Home / Rumah Tangga / Setelah Aku Pergi / ❤️❤️ Bab 4 : Interviewed By A Guy Yesterday

Share

❤️❤️ Bab 4 : Interviewed By A Guy Yesterday

Author: Aqila.bf
last update Huling Na-update: 2025-01-28 05:36:48

Tak terasa, tiga hari sudah berlalu sejak Aileen mengirimkan email lamaran ke Moonlight Art Studio. Meski ia berusaha mengalihkan pikiran dengan melukis dan merapikan rumah, diam-diam ia masih sangat berharap bisa mendapat balasan. Studio itu bukan hanya tempat kerja baginya, tapi juga peluang untuk memulai hidup yang benar-benar baru.

Pagi itu, baru saja ia membuka laptop di meja ruang tengah, ekspresinya seketika berubah sumringah. Sebuah notifikasi email masuk, dan saat dibuka, matanya langsung tertuju pada baris pertama yang membuat jantungnya berdebar kencang:

“Kami mengundang Anda untuk wawancara kerja hari ini pukul 12.00 di kantor Moonlight Art Studio.”

Aileen menatap layar itu beberapa detik, memastikan ia tak salah baca. Jemarinya bergetar kecil antara gugup dan gembira. Jam menunjukkan pukul 11.00. Ia punya waktu satu jam untuk mempersiapkan diri.

Tanpa menunda, ia segera bangkit dan berjalan cepat ke kamar. Ia memilih pakaian paling sopan dan nyaman yang ia punya: blouse putih bersih dipadukan dengan rok selutut berwarna krem muda. Ia merapikan rambut, mengenakan makeup tipis sekadar menambah kesan segar dan profesional. Di depan cermin, ia beberapa kali melatih cara menjawab pertanyaan: tentang pengalaman, tentang motivasi, tentang keahliannya melukis. Meskipun gugup, ia tak ingin terlihat ragu.

Dirasa cukup, Aileen meraih tasnya. Di dalamnya sudah ada CV, portofolio cetak, dan sebotol kecil parfum untuk menyegarkan diri di perjalanan. Ia menatap pantulan dirinya sekali lagi di cermin sebelum menarik napas panjang dan melangkah keluar.

Langit Seoul siang itu cerah, seolah ikut memberinya semangat. Perjalanan ke studio ia tempuh dengan bus, dan selama perjalanan, ia terus menenangkan diri. “Semua akan baik-baik saja,” bisiknya dalam hati.

Dan di sinilah ia sekarang, berdiri di depan gedung Moonlight Art Studio.

Aileen berdiri di depan bangunan bertingkat tiga yang berdiri megah di tengah kawasan elit Seoul. Di dinding kaca depan terpampang logo elegan bertuliskan Moonlight Art Studio dengan garis desain minimalis dan modern. Gedung itu berdiri kokoh dengan fasad batu putih, jendela kaca tinggi, dan taman kecil yang rapi di sisi kanan pintu masuk.

Begitu ia melangkah masuk, udara sejuk dari pendingin ruangan langsung menyambut. Lantai marmer berpola abu muda memantulkan cahaya dari lampu gantung kristal yang menjuntai di lobi utama. Di sisi kiri terdapat area galeri permanen, ruang luas dengan langit-langit tinggi, lukisan-lukisan kontemporer dipajang dengan pencahayaan profesional yang menonjolkan tiap detail warna.

“Selamat pagi, selamat datang di Moonlight,” sambut seorang petugas resepsionis dengan jas hitam elegan.

“Saya Aileen… hari ini mulai bekerja,” ucapnya sedikit gugup.

“Oh, Anda ditugaskan langsung ke lantai dua, bagian Creative & Exhibition Team. Silakan naik dengan lift di sebelah kanan, ruangan Art Director ada di ujung koridor.”

Aileen mengangguk dan segera menuju lift kaca yang naik pelan menembus dinding kaca luar, dari dalam, ia bisa melihat pemandangan taman vertikal dan rooftop yang seperti ruang meditasi.

Begitu pintu lift terbuka, lantai dua menyambut dengan desain open space yang luas. Ruangan penuh cahaya alami, dengan rak-rak alat seni tersusun rapi, meja-meja besar dari kayu jati, dan dinding-dinding yang dipenuhi karya seni dari berbagai seniman muda berbakat.

Di tengah ruang itu, Aileen disambut oleh Nayoung, koordinator tim, yang mengenakan blazer putih dan celana kain lebar. Elegan tapi tetap santai.

“Selamat datang, Aileen,” ucap Nayoung sambil tersenyum. “Kamu akan suka di sini. Kami kerja profesional, tapi nggak kaku.”

Nayoung mengajak Aileen berkeliling, memperkenalkan ruang digital studio untuk ilustrasi, ruang kelas privat untuk kursus seni premium, dan area VIP gallery yang hanya bisa diakses oleh kolektor dan investor seni.

