Pada saat yang sama, Pak Gunawan Dimitra, Dirut perusahaan, sedang berbicara santai dengan seseorang melalui sambungan telepon kantornya.
“Ingat pesan saya, Pak Gunawan, jangan sampai dia mengetahui hal apa pun tentang pemberian itu. Sebab seperti yang saya katakan tadi, jika dia tahu bahwa itu bantuan dari saya, dia bakalan marah dan menolak, sekalipun tujuan saya hanya ingin ikut menyenangkan hati cucu saya di hari ulang tahunnya. Dia sudah mersumpah untuk membangun rumah tangan impiannya dan mendidik anak-anaknya dalam kondisi jauh dari kemewahan dulu. Dan untuk sekian kalinya saya harus mengingatkan Pak Gunawan, jangan pernah memperlakukan dia secara istimewa. Perlakukan secara wajar sebagaimana karyawan pada umumnya.”
“Baik, Pak. Tentu saya akan menjadi melaksanakan semua petunjuk Bapak dengan baik.”
Ketukan di pintu membuat ia harus mengakhiri pembicaraan lalu berkata, “Ya, silakan masuk...!”
Bersamaan dengan pintu terkuak, terlihat wajah Radit. “Maaf, Bapak memanggil saya?”
“Oh, iya, Pak Radit, silakan masuk.”
“Baik, Pak.”
“Silakan duduk. Ada sedikit hal yang ingin saya sampaikan kepada Pak Radit. Yeah bisa dikatakan penting, bagi perusahaan ini.”
“Iya, Pak...”
“Begini, Pak Radit,” ucap Pak Dirut kemudian, “saya atas nama perusahaan ingin menyampaikan ucapan terima kasih atas proposal yang pernah Pak Radit buat bersama pimpinan personalia perusahaan. Dengan proposal itu, kita mendapat mitra usaha baru yang sangat kuat.”
“Maksud Bapak, proposal yang kami susun dua hari yang lalu untuk diajukan kepada PT. Jayalindo Sejahtera itu?”
“Bukan, bukan yang itu, tapi proposal kepada PT. Mitra Exim Persada sebulan yang lalu.”
“Syukur alhamdulillah. Ikut merasa gembira dengan kabar ini, Pak.”
“Tentu saja, Pak Radit. Ah ... hal yang kedua yang ingin saya sampaikan adalah ini ...,” sahut laki-laki paroh baya itu seraya menyodorkan amplop putih ke hadapan Radit. “Hanya sekedar tanda penghargaan perusahaan atas jasa Pak Radit. Memang tak seberapa memang jumlahnya.”
“Apa ini, Pak?”
“Silakan Pak Radit membukanya.”
Dengan perasaan degdegan, Radit membuka amplop putih itu. Ternyata isinya selembar cek. Melihat isinya di luar dugaannya, membuatnya terhenyak.
“Lima puluh juta ...?! Wah, bagi saya ini besar sekali, Pak ...?!”
“Ya, semoga suatu saat nanti, jika proposal-proposal yang lain kita lolos, tentu Pak Radit pun akan mendapatkan bonus yang lebih besar dari itu, dan promosi kenaikan jabatan, tentunya.”
“Terima kasih, ya Allah. Amin Allahumma amin. Terima kasih banyak ini, Pak.”
“Sama-sama, Pak Radit. Oh ya, saya memberikan bonus liburan juga buat Pak Radit untuk hari ini hingga dua hari ke depan. Tolong juga, bonus itu Pak Radit rahasia saja pada yang lain. Khawatir akan ada perasaan cemburu atau ... ya macam itulah.”
“Oh, baiklah, Pak. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih.”
“Sama-sama, Pak Radit.”
Sebenarnya, di luar pengetahuan Radit sama sekali, saham mayoritas perusahaan tempatnya bekerja saat ini,PT. Eximindo Perkasa berada dalam kepemilikan grup PT. Jaya Semesta, milik miliarder Abdul Kariem Pambudi, yang tak lain adalah ayah dari Aditya Pambudi sendiri. Artinya, saat ini Radit sedang menjadi seorang karyawan biasa di perusahaannya sendiri. Satu-satunya orang yang tahu tentang siapa sebenarnya Raditya Pambudi dalam perusahaan itu hanyalah sang dirutnya sendiri, yaitu Gunawan Dimitra.
