Seoul.
Kota yang hidup sejak matahari terbit hingga jauh setelah malam turun. Ritmenya cepat, tapi tidak tergesa. Ada keteraturan di balik keramaiannya, dan ada kehangatan yang menyelinap diam-diam di setiap sudut jalan. Dari balik jendela kereta bawah tanah, pemandangan silih berganti mulai dari gedung tinggi menjulang, toko-toko kecil dengan papan nama berwarna-warni, dan orang-orang yang berjalan dengan semangat seolah setiap hari adalah awal yang baru. Seoul seperti memiliki energi yang tak pernah habis. Bahkan udara paginya pun terasa segar, seolah membisikkan bahwa tak ada hari yang sia-sia di kota ini. Di gang-gang sempit yang dipenuhi kafe dan toko roti, aroma kopi dan kue hangat bercampur dengan tawa pengunjung yang duduk santai menikmati pagi. Anak-anak muda sibuk dengan laptopnya, barista menyapa ramah, dan turis-turis berjalan sambil menunjuk peta digital dengan mata berbinar. Modern dan tradisional berjalan berdampingan tanpa saling mengganggu. Kuil-kuil kuno berdiri tenang di tengah kompleks pertokoan modern, seperti penjaga waktu yang setia. Sementara itu, menara-menara kaca memantulkan cahaya matahari, menciptakan siluet yang megah dan memukau. Seoul bukan hanya indah dipandang, tapi juga hangat dirasa. Ia menyambut siapa pun yang datang, entah untuk bekerja, belajar, atau sekadar menikmati suasana baru. Di kota ini, setiap langkah terasa berarti. Setiap senyum, seolah memberi semangat. Dan setiap sudut, punya cerita yang siap ditemukan. Disinilah Aileen berada sekarang. Dia akan memulai hidupnya yang baru di kota yang tidak pernah tidur ini. begitu banyak pejalan kaki yang berlalu lalang di jalanan. Perumahan Haneul, lokasi rumah nenek Aileen terletak di pinggiran Seoul. Tempat di mana waktu seolah berjalan lebih lambat. Lingkungannya tenang, jauh dari hiruk pikuk kota. Jalan-jalan di dalam kompleksnya sempit tapi bersih, diapit oleh rumah-rumah bergaya tradisional yang sebagian temboknya mulai pudar dimakan usia. Aileen menyusuri jalan masuk perumahan itu dengan langkah perlahan. Suasana di sekeliling begitu familiar, membuatnya seakan berjalan di antara kenangan. Pepohonan tua berjajar di sepanjang sisi jalan, menggugurkan daun-daun kuning kecoklatan yang terbang ringan tertiup angin sore. Ia melewati sebuah toko roti kecil tak jauh dari gerbang perumahan. Tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama nenek. Aromanya masih sama: manis, lembut, dan hangat. Kehangatan yang tak pernah berubah meski waktu terus berjalan. Perumahan Haneul memang tidak pernah ramai. Sesekali terdengar suara sepeda anak-anak melintas, atau gonggongan anjing dari balik pagar rumah tetangga. Tapi justru kesunyian itulah yang membuat Aileen merasa tenang. Ada kedamaian yang tidak ia temukan di tempat lain. Langkahnya berhenti di depan sebuah rumah kecil bercat putih gading di ujung blok. Tempat yang benar-benar terasa seperti rumah, meskipun kini berdiri dalam keheningan. Aileen berdiri sejenak, menatap bangunan itu dengan napas sedikit bergetar. Bukan karena sedih, tapi karena campuran rindu dan harapan. Lalu ia mendorong pintu pagar perlahan dan melangkah masuk. Begitu pintu kayu dibuka, aroma khas kayu tua dan rempah langsung menyeruak. Hangat. Familiar. Seperti pelukan lama yang menyambut tanpa banyak bicara. Udara di dalam rumah sedikit lembab, tapi tidak pengap. Lebih seperti rumah yang lama tidak dihuni namun