Share

Bab 9

Author: Valencia
"Bagus sekali, sungguh pantas jadi adik perempuanku yang baik," ujar Nayara sambil mengangkat sudut bibir, meski senyumnya tak sampai ke mata.

"Kalau dia ingin menunggu, biarkan saja dia menunggu."

Rasa jijik yang tersirat di mata Nayara tertangkap oleh Rayendra, membuat alisnya berkerut.

Dulu Nayara adalah gadis yang ceria dan hangat, selalu siap menolong siapa pun yang membutuhkan.

Sejak kapan dia berubah menjadi begitu dingin dan tajam?

"Kirana datang dengan niat baik untuk menjengukmu, tapi kamu malah menolaknya di depan pintu. Apa kamu tidak punya sedikit pun tanggung jawab sebagai kakak? Kamu benar-benar tidak tahu diri!" Rayendra tampak sangat tidak puas.

Perempuan seperti ini, mana layak berada di sisinya.

Mana pantas menjadi nyonya utama Keluarga Senandika.

Lagi pula, dia selalu menganggap Kirana sebagai adiknya sendiri, tidak tahan melihatnya sedikit saja terluka.

"Sebelum membawamu pulang, apa yang sudah kubilang padamu? Semuanya sudah kamu lupakan?"

Nayara mengangkat alis memandang Rayendra. "Jadi demi Kirana, kamu akan mengusirku lagi? Sungguh calon suami yang baik bagiku, dan kakak ipar yang luar biasa bagi Kirana."

Dalam hatinya, Nayara tiba-tiba merasa geli.

Dia dibilang tidak tahu diri?

Dulu Rayendra yang selalu memujinya sebagai perempuan paling pengertian dan dewasa.

Akan tetapi, semua sikap pengertian itu dia bayar dengan pengorbanan dan kesabaran.

Dia menyukai sebuah permata, tetapi begitu Kirana menunjukkan ketertarikan, dia langsung menyerahkannya tanpa ragu.

Segala barang di kamarnya, asal Kirana meminta, dia akan memberikan tanpa sungkan.

Tak ada satu pun yang bertanya apa dia rela atau tidak, seolah hanya karena menyandang gelar kakak, dia harus membayar utang seumur hidup pada Kirana.

Nayara memandangi Rayendra dengan tenang. Meski tak bicara sepatah kata pun, tatapannya cukup membuat orang merasa gelisah.

Rayendra kembali mengerutkan dahi.

Padahal yang salah adalah dia.

Akan tetapi, kenapa dia malah terlihat paling tersakiti?

Suasana dalam ruangan mendadak menjadi aneh. Ratri takut keduanya kembali bertengkar, buru-buru mencoba meredakan keadaan.

"Nona Nayara, di luar sudah mulai berangin, tampaknya akan turun hujan. Kalau Nona Kirana sampai kehujanan dan jatuh sakit, itu akan jadi masalah," ucapnya sambil menatap Nayara dengan penuh harap.

Nayara menoleh ke luar jendela, angin memang sudah mulai bertiup, dan suara guntur samar-samar terdengar.

Di depan gerbang halaman, Kirana masih berdiri di sana dengan penuh tekad.

Suara batuk yang terdengar samar seolah menjadi tekanan halus.

Volume suaranya pas, tidak besar tapi cukup jelas terdengar.

Nayara tahu maksud Ratri. Semua orang di kediaman ini sudah menganggapnya berhati kejam.

Kalau Kirana sampai jatuh sakit karenanya, dia pasti akan kembali dituduh menindas Kirana.

Dia tidak peduli, tetapi juga malas memperbesar masalah.

"Lupakan saja, biarkan dia masuk."

Rayendra melihat wajah Nayara yang tetap dingin, lalu memperingatkan, "Kirana tubuhnya lemah, jangan perlakukan dia dengan buruk. Enam bulan lagi kita akan menikah, dan Kirana harus ikut mengantarmu ke pelaminan. Kalau hubungan kalian jadi canggung, itu tidak baik untuk siapa pun."