Dari kantor Radit langsung meluncur ke kantor bank untuk mengalihkan dana dalam cek itu ke rekeningnya, setelahnya meluncur ke beberapa restoran atau kafe yang tak jauh dari komplek kediamannya.
Setelah menetapkan pada sebuah kafe yang terasa cocok dan kebetulan bisa menyiapkan acara bahagia buat sang putri kecilnya besok, ia langsung mentransfer sebagian anggaran ke norek manajemen kafe. Setelah beres ia langsung meluncur ke sebuah tempat percetakan kecil untuk memesan surat undangan untuk dibagikan kepada teman-temannya Noni besok pagi.
Malamnya Nagita menanyakan perihal rencana acara ultahnya Noni. Ada raut keheranannya setelah Radit mengatakan bahwa semuanya sudah siap buat acara besok sore itu.
“Jadi ... Mas telah mem-booking Niagara Cafe?”
“Benar, Dik. Kenapa? Bukan booking, tapi setengah dari biayanya telah Mas bayarkan ke kafenya. Apakah Dik keberatan dengan tempatnya? Kan bagus tempatnya, dan nggak terlalu jauh dari sini,” sahut Radit sembari membalas chat WA dari beberapa kenalannya.
“Bukan bagus lagi Mas, tapi lebih dari itu. Hanya masalahnya, Mas dapat uang dari mana untuk menyewa kafe itu? Tentunya tidaklah murah, kan ...?”
“Oh, kebetulan Mas dapat bonus dari kantor. Mungkin rejekinya Noni, Dik.”
“Bonus? Bonus atas apa? Mas kan hanya karyawan biasa?!”
“Iya, Dik. Gini ceritanya, Mas kan sering dimintai manajer personalia untuk bantu menyusu proposal yang akan diajukan ke beberapa perusahaan yang mau bekerja sama dengan peristihaan kita. Dan kata dirutnya, salah satu proposal itu lolos. Nah, Mas diberi bonus. Gitu ceritanya.”
“Waw, amazing! Mas tidak sedang membohongi saya, kan?” ucap Nagita, masih dengan sedikit tatapan curiga.
Radit menghela nafas panjang sembari mengalihkan tatapannya ke wajah Nagita. “Astaghfirullahal adziim. Sejak kapan Mas berbohong ke kamu, Dik? Kalau Dik tak percaya, ya boleh Dik tanyakan pada Pak Dirutnya Mas.” “Oke, oke, oke...!” potong Nagita. “Mas dikasih bonus berapa?” “Ya, cukup untuk biaya acara ultahnya Noni itu, Dik.” “Memangnya seluruh biaya di kafe itu berapa? Mas baru bayar DP-nya berapa?” “Seluruhnya dua puluh juta, Mas baru bayar setengahnya.” “Dua puluh juta ...?” Kedua mata Nagita langsung membeliak. “Kok mahal sekali, Mas? Apa itu ngfak berlebihan?” Radit tersenyum, dan, “Karena Mas ingin memenuhi janji Mas pada Noni untuk membuat pesta ultahnya meriah, ya tentu harus disiapkan acara pestanya yang bagus. Ya sekali-sekali, Dik, karena selama ini kan ultahnya Noni hanya diadakan secara sederhana di rumah ini.” “Iya, aku paham. Lantas ... Mas dapat bonus berapa dari kantor?” “Lima puluh juta,” sahut Radit, seolah-o
Saat melintas di sebuah jalan yang akan memasuki wilayah Tangsel, tanpa sengaja Radit melihat sebuah mobil Baleno merah yang sangat dikenalnya terparkir di sebuah restoran. Dengan spontan ia membelokkan sepeda motornya ke areal parkir restoran itu. Baru saja ia mematikan mesin sepeda motonya, ia melihat Nagita keluar dari restoran besar itu. “Dik, kau malah di sini?” Nagita sangat kaget dengan keberadaan Radit di tempat itu. Tapi hanya sesaat. Kemudian dengan santai ia menjawab, “Iya, ada acara penting kolega. Dan Mas sendiri kenapa ada di sini? Apakah acaranya sudah selesai?” Saat Radit hendak menjawab, beberapa orang laki-laki muda bersama pasangan mereka keluar dari restoran. Kepada Nagita para pasangan itu melambaikan tangan mereka kepada Nagita dan dibalas oleh Nagita dengan hal yang serupa. Seorang pria muda yang keluar sendirian langsung berjalan mendekati Nagita dan berkata, “Terima kasih ya, Mbak Cantik, atas bantuan dananya, sehingga acaraku terlaksana
