Share

PART 03

 Pada saat yang sama, Pak Gunawan Dimitra, Dirut perusahaan, sedang berbicara santai dengan seseorang melalui sambungan telepon kantornya.

     “Ingat pesan saya, Pak Gunawan, jangan sampai dia mengetahui hal apa pun tentang pemberian itu. Sebab seperti yang saya katakan tadi, jika dia tahu bahwa itu bantuan dari saya, dia bakalan marah dan menolak, sekalipun tujuan saya hanya ingin ikut menyenangkan hati cucu saya di hari ulang tahunnya. Dia sudah mersumpah untuk membangun rumah tangan impiannya dan mendidik anak-anaknya dalam kondisi jauh dari kemewahan dulu. Dan untuk sekian kalinya saya harus mengingatkan Pak Gunawan, jangan pernah memperlakukan dia secara istimewa. Perlakukan secara wajar sebagaimana karyawan pada umumnya.”

     “Baik, Pak. Tentu saya akan menjadi melaksanakan semua petunjuk Bapak dengan baik.”

     Ketukan di pintu membuat ia harus mengakhiri pembicaraan lalu berkata, “Ya, silakan masuk...!”

     Bersamaan dengan pintu terkuak, terlihat wajah Radit. “Maaf, Bapak memanggil saya?”

    “Oh, iya, Pak Radit, silakan masuk.”

    “Baik, Pak.”

    “Silakan duduk. Ada sedikit hal yang ingin saya sampaikan kepada Pak Radit. Yeah bisa dikatakan penting, bagi perusahaan ini.”

     “Iya, Pak...”

     “Begini, Pak Radit,” ucap Pak Dirut kemudian, “saya atas nama perusahaan ingin menyampaikan ucapan terima kasih atas proposal yang pernah Pak Radit buat bersama pimpinan personalia perusahaan. Dengan proposal itu, kita mendapat mitra usaha baru yang sangat kuat.”

     “Maksud Bapak, proposal yang kami susun dua hari yang lalu untuk diajukan kepada PT. Jayalindo Sejahtera itu?”

     “Bukan, bukan yang itu, tapi proposal kepada PT. Mitra Exim Persada sebulan yang lalu.”

     “Syukur alhamdulillah. Ikut merasa gembira dengan kabar ini, Pak.”

      “Tentu saja, Pak Radit. Ah ... hal yang kedua yang ingin saya sampaikan adalah ini ...,” sahut laki-laki paroh baya itu seraya menyodorkan amplop putih ke hadapan Radit. “Hanya sekedar tanda penghargaan perusahaan atas jasa Pak Radit. Memang tak seberapa memang jumlahnya.”

      “Apa ini, Pak?”

      “Silakan Pak Radit membukanya.”

      Dengan perasaan degdegan, Radit membuka amplop putih itu. Ternyata isinya selembar cek. Melihat isinya di luar dugaannya, membuatnya terhenyak.

     “Lima puluh juta ...?! Wah, bagi saya ini besar sekali, Pak ...?!”

     “Ya, semoga suatu saat nanti, jika proposal-proposal yang lain kita lolos, tentu Pak Radit pun akan mendapatkan bonus yang lebih besar dari itu, dan promosi kenaikan jabatan, tentunya.”

      “Terima kasih, ya Allah. Amin Allahumma amin. Terima kasih banyak ini, Pak.”

      “Sama-sama, Pak Radit. Oh ya, saya memberikan bonus liburan juga buat Pak Radit untuk hari ini hingga dua hari ke depan. Tolong juga, bonus itu Pak Radit rahasia saja pada yang lain. Khawatir akan ada perasaan cemburu atau ... ya macam itulah.”

      “Oh, baiklah, Pak. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih.”

      “Sama-sama, Pak Radit.”

      Sebenarnya, di luar pengetahuan Radit sama sekali, saham mayoritas perusahaan tempatnya bekerja saat ini,PT. Eximindo  Perkasa  berada dalam kepemilikan grup PT. Jaya Semesta, milik miliarder Abdul Kariem Pambudi, yang tak lain adalah ayah dari Aditya Pambudi sendiri. Artinya, saat ini Radit sedang menjadi seorang karyawan biasa di perusahaannya sendiri. Satu-satunya orang yang tahu tentang siapa sebenarnya Raditya Pambudi dalam perusahaan itu hanyalah sang dirutnya sendiri, yaitu Gunawan Dimitra.

      Dari kantor Radit langsung meluncur ke kantor bank untuk mengalihkan dana dalam cek itu ke rekeningnya, setelahnya meluncur ke beberapa restoran atau kafe yang tak jauh dari komplek kediamannya.

      Setelah menetapkan pada sebuah kafe yang terasa cocok dan kebetulan bisa menyiapkan acara bahagia buat sang putri kecilnya besok, ia langsung mentransfer sebagian anggaran ke norek manajemen kafe. Setelah beres ia langsung meluncur ke sebuah tempat percetakan kecil untuk memesan surat undangan untuk dibagikan kepada teman-temannya Noni besok pagi.

       Malamnya Nagita menanyakan perihal rencana acara ultahnya Noni. Ada raut keheranannya setelah Radit mengatakan bahwa semuanya sudah siap buat acara besok sore itu.

       “Jadi ... Mas telah mem-booking Niagara Cafe?”

       “Benar, Dik. Kenapa? Bukan booking, tapi setengah dari biayanya telah Mas bayarkan ke kafenya. Apakah Dik keberatan dengan tempatnya? Kan bagus tempatnya, dan nggak terlalu jauh dari sini,” sahut Radit sembari membalas chat WA dari beberapa kenalannya.

      “Bukan bagus lagi Mas, tapi lebih dari itu. Hanya masalahnya, Mas dapat uang dari mana untuk menyewa kafe itu? Tentunya tidaklah murah, kan ...?”

      “Oh, kebetulan Mas dapat bonus dari kantor. Mungkin rejekinya Noni, Dik.”

      “Bonus? Bonus atas apa? Mas kan hanya karyawan biasa?!”

      “Iya, Dik. Gini ceritanya, Mas kan sering dimintai manajer personalia untuk bantu menyusu proposal yang akan diajukan ke beberapa perusahaan yang mau bekerja sama dengan peristihaan kita. Dan kata dirutnya, salah satu proposal itu lolos. Nah, Mas diberi bonus. Gitu ceritanya.”

      “Waw, amazing! Mas tidak sedang membohongi saya, kan?” ucap Nagita, masih dengan sedikit tatapan curiga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status