Share

Setiap Momen adalah Kamu
Setiap Momen adalah Kamu
Author: Jane Lestari

Bab 1

Suasana tampak mencekam. Ke dua orang itu saling menatap tajam, penuh amarah. Sedang bocah laki-laki itu terdiam di pojok, juga dengan tatapan penuh benci.

“Wanita sialan! Aku sudah melarangmu membawa anak bodoh ini. Kamu lihat apa yang sudah dilakukannya?” ucap pria itu.

Wanita itu menggerenyotkan bibir, tak percaya pada apa yang didengarnya. “Kamu tidak pernah sadar ya, otaknya itu turunan dari siapa? Dari kamu!” sahut wanita itu, memaki.

Kembali, pria itu mendaratkan tamparan kerasnya. Hidung wanita itu akhirnya mengeluarkan darah segar.

Bocah laki-laki itu menangis dan melemparkan botol minuman yang sedari tadi ada di tangannya.

“Kamu memang pria berengsek!!” teriak wanita itu lantas melemparkan asbak yang ada di atas meja di sampingnya.

Suasana benar-benar hilang kendali.

“Jangan!!” Dia membuka mata, dan tersadar. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat. Napasnya terputus-putus, serasa baru saja berlari dari kejaran binatang buas.

Dia menenangkan diri.

Dia melihat jam di meja samping tempat tidurnya. Dia lantas mengambil handuk menuju kamar mandi.

---

Big Land, pukul 09.00.

Seorang wanita muda, penampilan sangat rapi, dengan blazer cokelat dipadukan dengan rok panjang warna senada, melangkah dengan tegap menuju ruangan Direktur Keuangan.

“Bu, sudah ditunggu di ruangan Pak Dimas,” ucapnya setelah membuka pintu. Dia adalah sekretaris Direktur Keuangan, Asti Ayuningtyas.

Seorang wanita di balik meja bertuliskan Direktur Keuangan menoleh dan menatap, “Memangnya ada jadwal pertemuan hari ini?” tanyanya. Dia adalah Direktur Keuangan Big Land, Indah Efrina.

“Iya Bu, kemarin saya sudah serahkan jadwalnya.”

Indah buru-buru membuka berkas yang terpampang di atas mejanya. Dia lantas menarik napas panjang.

“Mengapa aku bisa lalai seperti ini?” sesalnya.

Asti hanya tersenyum.

Indah lantas bergegas menyusun dokumen yang harus dibawa ke ruang rapat, dan segera berlalu dari pandangan Asti.

Di ruang rapat, tampak Dimas bersama dua orang pria.

Dimas Aryaguna adalah CEO Big Land, salah satu perusahaan konstruksi terbesar di Jakarta. Pria berusia 55 tahun yang selalu terlihat lebih muda dari usianya.

Menyadari kehadiran dua orang pria asing di ruangan itu, langkah Indah terhenti, tepat di ambang pintu ruang rapat. Tiga pasang mata, bersamaan menatap ke arahnya.

Mata Indah membelalak, dan dia menelan ludah, mendapati wajah seseorang yang baru saja ditemuinya pagi tadi.

---

Terjadi keributan di perempatan jalan. Sebuah sedan kuning bertabrakan dengan sepeda motor Sport, pun berwana kuning.

Tampak wanita pengendara mobil turun dengan wajah menahan marah. “Maaf, apa Mas punya mata?” ucapnya, menatap tajam.

Pria di hadapannya, pun, seketika memberikan tatapan yang sama. Pria muda itu turun dari kendaraannya.

“Lampu jalan jelas menandakan jalur ini berhenti! Motor aja yang mahal, otak gak kepake!” sambung Indah, menohok.

“Hei, hati-hati dengan mulut Mbak yang manis itu! Coba Mbak lihat baik-baik. Saya atau Mbak yang gak punya mata?!” sahut pria itu, tak kalah tajam, menunjuk Indah.

Indah menoleh ke arah lampu jalan. Raut wajah Indah seketika berubah. Dia menarik napas panjang.

Ya Allah, kenapa aku ini?

“Ma—"

Belum sempat Indah menyelesaikan kalimatnya, pria itu kembali naik ke atas motor, dengan sorot mata emosi. Tanpa kata, meninggalkan Indah yang masih terdiam di tempatnya.

“Aku belum minta maaf, dia sudah pergi.” Indah terus bergumam, menyadari kesalahan besar yang dia perbuat.

