Radit menghela nafas panjang sembari mengalihkan tatapannya ke wajah Nagita. “Astaghfirullahal adziim. Sejak kapan Mas berbohong ke kamu, Dik? Kalau Dik tak percaya, ya boleh Dik tanyakan pada Pak Dirutnya Mas.”
“Oke, oke, oke...!” potong Nagita. “Mas dikasih bonus berapa?”
“Ya, cukup untuk biaya acara ultahnya Noni itu, Dik.”
“Memangnya seluruh biaya di kafe itu berapa? Mas baru bayar DP-nya berapa?”
“Seluruhnya dua puluh juta, Mas baru bayar setengahnya.”
“Dua puluh juta ...?” Kedua mata Nagita langsung membeliak. “Kok mahal sekali, Mas? Apa itu ngfak berlebihan?”
Radit tersenyum, dan, “Karena Mas ingin memenuhi janji Mas pada Noni untuk membuat pesta ultahnya meriah, ya tentu harus disiapkan acara pestanya yang bagus. Ya sekali-sekali, Dik, karena selama ini kan ultahnya Noni hanya diadakan secara sederhana di rumah ini.”
“Iya, aku paham. Lantas ... Mas dapat bonus berapa dari kantor?”
“Lima puluh juta,” sahut Radit, seolah-olah pada layar gawai di tangannya.
“Apa ...!? Lima puluh juta ...?!” teriak Nagita.
“Astaghafirullah haladziim ....! Bikin kaget saja sih kau, Dik?” Radit sampai mengelus dada.
“I-ya, deh, aku minta maaf. Bo-boleh dong aku ... ditrasferin sebagian ...?”
Radit tak menanggapi ucapan istrinya. Kedua jempol tangannya bermain di layar gawainya.
Klik ...!
Ada nada pesan yang masuk di gawainya Nagita, dan segera dibukannya. Sesaat kemudian kembali kedua matanya terbelalak. Namun kali ini belalaknya karena kaget bercampur gembira. Ketus di wajahnya sirna sekejap. Senyumannya pun menghiasi di setiap inci wajahnya.
“Waw ... lima belas juta ...! Terima kasih ya, suamiku sayang?” puji Nagita dan spontan ia meraih leher suaminya dan mencium pipinya.
“Eeh, eh, ada apa, nih? Kelihatannya girang sekali?” Bu Ratri muncul dari dalam kamarnya. “Bagi juga dong kebahagiaan kalian sama Ibu. Masyak Ibu hanya disuruh dengarin doang ...?!”
“Heem. Berarti Ibu mencuri dengar omongan kami?”
“Ya enggaklah, Git. Omongan kalian kan nggak kecil?!”
“Tentu, Buk. Ibu cek hapenya. Barusan sekalian saya sudah transferkan buat Ibu juga, kok,” ucap Radit sambil tersenyum.
“Oh ya? Bentar, ibu balik ke kamar dulu. Habis sholat Ibu belum buka hape Ibu.”
Gita langsung merapatkan duduknya ke samping Radit dan berbisik, “Mas kasih Ibu berapa?”
“Nggak banyak, Dik, hanya lima juta,” jawab Radit tanpa tekanan.
“Lima jut ....?”
Nagita tak melanjutkan ucapannya karena Bik Ipah muncul dari dalam dan berkata, “Terima kasih ya, Tuan, atas transferannya.”
Leher Nagita spontan menegang dengan mata membeliak.
“Iya, Bik, sama-sama. Oh ya Bik, tolong besok sore Bibik ikut juga ke acara ultahnya Noni, ya? Karena itu saya transfer sedikit uang ke Bibik biar bisa membeli pakaian baru, mungkin?”
“Oh ... baik, Tuan...!”
“Ok, Mas mau masuk dulu. Mau istirahat cepat karena besok Mas mau keluar lebih cepet,” ucap Radit pada Nagita sembari bangkit dari duduknya.
Begitu Radit masuk kamar dan menutup pintunya, Nagita langsung bangkit dan menarik lengan Bik Ipah ke dalam ruang dapur.
“Bibik ditransfer berapa oleh Tuan?”
“Sa-satu juta lima ratus, Nyonya....”
