Share

Seumur Hidup Terlalu Lama
Seumur Hidup Terlalu Lama
Author: Suzy Wiryanty

1. Perjodohan.

Author: Suzy Wiryanty
last update Last Updated: 2025-08-04 09:37:53

"Uma! Kamu mau ke mana lagi sih? Cepat ke sini. Bantu Ibu menata kue-kue!" Bu Rahayu meneriaki putri bungsunya.

"Sebentar, Bu. Uma pakai jilbab dulu." Uma balas berteriak dari dalam kamar. Tangan mungilnya dengan cepat mengikat ujung jilbabnya.

"Lha, ngapain kamu dandan segala? Yang mau dipilih oleh Arya itu, kakak-kakakmu. Bukan anak piyik sepertimu," omel Bu Rahayu seraya menyusun hidangan.

"Iya, Uma tahu kok, Bu. Uma memakai jilbab bukan karena ingin dilihat Mas Arya, tapi Uma sedang menunggu paket. Keterangannya paket Uma sedang diantar ke alamat tujuan." Uma yang sudah keluar dari kamar dan berjilbab rapi memberi alasan pada sang ibu.

"Oh, ya sudah. Susun kue-kue ini dengan wadah-wadah yang cantik. Kita harus membuat keluarga Tjokro terkesan. Ibu mau melihat persiapan kakak-kakakmu dulu. Mereka harus tampil secantik mungkin." Bu Rahayu bergegas naik ke lantai dua. Ia harus menunjukkan kecantikan kedua putrinya yang paripurna. Acara perjodohan ini sudah mereka persiapkan sejak lama. Tepatnya sejak suaminya dan almarhum Pak Tjokro muda.

Dengan cekatan Uma menyusun kue-kue kering ke dalam toples-toples kaca kesayangan ibunya. Sambil bekerja matanya terus melirik pintu pagar. Ia sedang menunggu kedatangan Pak Kus— kurir pengantar paket di wilayahnya. Ia memesan buku-buku online untuk keperluan studinya. Buku-buku yang ia pesan adalah buku-buku UTBK yang berisi contoh-contoh soal untuk Persiapan masuk Perguruan Tinggi Negeri.

Dari kejauhan, suara knalpot motor tua yang khas mulai terdengar. Senyum Uma merekah. Apa yang ia tunggu-tunggu sudah datang!

“Pak Kus!” seru Uma senang. Ia buru-buru meletakkan toples dan berlari kecil ke arah pagar.

Pak Kus melambai, senyumnya mengembang.

“Rahuma Kinanti!" Pak Kus mengeja nama penerima di paket. Uma tertawa. Pak Kus memang selalu memanggil nama lengkapnya.

“Pak Kus kok selalu memanggil nama lengkap saya sih?” ujar Uma sembari menerima paket.

"Soalnya nama kamu itu bagus sekali. Rahuma Kinanti. Artinya, kasih sayang yang abadi. Orang tuamu pintar sekali memberimu nama.” Pak Kus mengacungkan jempolnya.

Uma tertawa. Sembari mengucapkan terima kasih, ia menyelipkan selembar uang sepuluh ribuan ke tangan Pak Kus. Pak Kus gantian mengucapkan terima kasih dengan mata berbinar. Doa tulus ia panjatkan dalam hati. Semoga gadis remaja ini sukses menggapai cita-cintanya.

Tepat setelah Pak Kus berlalu, sebuah mobil mewah berwarna hitam, berhenti di depan pagar.

“Uma, buka pagar! Keluarga Tjokro datang!” teriak ibunya dari teras.

Uma mengepit paket di ketiak, lalu membuka pagar lebar-lebar. Mobil hitam mengilat perlahan memasuki halaman rumah yang sempit. Dari balik kaca gelap, terlihat tiga orang duduk di dalam mobil.

Setelah menutup pagar, Uma buru-buru masuk dan langsung ke kamarnya. Dengan tidak sabar ia membuka bungkus paket dan duduk di meja belajar. Sejurus kemudian ia sudah menekuni soal-soal tryout UTBK. Riuh suara tamu di ruang tamu tak dihiraukannya.

Namun, kesibukannya terusik saat terdengar suara ibunya memanggil.

“Uma, ini sebentar, Nak.”

Uma menutup bukunya dan berjalan menuju ruang tamu dengan langkah ragu. Begitu sampai, ia langsung merasakan aura yang tidak enak.

Di hadapannya, duduk Bu Mirna Hadi Tjokro—sosok yang tampak seperti ibu-ibu orang kaya di sinetron-sinetron: berkebaya anggun dengan kipas yang berdentang di tangan kiri, dan tas bermerek tersampir angkuh di siku. Ia melirik Uma sekilas, seperti menilai harga barang di etalase.

Di sebelahnya, Arya Hadi Tjokro— anak duduk dengan raut wajah bosan sambil bermain ponsel. Meski tampan rupawan, Arya tampak tidak sopan dan menyebalkan. Sementara Aryani, sang kakak, duduk anggun namun angkuh, tetap bersikap sang ibu versi muda.

Bu Rahayu tersenyum kikuk. “Ini Uma, anak bungsuku.”