Selesai berkata, dia pun melangkah pergi.

Saat Kirana dibawa masuk, wajahnya tampak lembut dan anggun.

Rayendra yang menuntunnya terlihat penuh kelembutan di mata.

Dulu dia juga pernah memandang Nayara dengan pandangan seperti itu, memujinya sebagai perempuan terbaik di dunia.

Namun kini, semua kelembutannya sudah berpindah pada Kirana.

Pandangan Nayara jatuh pada kantung aroma di pinggang Rayendra.

Matanya bergetar.

Motif pada kantung itu adalah hasil gambar tangannya.

Tiga tahun lalu, Kirana memintanya secara khusus untuk menggambar bunga teratai kembar agar bisa disulam di kantung itu.

Saat itu Kirana bahkan sempat berkata bahwa bunga itu melambangkan cinta abadi, dan dia ingin memberikannya kepada orang yang dia cintai.

Ternyata, tiga tahun lalu hubungan mereka sudah tidak bersih.

Merasakan tatapan dingin Nayara, Kirana buru-buru menjauh dari Rayendra, seperti anak kecil yang tertangkap basah berbuat salah.

"Kak Nayara, tolong jangan salah paham. Kak Rayendra hanya membantuku agar aku tidak jatuh." Suaranya pelan dan bergetar, terdengar seperti hendak menangis. "Kamu tahu aku ini ceroboh, sering sekali terpeleset."

"Kirana, kamu tidak perlu menjelaskan apa pun padanya dengan begitu hati-hati. Hanya hati yang kotor yang selalu menganggap segalanya kotor." Rayendra menatap tajam dan langsung melindungi Kirana di belakangnya.

Wajah Kirana memerah, lalu dengan lembut menarik lengan baju Rayendra. "Jangan bicara seperti itu."

Dia melangkah dua langkah ke depan, meletakkan nampan yang dibawanya di atas meja.

Di atasnya, ada sebotol salep.

Dia mendorong botol itu ke arah Nayara, lalu berkata dengan nada manis, "Semua ini salahku. Seharusnya aku sudah menjenguk Kakak dari dulu. Tapi aku takut Kakak tidak suka melihatku..."

"Tapi akhirnya kamu tetap datang, 'kan?" Nada Nayara penuh sindiran, jelas tidak ingin memperpanjang percakapan.

Mata Kirana langsung memerah, hampir saja menangis.

Dia mengambil sapu tangan dan menyeka sudut matanya, lalu kembali berbicara dengan suara lembut, "Aku tahu kakak menyukai Tuan Muda Rayendra. Aku tidak berani merebut orang yang Kakak cintai. Salep ini dibawa oleh Tuan Muda Rayendra, katanya sangat manjur untuk luka luar, jadi aku khusus datang untuk mengembalikannya pada Kakak."

Sambil berbicara, dia kembali mendorong botol itu ke arah Nayara.

Ekspresi wajahnya seolah penuh ketulusan dan kesabaran.

Pandangan Nayara tertuju pada botol salep itu, dan matanya penuh dengan ejekan.

Sekilas terlihat seperti niat baik, padahal sebenarnya itu hanya pamer.

Dia ingin membuktikan bahwa Rayendra hanya peduli padanya?

Benar-benar konyol.

Kalau memang benar hanya peduli padanya, kenapa perlu dibuktikan?

Di tengah tatapan semua orang, Nayara tidak mengambil salep itu.