masih menjaga kenangannya baik-baik. Ruang tamu menyambut dengan nuansa lembut. Kursi-kursi rotan berlapis kain floral masih berada di tempatnya, ditemani meja kayu tua yang mulai kusam. Di dinding tergantung bingkai-bingkai foto: Aileen kecil, neneknya saat muda, dan beberapa potret keluarga yang warnanya mulai memudar. Sebuah jam dinding antik berdetak pelan, mengisi keheningan dengan irama tenang. Di sudut ruangan, rak buku kecil berdiri tenang. Buku-bukunya berdebu, tapi tetap tersusun rapi. Di atas meja sudut, sebuah teko teh keramik tampak seperti masih setia menunggu untuk digunakan kembali. Dapur menyatu dengan ruang tamu, dipisahkan hanya oleh pintu setengah terbuka. Kompor klasik menempel di dinding, ditemani panci dan peralatan masak yang tergantung rapi. Toples-toples kaca berisi teh kering, gula, dan rempah berjajar di rak, menghadirkan aroma yang membuat Aileen tersenyum tanpa sadar. Ia bisa membayangkan neneknya berdiri di sana, menyeduh teh sambil bersenandung kecil. Lantainya dari kayu, berderit pelan setiap kali ia melangkah. Tirai putih tipis yang menutupi jendela melambai lembut ditiup angin. Cahaya matahari sore masuk dari sela-sela jendela, membentuk garis-garis cahaya yang menari tenang di lantai dan dinding rumah. Aileen meletakkan koper dan barang-barangnya di kamar. Ia membuka jendela kamar untuk membiarkan udara segar masuk, lalu meraih kemoceng yang tergantung di belakang pintu. Dengan sabar, ia mulai membersihkan debu di atas meja, lemari, dan kasur yang akan ia tempati malam ini. Beberapa baju ia lipat dan masukkan ke dalam lemari kayu yang usianya sudah terlihat jelas dari engsel yang berderit. Mungkin harus diganti nanti, pikirnya. Tapi untuk sekarang, masih cukup. Di meja rias kecil dekat tempat tidur, ia menaruh pernak-pernik kecil miliknya: ikat rambut, parfum, dan beberapa alat makeup sederhana. Usai membereskan kamar, Aileen duduk sejenak di pinggir ranjang, menikmati ketenangan yang jarang ia rasakan selama bertahun-tahun terakhir. Rumah ini masih butuh banyak hal. Beberapa perabot perlu diganti, beberapa ruang perlu dibereskan. Tapi anehnya, semua itu tidak membuatnya lelah. Justru ada semangat baru yang perlahan tumbuh. Ia berencana beristirahat sebentar sebelum pergi ke mall terdekat. Ada banyak yang harus dibeli seperti bahan makanan, perlengkapan dasar, mungkin lampu baru, dan sedikit tanaman untuk mempercantik teras depan. Hari ini bukan tentang menyelesaikan semuanya. Tapi tentang mulai satu per satu, dengan tenang. - Pukul 17.35, Aileen menyusuri sebuah mal besar di pusat kota Seoul. Gedungnya megah, pencahayaannya terang, dan dikelilingi berbagai toko yang menjual hampir segalanya. Mal itu ramai, tapi tetap terasa nyaman untuk dijelajahi. Dari toko elektronik, alat rumah tangga, sampai perlengkapan kecantikan, semua tersedia. Aileen memasuki beberapa toko satu per satu. Ia membeli berbagai kebutuhan untuk rumah barunya: bahan dapur, peralatan masak, alat kebersihan, dan perlengkapan mandi. Di toko lainnya, ia memilih jam weker baru, beberapa baju santai, piyama hangat, dan sedikit parfum serta makeup. Setelah membawa beberapa kantong belanjaan, ia menuju ke lantai paling atas, tempat toko tanaman berada. Di sinilah tujuannya yang terakhir: membeli bibit bunga dan tanaman buah untuk halaman depan rumah nenek. Ia ingin membuat rumah itu terasa lebih hidup, lebih segar. Aileen sedang