Uma tersenyum sopan dan membungkuk, hendak menyalami tangan Bu Mirna.

Namun, wanita itu menarik tangannya dan terus mengipasi wajahnya. Uma tertegun, lalu pelan-pelan menarik tangannya kembali.

Hening sejenak, hingga akhirnya Arya membuka suara. Santai, tapi cukup keras untuk semua pendengaran.

“Aku pilih dia saja, Bu,” kata Arya sambil menunjuk Uma.

Suasana ruang tamu seketika membeku.

Uma membelalak. “Maaf, apa… maksudnya?” Uma mundur satu langkah.

Arya menatap sang ibu. Ia ingin ibunya saja yang menjelaskan. Ia malas terlibat dalam drama-drama seperti ini.

“Ayahmu dulu bilang bahwa semua anaknya boleh dipilih. Kamu juga anaknya bukan?” Bu Mirna akhirnya berbicara, suaranya datar namun mengintimidasi.

“Tapi aku masih SMA. Aku baru lulus sekolah dan ingin kuliah. Aku tidak berpikir soal pernikahan,” ucap Uma ngeri.

"Iya, Bu Mirna. Rahuma baru berusia 18 tahun. Masih kecil. Rauda dan Raima lebih siap. Mereka sudah dewasa. Rauda sudah berusia 25 tahun dan berprofesi sebagai seorang perawat. Sementara Raima 24 tahun dan saat ini bekerja di perusahaan asing. Mereka berdua lebih cocok menjadi pendamping Arya," Bu Rahayu menyela, suaranya penuh harap.

“Yang mau nikah itu Arya bukan aku,” potong Bu Mirna dingin. “Dan dia sudah memilih.”

Bu Mirna kemudian meletakkan kipas di pangkuan dan menatap langsung ke arah Bu Rahayu.

"Kalau Uma bersedia menikah, kami akan menanggung seluruh biaya operasi lewat suamimu—Anwar. Kami beri waktu tiga hari untuk berpikir. Jika kalian setuju, pernikahan bisa dilangsungkan sebulan kemudian. Semakin cepat kalian membuat keputusan, semakin cepat operasi dilakukan. Jadi Anwar tidak harus berlama-lama sakit menahannya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   18. Suami Zalim.

    "Eh Mas, semua yang kamu sebutkan tadi memang sudah menjadi tugasmu sebagai seorang suami. Kalau saya harus membayar, mendingan saya cari majikan yang lebih kaya yang loyal. Bukan menjadi babu gratisan di rumah sendiri," balas Uma tak kalah ganas. "Kalau memang mau hitung-hitungan, saya yang rugi banyak, Mas. Keperawanan saya, anak yang saya lahirkan, kepatuhan saya melayani Mas lahir batin, coba Mas bayar? Nominalnya tidak terhitung bukan?" Uma kian menunjukkan taringnya. "Lantas, apa maumu?" Arya berkacak pinggang. Ia ingin melihat sejauh apa Uma berani mendebatnya. "Saya mau Mas memperlakukan saya selayaknya seorang istrimu, bukan babu. Perlakukan saya dengan hormat, berikan juga saya nafkah lahir batin yang memang seharusnya menjadi hak saya," ucap Uma tegas."Woho. Kamu sudah mulai menuntut macam-macam ya sekarang? Hebat... hebat..." Arya bertepuk tangan dengan air muka mengejek. "Baru sehari keluar rumah saja, kamu sudah berani memberontak. Saya peringatkan kamu ya, jangan m

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   17. Pertengkaran.

    Saat Uma tiba di rumah, mobil Arya tidak terlihat di garasi. Itu berarti suaminya belum pulang. Namun, ibu mertuanya sudah ada di rumah.Tini menyambut Uma dan segera membantunya mengangkat beberapa bahan sabun yang berat dari dalam bagasi mobil."Biar saya saja yang bawa, Bu," ucap Tini menawarkan bantuan.Arumi pun kemudian berpamitan. "Aku langsung pulang ya, Uma. Sudah malam juga."Uma mengangguk. Ia tahu betul, suasana pasti akan canggung jika Arumi tetap tinggal saat Bu Mirna ada di rumah.Begitu masuk ke ruang tengah, Uma melihat ibu mertuanya duduk di sofa menonton televisi. Vivi sedang bermain boneka bersama Mbok Jum di karpet.Bu Mirna meliriknya sekilas. "Harusnya kamu pulang lebih cepat. Kamu itu sudah berkeluarga, punya tanggung jawab sebagai istri dan ibu. Baru diberi sedikit kebebasan saja langsung lupa pulang," decihnya tajam. Nada bicaranya menghakimi seperti biasa. Berharap Uma merasa bersalah. Tapi kali ini reaksi Uma berbeda. Ia tidak mau bersikap seperti dulu yan

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   16. Rencana Busuk.

