Hari-hari dengan cepat berlalu. Sudah seminggu Aileen menetap di Seoul. Rumah peninggalan neneknya yang perlahan mulai berubah lebih bersih dan lebih hangat. Benda-benda usang sudah banyak yang dibuang dan diganti. Setiap sudut rumah kini mulai kembali hidup, sedikit demi sedikit.
Pagi itu, Aileen baru saja selesai sarapan. Ia membereskan piring ke dapur dan hendak menyeduh teh ketika ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuat langkahnya terhenti sejenak. ‘Bang Reza’ Tanpa pikir panjang, Aileen langsung mengangkatnya. “Halo, Bang,” ucapnya pelan, sedikit canggung. Suara laki-laki di seberang langsung terdengar tegas. “Bener kamu udah cerai, dek? Kok gak bilang apa-apa ke Abang?” Aileen terdiam. Ia memang belum berani mengabari abangnya soal perceraiannya dengan Arfan. Bukan karena ingin menyembunyikan, tapi karena tidak ingin membuat abangnya khawatir. “Maaf, Bang,” ujarnya akhirnya. “Aku udah nggak tahan sama sikap Mas Arfan. Dia selingkuh di belakang aku... bahkan dari awal, dia nggak pernah benar-benar cinta sama aku.” Suara Aileen terdengar tenang, tapi ada sesak yang tak bisa disembunyikan. Luka itu memang belum sembuh sepenuhnya. Reza menarik napas panjang di seberang. “Abang udah curiga dari dulu soal dia. Tapi harusnya kamu cerita dulu. Sekarang kamu tinggal di mana?” Nada khawatir terdengar jelas di suaranya. Wajar saja, ia sedang berada di luar negeri untuk menangani kasus besar, dan tiba-tiba mendapat kabar kalau adik satu-satunya telah bercerai... tanpa pemberitahuan sedikit pun. Reza Afkara Rosendale, pria yang bukan hanya seorang kakak, tapi juga pengacara terkenal yang kerap menangani kasus-kasus berat lintas negara. Saat ini, ia berada di London untuk menyelesaikan persidangan terkait salah satu kasus kriminal disana. “Sekarang aku di Seoul, Bang. Di rumah Grandma Ely,” jawab Aileen, suaranya mengecil. Ia sempat khawatir abangnya akan marah karena ia pergi tanpa izin. Namun suara Reza justru terdengar lebih tenang. “Baguslah kalau kamu ada tempat tinggal. Abang sempat takut kamu tinggal sendiri entah di mana. Setelah sidang ini selesai, Abang bakal ke sana. Tunggu aja ya.” Aileen menghembuskan napas lega. “Iya, Bang. Maaf juga udah bikin khawatir.” “Yang penting sekarang kamu jaga diri, jangan biarin apa pun ngerusak kamu lagi, ya. Kamu udah cukup kuat sampai sejauh ini,” ucap Reza, nada suaranya mulai melunak. Aileen tersenyum tipis. “Makasih, Bang...” “Oke, Abang tutup dulu ya. Sidangnya bentar lagi mulai. Kalau butuh apa-apa, kabarin. Jangan simpan sendiri.” “Iya, Bang. Hati-hati di sana.” Telpon berakhir, tapi rasa hangat di dada Aileen bertahan lebih lama. Ia lega abangnya tidak marah karena perceraiannya yang tanpa izin ini. Setidaknya satu beban sudah sedikit terangkat. Ia tahu dirinya tidak sepenuhnya sendirian. Dan di saat keheningan kembali menyelimuti rumah itu, satu kesadaran perlahan tumbuh di benaknya. Aileen berniat mencari pekerjaan untuk menambah pemasukannya. Memang, ia masih membawa cukup uang dari tabungan semasa tinggal bersama Arfan. Tapi ia sadar, tabungan tidak akan bertahan selamanya. Ia butuh aktivitas, dan yang paling penting: ia ingin mandiri. Selesai minum teh sore itu, Aileen memutuskan untuk mengecek gudang yang terletak di belakang