Aileen datang ke Seoul untuk memulai segalanya dari awal. Sebuah studio seni bergengsi membuka pintu untuknya, seolah takdir memberinya kesempatan kedua. Tapi di balik kanvas, galeri, dan senyuman para rekan kerja, ada sesuatu yang perlahan terasa ganjil. Pertemuan yang tak terduga. Tatapan yang sulit dimaknai. Dan sebuah rahasia yang tak pernah disangka akan melibatkan dirinya begitu dalam. Tak semua yang indah di permukaan, benar-benar tanpa cela. Dan tak semua cerita bisa ditebak ujungnya.
view moreGrek... grek... grek…
Suara koper yang diseret, bergesekan pelan dengan lantai bandara, terdengar lebih jelas daripada keramaian di sekitarnya. Lalu-lalang orang, pengumuman dari pengeras suara, bahkan tawa riang keluarga yang hendak liburan hanya jadi latar samar yang nyaris tak terdengar. Gemeretak roda koper itu bergerak dengan ritme yang kasar, seolah tahu bahwa langkah ini bukan perjalanan santai, tapi pelarian dari sesuatu yang berat. Aileen Dwilora Rosendale. Perempuan dengan wajah cantik dan mata yang lelah itu menarik kopernya tanpa banyak suara, hanya tatapannya yang bicara. Ada luka di sana. Tapi bukan luka yang segar. Luka lama, yang belum juga sembuh. Langkahnya sempat terhenti di depan gerbang keberangkatan. Ia menatap papan informasi digital dengan tatapan kosong. Tangan kirinya menggenggam boarding pass yang mulai lembab karena keringat. “Lupain. Lo cuma perlu lupain,” gumamnya, nyaris tak terdengar oleh siapa pun. Tapi tentu saja, melupakan bukan perkara sesederhana menaruh nama seseorang ke dalam kotak dan menguncinya rapat-rapat. Aileen menghela napas panjang, membenarkan letak tas selempangnya, lalu kembali melangkah. Layar ponselnya menunjukkan gambar seseorang yang sudah menjadi kenangan dan tidak lagi bisa dimiliki. Seseorang yang terpaksa ia lepaskan karena sudah tidak punya harapan untuk digapai. - *Flashback On “Kamu dari mana, Mas?” tanya Aileen dengan nada datar, nyaris tanpa intonasi. Tak ada kecurigaan berlebihan di wajahnya, tapi jelas ada kekecewaan yang disembunyikan. Arfandra Raharja hanya melirik sekilas, tatapan matanya tajam dan dingin. Tanpa berkata apa pun, ia langsung mengalihkan pandangannya. Cuek. Seolah pertanyaan itu tak layak dijawab. Alih-alih menjawab, ia justru sibuk melonggarkan dasinya dan melemparkannya sembarangan ke sofa. “Jawab, Mas!” suara Aileen sedikit meninggi, nadanya terdengar kesal. “Ck… Pulang kerja lah!” jawab Arfan akhirnya, suaranya dingin dan malas. Aileen menyipitkan mata. “Pulang kerja? Yakin? Atau… mungkin jalan sama perempuan lain?” Kalimat itu sukses membuat Arfan menoleh cepat, rahangnya mengeras. “Kamu ini ngomong apa sih, hah?! Aku ini capek, baru pulang kerja! Pulang bukannya disambut, dikasih minum atau ditanya kabar, malah dicurigain, ditanya-tanya kayak orang interogasi!” bentaknya, kali ini dengan suara meninggi. Jujur, Aileen sedikit kaget. Suara Arfan selalu membuatnya merasa tertekan. Tapi kali ini, dia nggak mau kalah. Bukan saatnya takut. Ia melangkah cepat ke nakas di samping ranjang, membuka laci, dan mengambil beberapa lembar foto. “Nih!” katanya sembari melemparkan foto-foto itu ke wajah Arfan. Beberapa lembar jatuh ke lantai. Arfan menunduk, memungutnya satu-satu. Dalam hitungan detik, matanya membulat. Wajahnya kaget, tapi ekspresinya segera berubah datar lagi seolah tak terjadi apa-apa. “Untung deh kamu udah tau. Aku emang lagi cari waktu yang pas buat bilang. Eh, kamu nemu duluan. Lumayan deh, ngirit waktu,” ucapnya