“Waah, baru dapat bonus sekali saja sudah royal, ya?” ucap Nagita, geram, ditujukan pada suaminya. “Bik, itu terlalu banyak, sudah seperti satu bulan gajinya Bibik. Sini ... Bibik transfer balik ke rekeningku lima ratus ribu!”
“Ba-baik, Nya....”
* * *
Sore hari, segenap undangan yang terdiri dari teman-teman TK beserta ibunya masing-masing telah berdatangan di tempat pesta ultahnya Noni. Para ibu gurunya Noni pun semuanya hadir. Noni terlihat sangat senang. Menurut penilaian Radit, pihak kafe sangat profesional dalam menyiapkan pesta itu. Hiasan dengan ciri khas dunia kanan-kanak ditata demikian bagus serta lampu-lampu kecil yang berkerlap-kerlip dengan berbagai warna. Semua biaya penyelenggaraan langsung dibayar lunas oleh Radit sebelum acara dilangsungkan.
Seharusnya acara tiup lilinnya dilakukan tepat pukul 16.00 sore. Namun karena Nagita belum juga muncul, acara yang peling penting itu pun harus diundur. Kondisi itu membuat wajah Noni menjadi sedikit murung.
“Dik, kau di mana? Ini acaranya harusnya sudah dimulai, loh,” Radit berusaha menghubungi Nagita.
“Duh, maaf, Mas, ini aku mampir di pertemuan penting lagi dengan beberapa kolega. Acaranya dimulai saja, dan ucapkan selamat ultah dari aku buat Noni. Dan bilang kalau Mama ada urusan penting yang tak dapat Mama hindari,” sahut Nagita, enteng. Tak ada beban apa-apa yang tersirat dalam kalimatnya.
“I-iya baik, Dik. Thank’s.”
Radit langsung membisikkan kata-kata Nagita barusan kepada Noni. Gadis kecil berwajah imut itu manggut-manggut juga walau kekecewaaan terpancar sangat jelas di wajahnya.
“Jadi acaranya kita mulai ya, Sayang?”
“Iya, Papa ....”
Radit kemudian berkata kepada segenap undangan yang hadir bahwa acara akan dimulai, semua diminta untuk mendekat, sebelum lilin ia nyalakan. Ketika Noni meniupkan api yang menyala lilin di atas lilin angka 6 dan padam, tepuk tangan pun bergemuruh yang disusul dengan Selamat Ulang Tahun yang dibawakan bersamaan.
Wajah imut Noni kembali memancarkan senyuman bahagia. Keberadaan Mamanya di tempat itu telah ia lupakan. Orang yang pertama kali mencium pipinya dan mengucapkan selamat ultah buatnya adalah sang Papa, lalu Eyang Putri, Bu Ratri, lalu dilanjutkan oleh segenap teman-temannya dan ortu mereka.
Pada saat acara makan-makan, Radit menerima panggilan telepon dari seseorang.
“Okey, sekitar setengah jam lagi saya sudah ada di lokasi. Ya, terima kasih.”
Radit segera menyelesaikan makanannya. Setelah itu bangkit dari kursi dan membisikkan sesuatu kepada ibu mertua, Bu Ratri, dan putri kecilnya, lalu meninggalkan tempat acara.