---

Tower Electrics Mahakarya

“Kamu kenapa? Pagi-pagi sudah gak mood gitu?” tanya Aditya, mendapati pria yang baru saja masuk ke ruangannya, dengan wajah tegang.

Perkenalkan, Rakha Langit Ahmad, usianya 32 tahun. Salah satu Direktur di Tower Electrics Mahakarya. Dia salah satu penerima penghargaan Best Young Executive dari Majalah Bisnis terkemuka tahun 2020.

“Benar-benar pagi yang memuakkan! Udah bad mood dari rumah, di jalan, ketemu cewek stres!”

Mata Aditya melebar. Ya seperti biasa, mana ada yang membuatmu nyaman, selain dirimu sendiri, batinnya.

“Pasti—"

Aditya belum menyelesaikan kalimatnya, Rakha memotong seperti biasa, “Kok, ada ya cewek seperti itu? Tampak terpelajar, tapi membedakan lampu lalu lintas aja gak bisa?”

Aditya kembali menarik napas panjang. Sebaiknya aku diam, gumamnya.

“Kamu lagi sakit gigi ya?”

“Ha?” jawab Aditya, heran. “Sakit gigi?” Rakha mengulang. Aditya menggeleng.

Rakha menarik napas panjang. Dia berbalik dan keluar dari ruangan itu.

“Ada apa sih dengan pria ini. Pagi-pagi sudah menyebalkan!” ucap Aditya, melihat sikap Rakha yang berlalu begitu saja tanpa permisi.

Tampak dua wanita muda, berjalan lebih cepat menuju ruangannya. “Cepat, Pak Rakha sudah menuju ke sini,” ujarnya pada rekan di sampingnya. Mereka terus mempercepat langkah.

Keduanya langsung sigap berdiri di meja masing-masing, dan beberapa detik kemudian Rakha sudah melintas di hadapan mereka.

“Untunglah,” ujar Rani, setelah pria itu masuk ke ruangannya. “Hampir saja,” sambung Nilam, membuang napas.

“Udah aku bilang, kamu jangan lama-lama. Hampir saja, kita dapat kalimat manis dari Direktur manis itu,” sambung Rani.

“Dokumen yang diminta pak Rakha, sudah kamu siapkan?” tanya Nilam, pelan. Rani terpaku. “Oh my god,” ucapnya, sambil mengambil semua dokumen di laci mejanya.

Nilam hanya tersenyum dan berucap, “Semoga selamat ya.”

Rani menarik napas panjang, menatap pasrah.

Beberapa menit kemudian, Aditya sudah berada di ruangan Rakha.

“Bos, ingat kan, kita ada janji ke om Dimas siang ini?” tanya Aditya. Rakha menarik napas panjang. “Meeting dengan Cakra Tunggal?”

“Sore!” jawab Aditya. “Kenapa lagi?” sambungnya, melihat Rakha hanya diam.

“Kamu kan tahu, aku menghindari kontrak bisnis dengan om Dimas. Aku gak cocok!” ungkap Rakha.

“Terus, ngapaian kamu setujui kontraknya?”

“Gak enak nolak!”

Adit terkekeh. Mata Rakha membelalak, menghentikan tawa Aditya seketika.

Selalu saja aku salah.

“Ayo!” Rakha seketika berdiri, dan berjalan meninggalkan ruangannya. “Betul-betul, jika dia bukan bos, sudah aku—” 

“Gak mau ikut?”

Aditya tersentak, mendapati Rakha kembali ke hadapannya.

“Ayo.” Aditya salah tingkah, dan berbalik meninggalkan Rakha.

Rakha menarik bibir tanda tak percaya. “Yang bos ini siapa? Aku atau dia?”

Aditya Utama adalah sahabat Rakha. Dia adalah sekretaris merangkap sopir. Dia yang selalu setia mendampingi Rakha di seluruh aktivitasnya. Mulai urusan kantor sampai urusan pribadi.

“Tante Rosa nginap semalam?” Aditya memulai percakapan.

Rakha hanya diam, menatap, ke luar jendela mobilnya.

Dia kenapa lagi? Aditya membatin, sambil menarik napas panjang. Dia selalu serba salah memulai percakapan dengan sahabatnya itu.

“Mama, lagi, bertanya tentang pernikahan!”

Aditya kembali tersenyum, tetap fokus membawa kendaraannya.

