Hari ini sangat berarti untuk Aileen. Kenapa? Karena ini adalah hari pertama ia bekerja di Seoul, hari pertama untuk lembaran baru dalam hidupnya.
Sejak pulang dari wawancara, ia tak henti menatap layar laptop. Hampir larut malam, matanya nyaris terpejam ketika akhirnya, pada pukul 00.25, sebuah notifikasi muncul. > "Moonlight Art Studio — Hasil Keputusan!" Subjek email itu cukup membuat jantungnya berdegup kencang. Aileen menarik napas panjang sebelum mengkliknya. > *Selamat malam, Aileen, Setelah mempertimbangkan wawancara dan portofoliomu, kami dengan senang hati menerima kamu sebagai bagian dari tim Moonlight Art Studio. Posisi: Asisten Kurator Galeri & Kreator Seni Lepas Hari pertama kerja: Besok, pukul 09.00 KST Pakaian kerja: Bebas formal, rapi, dan artistik Selamat datang di keluarga Moonlight. — Nanda Nero Arsyadi Art Director* Aileen menatap layar itu cukup lama. Senyum perlahan mengembang di wajahnya. Bahagia, hangat, dan penuh harapan. Setelah luka-luka yang pernah menghancurkan hatinya, kini sebuah pintu baru benar-benar terbuka. --- Keesokan paginya Moonlight Art Studio tampak sibuk sejak pagi. Gedungnya megah dengan kaca-kaca tinggi yang memantulkan cahaya matahari pagi. Staf berlalu-lalang di lobi, sebagian membawa map presentasi, kanvas, hingga perlengkapan workshop. Musik jazz lembut mengalun dari speaker tersembunyi, memberi nuansa tenang di tengah kesibukan. Aileen melangkah masuk dengan blouse hijau sage dan celana bahan krem. Rambutnya dicepol rapi, wajahnya dihiasi make-up tipis, dan di pundaknya tergantung tas kulit kecil berisi buku catatan, alat gambar, dan semangat baru. Dari pesan di email, ia tahu ruangannya ada di lantai dua. Dengan sedikit gugup, ia menaiki tangga besar berkarpet abu. Lantai dua terbuka luas, dengan langit-langit tinggi, jendela besar, dan dinding penuh karya seni. Langkahnya terhenti saat seorang wanita mendekat. Wajahnya oval, dengan riasan natural dan rambut hitam legam sebahu. Blazer putih dipadu celana kain hitam membuat penampilannya tampak profesional tapi tetap hangat. “Selamat datang di Moonlight. Saya Han Soo-min Nayoung, tapi kamu cukup panggil Nayoung,” katanya dengan senyum yang menenangkan, seraya mengulurkan tangan. Genggamannya hangat dan mantap, memancarkan keyakinan diri yang tinggi. Aileen membalas jabatan tangan itu. “Terima kasih, Nayoung. Senang akhirnya bisa bergabung di sini.” “Senang bertemu kamu juga, Aileen. Kami semua bekerja profesional, tapi suasana di sini santai. Kalau ada yang ingin ditanyakan atau butuh bantuan, jangan ragu. Saya yang akan mendampingimu di awal,” jawab Nayoung dengan suara lembut tapi tegas. Hari pertama Aileen dimulai dengan orientasi studio. Ia dikenalkan pada tim desain, kurator, dan staf administrasi. Nayoung membimbingnya mempelajari sistem digital galeri mulai dari database karya seni hingga platform pameran online. Studio ini jauh lebih canggih dan besar dari bayangannya. Semakin lama, Aileen semakin yakin: ia memang pantas berada di sini. Ruang kerjanya berada di sudut lantai dua. Dinding kacanya memperlihatkan pemandangan rooftop garden. Ruangan itu penuh moodboard, foto-foto pameran terdahulu, dan sketsa konsep pameran. Di sini, Aileen akan membantu menyusun tema pameran bulanan, sekaligus mendampingi para seniman muda yang bekerja sama dengan Moonlight. Saat jam makan siang, Aileen naik ke rooftop garden studio. Angin sejuk membelai wajahnya, membawa aroma segar bunga-bunga yang tertata rapi di sudut rooftop. Matanya langsung menangkap sosok Nanda yang duduk santai di bangku kayu, tablet di tangan, dengan secangkir kopi di samping. Aileen sempat ragu, tapi akhirnya melangkah mendekat. Nanda mendongak, tersenyum kecil saat melihatnya. “Hei, hari pertama lo disini gimana?” tanya Nanda, suaranya santai, jauh dari kesan formal. Aileen duduk di ujung bangku, meletakkan tas kecilnya di samping. “Asik, lumayan sibuk, tapi gue suka. Timnya ramah, suasananya juga enak