Share

PART 04

Author: Aura Kisah
last update Last Updated: 2022-11-29 10:49:34

      Radit menghela nafas panjang sembari mengalihkan tatapannya ke wajah Nagita. “Astaghfirullahal adziim. Sejak kapan Mas berbohong ke kamu, Dik? Kalau Dik  tak percaya, ya boleh Dik tanyakan pada Pak Dirutnya Mas.”

      “Oke, oke, oke...!” potong Nagita. “Mas dikasih bonus berapa?”

       “Ya, cukup untuk biaya acara ultahnya Noni itu, Dik.”

      “Memangnya seluruh biaya di kafe itu berapa? Mas baru bayar DP-nya berapa?”

      “Seluruhnya dua puluh juta, Mas baru bayar setengahnya.”

      “Dua puluh juta ...?” Kedua mata Nagita langsung membeliak. “Kok mahal sekali, Mas? Apa itu ngfak berlebihan?”

      Radit tersenyum, dan, “Karena Mas ingin memenuhi janji Mas pada Noni untuk membuat pesta ultahnya meriah, ya tentu harus disiapkan acara pestanya yang bagus. Ya sekali-sekali, Dik, karena selama ini kan ultahnya Noni hanya diadakan secara sederhana di rumah ini.”

      “Iya, aku paham. Lantas ... Mas dapat bonus berapa dari kantor?”

      “Lima puluh juta,” sahut Radit, seolah-olah pada layar gawai di tangannya.

      “Apa ...!? Lima puluh juta ...?!” teriak Nagita.

      “Astaghafirullah haladziim ....! Bikin kaget saja sih kau, Dik?” Radit sampai mengelus dada.

      “I-ya, deh, aku minta maaf. Bo-boleh dong aku ... ditrasferin sebagian ...?”

      Radit tak menanggapi ucapan istrinya. Kedua jempol tangannya bermain di layar gawainya.

      Klik ...!

      Ada nada pesan yang masuk di gawainya Nagita, dan segera dibukannya. Sesaat kemudian kembali kedua matanya terbelalak. Namun kali ini belalaknya karena kaget bercampur gembira. Ketus di wajahnya sirna sekejap. Senyumannya pun menghiasi di setiap inci wajahnya.

     “Waw ... lima belas juta ...! Terima kasih ya, suamiku sayang?” puji Nagita dan spontan ia meraih leher suaminya dan mencium pipinya.

     “Eeh, eh, ada apa, nih? Kelihatannya girang sekali?” Bu Ratri muncul dari dalam kamarnya. “Bagi juga dong kebahagiaan kalian sama Ibu. Masyak Ibu hanya disuruh dengarin doang ...?!”

      “Heem. Berarti Ibu mencuri dengar omongan kami?”

      “Ya enggaklah, Git. Omongan kalian kan nggak kecil?!”

      “Tentu, Buk. Ibu cek hapenya. Barusan sekalian saya sudah transferkan buat Ibu juga, kok,” ucap Radit sambil tersenyum.

      “Oh ya? Bentar, ibu balik ke kamar dulu. Habis sholat Ibu belum buka hape Ibu.”

      Gita langsung merapatkan duduknya ke samping Radit dan berbisik, “Mas kasih Ibu berapa?”

      “Nggak banyak, Dik, hanya lima juta,” jawab Radit tanpa tekanan.

      “Lima jut ....?”

      Nagita tak melanjutkan ucapannya karena Bik Ipah muncul dari dalam dan berkata, “Terima kasih ya, Tuan, atas transferannya.”

      Leher Nagita spontan menegang dengan mata membeliak.

      “Iya, Bik, sama-sama. Oh ya Bik, tolong besok sore Bibik ikut juga ke acara ultahnya Noni, ya? Karena itu saya transfer sedikit uang ke Bibik biar bisa membeli pakaian baru, mungkin?”

       “Oh ... baik, Tuan...!”

      “Ok, Mas mau masuk dulu. Mau istirahat cepat karena besok Mas mau keluar lebih cepet,” ucap Radit pada Nagita sembari bangkit dari duduknya.

      Begitu Radit masuk kamar dan menutup pintunya, Nagita langsung bangkit dan menarik lengan Bik Ipah ke dalam ruang dapur.

      “Bibik ditransfer berapa oleh Tuan?”

      “Sa-satu juta lima ratus, Nyonya....”

      “Waah, baru dapat bonus sekali saja sudah royal, ya?” ucap Nagita, geram, ditujukan pada suaminya. “Bik, itu terlalu banyak, sudah seperti satu bulan gajinya Bibik. Sini ... Bibik transfer balik ke rekeningku lima ratus ribu!”