rumah. Gudang itu sedikit berdebu dan beraroma kayu lembap, tapi tidak terlalu berantakan. Saat menyisir isinya, ia menyadari ada tangga tua kayu kecil yang mengarah ke loteng. Dengan langkah hati-hati, ia menaiki tangga yang sedikit berderit. Loteng itu ternyata menyimpan banyak barang milik neneknya. Di salah satu sudut, matanya tertumbuk pada sebuah kotak kayu tua yang tampak sangat familiar. Seperti pernah dilihatnya dulu saat masih kecil. “Ini apa ya…” gumam Aileen pada dirinya sendiri, penasaran. Perlahan, ia membuka kotak itu. Debu tipis mengepul pelan, mengeluarkan aroma masa lalu. Di dalamnya, tersimpan berbagai alat lukis seperti cat air, kuas, pensil sketsa, dan kanvas-kanvas kecil. Semua masih tersimpan dengan cukup baik, meskipun beberapa warna cat mulai mengering. Di bawahnya, ada beberapa lukisan setengah jadi berupa gambaran bunga liar, potret anak-anak, dan panorama hutan musim gugur. Alat-alat itu adalah peninggalan neneknya, Elysa Rosendale, yang dulu dikenal sebagai seniman lukis lokal di komunitas Perumahan Haneul. Banyak warga sekitar yang datang hanya untuk belajar atau melihat lukisan neneknya. Aileen sempat belajar melukis saat kecil, tapi berhenti saat hidup mulai menuntut terlalu banyak darinya. Kini, saat menyentuh kuas itu, ada sesuatu yang mengalir hangat di dadanya. Bukan hanya nostalgia tapi semacam dorongan. Seperti sebuah pintu lama yang akhirnya terbuka kembali. Ia memandangi alat-alat lukis itu cukup lama, jari-jarinya menelusuri gagang kuas yang sudah mulai mengelupas. Dan tanpa banyak berpikir, Aileen membawa kotak itu turun ke bawah, meletakkannya di meja ruang tengah. Hatinya terasa ringan, seperti menemukan harta karun yang lama terlupakan. Hari itu juga, Aileen mulai melukis kembali. Ia tidak memasang target tinggi. Tidak ada deadline. Ia hanya ingin membiarkan hatinya bicara. Ia mulai dengan hal sederhana seperti bunga kecil yang tumbuh di halaman, bentuk daun-daun yang gugur, warna langit senja Seoul yang selalu berubah. Melukis membuatnya merasa utuh. Damai. Seolah segala luka yang pernah ada perlahan mengering di atas kanvas. Hari-harinya pun mulai punya ritme baru. Pagi diisi dengan membersihkan rumah, siang hingga sore duduk di depan kanvas dengan kuas dan warna-warna yang bicara mewakili isi hati. Malam harinya, ia biasa membaca atau sekadar duduk di depan jendela, memandangi bintang, sembari mengingat kembali betapa panjang perjalanan yang sudah ia lewati. Aileen berfikir ingin mencoba menghasilkan uang dengan melukis. Ia suka menggores kuas di kanvas. Ini bisa jadi peluang yang bagus untuknya. Beberapa hari kemudian, saat sedang berjalan menyusuri pinggiran kota untuk mencari inspirasi, Aileen tanpa sengaja melewati deretan ruko kecil. Di antara toko roti dan kedai teh, matanya menangkap sebuah papan kayu sederhana bertuliskan: "PT Moonlight Art Studio. Menerima siswa, pelukis freelance, & staf galeri part-time." Langkahnya otomatis terhenti. Ia menatap papan itu cukup lama, seolah sedang menimbang. Tapi dalam hati, Aileen tahu ini bukan sekadar kebetulan. Ini mungkin awal yang selama ini ia cari. Ia segera mencatat nomor kontak yang tertera. Malam harinya, setelah memastikan CV-nya sudah diperbarui dan portofolionya tersusun rapi, Aileen