“Sekarang tubuhmu agak melorot, Dit? Agak kurusaan, dan wajahmu tidak sesegar dulu,” ucap Pak Karim sembaru mengiris steak daging di piringnya untuk kemudian memasukkannya ke mulut dengan menggunakan garpu. Saat itu ia mengajak Radit untuk menikmati makan sore di sebuah restoran di daerah Cengkareng. “Biasalah, Pap, aku kan sudah berkeluarga, dan bukan lagi seorang pemuda manja yang hanya bisa menikmati segala fasilitas yang Papa sediakan seperti dulu. Kan Papa tadi sudah bilang, bahwa aku sedang berpetualang untuk mencari jatidiri. Hehehe ...,” sahut Radit. Ayah dan anak itu pun tertawa bersama. “Rumah terasa sangat sepi sejak tak ada kamu, Dit. Lebih-lebih ruang batin Papa,” ucap Pak Karim. “Lantas kapan rencanamu membuka semua tentang jati dirimu pada anak dan istrimu? Papa juga sangat merindukan cucu papa yang cantik dan mungil itu.” “Masih butuh waktu lagi, Pap,” sahut Radit seolah-olah pada steak daging yang sedang diirisnya. “Jujur, menantu Papa itu masi
“Pak Radit...?” “Eh, iya, Bu Ningrum...?” Agak tergagap Radit menjawab panggilan atasannya itu, sehingga ia memasukkan begitu saja barang-barangnya ke dalam tak kerjanya. Ia bersiap akan pulang. “Pak Radit bisa lanjut membantu saya untuk menyusun proposal yang tak jadi kita susun tempo hari?” “Malam ini, Bu?” “Iya, Pak. Pak Dirut ingin proposal itu selesai malam ini agar bisa diajukan esok hari. Bagaimana, apakah Pak Radit bisa?” Jika itu permintaan Pak Dirut, tentu sangat sulit baginya untuk menolak. Beliau sudah sangat baik terhadapnya pada momen ia sedang kritis keuangan. Memang, selama ini ia dan Bu Ningrum, sang manajer muda itu itu, selalu diminta oleh beliau untuk bekerja sama dalam menyiapkan surat-surat jenis itu. Proposal hasil penyusunan mereka itu selalu lolos dan terima oleh calon perusahaan mitra. Radit pun akhirnya mengangguk tegas. “Tentu, Bu. Pasti bisa. Sekarang ya, Bu.” “Iya, Pak Radit. Mudah-mudahan kita bisa
Diskusi Radit dengan Bu Ningrum terhenti oleh nada panggilan di ponselnya. Mengetahui bahwa yang memanggil adalah Nagita, Radit segera mengangkat ponselnya, setelah meminta maaf kepada Bu Ningrum. “Ya Dik, assalamualaikum ....” Tanpa menjawab salam, Nagita langsung saja mengutarakan maksudnya dengan nada yang masih tak ramah. Kayaknya ia masih menyimpan kemarahannya. “Ntar Mas pulang mampir dulu ke restoran! Aku dan ibu belum makan, nih!” “Oh, i-iya, Dik. Siap ...!” “Kok teleponnya hanya sebentar, Pak Radit?” “Oh iya, Bu. Istri saya hanya ingin menyampaikan sebuah pesan. Maaf, sampai di mana tadi, Bu?” Bu Ningrum menatap wajah laki-laki di depannya dengan sedikit tersenyum. Sesungguhnya, ia dapat membaca kegundahan di wajah laki-laki itu. Namun ia hanya pura-pura tidak menyadarinya saja. Pada saat yang sama, pikiran Radit memang sudah tidak fokus lagi. Di benaknya hanya terbayang wajah tak suka Nagita. Namun ia tetap berusaha un
