Share

Setelah Engkau Mendua
Setelah Engkau Mendua
Penulis: Wahyuni SST

1. Undangan dari Ibu Mertua

Apa yang paling diidamkan wanita, punya suami kaya, baik, sholih, setia, taat ibadah dan sangat sayang pada istrinya?

Lalu, apa yang diidamkan oleh para lelaki? Punya istri cantik, sehat, baik, shalihah dan yang paling penting, bisa memberi keturunan.

Apa jadinya jika semua itu kumiliki sebagai seorang wanita, tapi aku memiliki satu kekurangan yang tidak mampu kugapai bahkan setelah sepuluh tahun pernikahan dengan Mas Bima, ya aku mandul. Aku tidak bisa memberinya keturunan hingga bahagia yang sepuluh tahun membersamai terpaksa kuikhlaskan untuk diduakan dengan wanita lain.

Inilah kisahku ...

*

Semua berawal dari telpon ibu mertua.

"Nisa, nanti malam nginep di rumah Mama, ya?"

Aku terdiam sejenak, tidak pernah selama sepuluh tahun menjadi menantunya mama menelpon dan memintaku untuk tidur di rumah. Kecuali ada acara, itupun bersama suamiku, anaknya.

"Ada acara apa, Ma?"

"Emangnya harus ada acara dulu baru kamu mau menginap di rumah Mama?"

Mendengar perkataan itu, aku jadi merasa tidak enak.

"Oh nggak sih Ma, soalnya Mas Bima 'kan sedang keluar kota. Jadi, nggak ada yang antar Nisa ke sana."

"Kebetulan Sarah sama suaminya ada di Jakarta dan mereka mau balik ke Bandung pagi ini. Kamu bareng di mobil mereka aja ya, biar Mama telpon."

"Iya Ma."

Meski sedikit bertanya-tanya, tapi aku bersiap-siapnjuga menunggu jemputan dari Sarah. Sembari menanti kedatangan adik ipar, aku mengetik sebuah pesan untuk Mas Bima yang mengabarkan bahwa malam ini akan menginap di rumah mama. 

Tak lama, Sarah pun sampai. Kami melakukan perjalanan selama kurang lebih tiga jam. Sampai di Bandung, aku melihat sebuah mobil mewah terparkir di sana. Mobil siapa, ya?

"Ayo Mbak, masuk."

Memasuki rumah, aku melihat mama duduk berbicara di ruang tamu. Ada Mbak Ara kakak ipar dan seorang wanita cantik. 

"Eh Nisa udah sampai, sini duduk Nis. Kenalkan ini namanya Nirmala Ayu. Mantan pacarnya Bima dulu."

Deg.

Aku teringat pernah sebelum menikah Mas Bima bercerita padaku bahwa dia pernah ingin menikahi seorang gadis. Tapi gadis itu belum mau serius, dia masih mau meniti kariernya sebagai seorang model. Semenjak itu sang gadis benar-benar sibuk dab hubungan merekapun putus. Kalau tidak salah, namanya Nirmala Ayu. Aku juga pernah melihatnya beberapa kali tampil di majalah Nasional. Tidak salah lagi, tapi kenapa dia ada di rumah ini?

"Mala ini sudah lama memutuskan untuk tidak lagi bergelut si dunia model. Mau fokus mencari calon suami."

Mala tampak tersenyum manis. Dia dan Mama kembali terlibat pembicaraan seru. Sementara aku dilupakan. Padahal yang menyuruh datang ke rumah ini juga mama.

Malam harinya Mama memintaku duduk di ruang keluarga. Saat itulah beliau mengeluarkan isi hatinya.

"Berapa lama lagi Mama harus menunggu?"

Mama berbicara sangat tegas dengan sorot mata tajam.

"Menunggu apa, Ma?"

"Kamu telah bergabung dengan keluarga kami selama sepuluh tahun, sampai saat ini Mama tidak melihat tanda-tanda kehamilan padamu."

Aku menangis, untuk inikah aku diundang kemari? Untuk dihina ataukah dipisahkan dengan suamiku?

"Sebenarnya sebelum menikah denganmu, Bima sudah hampir menikah dengan wanita lain yang sangat mama sukai. Tapi takdir memisahkan mereka, bukan karena orang ketiga hanya kesalahpahaman. Sekarang Mama bertanya, kamu maunya bagaimana? Bercerai atau dimadu?"

Ya Allah, kuatkan hati ini.. aku ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan remuk mendengarnya. Mengapa mama bersikap seperti ini terhadapku.

"Kenapa diam Nisa, Mama butuh jawabannya sekarang."

Tak ada waktu berdiskusi, sekalipun dengan Rabb yang menggenggam takdir hidup ini. Dengan mengawali Bismillah, aku membuka suara yang terdengar bergetar.

"Demi untuk kebaikan dan masa depan kita semua, aku akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami. ”

Aku berusaha menahan dengan sekuat tengah ribuan cairan yang hendak keluar dari kedua netra. Siap tak siap, tapi aku sudah rela dimadu.