asyik memilih-milih bibit ketika tiba-tiba seseorang tanpa sengaja menyenggol lengannya. Ia sedikit terkejut dan menoleh cepat. “Maaf, maaf, gue gak sengaja,” ujar seorang laki-laki yang langsung menundukkan kepala sedikit sambil mengangkat tangan sebagai isyarat minta maaf. Aileen mengangguk. “Oh. Iya, gak apa-apa kok,” balasnya dengan senyum kecil. Laki-laki itu tinggi, kulitnya putih bersih, dan penampilannya rapi. Ia mengenakan kaus putih polos, jaket ringan, dan celana jeans gelap. Beberapa paper bag berlogo toko tanaman tergantung di tangannya. “Lagi cari bibit tanaman ya? Sini, gue bantu,” tawarnya sambil ikut melirik ke rak yang tadi dilihat Aileen. Tanpa menunggu jawaban, ia ikut menelusuri rak yang penuh dengan kemasan benih warna-warni. Sambil mengambil satu-dua, ia kembali melirik ke Aileen. “Eh, gak sopan banget ya gue. Gue Nanda, Nandana Nero Arsyadi,” ujarnya sambil mengulurkan tangan. Aileen menyambutnya ramah. “Gue Aileen. Aileen Dwilora Rosendale.” “Nama lo bagus,” ujar Nanda singkat, sebelum kembali menatap rak tanaman. “Lo lagi cari bibit apa aja?” “Eumm... gue pengen bunga, sih. Mawar, melati, anggrek, sama lily. Terus kalo ada bibit buah juga, kayak stroberi atau tomat gitu,” jawab Aileen sambil mengangkat satu kemasan dan membacanya sekilas. “Oh, itu mah gampang,” balas Nanda. Ia langsung bergerak lincah, mengambil beberapa bibit dari rak-rak berbeda. “Ini mawar merah, ini melati lokal, anggreknya ada dua jenis. Nah, lily-nya di pojok situ. Dan ini, bibit stroberi. Manis, cocok buat ditanam di pot.” Tak butuh waktu lama, benih-benih itu sudah terkumpul rapi di keranjang belanja Aileen. “Nih, ambil aja. Biar gue yang bayarin sekalian,” ucap Nanda sambil membawa keranjang ke kasir. “Eh, ja—” Aileen ingin menolak, tapi ucapannya terpotong saat Nanda sudah lebih dulu mengeluarkan black card dari dompetnya dan menyerahkannya pada kasir. “Masih bisa dibatalin, lho,” gumam Aileen setengah bercanda. “Terlambat,” sahut Nanda ringan, tersenyum kecil. “Thanks, Nan. Kita baru kenal, tapi lo udah bayarin gue. Lain kali gue ganti uang lo ya,” kata Aileen tulus, meski nada suaranya terdengar agak sungkan. “Ck, gak perlu kali. Anggap aja sebagai permintaan maaf karena gue udah nyenggol lo tadi,” jawab Nanda santai. “Lagian, lo kelihatan capek banget. Hari lo pasti panjang.” Aileen terkekeh kecil. “Iya, hari ini cukup panjang.” “Ya udah, sekarang tinggal pulang dan tanam bibit-bibit ini. Rumah lo pasti bakal keliatan beda nanti.” Aileen mengangguk. “Thanks, Nanda. Serius, ini ngebantu banget.” Nanda mengangkat bahu. “Anytime. Kalau nanti tanamannya tumbuh bagus, kabarin ya.” Setelah belanjaan mereka selesai dikemas dan dibayarkan, Nanda sempat terlihat ragu sejenak sebelum mengeluarkan sebuah kartu kecil dari dompetnya. Warnanya sederhana, putih dengan tulisan tangan rapi di bagian tengahnya. “Nih,” katanya sambil menyerahkan kartu itu ke Aileen, “kalau nanti lo butuh bantuan buat nanam atau mau nanya-nanya soal tanaman, tinggal hubungi gue aja.” Aileen mengambil kartu itu dan membaca sekilas. Di sana tertulis: Nandana Nero Arsyadi 📞 +82-10-XXXX-XXXX 🏠 Lotusville 7B, Gangnam District, Seoul “Oh, lo tinggal di Gangnam?” tanya Aileen, sedikit terkejut. “Iya. Rumah gue ada taman kecil di belakang. Biasanya gue ngabisin waktu di situ kalau lagi suntuk,” jawab Nanda sambil tersenyum ringan. “Kalau lo butuh bibit tambahan