"Siapa, Mas?" tanyaku penasaran begitu melihat perubahan air mukanya."Eum ... I--bu-nya Sava," ucap Mas Elang.Dahiku langsung berkerut. "Ibunya Sava?" tanyaku heran."Iya.""Ada apa?""Mas gak tahu.""Coba angkat!"Mas Elang pun mengangguk, dan mengangkat telponnya. Tidak lama kemudian, Mas Elang pun menyudahi pembicaraan."Ibunya Sava bilang apa?" tanyaku begitu melihat Mas Elang mematikan ponselnya. Lalu, dengan santai menyendokkan makan ke mulut. Sementara Ara sibuk dengan ayam goreng yang tadi kukasih."Katanya, Sava belum pulang sampai sekarang.""Terus apa hubungan sama, Mas. Memangnya Sava gak punya keluarga?" tanyaku mengintimidasi."Eum ... M--as juga gak tahu," jawab Mas Elang gugup."Terus sekarang, Mas mau pergi mencarinya?" "Eum ....""Aku gak ngizinin," potongku cepat.Mas Elang hanya diam, meski bisa kulihat aura wajahnya menggambarkan ke khawatiran. Entah khawatir sebagai atasan dan bawahan atau ada sesuatu yang lain.Setelahnya kami melanjutkan makan dengan diam, ha
[Aku tahu saat ini kalian pasti tengah bertengkar hebat. Sudahlah, buat apa mempertahan orang yang jelas-jelas di hatinya menyimpan perasaan pada orang lain. Lebih baik sudahi saja, bukankah jika dilanjutkan hanya akan menjadi toxic?Dan, bukankah, Mbak lihat sendiri bagaimana laki-laki yang kamu sebut suami itu begitu mengkhawatirkanku?]Sebuah pesan dengan nomor tak dikenal masuk ke ponselku. Tak ada foto profil atau nama lainnya. Tapi, dari caranya mengirim pesan aku tahu itu adalah Sava.Aku tak berniat membalasnya, dan kembali meletakkan ponsel di atas meja begitu saja. Sebagai perempuan tadinya aku berniat bicara baik-baik. Terlebih kami sama-sama memiliki seorang puteri. Tapi, keadaan tak sesuai rencana.Sejak kejadian kemarin aku dan Mas Elang bahkan belum bicara sama sekali. Lebih tepatnya aku yang memilih tak ingin bicara."Hanin, sampai kapan kamu akan mendiamkan, Mas! Tolong bicaralah, jangan seperti ini. Bukankah Mas sudah bilang kalau Mas dan Sava tidak ada hubungan apa-
Begitu tiba di pintu depan, tiba-tiba aku bertemu dengan seseorang yang langsung membuatku terpana."Astaga, Mbak Rena?" Aku berkata pelan, menyebut sosok yang kini tengah berada di depanku, dan saat ini jarak kami hanya tersekat pintu kaca yang tebal.Memalukan sekali bertemu dalam keadaan begini. Belum mandi plus masih paket baju tidur. Tapi, apa dia mengenaliku?Sementara Mbak Rena terlihat begitu cantik, dan elegan. Kemeja putih yang dipasangakan vest berwarna marun dan celana panjang hitam polos. Sementara rambutnya ia biarkan tergerai. Aku pun langsung bergerak ke samping, memberi jalan untuk Mbak Rena masuk terlebih dulu."Kamu bukannya yang waktu itu?" tanya Mbak Rena begitu masuk, dan melihatku berdiri di samping pintu. Rasanya ingin sekali aku mengakui kalau kami tidak saling kenal, sangking malunya. Tapi, rasanya aku seperti orang yang tak tahu balas budi jika sampai melakukan itu."Eum ... I--ya Mbak. Mbak apa kabar?" Aku bertanya dengan kaku.Ia tersenyum, menyambut deng
"Ingat ya, Mas jangan sampai hanya kamu kasian karena dia janda. Lalu, kamu menjandakan istrimu!" tekanku.Mas Elang menghembuskan napas kasar, wajahnya langsung memerah, rahangnya mengeras, dan matanya membulat begitu mendengar perkataanku."Ngomong apasih kamu ini? Sudahlah kalau kamu memang tidak percaya!" Mas Elang menjawab dengan nada tegas. Detik berikutnya laki-laki itu keluar kamar dengan wajah gusar. Tak lama setelahnya terdengar suara mobil pergi menjauh. Entah mau kemana dia?Selama pernikahan aku tak pernah melihat Mas Elang semarah ini, demi membela perempuan itu. Rasa kecewa seketika merajai hati, juga marah kesal menjadi satu.***Malam kian larut. Aku terbangun, dan menatap jam yang menggantung di dinding. Waktu menunjukan pada angka 11 lebih 30 malam. Tapi, belum ada tanda-tanda Mas Elang akan pulang, sebenarnya sedikit menyesal. Tapi, mau bagaimana lagi? Karena, rumah tangga kami tengah terancam, dengan kehadiran seseorang, dan aku tentunya tidak bisa diam begitu saj