santai, seolah tak seperti orang yang baru saja tertangkap basah berselingkuh. Kata-katanya sukses bikin darah Aileen mendidih. Bisa-bisanya pria yang jadi suaminya selama tiga tahun itu ngomong segampang itu, tanpa rasa bersalah sedikit pun. Selama tiga tahun mereka menikah, hubungan mereka memang nggak pernah benar-benar baik. Semuanya berawal dari perjodohan, bukan cinta. Tapi Aileen sempat berharap, kalau perlahan Arfan akan berubah. Ia mencoba membuka hati, tapi tak pernah benar-benar dibalas. Bahkan bisa dihitung jari berapa kali Arfan bicara tanpa meninggikan suara padanya. “Oke, kalau gitu kita cerai! Aku udah nggak mau jadi istri tukang selingkuh kayak kamu!” kata Aileen, mantap. Suaranya bergetar sedikit, tapi ia tetap tegak berdiri. Walaupun ada luka, ada kecewa, tapi ia tahu ini jalan terbaik. Tanpa bicara panjang, Arfan membuka lemari, mengambil map coklat berisi surat cerai, lalu melemparnya ke hadapan Aileen. “Nih. Tanda tangan. Abis itu, angkat kaki dari rumah ini!” Tanpa ragu, Aileen menandatanganinya. Tak ada air mata, tak ada permohonan maaf atau adegan memohon. Selesai. Ia masuk ke kamar, mengambil koper yang sudah lama ia siapkan diam-diam. Koper itu ia tarik keluar rumah, meninggalkan semua yang pernah ia perjuangkan sendirian. Rumah itu… pernah ia harap jadi tempat membangun keluarga. Nyatanya, hanya jadi saksi bisu dari pernikahan yang gagal sejak awal. Aileen tidak menoleh lagi. Malam itu, ia melajukan mobilnya menuju apartemen Nathan, sahabat lama yang juga teman dekat abangnya. Apartemen itu sudah seperti rumah kedua. Tempatnya pulang setiap kali hati dan pikirannya terasa berat. Istri Nathan juga tak pernah mempermasalahkan kedekatan mereka. Aileen tahu batas, dan Nathan pun tahu tempatnya sebagai teman curhat. Ia berencana menginap semalam, sebelum esok paginya pulang ke rumah nenek di Seoul. Tempat yang selalu ia rindukan… dan mungkin satu-satunya rumah yang masih terasa seperti rumah. - Apartemen Nathan terletak di lantai tujuh sebuah gedung tua yang dari luar tampak biasa saja. Tapi begitu masuk ke dalam unitnya, suasananya langsung berubah. Hangat. Tenang. Seolah semua luka yang dibawa dari luar bisa sedikit mereda begitu menginjakkan kaki di sana. Begitu pintu dibuka, aroma kayu manis dan kopi langsung menyambut. Lampu-lampu gantung berwarna kuning temaram menerangi ruangan dengan cahaya yang lembut dan nyaman. Interiornya didominasi warna-warna hangat seperti cokelat tua, abu muda, dan krem menjadi kombinasi yang membuat siapa pun merasa betah. Di sudut ruangan, ada rak buku besar yang penuh dengan novel dan jurnal. Sebagian tampak berantakan, sebagian lagi tersusun rapi. Di dekat jendela lebar, sebuah kursi malas berwarna hijau tua berdiri tenang, lengkap dengan selimut tipis dan bantal kecil. Kursi itu adalah tempat favorit Aileen setiap kali datang ke sini. Dapur semi-terbuka di sisi kanan terlihat bersih dan rapi. Cangkir-cangkir kopi tergantung di dinding, tersusun dengan sentuhan personal yang khas. Aroma dari pemanas air dan sisa kopi menguar halus, seolah menjadi pengingat bahwa tempat ini selalu hidup. Selalu ada yang menyambut. Nathan muncul dari balik pintu dapur, memakai hoodie dan celana pendek. Ekspresinya terkejut, tapi tidak panik. “Aileen?” sapanya pelan. “Kamu baik-baik aja? Lagi ada masalah sama Arfan?” Melihat mata Aileen yang sedikit berair dan wajahnya yang tampak lelah, Nathan langsung bisa menebak jawabannya. Pasti ada sesuatu yang berat. Aileen