Rayendra mulai kehilangan kesabaran. Mata tajamnya menyiratkan amarah yang siap meledak.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Setelah Tiga Tahun Jadi Budak, Seluruh Keluarga Menyesal   Bab 100

    Dia sama sekali tidak memberi muka pada Arsaka, membuat pria itu merasa sangat dipermalukan.Dulu, Nayara selalu menuruti semua ucapannya.Namun kini, di depan orang lain, dia berani membalas dengan kata-kata tajam. Wajah Arsaka pun menggelap beberapa derajat.Karena ada Sagara, dia enggan membuat keributan dengan Nayara.Akhirnya, dengan gaya sok berwibawa sebagai kakak, dia berkata pada Nayara, "Nayara, Kakak hanya bertanya biasa saja, kenapa kamu harus menjawab dengan nada seperti itu? Makin dewasa justru makin tidak tahu sopan santun."Dia sedang menyalahkan Nayara karena tidak menghargainya.Nayara mendengus pelan dan sinis. "Tuan Muda Arsaka begitu lapang dada rupanya. Tapi apakah Tuan Muda Rayendra tahu bahwa Anda memperalat dia?"Yang dimaksud Nayara adalah soal Arsaka yang diam-diam membunuh para prajurit itu. Insiden yang membuat dia dan Rayendra harus berlutut di depan istana dan menerima teguran keras dari Kaisar.Wajah Arsaka berubah. Sorot matanya dipenuhi amarah. "Nayara

  • Setelah Tiga Tahun Jadi Budak, Seluruh Keluarga Menyesal   Bab 99

    Yang diteriakkan Sagara bukan Tuan Muda Rayendra, melainkan langsung nama Rayendra. Jelas bahwa dia benar-benar marah.Para pengawal tadi tidak bisa mendekat karena kerumunan, tetapi setelah Sagara turun dari jembatan, mereka segera menyusul ke sana.Mendengar nada marah dalam suara Sagara, para pengawal pun langsung mengepung Rayendra.Rayendra menyapu mereka dengan pandangan datar, lalu mengejek dengan tawa dingin, "Cuma beberapa anak buah rendahan, tak sepadan untuk kupedulikan."Sikap merendahkannya yang terang-terangan itu membuat wajah Sagara berubah. "Hebat atau tidak, kita buktikan saja."Siapa pun yang bisa menjadi pengawal pribadi Sagara tentu bukan orang sembarangan.Meski Rayendra dikenal tangguh, melawan lima orang sekaligus pun dia tetap akan kerepotan.Hari ini, Sagara ingin menunjukkan apa akibatnya bila berani mencari gara-gara dengannya.Melihat bara di antara keduanya hampir meledak, Nayara jadi panik dan bingung harus berbuat apa.Bukan Rayendra yang dia khawatirkan

  • Setelah Tiga Tahun Jadi Budak, Seluruh Keluarga Menyesal   Bab 98

    Mungkin karena keraguan di mata Nayara terlalu jelas, tatapan Sagara padanya menjadi makin dingin.Namun, kali ini, dia tidak melontarkan sindiran seperti biasanya. Dia hanya memalingkan wajah dengan raut yang sedikit muram, tak lagi menatapnya.Namun, kedua tangannya mengepal erat.Sagara benar-benar marah, matanya menatap tajam ke satu titik tanpa berkata sepatah kata pun.Nayara justru bertanya mengapa dia menyelamatkannya?Apakah dia benar-benar lupa, atau hanya pura-pura tidak ingat?Saat usia sepuluh tahun, Sagara jatuh ke sungai karena kelalaiannya sendiri, dan Nayara yang menariknya keluar.Mata gadis kecil itu bersinar cerah, tatapannya penuh tawa saat memandangnya.Dia berkata, "Bagaimana bisa kamu berjalan lalu jatuh ke air? Kalau bukan aku yang menarikmu, kamu pasti sudah tenggelam."Waktu itu, wajah Nayara selalu dihiasi senyum lembut, matanya memantulkan cahaya seperti langit malam penuh bintang.Dia menatap Sagara yang terlihat masih terpaku ketakutan. Lalu menyelipkan s

