Share

Aku Ingin Hidup

"TADAA! Bohong deh! HAHAHAHAHAHA ...." Ia tertawa terbahak-bahak sampai terbaring di ranjang yang kutempati.

Ingin sekali aku memaki dan memukulinya, karena membuatku berpikir akan mati saat ini. Gemetar di seluruh tubuhku tidak mau berhenti dan aku menangis sejadi-jadinya.

Ia berhenti tertawa mendengar tangisan keras, lalu mendekatkan wajah padaku. Kukira ia akan berteriak lagi, tetapi tiba-tiba tangannya terulur dan membelai kepalaku dengan lembut. Seolah aku seorang anak kecil.

Axel lalu berbisik, "I'm sorry, Sweetheart." Sebelum akhirnya melangkah pergi untuk membereskan kekacauan yang ia buat.

Axel menyeret tubuh si wanita. Mencacahnya menjadi potongan-potongan kecil sebelum dimasukkan ke dalam kantung sampah besar. Setelah itu, Axel membawa potongan tubuh ke lantai atas, ia menghilang selama dua jam.

Kembali lagi dengan nampan berisi makanan. Mataku terasa bengkak karena tangis berkepanjangan, masih tergugu saat ia mendekat.

“Makanlah,” perintahnya. Axel menyentuh tanganku untuk membuka ikatan di tangan kanan, otomatis tubuhku bergidik oleh sentuhannya.

Bagaimana aku bisa makan setelah ia menyajikan tontonan menjijikkan barusan. Aku mengabaikan Axel. Masih sesenggukan. Menunduk dalam-dalam, menghindari tatapan pria itu.

Axel menghela napas berat. Setelah meletakkan makanan berupa roti lapis, ia mulai membersihkan jejak darah. Menuangkan sebotol besar pembersih lantai dan mulai mengepel. Bau karbol membuatku kembali mual.

Aku mendorong nampan menjauh, suara dentingan mengalihkan atensi Axel. Mata kami bertemu, kulihat mimik dilema mendekam dalam bola mata besar Axel. Ia melangkah mendekat setelah selesai membersihkan lantai. Hanya untuk membelai kepalaku, berulang kali, seolah itu adalah permintaan maaf tak terucapnya.

Dia benar-benar orang yang sulit ditebak, kadang terlihat begitu menakutkan, tetapi kadang sangat lembut dan sopan, seolah dia adalah koin dua sisi, yang satu baik dan satu lagi sisi jahatnya. Iblis dengan sayap malaikat.

Setelah kejadian hari itu, Axel berhenti bicara padaku selama dua hari. Hanya memberi makan dan melihatku mandi, semua dilakukannya dengan bisu, tanpa suara atau komentar yang biasa.

Aku juga masih sangat takut padanya, sehingga hal itu malah memudahkanku menghadapinya.

Aku tahu mungkin terdengar konyol dan plin-plan, dari niat awal yang begitu ingin mati lalu berbalik ketakutan akan kematian, tetapi andai saja kau berada di posisiku, setiap malam semua pembunuhan yang kusaksikan seperti kilas balik dalam sebuah film di mimpi. Terus berulang-ulang dan jeritan serta permohonan mereka untuk hidup terngiang-ngiang di kepalaku.

Aku baru menyadari betapa bodohnya diriku dulu. Teramat banyak orang yang berjuang untuk hidup, tetapi aku malah menyia-nyiakan hidup ini.

Orang-orang yang terkena penyakit kronis atau seperti orang-orang yang dibunuh Axel, yang memohon untuk tetap bisa hidup, kala ajal tak bisa mereka hindari. Sedangkan aku malah ingin membunuh diriku sendiri.

Andai saja aku tidak bertemu dengannya, si psikopat yang tampan. Mungkin aku sudah mati saat itu, merasakan trotoar dengan tubuhku. Entah aku harus senang atau sedih. Berterima kasih atau malah mengutuk, karena hidupku sekarang digenggamnya erat-erat.

Kapan?

Sampai kapan ia akan membiarkanku hidup, setelah tatapanku tak menarik lagi baginya.

***

Malam itu, kira-kira sudah seminggu lebih aku disekap olehnya. Ia pergi keluar dan larut malam baru kembali dengan membawa sebuah jam dinding. Axel menggantungkan jam berwarna merah tepat di seberang ranjangku.

Kapan saja aku menengadah, benda itulah yang pertama kali terlihat. Setidaknya sekarang aku tahu jam berapa, ini membuatku merasa jauh lebih baik, tak kehilangan menghitung waktu. Baruku sadari betapa pentingnya benda ini dalam hidup manusia.