"Baik. Mama sudah bertemu dengan orangnya Nisa, kamu hanya harus datang untuk melamar dan menyatakan bahwa kamu benar-benar ikhlas menerima dia sebagai istri kedua Bima."

Tidak bisa berkata apapun lagi, aku hanya terdiam menahan rasa sesak di dada.

Di penghujung pertemuan kami, Mama kembali mengingatkan agar secepatnya aku memberitahu Mas Bima perihal ini. Ya Allah, aku tak pernah menangis takdir, semenjak kecil kehilangan kedua orang tua bahkan ketika diri harus menerima segala perlakuan buruk dari keluarga bibi yang pada akhrinya membesarkanku. 

Tapi pada kenyataan yang menimpaku saat ini, rasanya aku ingin menjerit. Meminta agar Engkau mengubah takdir. Tapi kucoba kembali berbesar hati dan percaya bahwa tidak ada satupun kejadian di muka bumi ini jika tidak Engkau sertakan sebuah rahmat di baliknya, maka kuatkan hati ini, luaskan sabar agar aku bisa ikhlas menerima kenyataan sekalipun ia sangat menyakitkan terasa.

*

Malam itu, seperti malam-malam lainnya. Kami tertidur setelah selesai melaksanakan sunnah suami istri. Satubjam berlalu, tapi kedua netraku tak jua bisa terpejam. Aku teringat akan permintaan Mama mertua yang belum kujalankan. 

Melihat Mas Bima yang sudah terlelap, akhirnya kuputuskan untuk bangkit. Selembar kertas menjadi tujuan mata. Sudah lama aku tidak melatih jemari sebagaimana bakat dan kuliah yang kuambil dahulu. 

Sebuah gaun pengantin telah selesai kudesain di atas kertas itu. Tiba-tiba ...

"Bagus sekali gaun pengantinnya," tanya Mas yang membuatku begitu terhenyak. Kusunggingkan selarik senyum.

"Iya harus bagus Mas, ini adalah gaun pengantin bagi siapa saja yang kelak akan menjadi adik maduku.

Lelaki yang sepuluh tahun yang lalu datang pada kedua orang tua dan melamarku dengan begitu gagah, tampak menghela napas berat. Sudah kesekian kali aku membicarakan perihal poligami padanya. Namun, dia terlihat sangat tidak setuju.

"Siapa sih yang mau mendua, Mas nggak mau."

Aku hanya bisa tersenyum dalam tangisan, bukan tanpa sebab diri terus menawarkan sesuatu yang jelas hati belum mampu menjalankannya. Semua karena mama mertua sudah memberi dua opsi, bercerai atau dimadu. Sepuluh tahun sudah dia menanti aku memberikan seorang cucu, tapi sayang sampai detik ini keinginannya belum bisa kuwujudkan.

"Kamu harus mau, Mas. Atau jika tidak, Mama akan merasa sedih."

Kuganti kata marah dengan sedih, bagaimanapun buruknya perlakuan mama mertua selama ini, aku tetap menjaga namanya di depan suami.

"Mama nggak akan sedih, beliau pasti bisa bersabar menunggu kita berusaha lagi. Lagian Mama juga udah punya cucu, dari Sarah juga Mbak Ana."

Andai yang diucapkan Mas Bima benar-benar bisa dilakukan oleh mama?

Sayangnya, mama mertua tidak mau cucu dari dua anak perempuannya, dia mau cucu dari satu-satu anak lelaki yang dimiliki. Beliau bahkan sudah menemukan calon istri kedua untuk suamiku. Menurutnya, jika wanita itu yang kutawarkan, Mas Bima pasti tidak akan menolak.

Terngiang pertemuan beberapa hari yang lalu dengan Mama mertua.

"Mama sudah bertemu dengan orangnya, Nisa. Kamu hanya harus datang untuk melamar dan menyatakan bahwa kamu benar-benar ikhlas menerima dia sebagai istri kedua Bima."

Perkataan Mama hari itu benar-benar seperti petir yang membelah hati ini. Ibarat permukaan air yang tenang menabrak batu besar di pinggiran lautan, dada terasa terhempas. sekujur tubuh lemah mendapati kenyataan bahwa tak ada alasan lagi untuk menghindar. Aku harus mengalah dan mengikhlaskan suamiku untuk mendua.

Kukuatkan hati untuk menyebut nama wanita yang dipilihkan mama. 

"Namanya Nirmala Ayu, Mas."

Berbeda jika aku menawarkan wanita lain dengan memperlihatkan foto, Mas Bima bahkan membuang wajah. Tapi ketika kusebutkan nama Nirmala, dua netranya menatapku seketika. Itulah kenapa ada rasa cemburu ketika pada akhirnya aku mencoba untuk mengikhlaskan dia menikah lagi.

