendirian di rumah. Takut.”

Anggi menengok belakang tubuh Nilna setelah kesadarannya agak terkumpul. Ada sepeda motor lengkap dengan koper di depan jok kemudi. Ia lalu menelisik wajah sembab sang sahabat. Isak tangis Nilna terdengar kemudian.

Anggi yang tidak tega meski tidak tahu alasan Nilna menangis, memeluk sang sahabat dalam dekapan.

“Masuklah. Ceritakan semua. Nggak baik menyimpan masalah sendiri. Karena itu hanya akan membuatmu makin sekarat.”

**

Nilna seorang piatu. Ibunya meninggal saat melahirkannya. Sementara sang bapak, menikah tak lama setelah ibunya meninggal. Nilna bayi hingga remaja diasuh kakek dan nenek dari pihak ibu. Saat SMP, keduanya meninggal dengan jarak berdekatan.

Nilna lalu ikut sang bapak dan ibu tiri. Ia menguat-nguatkan diri demi pendidikannya. Tidak ada kasih sayang yang didapat. Kerap kali Nilna dihina, dimarahi, dan kadang disiksa secara mental oleh mereka. Nilna terus diperalat, dimanfaatkan.

“Kamu itu pembawa sial. Ibumu meninggal saat melahirkanmu. Kakek nenekmu lalu nyusul. Aku sebenarnya takut kena imbas juga karena kamu tinggal di sini.” Ibu tiri Nilna sering mengatakan itu.

Bukannya membela, sang bapak justru punya pemikiran yang sama. Pria itu membenci Nilna karena menganggap penyebab kematian sang istri pertama.

Nilna yang tidak kuat selalu tersudut, memutuskan tinggal dan nderek di sebuah pesantren saat SMA. Mati-matian ia belajar agar terus menerima beasiswa. Semua itu terwujud. Hanya saja, untuk keperluan dan biaya sekolah lain, mau tidak mau ia tetap meminta sang bapak.

“Kamu ini dikit-dikit minta uang. Bapak juga punya anak lain yang butuh biaya. Kamu sudah besar, usaha cari duit sendiri,” ujar bapak saat Nilna meminta uang sekolah.

Patah berkali-kali. Itulah yang dirasakan Nilna. Sejak itu, ia makin giat melakukan apa saja untuk mendapatkan uang. Namun, hidup di pesantren membuat usahanya terbatas. Ia lalu memutuskan keluar dari pesantren saat kelas dua. Wanita itu memilih menjadi pembantu. Bos itu yang akhirnya membawa Nilna di gerbang kelulusan SMA.

Lulus SMA, Nilna bekerja di restoran. Sementara keluarga tirinya selalu meminta uang dengan alasan balas budi.

Hingga pada akhirnya, Nilna menerima tawaran Maya agar menikah dengan Satria.

“Alasan utamaku menikah dulu agar aku lepas dari keluarga toksik. Tapi yang kudapat adalah suami yang tidak pernah memberiku bahagia. Aku kadang lelah hidup seperti ini terus, Nggi. Aku lelah.” Nilna menceritakan lembaran hidupnya kepada Anggi sambil menangis. Lembaran itu baru sekali ini dibukanya kepada orang lain.

“Aku difitnah hingga akhirnya Bang Tria menalakku dan Ibu mertua membenciku lalu kini sakit. Aku diusir. Aku bingung harus ke mana. Kembali ke rumah bapak nggak mungkin. Di sana aku lebih menderita,” lanjut Nilna.

Anggi ikut tersedu-sedu mendengarnya.

“Aku nggak punya siapa-siapa di dunia ini. Aku nggak berarti. Andai bisa, aku akan kibarkan bendera putih agar waktuku di dunia habis saat ini juga.”

Anggi yang sudah tidak tahan, mendekap Nilna dalam dekapan.

“Katanya ujian itu ada agar kita naik kelas. Dan waktu ujian pasti akan berakhir. Pasti ada hal lebih indah di depan sana. Kamu kuat, Na. Kamu bisa lewatin semua ini.”

“Sampai kapan?”

“Sampai kamu jadi wanita hebat. Kamu masih punya Allah, masih ada aku dan teman-teman di restoran. Tidakkah kamu syukuri nikmat itu?”

Nilna tertohok. Tangisnya kian kencang.

**

Tiga hari sudah Nilna meninggalkan rumah Satria. Hari ini, ia bagian sift pagi. Sore hari lepas pulang kerja, ia mengunjungi ibu mertuanya di rumah sakit.

Setelah bertanya kepada petugas jaga, langkah Nilna berayun menuju kamar Maya. Ada beberapa makanan kesukaan sang mertua yang dibawanya.

Begitu menengok kamar, dadanya seperti dihantam godam. Di sana, ada Satria dan Rosa saling rangkul dan melakukan hal tidak beradab.

“Waw, pemandangan indah. Pantaskah berbuat seperti ini saat menunggu orang sakit?” sindir Nilna.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nurli Eriza
eh dasar si nilna goblok,masih jg bertahan dirumah itu.sdh dihina2.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status