banget.” Nanda mengangguk, menyesap kopinya pelan. “Syukurlah. Gue emang pengen suasana kerja di sini tuh nyaman, nggak bikin orang stres tiap hari.” Aileen menghela napas lega. “Iya, gue ngerasa cocok. thanks ya, udah kasih nerima gue disini.” Nanda tersenyum lagi, matanya menatap sekeliling. “Ah, jangan berterima kasih dulu. Lo kan baru mulai. Nanti kalau udah tiga bulan, baru deh lo nilai, beneran enak atau nggak, hahaha.” Aileen ikut tertawa kecil. “Oke, nanti aku review ya.” Mereka diam sejenak, menikmati hembusan angin dan pemandangan kota dari rooftop. Nanda melirik arlojinya. “Wah, sebentar lagi balik kerja nih. Jangan lupa makan ya, jangan cuma angin doang yang dihirup.” Aileen tertawa kecil lalu memposisikan tangannya hormat. “Siap, Pak Bos.” Nanda berdiri, merapikan tabletnya. “Yuk, abis ini kita perang lagi sama deadline.” “Siap!” jawab Aileen sambil bangkit berdiri, semangat kembali penuh. - Jam istirahat berakhir, dan Aileen turun dari rooftop sekitar dua menit setelah Nanda. Ia sengaja memberi jeda, agar tak menimbulkan kesan aneh. Bagaimanapun, Nanda adalah salah satu pendiri dan direktur Moonlight Art Studio. Jika mereka terlihat terlalu dekat, apalagi di hari pertama kerjanya, Aileen khawatir akan muncul bisik-bisik tak mengenakkan. Terlebih, ia sempat menangkap beberapa tatapan dari karyawan wanita yang jelas-jelas mengagumi sosok Nanda. Tidak sedikit di antara mereka yang, dari gestur tubuh dan sorot mata, terlihat menyimpan rasa pada pria itu. Meski Nanda dikenal ramah dan hangat kepada seluruh staf, Aileen tahu, tetap saja kedekatan yang tampak di mata orang lain bisa dengan mudah jadi bahan gosip. Dan itu adalah hal yang ingin ia hindari saat ini. Aileen menarik napas dalam-dalam sebelum kembali melangkah ke lantai dua. Dingin AC menyambutnya saat pintu lift terbuka. Ia berjalan tenang menuju ruang kerjanya, berusaha menepis rasa canggung yang tadi sempat menyelip di hatinya. Suasana studio sudah kembali sibuk. Beberapa staf berkumpul di depan layar besar, mendiskusikan konsep visual untuk pameran mendatang. Suara ketikan laptop, gesekan pensil di atas kertas sketsa, dan samar alunan musik jazz memenuhi ruangan, menciptakan irama kerja yang khas. Aileen duduk di mejanya, membuka buku catatan dan mulai meninjau kembali tema pameran yang sempat didiskusikan pagi tadi. Jari-jarinya memainkan ujung pensil, matanya menyapu moodboard yang tertempel di dinding kaca. Perlahan fokusnya kembali terkumpul. Tak lama, Nayoung melintas, menoleh dan tersenyum kecil. “Aileen, nanti jam tiga kita rapat konsep, ya. Siapkan ide draft-nya, aku tunggu di ruang brainstorming.” Aileen mengangguk. “Baik, Kak Nayoung.” Detik itu juga ia mulai menulis, menggambar, dan merangkai ide-ide yang sejak pagi menari-nari di pikirannya. Hari pertama kerja ini... bukan hanya awal yang baik, tapi juga panggung kecil tempat ia mulai menunjukkan dirinya. - Beberapa hari bekerja di Moonlight Art Studio, Aileen merasa semuanya berjalan lancar. Lingkungan kerjanya menyenangkan, rekan-rekannya ramah, dan sejauh ini tidak ada masalah berarti. Namun hari ini, tepat dua minggu sejak ia mulai bekerja, suasana terasa berbeda. Studio tampak sedikit lebih sibuk dari biasanya. Pagi itu seorang wanita diperkenalkan sebagai sekretaris baru Art Director. Wanita itu melangkah percaya diri ke depan tim. “Saya Sasha Elira Yeon. Mulai hari ini, saya sekretaris pribadi Pak Nanda. Semoga kita semua bisa bekerja sama dengan baik.” Penampilannya langsung mencuri perhatian: cantik, karismatik, anggun. Rambut panjang bergelombang, pakaian formal tapi modis, dengan aura percaya diri yang kuat. Senyumnya terlihat profesional, namun saat matanya bertemu tatapan Aileen... ada sorot berbeda. Bukan sekadar tatapan perkenalan, tapi seolah menilai. Menyimpan sesuatu. Aileen langsung menangkap kesan itu, walau berusaha tetap tersenyum sopan. Sesi perkenalan berakhir. Nanda menghampiri Aileen. “Aileen, ikut gue ke