Pasti, jelas. Pria yang hanya fokus pada dirinya, akan terganggu dengan kata pernikahan, ucap Adit, dalam hati.

Rakha, belum pernah dekat dengan seorang wanita. Kalaupun ada wanita yang dekat dengannya, itu hanya demi menjaga gengsinya sebagai seorang eksekutif muda. Tapi, tidak ada yang benar-benar membuatnya jatuh hati.

“Aku bingung, menjawab pertanyaan yang sama setiap hari.”

“Makanya nikah!” sahut Adit, tanpa sadar. Rakha kembali menatap tajam. “Ya itu, maksud aku. Ehm—” Tak ada kalimat lanjutan. Selalu salah, gumam Aditya.

“Apakah tidak cukup, memiliki anak yang keren, karier cemerlang, idaman semua wanita, seperti aku ini?” ucap Rakha, memanaskan telinga Adit.

Mulai deh!

Beberapa menit sisa perjalanan, suasana menjadi hening. Sampai mereka memasuki gedung Big Land.

Rakha dan Aditya menyusuri gedung kantor bertingkat sepuluh itu.

“Rakha Langit Ahmad?” bisik seorang wanita muda pada rekannya, melihat ke dua pria itu melintas.

“Kamu kenal?”

“Kamu gak baca Majalah Indonesia Business Daily?”

“Emang kenapa?”

“Rakha itu, paling populer tahun ini sebagai Young Executif. Udah keren, tampan, kaya, uhhh sempurna.”

Keduanya berlanjut hening, saling menatap.

----

“Wah, Rakha Langit Ahmad. Keponakan terkeren, akhirnya datang juga,” sambut Dimas, mendekap Rakha.

“Aditya, apa kabar?”

“Baik, Om.”

“Silakan duduk,” ucap Dimas, diikuti oleh Rakha dan Aditya. “Akhirnya, sekian lama, kamu mau juga berkunjung ke sini,” sambung Dimas.

Dimas menatap Aditya, setelah mendapati sikap Rakha yang dingin seperti biasa. Aditya hanya tersenyum, dan Dimas jelas paham komunikasi itu.

“Jadi, kamu bersedia kan, berkantor sementara di sini? Selama Om menemani tante kamu?” tanya Dimas.

“Memang ada pilihan lain?” jawab Rakha, masih sinis.

“Oke kalau begitu, Om ucapkan selamat datang di Big Land,” sambung Dimas, kembali memeluk Rakha, dengan respons yang masih sama dinginnya.

Dimas hanya tersenyum melihat sikap keponakannya itu.

“Oke, saya akan perkenalkan kamu, dengan orang kepercayaan Om. Dia staf terbaik yang selalu mendampingi Om selama ini. Om pastikan, kalian cocok. Dia cerdas, disiplin, dan sangat bisa diandalkan.”

“Mana ada yang bisa selevel dengan Rakha Langit Ahmad?” sahut Rakha. Aditya kembali mengedipkan mata dengan cepat. Dimas pun hanya tersenyum.

----

“Dia… ,” ujar Rakha sambil menunjuk ke arah Indah, yang masih berdiri kaku di depan pintu.

“Mbak Indah, silakan masuk,” ucap Dimas.

Ya Allah…

Indah berusaha menenangkan diri. Perasaan bersalah masih menguasai dirinya. Dia menarik napas panjang, dan mendekat ke tempat Dimas.

“Rakha, kamu kenapa?” Dimas merasa aneh dengan sikap Rakha. Dia terus menatap dengan mata tajam ke arah Indah.

“Gak apa-apa Om,” jawabnya, masih dengan sikap yang sama.

“Mbak Indah, saya mau kenalkan, Direktur sementara yang akan memimpin perusahaan, selama saya dan ibu tidak berada di Jakarta.”

Indah menggangguk dengan senyuman dipaksakan.

“Rakha Langit Ahmad. Dia selama ini di Tower Electrics Mahakarya. Saya yakin kamu kenal baik dengan perusahaan itu. Dan ini Aditya Utama, yang akan mendampingi Rakha.”

“Salam kenal Mbak Indah,” ucap Aditya, ramah. “Iya, Pak,” sahut Indah, berusaha tersenyum.

Dimas makin merasa ada yang aneh, dengan sikap Rakha dan Indah yang berbeda.