tak langsung menjawab. Ia berdiri di ambang pintu, memeluk koper erat-erat, matanya tampak kosong. “Loh, ada Aileen?” suara lembut terdengar dari belakang. Dewi Nayrisca Arsyelie, istri Nathan, baru saja keluar dari kamar. Aileen mengangguk sedikit, lalu bertanya pelan, hampir seperti bisikan, “Boleh aku nginap malam ini?” Nathan langsung mengangguk. “Boleh dong. Kamu tahu kan, kamarmu selalu siap.” Dewi ikut tersenyum kecil, mengiyakan dengan anggukan. “Silakan, Aileen. Kamu selalu boleh di sini.” Tanpa banyak tanya, Nathan mengambil koper dari tangan Aileen dan membawanya masuk. Langkah Aileen terasa berat, tapi anehnya, untuk pertama kalinya malam itu, napasnya terasa sedikit lebih lega. Apartemen itu bukan cuma tempat singgah. Bagi Aileen, ini seperti pelarian. Tempat di mana luka bisa diam sebentar, dan hati yang lelah bisa beristirahat tanpa harus pura-pura kuat. - Di kamar, Aileen masih belum bisa tidur. Jam digital di nakas menunjukkan pukul 22.35. Mata memang terpejam sesekali, tapi pikirannya terus berputar. Rasanya mustahil untuk bisa tenang malam ini. Ia bangkit perlahan dari posisi rebahnya saat mendengar pintu kamar diketuk pelan. Dewi masuk dengan hati-hati dan langsung duduk di sisi tempat tidur, dekat Aileen. “Arfan ngapain lo lagi, Leen? Dia udah ngapain sampe lo tiba-tiba mau nginep pas udah hampir larut gini?” tanya Dewi dengan nada lembut tapi penuh rasa ingin tahu. Ia tahu, kalau Aileen datang malam-malam begini, pasti ada sesuatu yang berat. Lebih dari sekadar bertengkar biasa. Aileen menunduk, menarik napas pelan, lalu berkata lirih, “Gue cerai, Wi. Mas Arfan selingkuh di belakang gue. Dia jahat… jahat banget sama gue.” Mata Aileen mulai berkaca-kaca, tapi ia tahan. Bukan karena tak ingin menangis, tapi karena air mata pun rasanya udah terlalu capek keluar. Dewi terkejut, tapi ia berusaha tetap tenang. Tangannya meraih tangan Aileen, menggenggamnya erat. “Leen, Arfan emang udah nggak pantes buat lo. Ralat… emang sangat nggak pantes. Lo nggak perlu buang air mata buat cowok brengsek kayak dia. Masih banyak di luar sana yang bisa nerima lo apa adanya. Yang bisa ngasih cinta, tanpa bikin lo luka.” Aileen tersenyum kecil, meski matanya masih terlihat sembab. “Iya, gue juga udah nggak tahan sama dia. Selama ini gue bertahan karena mikir pernikahan itu harus dipertahanin… Tapi ternyata, bertahan juga bisa nyakitin diri sendiri.” Dewi mengangguk pelan. “Dan lo udah cukup kuat buat ambil keputusan itu. Gue bangga banget.” Aileen terdiam sebentar, lalu menatap Dewi. “Terus sekarang gue mau gimana?” “Itu dia yang mau gue tanya… lo mau ngapain abis ini?” Aileen menarik napas panjang sebelum menjawab. “Gue besok mau pulang ke rumah mendiang nenek gue di Seoul. Gue mau mulai hidup baru di sana. Gak tau bakal jadi apa… tapi gue pengin ninggalin semua luka di sini.” Dewi menatap Aileen dalam diam. Matanya penuh haru dan empati. “Lo pasti bisa, Leen. Di mana pun lo berada nanti, gue yakin lo bakal nemuin ketenangan yang selama ini lo cari.” Aileen hanya mengangguk. Untuk pertama kalinya malam itu, dadanya terasa sedikit lebih ringan. Bukan karena semuanya sudah selesai, tapi karena ia tahu… semuanya akan mulai lagi. Dari awal. Dengan dirinya sendiri. *Flashback Off “Kepada para penumpang pesawat Korean Air dengan nomor penerbangan KE-628 tujuan Seoul, dipersilakan segera menuju Gate 9. Boarding akan dimulai dalam waktu sepuluh menit. Terima kasih.” Gema pengumuman itu membuyarkan lamunan