membuka laptop dan mengetik email. Ia menyertakan lukisan-lukisan lama yang pernah ia pamerkan saat kuliah, serta foto karya barunya yang ia buat sejak kembali ke Seoul. Kalimat penutupnya sederhana: "Saya tidak punya banyak pengalaman profesional, tapi saya memiliki kecintaan yang besar terhadap seni. Terima kasih jika bersedia melihat karya saya." Ia menekan tombol kirim. Lalu bersandar di kursi, menatap langit malam dari balik jendela. Ia tidak tahu apakah akan diterima. Tapi yang pasti, ini berkemungkinan membantu nya memulai hidupnya yang baru.Hari-hari di Moonlight Art Studio terasa berbeda sejak kehadiran Sasha. Suasana yang sebelumnya hangat dan penuh kerja sama, perlahan berubah menjadi sedikit kaku setiap Sasha ada di sekitar Aileen. Sasha seolah selalu punya cara untuk muncul di saat-saat Aileen berbicara dengan Nanda, bahkan dalam hal-hal sepele. Tatapannya, kata-katanya, sering terasa seperti sindiran yang dibungkus senyum manis. Hari ini lah pameran digelar. Semua staf terlihat sibuk, mengerjakan bagian masing-masing dengan penuh fokus. Halaman depan gedung yang luas disulap menjadi kawasan pameran terbuka yang memukau. Dekorasi bertema seni modern dan klasik berpadu harmonis. Lampu-lampu gantung, kain putih berenda, serta rangkaian bunga segar mempercantik area pameran. Lebih dari seratus lukisan terpajang rapi, mulai dari aliran realis, abstrak, hingga kontemporer. Beberapa karya bahkan adalah hasil tangan Aileen sendiri. Nanda sudah stand by, mengatur jalannya persiapan, memastikan semuanya berjalan sesuai
Hari ini sangat berarti untuk Aileen. Kenapa? Karena ini adalah hari pertama ia bekerja di Seoul, hari pertama untuk lembaran baru dalam hidupnya. Sejak pulang dari wawancara, ia tak henti menatap layar laptop. Hampir larut malam, matanya nyaris terpejam ketika akhirnya, pada pukul 00.25, sebuah notifikasi muncul. > "Moonlight Art Studio — Hasil Keputusan!" Subjek email itu cukup membuat jantungnya berdegup kencang. Aileen menarik napas panjang sebelum mengkliknya. > *Selamat malam, Aileen, Setelah mempertimbangkan wawancara dan portofoliomu, kami dengan senang hati menerima kamu sebagai bagian dari tim Moonlight Art Studio. Posisi: Asisten Kurator Galeri & Kreator Seni Lepas Hari pertama kerja: Besok, pukul 09.00 KST Pakaian kerja: Bebas formal, rapi, dan artistik Selamat datang di keluarga Moonlight. — Nanda Nero Arsyadi Art Director* Aileen menatap layar itu cukup lama. Senyum perlahan mengembang di wajahnya. Bahagia, hangat, dan penuh harapan. Setelah luka-luka yang per
Tak terasa, tiga hari sudah berlalu sejak Aileen mengirimkan email lamaran ke Moonlight Art Studio. Meski ia berusaha mengalihkan pikiran dengan melukis dan merapikan rumah, diam-diam ia masih sangat berharap bisa mendapat balasan. Studio itu bukan hanya tempat kerja baginya, tapi juga peluang untuk memulai hidup yang benar-benar baru. Pagi itu, baru saja ia membuka laptop di meja ruang tengah, ekspresinya seketika berubah sumringah. Sebuah notifikasi email masuk, dan saat dibuka, matanya langsung tertuju pada baris pertama yang membuat jantungnya berdebar kencang: “Kami mengundang Anda untuk wawancara kerja hari ini pukul 12.00 di kantor Moonlight Art Studio.” Aileen menatap layar itu beberapa detik, memastikan ia tak salah baca. Jemarinya bergetar kecil antara gugup dan gembira. Jam menunjukkan pukul 11.00. Ia punya waktu satu jam untuk mempersiapkan diri. Tanpa menunda, ia segera bangkit dan berjalan cepat ke kamar. Ia memilih pakaian paling sopan dan nyaman yang ia punya: b
