Share

Aku Ingin Hidup

Author: Nafish Grey
last update Last Updated: 2021-09-25 20:31:53

"TADAA! Bohong deh! HAHAHAHAHAHA ...." Ia tertawa terbahak-bahak sampai terbaring di ranjang yang kutempati.

Ingin sekali aku memaki dan memukulinya, karena membuatku berpikir akan mati saat ini. Gemetar di seluruh tubuhku tidak mau berhenti dan aku menangis sejadi-jadinya.

Ia berhenti tertawa mendengar tangisan keras, lalu mendekatkan wajah padaku. Kukira ia akan berteriak lagi, tetapi tiba-tiba tangannya terulur dan membelai kepalaku dengan lembut. Seolah aku seorang anak kecil.

Axel lalu berbisik, "I'm sorry, Sweetheart." Sebelum akhirnya melangkah pergi untuk membereskan kekacauan yang ia buat.

Axel menyeret tubuh si wanita. Mencacahnya menjadi potongan-potongan kecil sebelum dimasukkan ke dalam kantung sampah besar. Setelah itu, Axel membawa potongan tubuh ke lantai atas, ia menghilang selama dua jam.

Kembali lagi dengan nampan berisi makanan. Mataku terasa bengkak karena tangis berkepanjangan, masih tergugu saat ia mendekat.

“Makanlah,” perintahnya. Axel menyentuh tanganku untuk membuka ikatan di tangan kanan, otomatis tubuhku bergidik oleh sentuhannya.

Bagaimana aku bisa makan setelah ia menyajikan tontonan menjijikkan barusan. Aku mengabaikan Axel. Masih sesenggukan. Menunduk dalam-dalam, menghindari tatapan pria itu.

Axel menghela napas berat. Setelah meletakkan makanan berupa roti lapis, ia mulai membersihkan jejak darah. Menuangkan sebotol besar pembersih lantai dan mulai mengepel. Bau karbol membuatku kembali mual.

Aku mendorong nampan menjauh, suara dentingan mengalihkan atensi Axel. Mata kami bertemu, kulihat mimik dilema mendekam dalam bola mata besar Axel. Ia melangkah mendekat setelah selesai membersihkan lantai. Hanya untuk membelai kepalaku, berulang kali, seolah itu adalah permintaan maaf tak terucapnya.

Dia benar-benar orang yang sulit ditebak, kadang terlihat begitu menakutkan, tetapi kadang sangat lembut dan sopan, seolah dia adalah koin dua sisi, yang satu baik dan satu lagi sisi jahatnya. Iblis dengan sayap malaikat.

Setelah kejadian hari itu, Axel berhenti bicara padaku selama dua hari. Hanya memberi makan dan melihatku mandi, semua dilakukannya dengan bisu, tanpa suara atau komentar yang biasa.

Aku juga masih sangat takut padanya, sehingga hal itu malah memudahkanku menghadapinya.

Aku tahu mungkin terdengar konyol dan plin-plan, dari niat awal yang begitu ingin mati lalu berbalik ketakutan akan kematian, tetapi andai saja kau berada di posisiku, setiap malam semua pembunuhan yang kusaksikan seperti kilas balik dalam sebuah film di mimpi. Terus berulang-ulang dan jeritan serta permohonan mereka untuk hidup terngiang-ngiang di kepalaku.

Aku baru menyadari betapa bodohnya diriku dulu. Teramat banyak orang yang berjuang untuk hidup, tetapi aku malah menyia-nyiakan hidup ini.

Orang-orang yang terkena penyakit kronis atau seperti orang-orang yang dibunuh Axel, yang memohon untuk tetap bisa hidup, kala ajal tak bisa mereka hindari. Sedangkan aku malah ingin membunuh diriku sendiri.

Andai saja aku tidak bertemu dengannya, si psikopat yang tampan. Mungkin aku sudah mati saat itu, merasakan trotoar dengan tubuhku. Entah aku harus senang atau sedih. Berterima kasih atau malah mengutuk, karena hidupku sekarang digenggamnya erat-erat.

Kapan?

Sampai kapan ia akan membiarkanku hidup, setelah tatapanku tak menarik lagi baginya.

***

Malam itu, kira-kira sudah seminggu lebih aku disekap olehnya. Ia pergi keluar dan larut malam baru kembali dengan membawa sebuah jam dinding. Axel menggantungkan jam berwarna merah tepat di seberang ranjangku.

Kapan saja aku menengadah, benda itulah yang pertama kali terlihat. Setidaknya sekarang aku tahu jam berapa, ini membuatku merasa jauh lebih baik, tak kehilangan menghitung waktu. Baruku sadari betapa pentingnya benda ini dalam hidup manusia.

Axel menuju kamar mandi setelahnya, suara guyuran air terdengar beberapa saat kemudian. Lima belas menit kemudian pria itu keluar, rambut basah menambah pesona Axel, ia lalu berbaring di sampingku, tubuhnya berbau mint menenangkan. Aku menghirup dalam-dalam.

Mata Axel menatap kosong, entah berlabuh ke mana, menembus setiap partisi, terpaku pada satu titik abstrak.