“Kalian sudah pernah bertemu sebelumnya?” tanya Dimas mulai curiga.

“I—" Kalimat Indah terpotong oleh Rakha. “Tidak kok Om. Saya belum pernah bertemu dengan dia. Waktu saya itu habis bekerja, jadi jelas saya tidak punya waktu untuk bertemu dengan orang baru, apalagi wanita bodoh!”

Indah tersentak. Dia mengangkat wajahnya, menatap tajam ke arah Rakha. Akhirnya kedua pasang mata yang diliputi amarah itu, bertemu.

Terpaku beberapa detik, Indah akhirnya sadar. Dia segera kembali ke ruangannya. Dimas mendapati mata Rakha terus mengamati Indah, sampai wanita itu menghilang dari ruangan itu.

“Rakha, kamu kenapa? Tatapanmu sedari tadi selalu sinis pada Indah?” tanya Dimas. “Gak kok Om. Perasaam Om saja,” jawab Rakha singkat.

“Oke, kalau begitu kita kembali ke pembahasan sebelumnya. Kamu dan Aditya mulai bekerja di sini, besok. Om sudah sampaikan ke mama kamu. Sementara ini, kamu fokus ke Big Land. Kamu satu-satunya, yang bisa Om andalkan.”

“Pasti!” sahut Rakha.

Suasana jeda sedikit terasa. Ketiganya terdiam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Wanita itu, tidak meminta maaf kejadian pagi tadi? Benar-benar ya, wanita tidak beretika!! batin Rakha.

Ada apa ini? Ini orang pada mikirin apa? Aditya pun merasa aneh, membaca sikap diam Dimas dan Rakha.

----

Indah tiba di ruangannya dengan suasana hati yang tidak nyaman. Dia membuang berkas ke sofa. “Ada ya pria seperti itu? Sombong gak ketulungan!!!”

Asti yang mendapati Indah  dengan sikap tak biasa, langsung bergegas mendekat.

“Bu, ada masalah?”

Indah menarik napas panjang. Dia menjatuhkan badannya di kursi kerjanya.

“Gimana berkas ET, sudah siap?” lanjut Indah. “Sudah Bu. Apa saya siapkan sekarang?”

Indah tidak menjawab, dia menatap kosong. “Ibu, baik-baik saja, kan?” tanya Asti, yang makin yakin, atasannya itu sedang tidak baik-baik saja.

“Gak tau Asti. Hari ini saya seperti tidak bisa fokus.”

“Ini sudah jam makan siang Bu. Saya siapkan makan siang?” Asti mengingatkan. “Oke.”

Asti bersegera menyiapkan makan siang. Seperti biasa, Indah menyukai makan siang di ruangannya. Sambil menatap bebas ke luar jendela ruangannya, di lantai sepuluh Big Land.

Setelah dua tahun kepergian Bapak, hari ini, entah mengapa aku sangat merindukannya, Indah membatin.

Tak lama, Asti sudah kembali bersama sajian makan siang.

“Kamu temani saya, ya. Saya gak enak makan sendiri,” pinta Indah. “Baik Bu.”

Asti lantas menata meja, dan menyajikan makan siang untuk atasannya itu. Asti semakin merasa berbeda dengan sikap Indah hari ini.

“Bu….”

“Iya, Asti. Ada apa?”

“Sekarang, kan, saya sudah punya tabungan yang cukup, Bu. Saya dan ibu merasa kurang enak kalau masih merepotkan Ibu Indah.”

“Maksudnya?”

“Saya dan ibu berencana pindah ke rumah kontrakan saja.”

“Kamu tidak lagi menganggap saya ada?” Indah menatap serius. “Bukan begitu maksud saya, Bu.”

“Oke kalau begitu. Ini bukan hal penting yang harus dibicarakan. Rumah itu masih kosong, jadi kamu tinggal di sana saja. Kalau memang punya banyak uang, disiapkan untuk masa depan kamu!”

“Tapi Bu—"

“Apa yang saya sampaikan, belum jelas?!”

“Iya Bu, jelas.” Asti menutup kalimatnya, dengan senyuman setengah dipaksakan.

Makan siang berakhir. Asti langsung membersihkan kembali meja kerja atasannya. Indah tampak meninggalkan ruangannya.

“Aduh, aku membuat kesalahan. Kondisi ibu Indah sedang tidak baik-baik saja, aku malah membicarakan hal ini,” sesal Asti.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status