Hari-hari dengan cepat berlalu. Sudah seminggu Aileen menetap di Seoul. Rumah peninggalan neneknya yang perlahan mulai berubah lebih bersih dan lebih hangat. Benda-benda usang sudah banyak yang dibuang dan diganti. Setiap sudut rumah kini mulai kembali hidup, sedikit demi sedikit. Pagi itu, Aileen baru saja selesai sarapan. Ia membereskan piring ke dapur dan hendak menyeduh teh ketika ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuat langkahnya terhenti sejenak. ‘Bang Reza’ Tanpa pikir panjang, Aileen langsung mengangkatnya. “Halo, Bang,” ucapnya pelan, sedikit canggung. Suara laki-laki di seberang langsung terdengar tegas. “Bener kamu udah cerai, dek? Kok gak bilang apa-apa ke Abang?” Aileen terdiam. Ia memang belum berani mengabari abangnya soal perceraiannya dengan Arfan. Bukan karena ingin menyembunyikan, tapi karena tidak ingin membuat abangnya khawatir. “Maaf, Bang,” ujarnya akhirnya. “Aku udah nggak tahan sama sikap Mas Arfan. Dia selingkuh di belakang aku... bahkan
Seoul. Kota yang hidup sejak matahari terbit hingga jauh setelah malam turun. Ritmenya cepat, tapi tidak tergesa. Ada keteraturan di balik keramaiannya, dan ada kehangatan yang menyelinap diam-diam di setiap sudut jalan. Dari balik jendela kereta bawah tanah, pemandangan silih berganti mulai dari gedung tinggi menjulang, toko-toko kecil dengan papan nama berwarna-warni, dan orang-orang yang berjalan dengan semangat seolah setiap hari adalah awal yang baru. Seoul seperti memiliki energi yang tak pernah habis. Bahkan udara paginya pun terasa segar, seolah membisikkan bahwa tak ada hari yang sia-sia di kota ini. Di gang-gang sempit yang dipenuhi kafe dan toko roti, aroma kopi dan kue hangat bercampur dengan tawa pengunjung yang duduk santai menikmati pagi. Anak-anak muda sibuk dengan laptopnya, barista menyapa ramah, dan turis-turis berjalan sambil menunjuk peta digital dengan mata berbinar. Modern dan tradisional berjalan berdampingan tanpa saling mengganggu. Kuil-kuil kuno be
Grek... grek... grek… Suara koper yang diseret, bergesekan pelan dengan lantai bandara, terdengar lebih jelas daripada keramaian di sekitarnya. Lalu-lalang orang, pengumuman dari pengeras suara, bahkan tawa riang keluarga yang hendak liburan hanya jadi latar samar yang nyaris tak terdengar. Gemeretak roda koper itu bergerak dengan ritme yang kasar, seolah tahu bahwa langkah ini bukan perjalanan santai, tapi pelarian dari sesuatu yang berat. Aileen Dwilora Rosendale. Perempuan dengan wajah cantik dan mata yang lelah itu menarik kopernya tanpa banyak suara, hanya tatapannya yang bicara. Ada luka di sana. Tapi bukan luka yang segar. Luka lama, yang belum juga sembuh. Langkahnya sempat terhenti di depan gerbang keberangkatan. Ia menatap papan informasi digital dengan tatapan kosong. Tangan kirinya menggenggam boarding pass yang mulai lembab karena keringat. “Lupain. Lo cuma perlu lupain,” gumamnya, nyaris tak terdengar oleh siapa pun. Tapi tentu saja, melupakan bukan perkara se