“Dan ini ruang kerja Art Director,” ucap Nayoung saat mereka tiba di ujung koridor.

Pintu berwarna navy dengan gagang logam matte hitam berdiri tertutup di depan mereka.

“Kamu ada janji wawancara akhir dengan beliau sebelum penempatan tugas, kan?”

Aileen mengangguk dan menarik napas panjang, bersiap mengetuk.

Tok.. tok.. tok..

“Masuk.”

Suara seorang laki-laki terdengar sesaat setelah Aileen mengetuk pintu di depannya. Suara itu terasa familiar, seperti gema samar dari pertemuan singkat di tempat lain.

Tak ingin terlambat hanya karena terlalu banyak berpikir, Aileen segera membuka pintu itu.

Langkahnya berhenti begitu saja.

Seorang pria tengah duduk membelakanginya, tampak sedang membolak-balik beberapa berkas di meja. Tapi Aileen langsung mengenali postur tubuh itu. Cara lengan kemejanya digulung. Bahkan aroma parfum yang samar-samar menguar.

Pria itu berbalik perlahan.

Dan saat mata mereka bertemu, Aileen langsung membeku.

“Nanda?” bisiknya pelan, nyaris tak percaya.

Nanda tersenyum kecil, tenang seperti biasa, tapi ada sedikit keterkejutan di matanya juga. Ia meletakkan berkas di tangan dan mengangguk pelan.

“Halo lagi, Aileen. Silakan duduk,” ucapnya, tetap menjaga nada profesional meskipun jelas ada sesuatu yang tak biasa dari pertemuan ini.

Aileen menurut, duduk di kursi di seberang meja tanpa bisa menyembunyikan ekspresi bingungnya. Suasana ruangan jadi mendadak sunyi. Tapi bukan sunyi yang canggung. Lebih seperti hening yang diisi oleh pertanyaan tak terucap.

“Lo kerja di sini?” Aileen akhirnya bertanya, masih dengan nada setengah ragu.

Nanda mengangguk sambil duduk di kursinya, kali ini dengan senyum yang lebih hangat. “Gue Art Director sekaligus salah satu pendiri Moonlight. Harusnya gue yang nanya, kenapa lo gak bilang kalo ngelamar ke studio gue?”

Aileen terkekeh canggung. “Karena... gue gak tau.”

“Kita anggap ini kejutan kecil, ya.” Nanda membalikkan satu halaman CV Aileen. “Tapi meskipun kita pernah ketemu, gue janji tetap objektif.”

Dan disitulah wawancara dimulai dengan hati yang sedikit berdebar, dan perasaan bahwa semesta sedang bermain-main dengan takdir mereka.

Aileen duduk dengan punggung tegak, kedua tangannya diletakkan di atas pangkuan. Walau senyum Nanda tampak ramah, ia tetap bisa merasakan aura formal yang berbeda dari pertemuan mereka sebelumnya.

Nanda membuka berkas portofolio Aileen, sesekali melihat lembar-lembar yang berisi hasil lukisan digital dan tradisional milik Aileen. Setelah beberapa detik hening, ia mengangkat wajah dan menatap Aileen.

“Boleh saya tahu, apa yang membuat Anda kembali ke dunia seni setelah cukup lama berhenti?” tanyanya.

Aileen sedikit terkejut dengan Nanda yang menggunakan bahasa formal, ia juga harus bisa mengimbangi.

Aileen menarik napas pelan sebelum menjawab, “Melukis selalu jadi bagian dari diri saya. Tapi ada masa di mana saya... menjauh dari banyak hal. Sekarang, ketika hidup saya berubah, saya ingin kembali pada sesuatu yang membuat saya merasa hidup.”

Nanda mengangguk pelan. “Jawaban yang jujur,” ucapnya singkat, lalu kembali membuka halaman lain.

Ia menunjuk salah satu lukisan berjudul Senja Terluka.

“Lukisan ini... sangat ekspresif. Apakah ini berdasarkan pengalaman pribadi?”

Aileen tersenyum kecil, agak pahit. “Sebagian besar karya saya memang berdasarkan apa yang saya alami. Senja adalah momen yang tenang... tapi juga penuh perpisahan. Saya pikir itu cocok menggambarkan banyak hal dalam hidup saya akhir-akhir ini.”

Nanda terdiam sejenak. Lalu, dengan nada lebih lembut, ia berkata, “Studio ini butuh orang yang bisa bekerja dengan hati. Saya percaya kemampuan bisa diasah, tapi kepekaan tidak semua orang punya. Dan sejujurnya, karya Anda menyampaikan banyak hal tanpa harus dijelaskan.”