atau cuma mau lihat koleksi tanaman, feel free buat mampir.” Aileen mengangguk, menyelipkan kartu itu ke dompet nya. “Makasih ya. Gue simpen.” Aileen sempat melirik sekilas ke black card yang tadi digunakan Nanda di kasir, kartu eksklusif yang hanya bisa dimiliki oleh segelintir orang. Tidak banyak yang punya, dan kalaupun punya, biasanya mereka sombong. Tapi Nanda… justru sebaliknya. Gayanya santai. Nggak pamer. Nggak banyak omong soal status atau uang. Tapi dari cara dia bicara, cara dia memperlakukan orang, dan bahkan kartu nama yang dia kasih, semuanya terasa elegan. Alamatnya pun bukan main. Lotusville 7B, Gangnam District. Salah satu kompleks perumahan paling mewah di Seoul. Aileen mengangkat alis kecil, bukan karena terkesan dengan kekayaannya, tapi karena Nanda justru terlihat down to earth banget.Hari-hari di Moonlight Art Studio terasa berbeda sejak kehadiran Sasha. Suasana yang sebelumnya hangat dan penuh kerja sama, perlahan berubah menjadi sedikit kaku setiap Sasha ada di sekitar Aileen. Sasha seolah selalu punya cara untuk muncul di saat-saat Aileen berbicara dengan Nanda, bahkan dalam hal-hal sepele. Tatapannya, kata-katanya, sering terasa seperti sindiran yang dibungkus senyum manis. Hari ini lah pameran digelar. Semua staf terlihat sibuk, mengerjakan bagian masing-masing dengan penuh fokus. Halaman depan gedung yang luas disulap menjadi kawasan pameran terbuka yang memukau. Dekorasi bertema seni modern dan klasik berpadu harmonis. Lampu-lampu gantung, kain putih berenda, serta rangkaian bunga segar mempercantik area pameran. Lebih dari seratus lukisan terpajang rapi, mulai dari aliran realis, abstrak, hingga kontemporer. Beberapa karya bahkan adalah hasil tangan Aileen sendiri. Nanda sudah stand by, mengatur jalannya persiapan, memastikan semuanya berjalan sesuai
Hari ini sangat berarti untuk Aileen. Kenapa? Karena ini adalah hari pertama ia bekerja di Seoul, hari pertama untuk lembaran baru dalam hidupnya. Sejak pulang dari wawancara, ia tak henti menatap layar laptop. Hampir larut malam, matanya nyaris terpejam ketika akhirnya, pada pukul 00.25, sebuah notifikasi muncul. > "Moonlight Art Studio — Hasil Keputusan!" Subjek email itu cukup membuat jantungnya berdegup kencang. Aileen menarik napas panjang sebelum mengkliknya. > *Selamat malam, Aileen, Setelah mempertimbangkan wawancara dan portofoliomu, kami dengan senang hati menerima kamu sebagai bagian dari tim Moonlight Art Studio. Posisi: Asisten Kurator Galeri & Kreator Seni Lepas Hari pertama kerja: Besok, pukul 09.00 KST Pakaian kerja: Bebas formal, rapi, dan artistik Selamat datang di keluarga Moonlight. — Nanda Nero Arsyadi Art Director* Aileen menatap layar itu cukup lama. Senyum perlahan mengembang di wajahnya. Bahagia, hangat, dan penuh harapan. Setelah luka-luka yang per
Tak terasa, tiga hari sudah berlalu sejak Aileen mengirimkan email lamaran ke Moonlight Art Studio. Meski ia berusaha mengalihkan pikiran dengan melukis dan merapikan rumah, diam-diam ia masih sangat berharap bisa mendapat balasan. Studio itu bukan hanya tempat kerja baginya, tapi juga peluang untuk memulai hidup yang benar-benar baru. Pagi itu, baru saja ia membuka laptop di meja ruang tengah, ekspresinya seketika berubah sumringah. Sebuah notifikasi email masuk, dan saat dibuka, matanya langsung tertuju pada baris pertama yang membuat jantungnya berdebar kencang: “Kami mengundang Anda untuk wawancara kerja hari ini pukul 12.00 di kantor Moonlight Art Studio.” Aileen menatap layar itu beberapa detik, memastikan ia tak salah baca. Jemarinya bergetar kecil antara gugup dan gembira. Jam menunjukkan pukul 11.00. Ia punya waktu satu jam untuk mempersiapkan diri. Tanpa menunda, ia segera bangkit dan berjalan cepat ke kamar. Ia memilih pakaian paling sopan dan nyaman yang ia punya: b