      “Ba-baik, Nya....”

* * *

      Sore hari, segenap undangan yang terdiri dari teman-teman TK beserta ibunya masing-masing telah berdatangan di tempat pesta ultahnya Noni. Para ibu gurunya Noni pun semuanya hadir. Noni terlihat sangat senang. Menurut penilaian Radit, pihak kafe sangat profesional dalam menyiapkan pesta itu. Hiasan dengan ciri khas dunia kanan-kanak ditata demikian bagus serta lampu-lampu kecil yang berkerlap-kerlip dengan berbagai warna. Semua biaya penyelenggaraan langsung dibayar lunas oleh Radit sebelum acara dilangsungkan.

     Seharusnya acara tiup lilinnya dilakukan tepat pukul 16.00 sore. Namun karena Nagita belum juga muncul, acara yang peling penting itu pun harus diundur. Kondisi itu membuat wajah Noni menjadi sedikit murung.

     “Dik, kau di mana? Ini acaranya harusnya sudah dimulai, loh,” Radit berusaha menghubungi Nagita.

     “Duh, maaf, Mas, ini aku mampir di pertemuan penting lagi dengan beberapa kolega. Acaranya dimulai saja, dan ucapkan selamat ultah dari aku buat Noni. Dan bilang kalau Mama ada urusan penting yang tak dapat Mama hindari,” sahut Nagita, enteng. Tak ada beban apa-apa yang tersirat dalam kalimatnya.

     “I-iya baik, Dik. Thank’s.”

     Radit langsung membisikkan kata-kata Nagita barusan kepada Noni. Gadis kecil berwajah imut itu manggut-manggut juga walau kekecewaaan terpancar sangat jelas di wajahnya.

     “Jadi acaranya kita mulai ya, Sayang?”

     “Iya, Papa ....”

     Radit kemudian berkata kepada segenap undangan yang hadir bahwa acara akan dimulai, semua diminta untuk mendekat, sebelum lilin ia nyalakan. Ketika Noni meniupkan api yang menyala lilin di atas lilin angka 6 dan padam, tepuk tangan pun bergemuruh yang disusul dengan Selamat Ulang Tahun yang dibawakan bersamaan.

      Wajah imut Noni kembali memancarkan senyuman bahagia. Keberadaan Mamanya di tempat itu telah ia lupakan. Orang yang pertama kali mencium pipinya dan mengucapkan selamat ultah buatnya adalah sang Papa, lalu Eyang Putri, Bu Ratri, lalu dilanjutkan oleh segenap teman-temannya dan ortu mereka.

      Pada saat acara makan-makan, Radit menerima panggilan telepon dari seseorang.

     “Okey, sekitar setengah jam lagi saya sudah ada di lokasi. Ya, terima kasih.”

     Radit segera menyelesaikan makanannya. Setelah itu bangkit dari kursi dan  membisikkan sesuatu kepada ibu mertua, Bu Ratri, dan putri kecilnya, lalu meninggalkan tempat acara.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 52

    Dengan berbagai pertimbangan, Nagita pun memutuskan untuk mengajak Radit untuk bicara. Akan tetapi, ketika ia hendak membuka mulutnya, laki-laki yang telah berstatus sebagai mantan suaminya itu tiba-tiba membalikkan tubuhnya, dan tidur miring memeluk guling dengan posisi membelakangi Noni dan dirinya. Nagita menghela nafasnya lalu mengecilnya nyala lampu tidur. Selanjutnya ia berusaha untuk memejamkan matanya. Saat itu jarum jam dinding telah menunjukkan pukul 00.22. Namun pada keesokan harinya ia masih memikirkan tentang rencananya itu. Setelah memikirkannya secara berulang-ulang, Nagita pun memutuskan untuk menelepon Radit. Ia menyampaikan keinginannya untuk bicara itu dengan sangat hati-hati. “Ya silakan bicara saja, insha Allah aku akan mendengarkannya?” sahut Radit. Saat itu kebetulan ia baru saja selesai melakukan pengecekan terhadap file-file laporan yang masuk pada hari itu yang tertera pada layar laptop di hadapannya. “Aku ingin bicara empat mata d