    "Perang? Maksudnya?" tanya Uma bingung."Perang urat saraf antara Mas Genta dan orang tuaku." Arumi lagi-lagi mendecakkan lidah.Uma semakin bingung. "Memangnya kenapa sih?"Arumi melirik sekilas ke Uma, lalu kembali fokus ke jalan. "Kamu ingat nggak, aku pernah cerita soal Mas Genta yang mau dikenalkan sama anak kenalannya Mama? Namanya Mbak Puri."Uma mengangguk cepat. "Iya, ingat. Memangnya kenapa?""Nah… mendadak Mas Genta menolak mentah-mentah rencana itu. Dia tidak mau bertemu, tidak mau dijodohkan, pokoknya menolak apa pun yang berhubungan dengan Mbak Puri. Mama sampai marah besar. Soalnya si Puri ini sudah ngebet banget ingin dijodohkan dengan Mas Genta. Katanya, dari dulu dia sudah suka sama Mas Genta."Uma mengangkat alis. "Kenapa Genta tiba-tiba tidak mau ya?" Uma sekarang ikut bingung.""Itulah! Mas Genta tidak mau menyebutkan alasannya. Tidak etis katanya. Entah apa yang tidak etis. Mama sudah bilang, 'Ya sudah, kenalan aja dulu, ngobrol sebentar juga cukup.’ Tapi Mas Gen

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   15. Menggapai Asa.

    Beberapa saat setelah mobil yang dikendarai Pak Alwi berlalu dari halaman, membawa ibu mertuanya, Vivi, dan Tini, sebuah mobil lain berhenti di depan gerbang. Uma yang sedang duduk di teras langsung berdiri. Pak Umar, seperti biasa, sigap membuka pintu pagar.Mobil itu adalah mobil Arumi.Uma menyambut kedatangan Arumi dengan senyum lebar. Hari ini mereka akan membeli bahan-bahan untuk membuat sabun di toko Kimia Jaya sebelum reuni kecil-kecilan dengan teman-teman SMA mereka. Karena itu, ia hanya berdandan sederhana. Sunscreen, bedak tabur, dan pelembap bibir sudah cukup. Ia mengenakan celana jeans, kaos lengan panjang, jilbab pastel, dan sepatu kets kesayangannya."Ya ampun, Uma," seru Arumi begitu turun dari mobil. "Orang yang tidak mengenalmu, pasti mengira kalau kamu masih SMA."Uma terkekeh. "Padahal aku ini ibu-ibu yang sudah punya anak satu ya?" Uma menyengir."Iya. Dan herannya masih tetap terlihat muda. Tidak sepertiku yang mukanya tampak boros. Sungguh tidak adil." Arumi pur

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   14. Mengatur Strategi.

    Bu Mirna mengalihkan pandangannya pada Uma, yang masih berdiri tenang di dekat kursi makan. Tatapan mereka bertemu sejenak. Uma tak berkata apa-apa. Ia hanya menunduk sedikit, menunggu. Ingin tahu, kali ini ibu mertuanya akan memarahinya dengan kalimat-kalimat hinaan apa lagi. Ibu dan anak ini memang kerap merudungnya.Beberapa detik berlalu sebelum Bu Mirna berkata—nada suaranya tenang,"Hanya masalah sepele saja, ributnya sampai terdengar ke luar sana," omel Bu Mirna sembari duduk perlahan di kursi.Uma termangu. Tumben, ibu mertuanya tidak ikut-ikutan menghujatnya.Arya merengut. "Tapi, Bu—"Namun, ibunya mengangkat tangan, memotong kalimat itu."Duduk dan lanjutkan sarapanmu, Arya. Kamu juga, Uma. Duduk sini," perintah Bu Mirna tegas.Arya dan Uma menarik kursi dan duduk mengelilingi meja."Dengar, Arya. Uma itu tidak selamanya ada untukmu. Sekarang dia sibuk mengurus anak. Nantinya bisa saja dia sibuk mengurus hal lain. Kamu harus mulai belajar dilayani oleh orang lain juga."Kat

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   13. Perlawanan Uma.

    Pagi datang terlalu cepat. Uma bangun dan berkali-kali menguap saat menyiapkan sarapan bersama Mbok Jum. Ia terjaga semalaman dan baru bisa tidur menjelang pagi. Saat ini, dapur dipenuhi aroma kaldu dari bubur ayam yang menguar dari mangkuk hangat. Uma duduk di ujung meja, menyuapi Vivi yang duduk di baby chair sambil mengayun-ayunkan kaki mungilnya."Aaa..." Uma tersenyum lembut sambil menyodorkan sesendok bubur ke mulut anaknya.Vivi menyambutnya dengan gembira, meski sebagian bubur menempel di pipinya.Sejurus kemudian, Mbok Jum meletakkan pinggan berisi nasi goreng, telur mata sapi, dan ayam suwir. Tini menyusul meletakkan potongan timun, tomat segar, kerupuk, dan seteko jus jeruk.Beberapa saat kemudian, pintu dapur terbuka. Arya masuk dalam keadaan sudah rapi. Ia mengenakan kemeja biru muda dengan dasi menggantung di leher. Wajahnya seperti biasa—dingin, angkuh, merasa dirinya raja di rumah sendiri.Uma tidak melihat ke arah Arya sedikit pun. Ia tetap duduk dan sibuk menyuapi bu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status