Hari-hari dengan cepat berlalu. Sudah seminggu Aileen menetap di Seoul. Rumah peninggalan neneknya yang perlahan mulai berubah lebih bersih dan lebih hangat. Benda-benda usang sudah banyak yang dibuang dan diganti. Setiap sudut rumah kini mulai kembali hidup, sedikit demi sedikit. Pagi itu, Aileen baru saja selesai sarapan. Ia membereskan piring ke dapur dan hendak menyeduh teh ketika ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuat langkahnya terhenti sejenak. ‘Bang Reza’ Tanpa pikir panjang, Aileen langsung mengangkatnya. “Halo, Bang,” ucapnya pelan, sedikit canggung. Suara laki-laki di seberang langsung terdengar tegas. “Bener kamu udah cerai, dek? Kok gak bilang apa-apa ke Abang?” Aileen terdiam. Ia memang belum berani mengabari abangnya soal perceraiannya dengan Arfan. Bukan karena ingin menyembunyikan, tapi karena tidak ingin membuat abangnya khawatir. “Maaf, Bang,” ujarnya akhirnya. “Aku udah nggak tahan sama sikap Mas Arfan. Dia selingkuh di belakang aku... bahkan
Seoul. Kota yang hidup sejak matahari terbit hingga jauh setelah malam turun. Ritmenya cepat, tapi tidak tergesa. Ada keteraturan di balik keramaiannya, dan ada kehangatan yang menyelinap diam-diam di setiap sudut jalan. Dari balik jendela kereta bawah tanah, pemandangan silih berganti mulai dari gedung tinggi menjulang, toko-toko kecil dengan papan nama berwarna-warni, dan orang-orang yang berjalan dengan semangat seolah setiap hari adalah awal yang baru. Seoul seperti memiliki energi yang tak pernah habis. Bahkan udara paginya pun terasa segar, seolah membisikkan bahwa tak ada hari yang sia-sia di kota ini. Di gang-gang sempit yang dipenuhi kafe dan toko roti, aroma kopi dan kue hangat bercampur dengan tawa pengunjung yang duduk santai menikmati pagi. Anak-anak muda sibuk dengan laptopnya, barista menyapa ramah, dan turis-turis berjalan sambil menunjuk peta digital dengan mata berbinar. Modern dan tradisional berjalan berdampingan tanpa saling mengganggu. Kuil-kuil kuno be
Grek... grek... grek… Suara koper yang diseret, bergesekan pelan dengan lantai bandara, terdengar lebih jelas daripada keramaian di sekitarnya. Lalu-lalang orang, pengumuman dari pengeras suara, bahkan tawa riang keluarga yang hendak liburan hanya jadi latar samar yang nyaris tak terdengar. Gemeretak roda koper itu bergerak dengan ritme yang kasar, seolah tahu bahwa langkah ini bukan perjalanan santai, tapi pelarian dari sesuatu yang berat. Aileen Dwilora Rosendale. Perempuan dengan wajah cantik dan mata yang lelah itu menarik kopernya tanpa banyak suara, hanya tatapannya yang bicara. Ada luka di sana. Tapi bukan luka yang segar. Luka lama, yang belum juga sembuh. Langkahnya sempat terhenti di depan gerbang keberangkatan. Ia menatap papan informasi digital dengan tatapan kosong. Tangan kirinya menggenggam boarding pass yang mulai lembab karena keringat. “Lupain. Lo cuma perlu lupain,” gumamnya, nyaris tak terdengar oleh siapa pun. Tapi tentu saja, melupakan bukan perkara se