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 51

    Beberapa bulan kemudian Noni sudah menemukan kembali keceriaannya. Pihak tim dokter yang menanganinya sudah memperbolehkan ia untuk check out dari rumah sakit. Artinya sudah diperbolehkan untuk dibawa pulang ke Indonesia. Hanya saja, gadis kecil itu selanjutnya masih harus menjalani terapi-terapi khusus di rumah sakit Indonesia secara berkala, terutama untuk mengetahui perkembangan dari kondisi penyakitnya. Namun dokter di Beijing itu berpendapat, bahwa Noni akan mendapatkan kesehatan kesehatannya secara optimal seiring waktu. Setelah di Indonesia, gadis itu lebih banyak tidur bersama kedua orang tuanya, Radit dan Nagita. Ia sangat bahagia karena ia bisa kembali tidur di antara kedua orang yang paling disayanginya. Ia memang selalu rindu pada dongeng-dongeng yang selalu dituturkan oleh kedua orang tuanya itu untuk mengantarkannya ke dunia mimpi. “Oh ya, Sayang,” ucap Radit suatu malam pada Noni, sebelum ia menuturkan sebuah dongeng pada sang putrinya, “sembari menungg

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 50

    Beberapa menit kemudian terdengar ketukan di pintu. “Ya, silakan masuk,” ucap Radit. “Selamat siang, Mas,” salam Ningrum sembari menutup kembali pintunya. “Silakan duduk.” “Terima kasih.” Raditya menatap wajah wanita di depannya dan tersenyum. “Bagaimana keadaanmu hari ini?” tanya Raditya. “Alhamdulillah baik, Mas.” “Tadi malam Ning punya mimpi apa?” “Mimpi?” Kedua Ningrum saling merapat. Terasa ada semacam kejanggalan yang ia rasakan dalam pertanyaan itu. “Malah aku nggak sempet mimpi kayaknya, Mas. Tidur saja baru jam dua dini hari baru bisa terlelap, trus bangun subuh. Kenapa, Mas?” “Ntar kujawab pertanyaanmu, aku ingin lanjut bertanya dulu,” ucap Radit. “Kenapa tidurnya terlambat?” “Hm, nggak tau juga, Mas. Terasa gelisah saja, padahal aku sedang tidak memikirkan sesuatu apa pun yang sifatnya berat.” “Hm, berarti itu pengganti mimpinya!” celetuk Radit. “Maksud, Mas?” “Begini, tadi papaku video ca

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 49

    Kondisi Raditya sudah dinyatakan pulih seratus persen setelah beberapa bulan pasca operasi transplantasi. Kondisi Noni pun makin mengarah ke kemajuan. Hanya saja ia masih terus menjalani siklus kemoterasi. Namun tim dokter memprediksi, bahwa kesembuhan Noni bisa lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Sebuah keajaiban. Setelah benar-benar klir dinyatakan sembuh sempurna, Raditya diperbolehkan oleh sang ayah, Abdul Karim Pambudi, untuk kembali mengurus perusahaan. Ia tidak hanya menangani secara online, namun juga pulang ke Indonesia. Seminggu di Indonesia dan seminggu di Beijing secara rutin. Sementara Pak Abdul Karim lebih betah mengendalikan kerajaan bisnisnya di Beijing dengan dibantu oleh beberapa tenaga ahlinya yang didatangkan ke Beijing, walau sekali-sekali beliau datang ke Jakarta. Laki-laki paruh baya itu terlihat lebih betah, terlebih karena beliau di Beijing ia selalu ada Bu Ratri untuk temannya bercerita. Begitu pun Bu Ratri, terlihat selalu c

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 48

    Setelah dua minggu dalam masa menunggu, tim dokter memberikan kabar yang menggembirakan kepada Radit bahwa telah ada seseorang yang menyatakan siap untuk menjadi pendonornya. “Hanya saja,” kata sang dokter yang diterjemahkan oleh Nona Lie, “dengan alasan tertentu, sang pendonor meminta agar kami merahasiakan dulu identitasnya kepada Tuan Raditya.” “Mengapa seperti itu? Harusnya aku tahu siapa orang yang mau mengorbankan dirinya untuk menolomng hidup aku, Pak?” Radit justru menatap dan bertanya pada papanya. “Ya, seperti Pak Dokter barusan bilang, dengan alasan tertentu sang pendonor minta identitasnya untuk dirahasiapakan pada kamu. Papa kira nggak masalah. Mungkin itu berkenaan dengan privacy-nya sang pendonor?” Radit menoleh pada Nagita, “Apakah kamu yang akan melakukannya?” Nagita menggeleng, “Bukan, Mas. Lagi pula ... aku belum lama mendonorkan sumsum tulang kepada Noni. Apakah seseorang boleh mendonorkan bagian tubuhnya yang berbeda s

