Tentang keberadaan mobil mengintai itu sama sekali tak disadari oleh Nagita maupun Dony. Bahkan setelah Dony dan Nagita masuk ke dalam rumah itu, laki-laki dalam mobil Xpander itu sempat mengambil gambar rumah mewah itu sebelum pergi dari komplek itu. Sementara itu, Dony sedang membanggakan rumah itu kepada Nagita, dan Nagita menanggapinya dengan wajah binar bahagia. “Jadi, rumah ini akan Mas atas-namakan namaku?” tanya Nagita. “Tentu, Honey. Tapi tentu saja setelah Honey memenuhi sebuah syarat yang kukatakan itu, yaitu ...?” “Aku harus mengajukan gugatan cerai pada suamiku yang lemah dan tak berguna itu!” lanjut Nagita. “Pintar!” tandas Dony Setiawan, lalu keduanya tertawa bersama sambil berpelukan dan berciuman sesaat. “Tentu, Honey. Aku memang sudah terlalu bosan hidup penuh kepura-puraan dengan dia,” ucap Nagita lagi sambil menatap wajah Dony yang masih dalam pelukannya. “Tapi Honey harus sedikit bersabar. Aku sedang merencanakan suatu ha
“Ini rumah saya, Nona! Dan Anda keluar dari rumah saya! Keluar!!” yang menjawab Nagita dengan wajah makin terlihat emosi dan angkuh. Tiba-tiba ia menepuk dahinya sendiri dan lanjut menuding, “Atau jangan-jangan, oh Tuhan! Anda pasti selingkuhan suami saya? Hm, saya jadi sadar dan tahu sekarang, ternyata Mas hanya berpura-pura marah dan emosi ketika melihat aku bersama laki-laki lain ya, hanya untuk menutup kebusukannmu sendiri!” “Diam jangan sembarangan bicara!!” bentak Radit. “Beliau wanita baik-baik dan bukan perempuan yang tak berahlak seperti kamu! Kamu wanita yang sudah bersuami tapi selalu berduaan dengan laki-laki lain!! Kamu busuk!!” “Mas yang busuk!! Busuk, lemah, dan tak berguna!!” Nagita balas membentak dengan wajah seolah hendak menelan suaminya bulat-bulat. “Baik!” ucap Radit. “Aku sudah menyaksikannya secara langsung perbuatan busuk dan penghianatamu!” Lalu menatap kepada Dony. “Dan kau, laki-laki bajingan perusak pagar ayu, urusan kita masih berla
Rumahnya Ningrum berada sebuah perumahan di kawasan Taman Sari. Rumah yang cukup mewah luas. Kata Ningrum, itu adalah juga rumah fasilitas perusahaan. Di rumah itu sang manajer tinggal bersama ibu dan kedua adiknya serta seorang asisten rumah tangga. Ayahnya Ningrum telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Jadi otomatis, Ningrum menjadi tulang punggung keluarganya. Kedua adiknya, cowok-cewek, masih semester 6 dan 4. Yang membuat Radit agak sedikit kaget adalah sang mama dari sang manajer muda itu, ternyata merupakan wanita keturunan Belanda. Namanya Bu Juliana. Pantas saja wajah Ningrum rada-rada kebulean. Bu Juliana orangnya sangat ramah kepada Radit. Begitu juga kedua adiknya Ningrum, Elissa dan Arthur. Mereka sangat hangat dan dan bersahabat. Kondisi itu lumayan membuat perasaannya nyaman dan sedikit mengurangi kedukaan di hatinya. “Kalau Nak Radit mau, Nak Radit boleh tempati dulu kamar pavilyun. Kamar itu bekas kamar kemenakannya Ibu dulu. Sekarang ia ikut is
“Oh iya benar, Pak RT. Perkenalkan, nama saya Radit, Raditya Pambudi,” sahut Radit sembari menyalami warga lain satu persatu. “Lalu, kira-kira kapan Pak Radit pindah ke mari?” tanya Pak RT lagi. “Maunya secepatnya, Pak. Tapi ini perabotannya belum ditata,” sahut Radit. “Kira-kira di sekitar sini ada yang tenaga yang bisa dimintai bantuan untuk menatap perabotan di rumah saya mungkin, Pak?” “Oh bisa, Pak Radit, wagra saya pun akan membantu Pak Radit,” ujar Pak RT Halim. Lalu menoleh pada warganya, “Bagaimana Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, apakah bersedia membantu Pak Radit untuk menata perabotan rumahnya?” “Siap, Pak RT ...!” jawab semuanya serentak. Ternyata bukan hanya warga itu saja yang membantu. Bahkan beberapa warga yang terdiri dari pemuda komplek ikut menyumbangkan tenaganya. Semua perabotan yang masih dalam pembukus dan segelnya ditempatkan pada posisinya masing-masing. Radit merasa terharu dan tak menyangka warga di perumahan itu masih memiliki rasa pedu