Aileen. Ia mengangkat kepalanya, menarik napas panjang, lalu berdiri dari kursi tunggu. Tangan kirinya meraih gagang koper, dan langkahnya mulai bergerak menuju gate keberangkatan. Hari ini, ia akan meninggalkan Jakarta. Meninggalkan semua kenangan pahit yang sudah terlalu lama ia simpan. Pulang ke Seoul. Tempat yang dulu sempat ia tinggalkan, tapi kini terasa seperti satu-satunya rumah yang masih bisa ia datangi tanpa rasa sesak. Langkahnya terasa berat, tapi juga penuh tekad. Matanya menerawang lurus ke depan, sementara suara-suara di sekitar bandara hanya terdengar samar di telinganya. Dalam hatinya, ia tahu kalau keputusan untuk meninggalkan pria yang sama sekali tidak menerima kehadirannya itu pasti yang paling benar. Aileen menatap boarding pass di tangannya, lalu tersenyum tipis. “Semoga ini awal yang baik.” gumamnya dalam hati, sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam pintu Gate 9.Hari-hari di Moonlight Art Studio terasa berbeda sejak kehadiran Sasha. Suasana yang sebelumnya hangat dan penuh kerja sama, perlahan berubah menjadi sedikit kaku setiap Sasha ada di sekitar Aileen. Sasha seolah selalu punya cara untuk muncul di saat-saat Aileen berbicara dengan Nanda, bahkan dalam hal-hal sepele. Tatapannya, kata-katanya, sering terasa seperti sindiran yang dibungkus senyum manis. Hari ini lah pameran digelar. Semua staf terlihat sibuk, mengerjakan bagian masing-masing dengan penuh fokus. Halaman depan gedung yang luas disulap menjadi kawasan pameran terbuka yang memukau. Dekorasi bertema seni modern dan klasik berpadu harmonis. Lampu-lampu gantung, kain putih berenda, serta rangkaian bunga segar mempercantik area pameran. Lebih dari seratus lukisan terpajang rapi, mulai dari aliran realis, abstrak, hingga kontemporer. Beberapa karya bahkan adalah hasil tangan Aileen sendiri. Nanda sudah stand by, mengatur jalannya persiapan, memastikan semuanya berjalan sesuai
Hari ini sangat berarti untuk Aileen. Kenapa? Karena ini adalah hari pertama ia bekerja di Seoul, hari pertama untuk lembaran baru dalam hidupnya. Sejak pulang dari wawancara, ia tak henti menatap layar laptop. Hampir larut malam, matanya nyaris terpejam ketika akhirnya, pada pukul 00.25, sebuah notifikasi muncul. > "Moonlight Art Studio — Hasil Keputusan!" Subjek email itu cukup membuat jantungnya berdegup kencang. Aileen menarik napas panjang sebelum mengkliknya. > *Selamat malam, Aileen, Setelah mempertimbangkan wawancara dan portofoliomu, kami dengan senang hati menerima kamu sebagai bagian dari tim Moonlight Art Studio. Posisi: Asisten Kurator Galeri & Kreator Seni Lepas Hari pertama kerja: Besok, pukul 09.00 KST Pakaian kerja: Bebas formal, rapi, dan artistik Selamat datang di keluarga Moonlight. — Nanda Nero Arsyadi Art Director* Aileen menatap layar itu cukup lama. Senyum perlahan mengembang di wajahnya. Bahagia, hangat, dan penuh harapan. Setelah luka-luka yang per
Tak terasa, tiga hari sudah berlalu sejak Aileen mengirimkan email lamaran ke Moonlight Art Studio. Meski ia berusaha mengalihkan pikiran dengan melukis dan merapikan rumah, diam-diam ia masih sangat berharap bisa mendapat balasan. Studio itu bukan hanya tempat kerja baginya, tapi juga peluang untuk memulai hidup yang benar-benar baru. Pagi itu, baru saja ia membuka laptop di meja ruang tengah, ekspresinya seketika berubah sumringah. Sebuah notifikasi email masuk, dan saat dibuka, matanya langsung tertuju pada baris pertama yang membuat jantungnya berdebar kencang: “Kami mengundang Anda untuk wawancara kerja hari ini pukul 12.00 di kantor Moonlight Art Studio.” Aileen menatap layar itu beberapa detik, memastikan ia tak salah baca. Jemarinya bergetar kecil antara gugup dan gembira. Jam menunjukkan pukul 11.00. Ia punya waktu satu jam untuk mempersiapkan diri. Tanpa menunda, ia segera bangkit dan berjalan cepat ke kamar. Ia memilih pakaian paling sopan dan nyaman yang ia punya: b