Aileen tidak langsung menjawab. Ucapan itu seperti pengakuan yang tak ia duga. Hangat, tapi tetap dalam bingkai profesional.

“Terima kasih. Saya siap belajar dan memberi yang terbaik, jika diberi kesempatan,” ucapnya mantap.

“Saya rasa sudah cukup. Saya akan mengumumkan hasilnya nanti melalui email,” ucap Nanda sambil menutup map portofolio Aileen dan menyusunnya rapi di atas meja.

“Siap, Pak Direktur,” jawab Aileen, nada suaranya sengaja dibuat sedikit bercanda, mencoba mencairkan suasana yang sempat tegang.

Nanda tertawa kecil. “Jangan panggil saya begitu, kesannya tua banget.”

“Maaf, saya lupa... Mas Nanda lebih cocok dipanggil Art Director Muda dan Karismatik,” balas Aileen sambil tersenyum tipis.

“Sekarang itu terdengar seperti promosi kampanye,” jawab Nanda, masih dengan nada bercanda. “Tapi cuma Lo yang bisa bercanda di tengah wawancara. Tidak banyak pelamar yang bisa tetap tenang dan tetap jadi diri sendiri.”

Aileen hanya tersenyum, menunduk sedikit. “Mungkin karena yang wanwancarain Lo. Thanks udah luangin waktu.”

Aileen berani santai berbicara karena ia sudah mengenal Nanda

Yang diajak bicara pun hanya mengangguk. “Iya. Hati-hati di jalan.”

Begitu Aileen berdiri dan berjalan keluar dari ruangan itu, ia merasa langkahnya sedikit lebih ringan. Ia tak tahu akan diterima atau tidak. Tapi ia tahu satu hal: ia telah melakukan yang terbaik, dan untuk pertama kalinya sejak lama... ia percaya pada kemungkinan.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Setelah Aku Pergi   ❤️❤️ Bab 6 : Locked

    Hari-hari di Moonlight Art Studio terasa berbeda sejak kehadiran Sasha. Suasana yang sebelumnya hangat dan penuh kerja sama, perlahan berubah menjadi sedikit kaku setiap Sasha ada di sekitar Aileen. Sasha seolah selalu punya cara untuk muncul di saat-saat Aileen berbicara dengan Nanda, bahkan dalam hal-hal sepele. Tatapannya, kata-katanya, sering terasa seperti sindiran yang dibungkus senyum manis. Hari ini lah pameran digelar. Semua staf terlihat sibuk, mengerjakan bagian masing-masing dengan penuh fokus. Halaman depan gedung yang luas disulap menjadi kawasan pameran terbuka yang memukau. Dekorasi bertema seni modern dan klasik berpadu harmonis. Lampu-lampu gantung, kain putih berenda, serta rangkaian bunga segar mempercantik area pameran. Lebih dari seratus lukisan terpajang rapi, mulai dari aliran realis, abstrak, hingga kontemporer. Beberapa karya bahkan adalah hasil tangan Aileen sendiri. Nanda sudah stand by, mengatur jalannya persiapan, memastikan semuanya berjalan sesuai

  • Setelah Aku Pergi   ❤️❤️ Bab 5 : Sasha Elira Yeon

    Hari ini sangat berarti untuk Aileen. Kenapa? Karena ini adalah hari pertama ia bekerja di Seoul, hari pertama untuk lembaran baru dalam hidupnya. Sejak pulang dari wawancara, ia tak henti menatap layar laptop. Hampir larut malam, matanya nyaris terpejam ketika akhirnya, pada pukul 00.25, sebuah notifikasi muncul. > "Moonlight Art Studio — Hasil Keputusan!" Subjek email itu cukup membuat jantungnya berdegup kencang. Aileen menarik napas panjang sebelum mengkliknya. > *Selamat malam, Aileen, Setelah mempertimbangkan wawancara dan portofoliomu, kami dengan senang hati menerima kamu sebagai bagian dari tim Moonlight Art Studio. Posisi: Asisten Kurator Galeri & Kreator Seni Lepas Hari pertama kerja: Besok, pukul 09.00 KST Pakaian kerja: Bebas formal, rapi, dan artistik Selamat datang di keluarga Moonlight. — Nanda Nero Arsyadi Art Director* Aileen menatap layar itu cukup lama. Senyum perlahan mengembang di wajahnya. Bahagia, hangat, dan penuh harapan. Setelah luka-luka yang per

