"Axel?" panggilku.
Axel tersenyum menyambutku seperti biasa. Ia menyunggingkan senyum jahatnya yang menawan. Aku menangis bahagia, tanpa malu lagi kupeluk tubuhnya.
"Syukurlah kau kembali." Tangisku.
Axel tertawa renyah, dilepaskannya pelukanku, lalu ia mundur selangkah, menatapku sambil tersenyum, tetapi kali ini, senyum sedih yang terlihat di wajahnya.
"I'm sorry, Sweetheart." Dan ia pun berlalu.
"Tidak ... tidak ... AXEL?" Tanganku menggapai-gapai, berusaha menjangkaunya, yang kugenggam hanyalah udara kosong dan aku terpaku menatap tanganku. Memandang sekeliling terkejut. Aku masih di ruang tamu dengan posisi terbaring di sofa dengan tangan terangkat berusaha menjangkau sesuatu.
Mimpi ... hanya mimpi .... Namun, kenyataan yang datang mencengkeram jantungku, itu bukan hanya sekadar mimpi, tetapi apa yang aku takuti selama ini dan mimpi ini telah menjadi kenyataan yang pahit ... Axel telah pergi.
***
Hari itu
Si Manis mengalami stockholm syndrome, yakni gangguan psikologis pada korban penyanderaan yang membuat mereka merasa simpati atau bahkan muncul rasa kasih sayang terhadap pelaku.
"Hmm ...." Aku mendesah nyaman, merasakan sesuatu yang hangat menyentuh dahiku, mengusap rambut dan wajahku perlahan. Tangan yang hangat. "Axel?" Mataku tertutup, tetapi air mata tetap mengalir ke pipi. "Mnn." aku membuka mata mendengar jawabannya.Sepasang netraku menatap Axel tidak percaya, kukira ini hanya mimpi. "Axel?" tanyaku ragu. "Mnn." Ia mengangguk perlahan. Kupeluk tubuhnya sambil menangis, menyembunyikan wajahku di dadanya.Kumohon jangan bangunkan aku ... jikalau ini hanya mimpi .... "Shhh ... jangan menangis." Axel mengelus kepalaku dengan lembut. Kupukul dadanya. "Kau meninggalkanku ... kau—" Tangisku sesenggukan. "Shhh ...." Axel menghentikan tanganku, bibirnya yang ranum menyentuh bibirku, aku terdiam, terhenyak akan aksinya. kupejamkan mata ini, menikmati kecupan lembutnya, tanganku meraih wajah pemuda tampan itu, membalas ciuman Axel dengan berani, setelah beberapa saat kami memisahkan d
Matahari terbit dengan sinarnya yang menghangatkan tubuhku, kakiku terasa kram, bajuku lembap oleh gerimis tadi malam. Pemilik toko roti membuka gerai, matanya menatap aneh padaku, terang saja kondisiku saat ini lebih seperti pengemis daripada seorang pelanggan. Aku mendesah malu, merapikan rambutku dengan tergesa-gesa, berdiri menjauh dari toko roti sebelum diusir oleh pemiliknya. Kakiku menendang kerikil jalanan, tak tahu apa yang harus aku ucapkan ketika bertemu dengan Axel. Apa dia akan senang saat melihatku masih di sini? Atau ... dia malah berharap aku sudah menyerah dan pergi menjauhinya? Apa mereka masih bersama? Rasa marah kembali membuncah dalam dadaku. Ah ... aku benci wanita itu. Penampilannya yang cantik dengan rambut pirang panjang dan tubuh yang ramping, kulit putihnya dan mata besar seperti boneka, aku tidak mau mengakuinya, tetapi dia terlihat sangat cocok dengan Axel. Si cantik dan si tampan. Kutendang kerikil di hadapanku de
Aroma kopi yang kuat membangunkanku. "Hmmm." Aku mengendus menikmati baunya.Mataku terbuka melihat ke sekeliling. Aku berada di sebuah kamar yang luas, tempat tidur yang kutempati sangat besar dan terbuat dari kayu. Aku menarik selimut yang menutupi tubuhku.Di mana aku sekarang?Tempat apa ini?"Ah ...." Aku terkejut mendapati tubuhku mengenakan pakaian baru. Kali ini aku menggenakan pakaian wanita, T-shirt pink dan celana pendek cream.Siapa yang mengganti bajuku?Wajahku memerah memikirkannya. Rasa takut juga menyusupiku, aku memeriksa tubuh, ketika tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, aku menghela napas lega.Aku turun dari tempat tidur, mendapati lututku sudah diperban, berjalan tertatih-tatih menuju jendela dan menyingkap tirainya tebal bermotif dedaunan.Pemandangan di luar mengejutkanku. Di mana aku sekarang? Pepohonan terbentang luas sejauh mataku memandang, aku mengalihkan tatapan ke bawah, reru