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 47

    Setelah semua perencanaan telah disiapkan secara matang, seminggu kemudian, penerbangan menuju Negeri Tirai Bambu pun dilakukan. Perjalanan selama lebih dari tujuh jam dari Bandara Soetta menuju Beijing Capital International Airport terasa cukup melelahkan. Setiba di Beijing, Radit dan Noni langsung melakukan chek in di rumah sakit yang dirujuk untuk melakukan pemeriksaan klinis pertama. Untuk Radit masih dalam tahap dilakukan general chek-up. Dari situ akan dimulai riset klinis untuk menentukan calon pendonor. Dan hasilnya akan segera keluar dalam beberapa hari ke depan. Sementara Noni, kondisinya memang drop, jadi harus langsung dilakukan perawatan yang intensif. Dari hasil test darah, darahnya lumayan naik. Tim dokter yang menanganinya menyarankan agar pasien dirawat inap supaya mendapatkan penanganan medis yang maksimal. Kondisi dropnya Noni dipicu juga oleh kecapaian akibat perjalanan udara yang cukup lama dan kondisi dari penyakit leukemia yang diderit

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 46

    “Ketika Noni divonis mengidap penyakit leukemia dan melihatnya, dunia rasanya terbalik,” ucap Radit. ”Saat itu pun aku bertekad akan membawa Noni untuk berobat ke sebuah rumah sakit terbaik di dunia ini, di mana pun itu. Dan perasaan itu kini dirasakan juga oleh Papa. Jadi, jika Papa ingin membawa kami ke untuk berobat ke Tiongkok, maka tak ada alasan bagi aku untuk menolaknya, Pap. Tapi semuanya harus ada di sekitar kami. Semua harus ikut. Bahkan Bi Ifah pun harus ikut.” “Ya tentu, dong, Dit. Soal itu tak perlu Radit ucapkan lagi, paham jauh lebih paham arti sebuah keluarga bagi kehidupan seseorang. Jika ada keluarga kita yang lain lagi mau ikut, ya silakan. Jet pribadi Papa bisa memuat hingga sembilan belas penumpang.” “Terima kasih, Pap,” ucap Radit lalu bangkit dari duduknya dan melangkah ke ayah Papanya lalu memeluk tubuh laki-laki itu dengan erat dan terisak. “Papa adalah orang yang paling memahami aku di atas dunia ini. Entah bagaimana lagi aku harus mengu

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 45

    Pasca keluar dari rumah sakit, atas permintaan sang papa, Pak Abdul Karim Pambudi, setelah memberikan berbagai alasan yang sangat masuk akal, terutama alasan yang berkenaan dengan kondisinya dan Noni, Radit pun memutuskan untuk pindah ke rumah papanya. “Rumah itu terlalu luas untuk Papa diami seorang diri. Alangkah bagusnya jika rumah seluas itu ditempati oleh banyak orang,” begitu alasan lain yang dikemukakan oleh Pak Abdul Karim Pambudi. Radi memboyong semua keluarganya, termasuk sang asisten rumah tangganya. Bi Ipah. Kecuali Bi Ipah, Radit dan keluarga kecilnya, termasuk ibu mertuanya, menempati ruangan di lantai dua. Radit memenuhi janjinya pada sang buah hati, Noni, untuk selalu tidur bersamanya. Jadi, sejak saat itu mereka bertiga menempati satu kamar dan tidur di tempat tidur yang sama dengan Noni tidur di tengah. Namun demikian, kedekatan yang sesungguhnya antara Radit dan Nagita itu belum kembali. Jarak itu masih tercipta. Radit

  • Sesungguhnya Aku Bukan Suami yang Miskin   PART 44

    “Oh iya, Pak Radit. Dengan berat hati saya harus sampaikan, bahwa hasil test darahnya Noni ....” Radit tak mampu lagi mendengarkan kelanjutan dari kalimatnya Dokter Ediman. Ia terlanjur lemas dan tak sadarkan diri. Entah berapa lama ia pingsan. Hanya saja ketika siuman, ia telah berada di atas sebuah pembaringan dalam sebuah kamar yang berwarna serba putih dengan nasal kanul yang terpasang pada kedua lubang hidungnya. Selanjutnya Radit melihat dalam ruangan itu ada wajah papanya, Abdul Karim, Ibu Ratri, Nagita, Ningrum, dan Noni. Ia sedang dirawat di ruang VVIP di sebuah rumah sakit. Melihatnya siuman, semua spontan bangkit dari duduk mereka dan berdiri di sisi bed rawat. “Berapa lama aku pingsan?” tanya Radit dengan suara lemah, tanpa ditujukan secara khusus pada siapa pun. “Tadi siang kamu jatuh pingsan, sekarang sudah mau isya’,” yang menjawab Pak Abdul Karim Pambudi, papanya, dan, “Apa sebenarnya yang kamu rasakan, Dit?” Radit tak

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status