Hari-hari dengan cepat berlalu. Sudah seminggu Aileen menetap di Seoul. Rumah peninggalan neneknya yang perlahan mulai berubah lebih bersih dan lebih hangat. Benda-benda usang sudah banyak yang dibuang dan diganti. Setiap sudut rumah kini mulai kembali hidup, sedikit demi sedikit. Pagi itu, Aileen baru saja selesai sarapan. Ia membereskan piring ke dapur dan hendak menyeduh teh ketika ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuat langkahnya terhenti sejenak. ‘Bang Reza’ Tanpa pikir panjang, Aileen langsung mengangkatnya. “Halo, Bang,” ucapnya pelan, sedikit canggung. Suara laki-laki di seberang langsung terdengar tegas. “Bener kamu udah cerai, dek? Kok gak bilang apa-apa ke Abang?” Aileen terdiam. Ia memang belum berani mengabari abangnya soal perceraiannya dengan Arfan. Bukan karena ingin menyembunyikan, tapi karena tidak ingin membuat abangnya khawatir. “Maaf, Bang,” ujarnya akhirnya. “Aku udah nggak tahan sama sikap Mas Arfan. Dia selingkuh di belakang aku... bahkan
Seoul. Kota yang hidup sejak matahari terbit hingga jauh setelah malam turun. Ritmenya cepat, tapi tidak tergesa. Ada keteraturan di balik keramaiannya, dan ada kehangatan yang menyelinap diam-diam di setiap sudut jalan. Dari balik jendela kereta bawah tanah, pemandangan silih berganti mulai dari gedung tinggi menjulang, toko-toko kecil dengan papan nama berwarna-warni, dan orang-orang yang berjalan dengan semangat seolah setiap hari adalah awal yang baru. Seoul seperti memiliki energi yang tak pernah habis. Bahkan udara paginya pun terasa segar, seolah membisikkan bahwa tak ada hari yang sia-sia di kota ini. Di gang-gang sempit yang dipenuhi kafe dan toko roti, aroma kopi dan kue hangat bercampur dengan tawa pengunjung yang duduk santai menikmati pagi. Anak-anak muda sibuk dengan laptopnya, barista menyapa ramah, dan turis-turis berjalan sambil menunjuk peta digital dengan mata berbinar. Modern dan tradisional berjalan berdampingan tanpa saling mengganggu. Kuil-kuil kuno be
Grek... grek... grek… Suara koper yang diseret, bergesekan pelan dengan lantai bandara, terdengar lebih jelas daripada keramaian di sekitarnya. Lalu-lalang orang, pengumuman dari pengeras suara, bahkan tawa riang keluarga yang hendak liburan hanya jadi latar samar yang nyaris tak terdengar. Gemeretak roda koper itu bergerak dengan ritme yang kasar, seolah tahu bahwa langkah ini bukan perjalanan santai, tapi pelarian dari sesuatu yang berat. Aileen Dwilora Rosendale. Perempuan dengan wajah cantik dan mata yang lelah itu menarik kopernya tanpa banyak suara, hanya tatapannya yang bicara. Ada luka di sana. Tapi bukan luka yang segar. Luka lama, yang belum juga sembuh. Langkahnya sempat terhenti di depan gerbang keberangkatan. Ia menatap papan informasi digital dengan tatapan kosong. Tangan kirinya menggenggam boarding pass yang mulai lembab karena keringat. “Lupain. Lo cuma perlu lupain,” gumamnya, nyaris tak terdengar oleh siapa pun. Tapi tentu saja, melupakan bukan perkara se
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments