Share

PART 04

      Radit menghela nafas panjang sembari mengalihkan tatapannya ke wajah Nagita. “Astaghfirullahal adziim. Sejak kapan Mas berbohong ke kamu, Dik? Kalau Dik  tak percaya, ya boleh Dik tanyakan pada Pak Dirutnya Mas.”

      “Oke, oke, oke...!” potong Nagita. “Mas dikasih bonus berapa?”

       “Ya, cukup untuk biaya acara ultahnya Noni itu, Dik.”

      “Memangnya seluruh biaya di kafe itu berapa? Mas baru bayar DP-nya berapa?”

      “Seluruhnya dua puluh juta, Mas baru bayar setengahnya.”

      “Dua puluh juta ...?” Kedua mata Nagita langsung membeliak. “Kok mahal sekali, Mas? Apa itu ngfak berlebihan?”

      Radit tersenyum, dan, “Karena Mas ingin memenuhi janji Mas pada Noni untuk membuat pesta ultahnya meriah, ya tentu harus disiapkan acara pestanya yang bagus. Ya sekali-sekali, Dik, karena selama ini kan ultahnya Noni hanya diadakan secara sederhana di rumah ini.”

      “Iya, aku paham. Lantas ... Mas dapat bonus berapa dari kantor?”

      “Lima puluh juta,” sahut Radit, seolah-olah pada layar gawai di tangannya.

      “Apa ...!? Lima puluh juta ...?!” teriak Nagita.

      “Astaghafirullah haladziim ....! Bikin kaget saja sih kau, Dik?” Radit sampai mengelus dada.

      “I-ya, deh, aku minta maaf. Bo-boleh dong aku ... ditrasferin sebagian ...?”

      Radit tak menanggapi ucapan istrinya. Kedua jempol tangannya bermain di layar gawainya.

      Klik ...!

      Ada nada pesan yang masuk di gawainya Nagita, dan segera dibukannya. Sesaat kemudian kembali kedua matanya terbelalak. Namun kali ini belalaknya karena kaget bercampur gembira. Ketus di wajahnya sirna sekejap. Senyumannya pun menghiasi di setiap inci wajahnya.

     “Waw ... lima belas juta ...! Terima kasih ya, suamiku sayang?” puji Nagita dan spontan ia meraih leher suaminya dan mencium pipinya.

     “Eeh, eh, ada apa, nih? Kelihatannya girang sekali?” Bu Ratri muncul dari dalam kamarnya. “Bagi juga dong kebahagiaan kalian sama Ibu. Masyak Ibu hanya disuruh dengarin doang ...?!”

      “Heem. Berarti Ibu mencuri dengar omongan kami?”

      “Ya enggaklah, Git. Omongan kalian kan nggak kecil?!”

      “Tentu, Buk. Ibu cek hapenya. Barusan sekalian saya sudah transferkan buat Ibu juga, kok,” ucap Radit sambil tersenyum.

      “Oh ya? Bentar, ibu balik ke kamar dulu. Habis sholat Ibu belum buka hape Ibu.”

      Gita langsung merapatkan duduknya ke samping Radit dan berbisik, “Mas kasih Ibu berapa?”

      “Nggak banyak, Dik, hanya lima juta,” jawab Radit tanpa tekanan.

      “Lima jut ....?”

      Nagita tak melanjutkan ucapannya karena Bik Ipah muncul dari dalam dan berkata, “Terima kasih ya, Tuan, atas transferannya.”

      Leher Nagita spontan menegang dengan mata membeliak.

      “Iya, Bik, sama-sama. Oh ya Bik, tolong besok sore Bibik ikut juga ke acara ultahnya Noni, ya? Karena itu saya transfer sedikit uang ke Bibik biar bisa membeli pakaian baru, mungkin?”

       “Oh ... baik, Tuan...!”

      “Ok, Mas mau masuk dulu. Mau istirahat cepat karena besok Mas mau keluar lebih cepet,” ucap Radit pada Nagita sembari bangkit dari duduknya.

      Begitu Radit masuk kamar dan menutup pintunya, Nagita langsung bangkit dan menarik lengan Bik Ipah ke dalam ruang dapur.

      “Bibik ditransfer berapa oleh Tuan?”

      “Sa-satu juta lima ratus, Nyonya....”

      “Waah, baru dapat bonus sekali saja sudah royal, ya?” ucap Nagita, geram, ditujukan pada suaminya. “Bik, itu terlalu banyak, sudah seperti satu bulan gajinya Bibik. Sini ... Bibik transfer balik ke rekeningku lima ratus ribu!”

      “Ba-baik, Nya....”

* * *

      Sore hari, segenap undangan yang terdiri dari teman-teman TK beserta ibunya masing-masing telah berdatangan di tempat pesta ultahnya Noni. Para ibu gurunya Noni pun semuanya hadir. Noni terlihat sangat senang. Menurut penilaian Radit, pihak kafe sangat profesional dalam menyiapkan pesta itu. Hiasan dengan ciri khas dunia kanan-kanak ditata demikian bagus serta lampu-lampu kecil yang berkerlap-kerlip dengan berbagai warna. Semua biaya penyelenggaraan langsung dibayar lunas oleh Radit sebelum acara dilangsungkan.

     Seharusnya acara tiup lilinnya dilakukan tepat pukul 16.00 sore. Namun karena Nagita belum juga muncul, acara yang peling penting itu pun harus diundur. Kondisi itu membuat wajah Noni menjadi sedikit murung.

     “Dik, kau di mana? Ini acaranya harusnya sudah dimulai, loh,” Radit berusaha menghubungi Nagita.

     “Duh, maaf, Mas, ini aku mampir di pertemuan penting lagi dengan beberapa kolega. Acaranya dimulai saja, dan ucapkan selamat ultah dari aku buat Noni. Dan bilang kalau Mama ada urusan penting yang tak dapat Mama hindari,” sahut Nagita, enteng. Tak ada beban apa-apa yang tersirat dalam kalimatnya.

     “I-iya baik, Dik. Thank’s.”

     Radit langsung membisikkan kata-kata Nagita barusan kepada Noni. Gadis kecil berwajah imut itu manggut-manggut juga walau kekecewaaan terpancar sangat jelas di wajahnya.

     “Jadi acaranya kita mulai ya, Sayang?”

     “Iya, Papa ....”

     Radit kemudian berkata kepada segenap undangan yang hadir bahwa acara akan dimulai, semua diminta untuk mendekat, sebelum lilin ia nyalakan. Ketika Noni meniupkan api yang menyala lilin di atas lilin angka 6 dan padam, tepuk tangan pun bergemuruh yang disusul dengan Selamat Ulang Tahun yang dibawakan bersamaan.

      Wajah imut Noni kembali memancarkan senyuman bahagia. Keberadaan Mamanya di tempat itu telah ia lupakan. Orang yang pertama kali mencium pipinya dan mengucapkan selamat ultah buatnya adalah sang Papa, lalu Eyang Putri, Bu Ratri, lalu dilanjutkan oleh segenap teman-temannya dan ortu mereka.

      Pada saat acara makan-makan, Radit menerima panggilan telepon dari seseorang.

     “Okey, sekitar setengah jam lagi saya sudah ada di lokasi. Ya, terima kasih.”

     Radit segera menyelesaikan makanannya. Setelah itu bangkit dari kursi dan  membisikkan sesuatu kepada ibu mertua, Bu Ratri, dan putri kecilnya, lalu meninggalkan tempat acara.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status