Saat melintas di sebuah jalan yang akan memasuki wilayah Tangsel, tanpa sengaja Radit melihat sebuah mobil Baleno merah yang sangat dikenalnya terparkir di sebuah restoran. Dengan spontan ia membelokkan sepeda motornya ke areal parkir restoran itu. Baru saja ia mematikan mesin sepeda motonya, ia melihat Nagita keluar dari restoran besar itu. “Dik, kau malah di sini?” Nagita sangat kaget dengan keberadaan Radit di tempat itu. Tapi hanya sesaat. Kemudian dengan santai ia menjawab, “Iya, ada acara penting kolega. Dan Mas sendiri kenapa ada di sini? Apakah acaranya sudah selesai?” Saat Radit hendak menjawab, beberapa orang laki-laki muda bersama pasangan mereka keluar dari restoran. Kepada Nagita para pasangan itu melambaikan tangan mereka kepada Nagita dan dibalas oleh Nagita dengan hal yang serupa. Seorang pria muda yang keluar sendirian langsung berjalan mendekati Nagita dan berkata, “Terima kasih ya, Mbak Cantik, atas bantuan dananya, sehingga acaraku terlaksana
“Sekarang tubuhmu agak melorot, Dit? Agak kurusaan, dan wajahmu tidak sesegar dulu,” ucap Pak Karim sembaru mengiris steak daging di piringnya untuk kemudian memasukkannya ke mulut dengan menggunakan garpu. Saat itu ia mengajak Radit untuk menikmati makan sore di sebuah restoran di daerah Cengkareng. “Biasalah, Pap, aku kan sudah berkeluarga, dan bukan lagi seorang pemuda manja yang hanya bisa menikmati segala fasilitas yang Papa sediakan seperti dulu. Kan Papa tadi sudah bilang, bahwa aku sedang berpetualang untuk mencari jatidiri. Hehehe ...,” sahut Radit. Ayah dan anak itu pun tertawa bersama. “Rumah terasa sangat sepi sejak tak ada kamu, Dit. Lebih-lebih ruang batin Papa,” ucap Pak Karim. “Lantas kapan rencanamu membuka semua tentang jati dirimu pada anak dan istrimu? Papa juga sangat merindukan cucu papa yang cantik dan mungil itu.” “Masih butuh waktu lagi, Pap,” sahut Radit seolah-olah pada steak daging yang sedang diirisnya. “Jujur, menantu Papa itu masi
“Pak Radit...?” “Eh, iya, Bu Ningrum...?” Agak tergagap Radit menjawab panggilan atasannya itu, sehingga ia memasukkan begitu saja barang-barangnya ke dalam tak kerjanya. Ia bersiap akan pulang. “Pak Radit bisa lanjut membantu saya untuk menyusun proposal yang tak jadi kita susun tempo hari?” “Malam ini, Bu?” “Iya, Pak. Pak Dirut ingin proposal itu selesai malam ini agar bisa diajukan esok hari. Bagaimana, apakah Pak Radit bisa?” Jika itu permintaan Pak Dirut, tentu sangat sulit baginya untuk menolak. Beliau sudah sangat baik terhadapnya pada momen ia sedang kritis keuangan. Memang, selama ini ia dan Bu Ningrum, sang manajer muda itu itu, selalu diminta oleh beliau untuk bekerja sama dalam menyiapkan surat-surat jenis itu. Proposal hasil penyusunan mereka itu selalu lolos dan terima oleh calon perusahaan mitra. Radit pun akhirnya mengangguk tegas. “Tentu, Bu. Pasti bisa. Sekarang ya, Bu.” “Iya, Pak Radit. Mudah-mudahan kita bisa
Diskusi Radit dengan Bu Ningrum terhenti oleh nada panggilan di ponselnya. Mengetahui bahwa yang memanggil adalah Nagita, Radit segera mengangkat ponselnya, setelah meminta maaf kepada Bu Ningrum. “Ya Dik, assalamualaikum ....” Tanpa menjawab salam, Nagita langsung saja mengutarakan maksudnya dengan nada yang masih tak ramah. Kayaknya ia masih menyimpan kemarahannya. “Ntar Mas pulang mampir dulu ke restoran! Aku dan ibu belum makan, nih!” “Oh, i-iya, Dik. Siap ...!” “Kok teleponnya hanya sebentar, Pak Radit?” “Oh iya, Bu. Istri saya hanya ingin menyampaikan sebuah pesan. Maaf, sampai di mana tadi, Bu?” Bu Ningrum menatap wajah laki-laki di depannya dengan sedikit tersenyum. Sesungguhnya, ia dapat membaca kegundahan di wajah laki-laki itu. Namun ia hanya pura-pura tidak menyadarinya saja. Pada saat yang sama, pikiran Radit memang sudah tidak fokus lagi. Di benaknya hanya terbayang wajah tak suka Nagita. Namun ia tetap berusaha un
