"Jadi kabur untuk buka open BO? Luar biasa istriku ini," ucap Mas Dimas. Dia bahkan bertepuk tangan saat mengatakan hal itu padaku. Beruntungnya kami sangat jauh dari tempat Pak Pram memarkirkan mobilnya. Aku tertawa saat dia mengatakan hal itu, bisa-bisanya berpikir aku melakukan hal buruk. "Aku pernah baca di satu buku, biasanya orang yang berprasangka buruk itu sedang berkaca dirinya sendiri, apa nggak kebalik, Mas, kamu kali yang buka jasa open BO di sini," sindirku.Mas Dimas nyaris melayangkan telapak tangannya ke wajahku, ya banting kembali dan justru memukul tangannya sendiri dengan kepalan sebelah kanan."Terus kamu ngapain di hotel? Hah!" Mas Dimas terdengar sangat marah. Ia semakin meninggikan nada bicaranya.Aku terbiasa mendengar dia marah, tapi baru kali ini mendengar Mas Dimas emosinya luar biasa, bahkan ini di depan umum, dia tak bisa mengontrolnya."Kamu marah aku di sini?" tanyaku. "Terus ada buktinya Nggak aku buka open BO di sini?" lanjutku."Aku tanya kamu ngapa
"Pak Pram," ucap Mas Dimas. Wajahnya terlihat sangat kaku, dia menoleh ke belakang dengan muka pucat."Iya, ini saya," timpal Pak Pram."Saya nggak bermaksud seperti itu, Pak." Mas Dimas menyanggah ucapannya. Padahal jelas-jelas tadi dia menuduhku menjajakan diri, itu artinya secara tidak langsung Mas Dimas menuduh Pak Pram adalah langgananku.Kini mereka berdiri saling berhadapan, tatapan keduanya menangkap sempurna."Jadi maksud kamu itu apa? Bukankah tadi kamu bilang Inggit itu buka open BO?" tanya Pak Pram."Anu, Pak. Maksud saya Pak Pram kenal Inggit dari mana? Saya hanya kaget aja gitu, Pak Pram seorang pemilik perusahaan, tapi kenal dengan upik abu seperti Inggit," jelas Mas Dimas membuatku kesal sendiri. Dia masih saja menjelek-jelekkan aku di hadapan Pak Pram, Mas Dimas masih menyebutku sebagai upik abu.Aku menghela napas, kemudian bergeser sedikit supaya berada di tengah-tengah mereka berdua."Silakan kamu mengumpat aku, mencaci, menghina, dan apa saja yang kamu sukai, Mas,
"Lalu setelah ini Pak Pram akan memecat Mas Dimas?" tanyaku padanya."Nggak dong, kamu jangan berpikir pendek." Pak Pram menyunggingkan senyuman sambil mengibaskan jas yang ia kenakan. Kemudian, ia bangkit dari duduknya. "Saya pulang dulu, nanti Jingga kumat lagi minta kamu ikut ke rumah, bisa repot," sambungnya.Aku pun mengangguk sambil tersenyum. Kemudian memperhatikan Pak Pram dari kejauhan saja menuju mobilnya.Di kursi depan hotel, aku masih menatap ke arah mobil, lalu dari jauh terlihat Jingga mengeluarkan kepalanya dan melambaikan tangan. "Dadah, Tante!" Itu teriakan Jingga membuatku sontak turut melambaikan tangan.Mobil pun melaju perlahan, aku masih terduduk sambil senyum sendirian.'Ternyata hidup itu tak serumit yang aku pikirkan, Tuhan tidak mungkin membiarkan hambanya kelaparan, apalagi sudah disertai usaha,' batinku merasa bersyukur, ternyata dibalik meninggalnya bapak, ada hikmah yang tersembunyi.Lalu aku bangkit dan menuju kamar hotel. Kasihan ibu yang sudah menunggu
Setelah Pak Pram menutup teleponnya, aku pun bergegas siap-siap. Aku turuti saja perintah dari bosnya suamiku itu. Sebab, ini sebuah kesempatan yang tidak mungkin aku peroleh lagi."Kesempatan itu datang hanya sekali, kenapa kita kemarin nolak tawaran Pak Satria ya?" Aku bicara pada ibu sambil bersolek diri."Niat kita tidak ingin membebankan nama Bapak dalam urusan duniawi lagi." Ibu menjawab sambil membantuku merapikan rambut."Bu, memang aku seperti upik abu?" Aku melontarkan pertanyaan yang membuat ibu tersenyum."Pasti kepikiran ucapan Dimas. Kamu kayak nggak tahu aja mulut suamimu itu seperti sampah. Sepertinya dia itu mencintaimu tapi gengsi mengatakan itu," tutur ibu.Aku melirik ke arah ibu melalui cermin yang ada di hadapanku."Cinta?""Iya, benci dan cinta itu beda tipis, Dimas pasti kesepian dan merasa kehilangan kamu makanya bersikap seperti itu," timpal ibu.Aku terkekeh sambil bangkit dari duduk dan menyemprotkan parfum ke seluruh tubuhku ini. Aku mau bertemu dengan sel