  • Setelah Tiga Tahun Jadi Budak, Seluruh Keluarga Menyesal   Bab 97

    Nayara sama sekali tidak menyangka, hanya karena ingin melihat lampion, dia bisa terdorong jatuh ke sungai.Meski namanya sudah tercemar, dia tidak ingin menambah noda lagi dalam reputasinya yang sudah buruk.Terlebih, di hadapan begitu banyak orang, di tengah sorotan semua mata.Kalau dia sampai jatuh ke sungai, sudah pasti dia akan kembali jadi bahan omongan orang-orang.Dalam kepanikan, dia mengulurkan tangan, berusaha meraih apa pun untuk menghentikan tubuhnya agar tidak terjatuh.Tiba-tiba, tubuhnya yang sedang melayang ke bawah, berhenti.Pergelangan tangannya dicekal erat oleh seseorang. Saat menoleh ke atas, dia melihat Sagara sedang menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Pegang tanganku."Nayara tak menyangka, Sagara muncul di saat paling genting dan menyelamatkan nyawanya.Wajahnya pucat pasi, dan mata yang menatap Nayara tampak tegang.Karena terlalu keras mencengkeram, urat di keningnya menonjol dan matanya memerah.Dia berusaha menarik Nayara naik, tapi sudah bebe

  • Setelah Tiga Tahun Jadi Budak, Seluruh Keluarga Menyesal   Bab 96

    Kirana ketakutan hingga meneteskan air mata, sementara Nyonya Nadindra memeluknya erat, menenangkan dengan suara lembut, memanggilnya anak manis berulang kali.Melihat Nayara masih bersikeras, Nyonya Nadindra pun memasang wajah dingin dan menegurnya, "Itu hanya sebuah lampion, kenapa harus membuat adikmu menangis?"Ketiga kakak laki-laki mereka pun berpihak pada Kirana, dan mencela Nayara karena dianggap tidak tahu sopan santun.Akhirnya, Nayara dihukum menghadap tembok untuk merenung, sementara Kirana yang sedang sakit malah dikelilingi dan dimanja oleh semua orang.Semua perhatian tertuju pada Kirana, tak seorang pun peduli pada Nayara kecil yang hanya bisa memeluk lampion kelinci rusaknya dan menangis semalaman.Peristiwa itu mungkin hanyalah kisah lucu di mata Arsaka, tetapi bagi Nayara, itu adalah kenangan yang menyakitkan.Butuh waktu sangat lama baginya untuk benar-benar melupakan kejadian itu.Tak disangka, luka lama yang telah sembuh itu kini kembali dikoyak oleh Arsaka tanpa

  • Setelah Tiga Tahun Jadi Budak, Seluruh Keluarga Menyesal   Bab 95

    Andai Nayara tahu kalau sekadar jalan-jalan bisa membawa begitu banyak masalah, dia pasti tidak akan datang.Karena satu kalimat dari Rayendra, dia kembali merasa seperti dibakar di atas api.Tiga pasang mata tertuju padanya.Terutama tatapan Kirana yang penuh kesal dan keluhan, membuat Nayara merasa sangat tidak nyaman.Alih-alih menyalahkan biang keladinya, Kirana malah datang menemuinya.Bahkan sorot mata Arsaka pun menjadi dingin. Padahal sejak tadi dia berusaha keras menenangkan suasana di antara mereka.Namun, hanya dengan satu kalimat Rayendra, hubungan yang sempat mencair itu kembali membeku.Arsaka menarik napas dalam dan tersenyum tipis. "Rayendra, kamu salah ingat. Bukan Nayara yang suka lampion kelinci, tapi Kirana."Kirana mengangguk pelan, seolah memberi dukungan. Dengan suara lembut, dia berkata, "Kak Rayendra, aku yang suka lampion kelinci… Jangan buat Kak Nayara malu, ya."Namun, Rayendra seolah tidak mendengar. Tatapannya tetap keras mengarah pada Nayara. "Nayara, kat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status