ruang Art Director, kita bahas konsep pameran tahunan,” ucapnya santai. Aileen mengangguk, mengikuti Nanda menuju ruang kerjanya. Mereka mulai membicarakan tema, konsep karya, daftar undangan, hingga detail logistik. Suasana serius tapi menyenangkan. Ini kesempatan besar bagi Aileen untuk menunjukkan ide dan kemampuannya. Tanpa disadari, dari kejauhan, Sasha berdiri di depan meja kerjanya. Pandangannya lurus tertuju ke arah ruang Art Director. Matanya mengamati Aileen dan Nanda yang tengah mendiskusikan konsep, ada sorot yang sulit ditebak: antara mengukur, cemburu, atau mungkin… tidak suka. Beberapa staf sempat melirik ke arah Sasha, heran dengan tatapan tajamnya. Tapi Sasha segera mengalihkan pandangannya, kembali sibuk dengan layar komputernya, seolah tak terjadi apa-apa. Diskusi Aileen dan Nanda selesai setelah hampir satu jam. Aileen keluar dari ruang Art Director dengan membawa catatan penting di tangannya. Wajahnya lega karena banyak idenya diterima dan didukung Nanda. Namun, baru beberapa langkah dari pintu, ia mendapati Sasha sudah berdiri tak jauh dari sana. Sasha tersenyum tipis, tapi matanya tak sehangat senyumnya. “Wah, cepat juga ya kamu akrab sama Pak Nanda. Kayaknya kamu sering banget masuk ruangannya ya?,” ucapnya, terdengar santai namun menyiratkan sesuatu. Aileen terdiam sejenak, lalu menjawab dengan hati-hati. “Kami hanya membahas pameran tahunan. Banyak yang harus disiapkan.” Sasha mengangguk kecil, senyumnya melebar. “Oh tentu. Cuma saran aja, jangan terlalu sering minta arahan langsung. Takutnya nanti ada yang salah paham. Kamu karyawan baru, kan?” Tanpa menunggu respons Aileen, Sasha berbalik meninggalkannya. Hanya suara langkah hak sepatunya yang tersisa di lorong. Aileen menghela nafas pelan. Ia paham betul arah kalimat itu. Bukan sekadar saran... lebih seperti peringatan. Sepertinya Sasha tidak suka jika Aileen dekat dengan Nanda, bahkan untuk sekedar diskusi kerjaan.Hari-hari di Moonlight Art Studio terasa berbeda sejak kehadiran Sasha. Suasana yang sebelumnya hangat dan penuh kerja sama, perlahan berubah menjadi sedikit kaku setiap Sasha ada di sekitar Aileen. Sasha seolah selalu punya cara untuk muncul di saat-saat Aileen berbicara dengan Nanda, bahkan dalam hal-hal sepele. Tatapannya, kata-katanya, sering terasa seperti sindiran yang dibungkus senyum manis. Hari ini lah pameran digelar. Semua staf terlihat sibuk, mengerjakan bagian masing-masing dengan penuh fokus. Halaman depan gedung yang luas disulap menjadi kawasan pameran terbuka yang memukau. Dekorasi bertema seni modern dan klasik berpadu harmonis. Lampu-lampu gantung, kain putih berenda, serta rangkaian bunga segar mempercantik area pameran. Lebih dari seratus lukisan terpajang rapi, mulai dari aliran realis, abstrak, hingga kontemporer. Beberapa karya bahkan adalah hasil tangan Aileen sendiri. Nanda sudah stand by, mengatur jalannya persiapan, memastikan semuanya berjalan sesuai
Hari ini sangat berarti untuk Aileen. Kenapa? Karena ini adalah hari pertama ia bekerja di Seoul, hari pertama untuk lembaran baru dalam hidupnya. Sejak pulang dari wawancara, ia tak henti menatap layar laptop. Hampir larut malam, matanya nyaris terpejam ketika akhirnya, pada pukul 00.25, sebuah notifikasi muncul. > "Moonlight Art Studio — Hasil Keputusan!" Subjek email itu cukup membuat jantungnya berdegup kencang. Aileen menarik napas panjang sebelum mengkliknya. > *Selamat malam, Aileen, Setelah mempertimbangkan wawancara dan portofoliomu, kami dengan senang hati menerima kamu sebagai bagian dari tim Moonlight Art Studio. Posisi: Asisten Kurator Galeri & Kreator Seni Lepas Hari pertama kerja: Besok, pukul 09.00 KST Pakaian kerja: Bebas formal, rapi, dan artistik Selamat datang di keluarga Moonlight. — Nanda Nero Arsyadi Art Director* Aileen menatap layar itu cukup lama. Senyum perlahan mengembang di wajahnya. Bahagia, hangat, dan penuh harapan. Setelah luka-luka yang per