Dari jarak yang lumayan jauh, aku menatap awas ke arah Mas Elang berdiri. Memperhatikan setiap gerak-geriknya, apa kiranya yang membuat lelaki itu ada di sini. Sekedar healingkah atau ada urusan lain?Bukankah setelah menikah, ia selalu beralasan tak begitu menyukai tempat ramai seperti ini, jika aku mengajaknya untuk pergi. Lalu, apa yang menjadi alasannya saat ini, seseorangkah atau selama ini ia memang tak ingin jalan denganku karena, merasa bosan atau memang ada alasan lain?Ah, entahlah! Pertanyaan dan pradugaku tak akan pernah terjawab sebelum aku melihat dengan mata kepala sendiri, sedang apa dan bersama siapa Mas Elang ada di sini.Perlahan aku melangkah ke arah Mas Elang. Kemudian langkahku terhenti begitu melihat sosok anak kecil berlari ke arah Mas Elang, dan memeluk lututnya sambil mengadah ke atas sambil tersenyum."Ayo, Om kita main!" ajak anak perempuan yang belum kuketahui namanya itu dengan mata berbinar. Dari sini aku bisa melihat keakraban yang terjalin diantara ked
"Sudahlah, Mas sebaiknya Mas pulang saja! Urus saja istrimu yang tidak tahu malu itu. Aku gak mau gara-gara dia orang-orang disini menganggap aku perempuan gak bener, karena makan sama suami orang!" ucap Sava kemudian. Lalu, beranjak dari tempat duduknya.Mendengar ucapan Sava membuatku cukup terkejut, dan meringis. Pintar sekali dia berpura-pura, seolah-olah akulah yang bersalah. Playing victim sekali."Apa yang dibilang, Sava benar Mas. Sebaiknya Mas pulang bersamaku. Memang tidak baik perempuan dan laki-laki yang bukan muhrim duduk berdua, dan saling berpegangan tangan. Apalagi ada anak istri Mas disini. Apa kata orang?" balasku dengan nada menyindir. Lalu, tersenyum.Wajah Sava yang tadi terlihat begitu angkuh, seketika berubah memerah. Entah menahan malu atau marah. Aku menduga keduanya."Kamu ...?" ucap Sava, sembari menatap geram ke arahku. "Kenapa? Apa yang kubilang benar, 'kan?" tanyaku. Sava semakin terlihat kesal. Kemudian langsung pergi begitu saja.Sementara Mas Elang t
Sejenak suasana nampak hening. Mas Elang beberapa kali kulihat mengusap wajahnya dengan kasar. Sementara Mama menatapku dengan wajah kesal juga geram."Pikirkan baik-baik sebelum bicara Hanin! Jangan jadikan perceraian sebagai percandaan!" tegur Mama dengan nada jengkel."Aku tidak bercanda, dan aku serius!" tegasku. "Buat apa terus bersama, kalau hanya untuk saling menyakiti?""Kamu pikir bercerai dan jadi janda itu mudah? Mau makan apa kamu setelah pisah dari anak saya?" tanya Mama dengan nada angkuh, seolah selama ini aku bisa makan karena Mas Elang. Memang benar selama ini Mas Elang yang sudah memberi nafkah. Tapi, bukan berarti dia yang menjamin kehidupanku."Aku tahu jika aku yang mengajukan gugatan prosesnya tidak akan mudah, maka dari itu, aku ingin Mas Elang menalakku, dan aku juga tau bahwa menjadi single mom itu tidak mudah.Setelah ini kalian tidak perlu memikirkanku mau makan apa? Aku akan bekerja," jawabku yakin. Meski aku sendiri belum tahu mau kerja apa."Lihat istrimu
"Hallo, Assalamualaikum," sapaku dengan perasaan gugup begitu sambungan telpon terhubung.Selama ini aku dan Rena memang pernah bertukar nomor ponsel. Tapi, aku tak menyangka kalau dia akan memghubungiku terlebih dulu."Iya hallo Hanin. Waalaikumsalam. Ini aku Rena, maaf kalau ganggu," ucapnya memperkenalkan diri. Mungkin ia pikir aku tak lagi menyimpan nomornya."Iya, gak ganggu kok Mbak, ada apa ya Mbak?" "Kamu sibuk gak?" "Enggak Mbak paling juga beres-beres rumah aja.""Bisa ketemuan gak, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.""Eum ... Apa? Apa gak bisa lewat telpon aja?""Kalau lewat telpon kayaknya kurang enak aja.""Oh gitu? Iya Mbak. Tapi, saya izin ke Mas Elang dulu ya!""Iya.""Kalau jadi, ketemuannya dimana dan jam berapa?""Sekitar jam 9, nanti aku suruh supirku buat jemput kamu, kamu share aja tempat kamu tinggal ya!""Eh gak usah, Mbak. Nanti malah merepotkan.""Udah gak apa-apa."Kami pun mengakhiri topik pembicaraan. Setelahnya aku langsung mengirim pesan ke Mas Elan