  • Setelah Aku Pergi   ❤️❤️ Bab 4 : Interviewed By A Guy Yesterday

    Tak terasa, tiga hari sudah berlalu sejak Aileen mengirimkan email lamaran ke Moonlight Art Studio. Meski ia berusaha mengalihkan pikiran dengan melukis dan merapikan rumah, diam-diam ia masih sangat berharap bisa mendapat balasan. Studio itu bukan hanya tempat kerja baginya, tapi juga peluang untuk memulai hidup yang benar-benar baru. Pagi itu, baru saja ia membuka laptop di meja ruang tengah, ekspresinya seketika berubah sumringah. Sebuah notifikasi email masuk, dan saat dibuka, matanya langsung tertuju pada baris pertama yang membuat jantungnya berdebar kencang: “Kami mengundang Anda untuk wawancara kerja hari ini pukul 12.00 di kantor Moonlight Art Studio.” Aileen menatap layar itu beberapa detik, memastikan ia tak salah baca. Jemarinya bergetar kecil antara gugup dan gembira. Jam menunjukkan pukul 11.00. Ia punya waktu satu jam untuk mempersiapkan diri. Tanpa menunda, ia segera bangkit dan berjalan cepat ke kamar. Ia memilih pakaian paling sopan dan nyaman yang ia punya: b

  • Setelah Aku Pergi   ❤️❤️ Bab 3 : PT Moonlight Art Studio

    Hari-hari dengan cepat berlalu. Sudah seminggu Aileen menetap di Seoul. Rumah peninggalan neneknya yang perlahan mulai berubah lebih bersih dan lebih hangat. Benda-benda usang sudah banyak yang dibuang dan diganti. Setiap sudut rumah kini mulai kembali hidup, sedikit demi sedikit. Pagi itu, Aileen baru saja selesai sarapan. Ia membereskan piring ke dapur dan hendak menyeduh teh ketika ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuat langkahnya terhenti sejenak. ‘Bang Reza’ Tanpa pikir panjang, Aileen langsung mengangkatnya. “Halo, Bang,” ucapnya pelan, sedikit canggung. Suara laki-laki di seberang langsung terdengar tegas. “Bener kamu udah cerai, dek? Kok gak bilang apa-apa ke Abang?” Aileen terdiam. Ia memang belum berani mengabari abangnya soal perceraiannya dengan Arfan. Bukan karena ingin menyembunyikan, tapi karena tidak ingin membuat abangnya khawatir. “Maaf, Bang,” ujarnya akhirnya. “Aku udah nggak tahan sama sikap Mas Arfan. Dia selingkuh di belakang aku... bahkan

  • Setelah Aku Pergi   ❤️❤️ Bab 2 : Lotusville 7B, Gangnam District, Seoul

    Seoul. Kota yang hidup sejak matahari terbit hingga jauh setelah malam turun. Ritmenya cepat, tapi tidak tergesa. Ada keteraturan di balik keramaiannya, dan ada kehangatan yang menyelinap diam-diam di setiap sudut jalan. Dari balik jendela kereta bawah tanah, pemandangan silih berganti mulai dari gedung tinggi menjulang, toko-toko kecil dengan papan nama berwarna-warni, dan orang-orang yang berjalan dengan semangat seolah setiap hari adalah awal yang baru. Seoul seperti memiliki energi yang tak pernah habis. Bahkan udara paginya pun terasa segar, seolah membisikkan bahwa tak ada hari yang sia-sia di kota ini. Di gang-gang sempit yang dipenuhi kafe dan toko roti, aroma kopi dan kue hangat bercampur dengan tawa pengunjung yang duduk santai menikmati pagi. Anak-anak muda sibuk dengan laptopnya, barista menyapa ramah, dan turis-turis berjalan sambil menunjuk peta digital dengan mata berbinar. Modern dan tradisional berjalan berdampingan tanpa saling mengganggu. Kuil-kuil kuno be

  • Setelah Aku Pergi   ❤️❤️ Bab 1 : Hopefully It Will Be A Good Start.

    Grek... grek... grek… Suara koper yang diseret, bergesekan pelan dengan lantai bandara, terdengar lebih jelas daripada keramaian di sekitarnya. Lalu-lalang orang, pengumuman dari pengeras suara, bahkan tawa riang keluarga yang hendak liburan hanya jadi latar samar yang nyaris tak terdengar. Gemeretak roda koper itu bergerak dengan ritme yang kasar, seolah tahu bahwa langkah ini bukan perjalanan santai, tapi pelarian dari sesuatu yang berat. Aileen Dwilora Rosendale. Perempuan dengan wajah cantik dan mata yang lelah itu menarik kopernya tanpa banyak suara, hanya tatapannya yang bicara. Ada luka di sana. Tapi bukan luka yang segar. Luka lama, yang belum juga sembuh. Langkahnya sempat terhenti di depan gerbang keberangkatan. Ia menatap papan informasi digital dengan tatapan kosong. Tangan kirinya menggenggam boarding pass yang mulai lembab karena keringat. “Lupain. Lo cuma perlu lupain,” gumamnya, nyaris tak terdengar oleh siapa pun. Tapi tentu saja, melupakan bukan perkara se

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status