Kukeluarkan selembar foto yang diberi Mama mertua padaku lalu memperlihatkan padanya. Foto seorang wanita tengah tersenyum cantik ke arah kamera. Barisan giginya yang rapi dan putih menyihir siapa saja yang melihat, kupastikan tak terkecuali juga dengan suamiku. Pandangan mengidam kudapati pada tatapan itu.

"Kenapa dia?" tanyanya kemudian sembari perlahan membuang wajah.

"Karena kalau yang lain kamu menolak, siapa tahu jika dia yang kutawarkan kamu akan mau."

Kala itu Mas Bima memelukku, entah bisa dia rasakan tapi jantungku seolah berhenti berdetak. Ada banyak air mata yang ingin melesat keluar saat aku menawarkan wanita itu padanya. Namun, kutahan sekuat tenaga.

"Haruskah kita menjalankan pernikahan ini?" tanyanya dengan suara bergetar seperti menahan tangis.

"Pernikahan keduamu ini bukan hanya tentang kita, Mas. Tapi juga ada harapan Mama yang ingin kita wujudkan."

Mas Bima meraih kedua jemariku lalu mengecup perlahan.

"Kamu setuju 'kan, Mas?" tanyaku kembali dengan hati yang tercabik-cabik. Kutundukkan sedikit wajah menahan air mata yang semakin kuat mendesak kedua kelopak.

Mas Bima memilih bergeming, saat aku mengangkat kembali wajah ternyata kedua netranya telah luruh air mata. Apakah dia seterluka itu mengabulkan permintaan mamanya sendiri? Bukankah seharusnya dia berbahagia, bisa mempunyai dua istri, bahkan istri kedua adalah wanita yang sangat ia cintai dahulu?

"Kenapa Mas menangis?"

Dua netra kami saling bertemu, didetik ini aku sudah tidak dapat menahan pula desakan pada kedua pelupuk mata. Kubiarkan bermili-mili cairan berjatuhan di hadapannya. 

Mas Bima kembali memelukku erat, di dalam dekapannya aku berjanji akan mengikhlaskan Mas Bima menikah sepenuh hati. Aku akan berusaha untuk tidak cemburu karena sangat yakin bahwa Mas Bima akan bisa bersikap adil.

"Kamu pasti akan cemburu, Nis. Kamu pasti akan cemburu. Lalu kamu akan menangis dan menutupi perasaan itu dariku."

Dia semakin terisak dan akupun sama.

"Kamu ingat janjiku dulu, Nis?"

Dia melerai pelukan dan kembali menatapku.

"Aku berjanji tidak akan membuatmu menangis satu kalipun seumur hidup. Jika pernikahan ini terjadi, aku takut tak bisa menepati janji itu lagi, Nis."

Kupaksakan diri untuk tersenyum, jemari kugunakan untuk menyeka air matanya.

"Kamu pasti bisa, Mas. Aku sudah ikhlas demi kebahagiaan kita bersama. Demi anak-anak yang sangat dirindukan mama. Aku ikhlas, asal kamu bisa berjanji satu hal padaku. Berjanjilah untuk selalu bersikap adil."

Dia menunduk kembali. Hanya ada hening yang membalut kami beberapa menit hingga akhirnya doa berkata,

"Jika itu yang kamu mau, baiklah Nisa. Aku akan menikahi Mala."

Aku tersenyum mendengar jawaban itu, menutupi sesuatu yang menusuk dada ini begitu dalam. Ternyata ikhlas hanya mudah diucapkan oleh mulut tapi sangat sulit untuk diiyakan hati. Ya Allah aku telah mengijinkannya mendua, maka bantulah aku untuk bisa kuat dan sabar.

"Tapi, berjanjilah satu hal Nis. Apapun yang kamu rasakan nanti, kamu tidak boleh menutupinya dariku."

Kuanggukkan kepala dengan lemah. Tuhan, hari ini sempurna kuikhlaskan suamiku menikah kembali dengan wanita lain. Aku hanya berharap Engkau selalu menganugerahkan padaku rasa sabar dan ikhlas. Karena keinginanku hanya satu, bisa mencapai sakinah, mawaddah dan warahmah bersama suami dan maduku.

Apakah benar seperti kata orang? Kita hanya butuh sabar untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Karena dibalik ujian pasti ada hikmah luar biasa yang bisa dipetik. Jika memang iya, aku percaya bahwa Allah tidak mengujiku melebihi batas kemampuan yang aku miliki. In Syaa Allah aku selalu berdoa agar dibalik semua cobaan yang tengah kuhadapi ini, Dia telah mempersiapkan kado terindah untukku nikmati. Semoga.

***

Bersambung

Terima kasih sudah membaca, jangan lupa subscribe, like dan koment.

Utamakan baca Al-Quran.

Komen (7)
goodnovel comment avatar
juan effendi
jgn baca ntar ga habis habis bisa beberapa tahun....ntar dikasi judul judul lain....
goodnovel comment avatar
Makandolu Effy
hhhh ada ya perempuan yang ikhlas menyerahkan suaminya?...
goodnovel comment avatar
Salamah
aku nangis guys...baru aj buka bab pertama
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status