Sebenarnya, Radit menginginkan sang istri menjadi ibu rumah tangga biasa saja dan mengurus Noni yang saat itu masih balita dan membutuhkan perhatian penuh dari ibunya. Tetapi Nagita bersikeras ingin menjadi wanita pekerja dan berkarier. “Lagian, Mas, kan sayang juga kan jika ijazah sarjana luar negeriku nggak diaplikasikan di dunia kerja,” ucap Nagita saat itu. Sebuah alasan yang memang logis, dan membuat Radit tak punya argumen apa pun untuk melarangnya. “Baiklah kalau begitu, Dik,” Radit akhirnya mengamini.. “Kausiapkan saja surat-surat yang dubutuhkan untuk melamar. Aku akan coba memasukkannya ke sebuah perusahaan. Kebetulan di perusahaan itu aku punya kenalan. Ya, bisa dikatakan sebagai pejabat penting dalam perusahaan itu. Siapa tahu dia bisa membantu.” “Jadi...aku tak perlu memasukkannya sendiri?” “Tak perlu. Dik tinggal tunggu panggilan saja.” Saat mengantarkan surat lamaran istrinya ke perusahaan yang dimaksud, Radit mewanti-wanti
Saat mereka menikmati hidangan dengan kepiting Alaska, baik Ningrum maupun Radit hanya sekali-sekali membicara sesuatu hal. Dan itu pun didominasi oleh Ningrum. Entah mengapa, saat itu ia merasa jauh lebih dekat dengan bawahannya itu. Ia lebih sering melihat ke depan. Ia juga merasa, behwa ternyata Raditya pria yang simpatik, juga tampan, tentunya. Hal yang selama ini seolah-olah luput dari penilaiannya. Saat keduanya sedang menikmati makan siang itu, kegiatan tangan Radit di atas piring tiba-tiba terhenti. Pandangan matanya terpaku pada dua tamu restoran yang saat itu mengambil meja di pojok lain ruangan restoran. Itu adalah Nagita bersama seorang laki-laki. Radit merasa tak asing dengan laki-laki yang datang bersama istrunya itu. Tanpa diketahui oleh Ningrum, Radit terus mengarahkan pandangannya ke arah itu. Ketika tiba-tiba laki-laki itu melap bagian wajah Nagita menggunakan tisu, darahnya berdesir cepat. Saat itu juga ia merasa telah dicurangi oleh Nagita. Selera
Baru kali ini Bu Ratri melihat Radit emosi seperti itu. Selama ini sang menantu itu selalu tenang dan sabar menghadapi sikap Nagita yang terkadang memang suka semena-mena terhadapnya. Ia tentu tidak bisa menafikan sifat baik sang menantu itu. Jika ia sampai emosi begitu, berarti kebenarannya tidak boleh ia abaikan. “Mungkin ada hal penting yang sedang mereka lakukan saat itu, Dit. Jadi, apa kenyataannya tidak seperti apa yang kamu lihat dan pikirkan. Terlebih kita sedang berada di sebuah restoran seperti yang kaubilang. Apakah itu masuk kategori berselingkuh atau semacamnya itu?” “Aku ini laki-laki dan seorang suami, Bu, tentu bisa membedakan mana perilaku wajar dan tak wajar istrinya! Nih, Ibu lihat ini. Beberapa hari yang lalu kalung ini saya ingin membelinya buat Nagita. Tapi pada saat yang sama, laki-laki yang saya lihat bersama Nagita tadi lebih dahulu meminta kalung ini pada penjaga gerainya. Tanggal dan tempat pembelian pun persis sama.” Bu Ratri mengambil
Melihat buah hatinya terlihat ketakutan seperti itu, Radit segera memeluk dan mencium Noni berkali-kali. Ia memejamkan kedua matanya dan mengucapkan istighfar berkali-kali. Lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia melepaskan pelukannya dan berdiri. Selanjutnya tanpa meninggalakan kalimat apa-apa, ia langsung keluar dari kamar dan pergi dari rumah dengan sepeda motornya. Di sebuah taman publik di daerah Menteng ia duduk merenung seorang diri. Saat itu a merasakan sakit yang sangat menghujam ulu hatinya. Kata-kata Nagita baginta laksana sebilah meteor yang menyayat malam. Tajam dan menikam. Berkali-kali pula ia menyeka kedua sudut matanya dengan sisi ujung telunjuknya. Ia tak nyaris tak mampu membedakan, saat itu air matanya keluar akibat apa? Akibat sakit ataukah karena sebuah penyesalan? Oh, tidak. Ia sama sekali tidak merasa menyesal dengan pilihannya. Mungkin hanya karena sakit dan kecewa saja. Radit teringat wajah Papanya, dan tiba-tiba ia sangat merindukannya. I