Sebenarnya, Radit menginginkan sang istri menjadi ibu rumah tangga biasa saja dan mengurus Noni yang saat itu masih balita dan membutuhkan perhatian penuh dari ibunya. Tetapi Nagita bersikeras ingin menjadi wanita pekerja dan berkarier. “Lagian, Mas, kan sayang juga kan jika ijazah sarjana luar negeriku nggak diaplikasikan di dunia kerja,” ucap Nagita saat itu. Sebuah alasan yang memang logis, dan membuat Radit tak punya argumen apa pun untuk melarangnya. “Baiklah kalau begitu, Dik,” Radit akhirnya mengamini.. “Kausiapkan saja surat-surat yang dubutuhkan untuk melamar. Aku akan coba memasukkannya ke sebuah perusahaan. Kebetulan di perusahaan itu aku punya kenalan. Ya, bisa dikatakan sebagai pejabat penting dalam perusahaan itu. Siapa tahu dia bisa membantu.” “Jadi...aku tak perlu memasukkannya sendiri?” “Tak perlu. Dik tinggal tunggu panggilan saja.” Saat mengantarkan surat lamaran istrinya ke perusahaan yang dimaksud, Radit mewanti-wanti
Saat mereka menikmati hidangan dengan kepiting Alaska, baik Ningrum maupun Radit hanya sekali-sekali membicara sesuatu hal. Dan itu pun didominasi oleh Ningrum. Entah mengapa, saat itu ia merasa jauh lebih dekat dengan bawahannya itu. Ia lebih sering melihat ke depan. Ia juga merasa, behwa ternyata Raditya pria yang simpatik, juga tampan, tentunya. Hal yang selama ini seolah-olah luput dari penilaiannya. Saat keduanya sedang menikmati makan siang itu, kegiatan tangan Radit di atas piring tiba-tiba terhenti. Pandangan matanya terpaku pada dua tamu restoran yang saat itu mengambil meja di pojok lain ruangan restoran. Itu adalah Nagita bersama seorang laki-laki. Radit merasa tak asing dengan laki-laki yang datang bersama istrunya itu. Tanpa diketahui oleh Ningrum, Radit terus mengarahkan pandangannya ke arah itu. Ketika tiba-tiba laki-laki itu melap bagian wajah Nagita menggunakan tisu, darahnya berdesir cepat. Saat itu juga ia merasa telah dicurangi oleh Nagita. Selera
Baru kali ini Bu Ratri melihat Radit emosi seperti itu. Selama ini sang menantu itu selalu tenang dan sabar menghadapi sikap Nagita yang terkadang memang suka semena-mena terhadapnya. Ia tentu tidak bisa menafikan sifat baik sang menantu itu. Jika ia sampai emosi begitu, berarti kebenarannya tidak boleh ia abaikan. “Mungkin ada hal penting yang sedang mereka lakukan saat itu, Dit. Jadi, apa kenyataannya tidak seperti apa yang kamu lihat dan pikirkan. Terlebih kita sedang berada di sebuah restoran seperti yang kaubilang. Apakah itu masuk kategori berselingkuh atau semacamnya itu?” “Aku ini laki-laki dan seorang suami, Bu, tentu bisa membedakan mana perilaku wajar dan tak wajar istrinya! Nih, Ibu lihat ini. Beberapa hari yang lalu kalung ini saya ingin membelinya buat Nagita. Tapi pada saat yang sama, laki-laki yang saya lihat bersama Nagita tadi lebih dahulu meminta kalung ini pada penjaga gerainya. Tanggal dan tempat pembelian pun persis sama.” Bu Ratri mengambil