Axel menuju kamar mandi setelahnya, suara guyuran air terdengar beberapa saat kemudian. Lima belas menit kemudian pria itu keluar, rambut basah menambah pesona Axel, ia lalu berbaring di sampingku, tubuhnya berbau mint menenangkan. Aku menghirup dalam-dalam.

Mata Axel menatap kosong, entah berlabuh ke mana, menembus setiap partisi, terpaku pada satu titik abstrak.

Setelah satu minggu bersamanya aku jadi mengenal kebiasaan-kebiasaan kecil Axel. Tatapan kosong yang kadang diselingi dengan kernyitan dalam di dahi berarti dia sedang merencanakan sesuatu yang jahat di otak. Karena biasanya, semua rencana pembunuhan itu berawal dari tatapan kosong dan kernyitan dahinya.

Ia berbalik tiba-tiba dan menyentuh lenganku, aku terkesiap, segera menghindar.

Axel tersenyum nakal, "Ow! Aku tidak akan macam-macam, Manis! Aku hanya kasihan melihat tanganmu terikat terus," ujarnya.

Axel mendekat sambil mengurai ikatan tangan dan kakiku. Ia membuang tali ke lantai dan berjalan menuju meja, mengambil sesuatu di laci.

Aku melongo menatapnya. Axel lalu mengeluarkan sebuah borgol.

"Ini akan lebih nyaman." Ia memborgol tangan kananku pada tiang besi ranjang, tangan kiriku dibiarkan bebas bergerak. Rasanya tentu saja jauh lebih lega. Terikat pada satu posisi dalam waktu lama membuat tubuhku sakit dan kaku.

"Aduh! Kasihan ... kemarikan tanganmu." Axel meraih tanganku, lalu mengeluarkan sebuah salep dari kantong bajunya dan mengoleskan pada bekas merah akibat ikatan tali di pergelangan tangan dan kakiku.

Aku menatapnya tidak percaya.

Apa yang dipikirkannya? Apa sayap malaikatnya sedang terkembang? Atau ... ia merencanakan sesuatu untukku? Pikiranku berkecamuk oleh berbagai prasangka.

Axel meniup salep agar cepat mengering. Perlakuannya sangat lembut.

"Jangan menatapku seperti itu, aku berbuat begini karena sedang mau saja," ucapnya santai.

"Tapi ingat! Aku bukan orang yang baik, Manis. Kau harus mengingatnya." Axel meletakkan tanganku hati-hati setelah diobati. Ia menarik selimut ke tubuhku.

"Ayo tidur! Besok kita akan berjalan-jalan." Axel lalu membalikkan badan, berbaring membelakangiku.

Jalan-jalan?

Mataku terpejam, berusaha untuk tidur. Desah napas Axel yang teratur menjadi satu-satunya suara di ruang ini. Jantungku bertalu-talu. Meski sudah dibersihkan, bau darah seakan tak pernah meninggalkan tempat ini. Samar-samar suara bisikan dan jeritan teredam mengikuti ke mana pun tubuhku menghadap.

Kuraih bantal dan menindihnya ke kepala. Berharap jeritan mereka bisa hilang dari otakku. Jantungku berdegup kencang, tangan-tangan tak kasatmata memerangkapku dalam jeratan mengerikan, menahanku erat, bisik-bisik menakutkan merutukiku dengan cacian.

Malam itu aku tidur dengan tidak tenang, percikan darah merah seolah berdiam di balik pelupuk mata. Tatapan Lyra, suara berdenguk si pria tambun, dan juga organ tubuh wanita seksi itu menghantuiku. Mereka semua mengulurkan tangan, memintaku membantu mereka. Lalu suara Axel menengahi jeritan pilu, kalimatnya terngiang-ngiang di otakku.

Besok, besok, besok, terus berulang konstan bagai lingkaran setan.

Aku terbangun dini hari. Keringat dingin membanjiri baju. Melihat jam di dinding berdetak perlahan. Baru jam empat subuh. Rasa takut menjalar ke hatiku.Tik tik tik … jarum merah memutar perlahan, setiap detik berharga menghilang.

Apa waktuku sudah dekat?

Apa besok yang dimaksudkannya adalah jalan-jalan ke alam maut, alias kematianku?

Untuk pertama kalinya, aku berharap tidak segera mati.

Tolong ... aku ... ingin hidup!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status