Aku meraih sebuah handuk kecil, lalu meminta Bibi untuk mengambilkan air hangat. Kemudian, aku kompres di kening Jingga. "Semoga Jingga cepat bangun, sepertinya dia pingsan karena suhunya yang panas tinggi," tuturku dengan gelagat panik."Maafkan Bibi, Non. Kurang sigap, Non Jingga tidak pernah seperti ini kalau demam, biasanya dia nurut," ucapnya.Beberapa menit kemudian, tiba-tiba mata Jingga terbuka perlahan. Aku segera mengangkat kain yang menempel di keningnya."Tante." Aku terkesiap mendengar suara rintihan Jingga yang menyapaku."Alhamdulillah, ya Allah. Terima kasih banyak. Jingga kamu segera minum obat penurun panas ya, supaya nggak pingsan lagi," suruhku.Jingga tersenyum, ia meminta dibangunkan dan disandarkan supaya bisa meneguk obat sirup yang sudah bibi sediakan."Anak pintar," ucapku memuji Jingga.Anak dari Pak Pram yang manis dan lucu, Jingga, telah membuatku terhanyut dan merasakan menjadi seorang ibu walau hanya beberapa waktu saja. Aku merebahkan tubuhnya lagi su
"Ada telepon dari Mas Dimas, Pak," ucapku sambil menunjukkan layar ponsel."Kita keluar dulu," perintah Pak Pram. Dia langsung membelokkan badannya ke arah pintu keluar.Aku tersenyum menyoroti Jingga. Kemudian pamit pada gadis mungil dengan senyum semringah. "Tante ke depan dulu ya, mau ngobrol sama papanya Jingga," ucapku."Kalau ngobrol sama papaku, boleh lama kok," canda Jingga."Anak manis harus istirahat ya, Tante nanti ke kamar lagi Jingga harus udah tidur," suruhku sambil bangkit dari duduk lalu ikut Pak Pram keluar dari kamar.Aku melangkahkan kaki ini dengan cepat, sebab ayunan langkah Pak Pram sangat kilat. Dia duduk di bangku yang ada di ruangan televisi. Kemudian memerintahkan aku duduk dengan memukul bangku tersebut dengan tangannya.Setelah aku duduk, dia memintaku untuk menghubungi Mas Dimas kembali."Sekarang teleponnya?" tanyaku agak sedikit malu."Iya, mau tahu dia itu ngomong apa sih?" Pak Pram penasaran, kalau aku justru tidak sama sekali."Kayaknya nggak perlu, Pa
"Ide apa itu, Pak?" tanyaku padanya."Kamu ikut saya aja sekarang, kita antar berkas itu," ajak Pak Pram."Tapi Jingga____" Aku memutuskan kata-kata yang ingin kusampaikan."Pamit dulu, bilang mau ikut saya, pasti dia malah setuju," ucap Pak Pram.Kemudian aku masuk ke kamar Jingga lagi untuk pamit. Dia masih membuka matanya, duduk ditemani bibi. Aku segera menghampiri dan menumbuhkan tanganku dengan tangan Jingga."Anak pintar, Tante pergi dulu sama papanya Jingga ya," ucapku padanya. Jingga tersenyum dan matanya berbinar-binar."Tante mau pergi sama papaku? Ini beneran? Aku nggak mimpi kan? Terus nanti Tante balik nggak?" Jingga tidak percaya, bahkan dia mencoba bertanya berulang-ulang."Aku akan balik ke rumah Jingga, kalau gadis manis yang di hadapanku ini sudah sembuh, mau janji makan yang banyak nggak?" Gadis kecil yang cantik dan pintar itu langsung memelukku."Tante aku sayang sama Tante, sungguh kehadiran tante Inggit menyempurnakan hidupku," ucap Jingga.Aku mengernyitkan d
"Ayo, masuk!" ajak Pak Pram.Aku terdiam karena membayangkan wajah Mas Dimas saat bertemu denganku nanti. Dia pasti maki-maki aku nantinya.Namun, saat aku ingin mengayunkan kaki lagi, ponselku berdering dan itu adalah panggilan masuk dari Mas Dimas."Pak, Mas Dimas telepon," ucapku gugup. Tanganku gemetar saat ia menghubungi."Angkat, bilang aja masih di jalan," jawab Pak Pram.Akhirnya aku usap layar ponsel dan bicara seperti yang disarankan Pak Pram. Suamiku hanya memastikan apa aku mengirimkan berkas-berkas."Kalau udah sampai kantor, kamu di depan aja, jangan masuk!"kecam Mas Dimas. Ternyata dia masih malu mengakui aku sebagai istrinya.Setelah itu dia mematikan sambungan telepon secara sepihak.Seketika aku pun berubah pikiran, apa yang tadi sudah menjadi rencana Pak Pram aku batalkan."Pak, saya nggak mau masuk. Ini titip buat Mas Dimas aja berkasnya. Saya belum siap," ucapku membuat mata Pak Pram menyipit."Heh, kamu gimana sih? Kan kita mau bikin Dimas malu," jawabnya.Namun,