Tak terasa, tiga hari sudah berlalu sejak Aileen mengirimkan email lamaran ke Moonlight Art Studio. Meski ia berusaha mengalihkan pikiran dengan melukis dan merapikan rumah, diam-diam ia masih sangat berharap bisa mendapat balasan. Studio itu bukan hanya tempat kerja baginya, tapi juga peluang untuk memulai hidup yang benar-benar baru. Pagi itu, baru saja ia membuka laptop di meja ruang tengah, ekspresinya seketika berubah sumringah. Sebuah notifikasi email masuk, dan saat dibuka, matanya langsung tertuju pada baris pertama yang membuat jantungnya berdebar kencang: “Kami mengundang Anda untuk wawancara kerja hari ini pukul 12.00 di kantor Moonlight Art Studio.” Aileen menatap layar itu beberapa detik, memastikan ia tak salah baca. Jemarinya bergetar kecil antara gugup dan gembira. Jam menunjukkan pukul 11.00. Ia punya waktu satu jam untuk mempersiapkan diri. Tanpa menunda, ia segera bangkit dan berjalan cepat ke kamar. Ia memilih pakaian paling sopan dan nyaman yang ia punya: b
Hari-hari dengan cepat berlalu. Sudah seminggu Aileen menetap di Seoul. Rumah peninggalan neneknya yang perlahan mulai berubah lebih bersih dan lebih hangat. Benda-benda usang sudah banyak yang dibuang dan diganti. Setiap sudut rumah kini mulai kembali hidup, sedikit demi sedikit. Pagi itu, Aileen baru saja selesai sarapan. Ia membereskan piring ke dapur dan hendak menyeduh teh ketika ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuat langkahnya terhenti sejenak. ‘Bang Reza’ Tanpa pikir panjang, Aileen langsung mengangkatnya. “Halo, Bang,” ucapnya pelan, sedikit canggung. Suara laki-laki di seberang langsung terdengar tegas. “Bener kamu udah cerai, dek? Kok gak bilang apa-apa ke Abang?” Aileen terdiam. Ia memang belum berani mengabari abangnya soal perceraiannya dengan Arfan. Bukan karena ingin menyembunyikan, tapi karena tidak ingin membuat abangnya khawatir. “Maaf, Bang,” ujarnya akhirnya. “Aku udah nggak tahan sama sikap Mas Arfan. Dia selingkuh di belakang aku... bahkan
Seoul. Kota yang hidup sejak matahari terbit hingga jauh setelah malam turun. Ritmenya cepat, tapi tidak tergesa. Ada keteraturan di balik keramaiannya, dan ada kehangatan yang menyelinap diam-diam di setiap sudut jalan. Dari balik jendela kereta bawah tanah, pemandangan silih berganti mulai dari gedung tinggi menjulang, toko-toko kecil dengan papan nama berwarna-warni, dan orang-orang yang berjalan dengan semangat seolah setiap hari adalah awal yang baru. Seoul seperti memiliki energi yang tak pernah habis. Bahkan udara paginya pun terasa segar, seolah membisikkan bahwa tak ada hari yang sia-sia di kota ini. Di gang-gang sempit yang dipenuhi kafe dan toko roti, aroma kopi dan kue hangat bercampur dengan tawa pengunjung yang duduk santai menikmati pagi. Anak-anak muda sibuk dengan laptopnya, barista menyapa ramah, dan turis-turis berjalan sambil menunjuk peta digital dengan mata berbinar. Modern dan tradisional berjalan berdampingan tanpa saling mengganggu. Kuil-kuil kuno be
Grek... grek... grek… Suara koper yang diseret, bergesekan pelan dengan lantai bandara, terdengar lebih jelas daripada keramaian di sekitarnya. Lalu-lalang orang, pengumuman dari pengeras suara, bahkan tawa riang keluarga yang hendak liburan hanya jadi latar samar yang nyaris tak terdengar. Gemeretak roda koper itu bergerak dengan ritme yang kasar, seolah tahu bahwa langkah ini bukan perjalanan santai, tapi pelarian dari sesuatu yang berat. Aileen Dwilora Rosendale. Perempuan dengan wajah cantik dan mata yang lelah itu menarik kopernya tanpa banyak suara, hanya tatapannya yang bicara. Ada luka di sana. Tapi bukan luka yang segar. Luka lama, yang belum juga sembuh. Langkahnya sempat terhenti di depan gerbang keberangkatan. Ia menatap papan informasi digital dengan tatapan kosong. Tangan kirinya menggenggam boarding pass yang mulai lembab karena keringat. “Lupain. Lo cuma perlu lupain,” gumamnya, nyaris tak terdengar oleh siapa pun. Tapi tentu saja, melupakan bukan perkara se