“Aku itu hanya punya satu dambaan, Bu, yaitu ingin memiliki rumah tangga yang mawadah wa rahmah, dan wanita yang kunikahi menjadi bidadari di dunia hingga akherat bagi saya,” lanjut Radit lagi. “Namun nampaknya, apa yang saya raih justru sangat jauh dari yang saya dambakan. Dambaan wanita yang saya dambakan justru laki-laki yang mampu memanjainya dengan gelimangan harta. Ya, Nagita masih melihat, bahwa tak ada yang mampu membuatnya bahagia selain dari harta.” “Tapi, Nak Radit,” ucap Bu Ratri, “kalau Ibu boleh memohon, Nak Radit jangan bercerai dengan Nagita. Pertahankan semasih mampu Nak Radit tahan, sembari berharap semoga Nagita menyadari kesalahannya dan kembali menjadi istri dan ibu yang baik. Ya, paling tidak, berikan dia waktu. Ibu sudah merasa sangat nyaman bermenantukan Nak Radit.” Radit manggut-manggut. “Insha Allah, Bu. Saya senantiasa berdoa, Bu, tentang hal itu. Saya justru lebih memikirkan Noni. Perasaan dia masih sangat sensitif, dan tentu bisa menjadi p
“Iya, Bu, kebetulan ini saya sudah mau menjemput mereka, habis maghrib nanti,” sahut Radit. “Oh ya, Bu. Saya pengen sekali untuk malam ini Ibu, Mbak Ningrum, Dik Arthur dan Dik Mellisa tidur di sini. Biar sekalian nanti bisa kenal dengan ibu mertua dan putri saya, Noni.” Keemapt anak beribu itu sama-sama terdiam dan saling berpandangan satu sama lain. “Ya, itu jika Ibu, Mbak Ningrum, Dik Arthur, dan Dik Ellisa memungkinan. Saya ....” “Iya, kami akan tidur di sini. Hitung-hitung ikut memeriahkan malam pertama Mas Radit di rumah barunya ini. Tapi biar besok pagi saya langsung berangkat kerjanya dari sini, nanti biar saya balik dulu ke rumah sebentar untuk mengambil keperluan saya.” “Baik, Mbak. Kalau begitu saya sangat berterima kasih sekali sama Mbak Ningrum, Ibu, juga pada Dik Arthur dan Dik Ellisa.” “Ya, sama-sama, Nak Radit. Semoga dalam rumah ini Nak Radit sekeluarga diberi keberkahan-keberkahan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Amin Allahumma
Pak Abdul Karim Pambudi menerima seorang laki-laki dalam ruangan kerjanya di kantor pusat grup perusahaannya. Tampaknya laki-laki itu adalah yang pernah memata-matai Nagita di rumah barunya bersama Dony Setiawan. “Silakan duduk. Bagaimana dengan hasil pengusutan lapangannya, Mas Alex?” tanya Pak Karim kepada laki-laki yang berusia sekitar tiga puluhan tahun itu. “Ada beberapa yang saya dapatkan info pasti dan sahihnya, Pak, di samping bukti berupa foto-foto dan vieo yang telah saya kirimkan kepada Bapak kemarin pagi itu,” sahut Alex. “Dan kemarin sore saya mendapatkan konfirmasi pada pihak pemasaran pengemban komplek itu, bahwa laki-laki yang bernama Dony Setiawan itu membeli lunas rumah itu.” Pak Karim mengangkat dagunya sembari memperlihatnya wajah tanpa ekspresi. “Berapa katanya harga rumah itu?” “Menurut yang saya dapatkan dari bagian pemasaran dan menurut yang saya lihat di brosurnya, satu unit rumah dengan type yang dibeli oleh Dony Setiawan itu ha
Pak Karim tak langsung menjawab pertanyaan Radit tetapi menoleh ke luar, ke halam rumah, lalu berkata, “Tentu saja mobil semewah itu tidak digunakan oleh karyawan rendahan, bukan? Itu pasti mobil dari perusahaan?” Radit tertawa tanpa suara. “Iya, Pak, alhamdulillah, sekarang aku diangkat sebagai manajer HRD oleh manajemen perusahaan, dan mobil itu memang mobil dari perusahaan.” “Benar kata pepatah, bahwa buah yang jatuh tak pernah jauh dari pohonnya,” puji Pak Karim. “Kamu persis Papa, seorang pekerja yang ulet, cerdas, dan disiplin. Jadi Papa tak heran jika perusahaanmu menaikkan posisimu secepat itu. Papa tak perlu lagi menasihatimu harus menjadi pejabat yang seperti ini atau seperti itu, karena kamu sudah tahu, seperti Papa mengetahui apa yang harus Papa lakukan.” “Terima kasih, Pap. Tentu semua atas didikan dan doa Papa juga,” ujar Radit. “Sama-sama, Nak,” sahut Pak karim sembari tersenyum. “Oh ya, bagaimana keadaan keluargamu? Papa harap semuanya sud