Perutku tiba-tiba berbunyi keras, mencairkan suasana tegang di antara kami.Aku berdeham canggung sambil mengelus perutku malu. Sebagian diriku takut dengan penuturannya barusan, sebagian lagi tak bisa menahan hasrat untuk mencecap makanan. "Kau lapar?" Axel tersenyum geli, "aku sedang membuat makananmu tadi. Ah ... kuambilkan sekarang." Ia melangkah ke luar kamar dan kembali lagi dengan sepiring makanan. Aku menyantap Ratatouille di depan dengan lahap. Axel duduk menemaniku sambil menyesap kopinya. “Kau suka?” tanyanya sambal mengintipku menyikat sayuran. Aku mengangguk masih mengunyah dengan mulut penuh. Ya, aku bukan pemilih makanan. Selama layak untuk dikonsumsi. Apalagi makanan ini buatan Axel sendiri. Aku meletakkan piring ketika suapan terakhir berhasil ditelan. Setelah perutku kenyang. Aku mulai berpikir jernih lagi. Sekarang saatnya sesi tanya jawab dengan Axel, kondisiku sudah kepalang tanggung di sini. Mati di luar atau
Bang!Aku menepuk meja kuat, gelas kopi Axel bergetar hebat dan menumpahkan beberapa tetes cairan ke meja.Axel menatapku bingung, melihat rona kemerahan di wajahku."Kau—kau—" Aku tak mampu mengucapkan kata selanjutnya, bingung harus mengutarakannya dengan kata-kata yang tidak memalukan.Ya ... Bagaimana bilangnya. Aku si manusia viagra?"Kau menjadikanku sebagai alat bantu pembayaranmu?" ucapku kemudian, tak mampu mengucapkan kata viagra yang kurasa terlalu vulgar."Ah!" Axel meringis, mengerti dengan kemarahanku barusan. "Sorry, Sweetheart." Ia menurunkan pandangan mata, lalu mengerling perlahan padaku.Dang! Ia tidak tahu jantungku hampir berhenti berdetak melihat kelakuannya barusan. Apa dia berusaha menggodaku dengan padangan matanya? Apa dia sadar kerlingan matanya adalah godaan maut bagi kaum hawa?"Kenapa bisa aku?" Kemarahanku perlahan surut."Aku tidak ta
[Warning 18+]"Tch!" Leona bangkit berdiri, menjauhi Axel, matanya menatapku dengan kilatan cemburu."Cepat!" ucapnya sambil membelakangi Axel. Ia sendiri mulai melepaskan pakaiannya.Axel berjalan menghampiriku yang masih berdiri di sudut ruangan, kedua tangannya terulur dan memerangkap tubuhku ke tembok."Bolehkah aku?" izinnya.Aku menelan ludah, bagaimana aku bisa bilang tidak, mataku sudah sangat silau saat melihat tubuh Axel. Belum lagi rasa panas dalam tubuh sedari tadi sudah menyiksaku. Wajahku mulai merona merah.Aku menganggukkan kepala. Bibir Axel yang lembut dan basah menyentuh bibirku ... bau maskulin menerpa indra penciumanku ... aku merasa meleleh.Tanganku bergerak menyentuh wajahnya, memegang kedua sisi kepalanya agar tidak ada jarak yang memisahkan kami. Aku menginginkan dirinya. Axel menciumiku lama ... aku membuka bibir berusaha memasukkan lidahku ke mulut Axel, meniru cara Leona. Axel menerimaku, men
Tengah malam Aku merasakan tubuhku diangkat ke tempat tidur, rupanya aku tertidur di lantai kamar. Bau tubuh Axel sangat menenangkan. Ia menyelimutiku dan beranjak pergi. "Axel." Aku menarik tangannya. "Mn." "Temani aku." "Pipimu?" Tangannya membelai pipiku. Ah ... aku baru teringat, tamparan Leona yang keras, apa meninggalkan bekas merah di sana? "Tidak apa-apa," bisikku, Axel menyipitkan matanya mendengar nada takut dalam suaraku. "Aku tidak mau tidur sendiri, temani aku ... mn?" "Mn." Axel masuk ke bawah selimut bersamaku. Aku melingkarkan lengan ke tubuhnya. Axel membelai kepalaku. Tubuhnya sangat hangat, terutama tangannya. Setiap kali aku menyentuh telapak tangan Axel, aku selalu mengira dia sedang demam, tetapi itu adalah suhu tubuhnya yang biasa. Memeluk tubuh Axel saat ini membuatku sangat bahagia, dengan cepat aku terlelap lagi. *** Apa ini? Aku terbangun karena menyentuh ses
"Ah ... aku lupa." Madam Gie kembali berjalan ke arah pintu kamar dan memungut sesuatu di luar sana. "Makananmu, Manis!" Ia meletakkan sepiring makanan di meja. Jadi tujuannya datang adalah untuk mengantarkan makanan? Aku menatapnya marah. Haruskah membuatku serangan jantung hanya untuk mengantarkan makanan ... bagaimana aku bisa punya selera makan sekarang? "Makan!" perintah Madam Gie, menunjuk piring dengan pisaunya. Piring berisi roti dan daging panggang menguarkan bau harum. Aku memungut sendok dengan tangan yang masih gemetar, mencoba menyuap sesendok daging yang dipotong dadu ke mulut, makananku terasa hambar oleh rasa takut. "Emh ... enak tidak?" tanyanya. "Enak," jawabku bohong. Ia bertepuk tangan. "Ah ... senang rasanya bisa masak lagi, mereka semua selalu sibuk, tidak ada yang memakan masakanku lagi." "Mereka?" "Axel, Leona, Vin, Lewi dan Yuki. Ah ... Lewi dan yuki sedang dalam misi, tidak lama lagi ka