Setelah satu minggu bersamanya aku jadi mengenal kebiasaan-kebiasaan kecil Axel. Tatapan kosong yang kadang diselingi dengan kernyitan dalam di dahi berarti dia sedang merencanakan sesuatu yang jahat di otak. Karena biasanya, semua rencana pembunuhan itu berawal dari tatapan kosong dan kernyitan dahinya.

Ia berbalik tiba-tiba dan menyentuh lenganku, aku terkesiap, segera menghindar.

Axel tersenyum nakal, "Ow! Aku tidak akan macam-macam, Manis! Aku hanya kasihan melihat tanganmu terikat terus," ujarnya.

Axel mendekat sambil mengurai ikatan tangan dan kakiku. Ia membuang tali ke lantai dan berjalan menuju meja, mengambil sesuatu di laci.

Aku melongo menatapnya. Axel lalu mengeluarkan sebuah borgol.

"Ini akan lebih nyaman." Ia memborgol tangan kananku pada tiang besi ranjang, tangan kiriku dibiarkan bebas bergerak. Rasanya tentu saja jauh lebih lega. Terikat pada satu posisi dalam waktu lama membuat tubuhku sakit dan kaku.

"Aduh! Kasihan ... kemarikan tanganmu." Axel meraih tanganku, lalu mengeluarkan sebuah salep dari kantong bajunya dan mengoleskan pada bekas merah akibat ikatan tali di pergelangan tangan dan kakiku.

Aku menatapnya tidak percaya.

Apa yang dipikirkannya? Apa sayap malaikatnya sedang terkembang? Atau ... ia merencanakan sesuatu untukku? Pikiranku berkecamuk oleh berbagai prasangka.

Axel meniup salep agar cepat mengering. Perlakuannya sangat lembut.

"Jangan menatapku seperti itu, aku berbuat begini karena sedang mau saja," ucapnya santai.

"Tapi ingat! Aku bukan orang yang baik, Manis. Kau harus mengingatnya." Axel meletakkan tanganku hati-hati setelah diobati. Ia menarik selimut ke tubuhku.

"Ayo tidur! Besok kita akan berjalan-jalan." Axel lalu membalikkan badan, berbaring membelakangiku.

Jalan-jalan?

Mataku terpejam, berusaha untuk tidur. Desah napas Axel yang teratur menjadi satu-satunya suara di ruang ini. Jantungku bertalu-talu. Meski sudah dibersihkan, bau darah seakan tak pernah meninggalkan tempat ini. Samar-samar suara bisikan dan jeritan teredam mengikuti ke mana pun tubuhku menghadap.

Kuraih bantal dan menindihnya ke kepala. Berharap jeritan mereka bisa hilang dari otakku. Jantungku berdegup kencang, tangan-tangan tak kasatmata memerangkapku dalam jeratan mengerikan, menahanku erat, bisik-bisik menakutkan merutukiku dengan cacian.

Malam itu aku tidur dengan tidak tenang, percikan darah merah seolah berdiam di balik pelupuk mata. Tatapan Lyra, suara berdenguk si pria tambun, dan juga organ tubuh wanita seksi itu menghantuiku. Mereka semua mengulurkan tangan, memintaku membantu mereka. Lalu suara Axel menengahi jeritan pilu, kalimatnya terngiang-ngiang di otakku.

Besok, besok, besok, terus berulang konstan bagai lingkaran setan.

Aku terbangun dini hari. Keringat dingin membanjiri baju. Melihat jam di dinding berdetak perlahan. Baru jam empat subuh. Rasa takut menjalar ke hatiku.Tik tik tik … jarum merah memutar perlahan, setiap detik berharga menghilang.

Apa waktuku sudah dekat?

Apa besok yang dimaksudkannya adalah jalan-jalan ke alam maut, alias kematianku?

Untuk pertama kalinya, aku berharap tidak segera mati.

Tolong ... aku ... ingin hidup!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Shadow Under The Light   Perpisahan

    "Apa?" tanya Axel tak percaya."Aku mengandung anakmu, kau ingat waktu itu?" Aku menunduk malu, terlalu takut dengan penolakan dari bibir pria ini."Benarkah, sungguh!" Suaranya berubah penuh sukacita.Aku baru berani menatapnya. "Dokter baru memberitahuku tadi," lirihku."Milikku?""Ya, hanya kau yang melakukannya tanpa proteksi."Senyum merekah, wajah pria tampan itu seketika menguarkan cahaya kebahagiaan."Aku ... akan menjadi ayah?" tanyanya tak percaya."Ya," jawabku pelan.Axel berusaha meraih wajahku dan menanamkan kecupan pada keningku. "Aku mencintaimu, Eli. Kekasihku, separuh jiwaku."Hatiku bergetar, tersentuh oleh pernyataannya. Namun dalam sekejap, kebahagiaan itu sirna ketika Axel menyadari kenyataan di masa depan."Aku ... tidak akan bisa mendampingimu, membelikanmu makanan yang kau inginkan saat ngidam, aku ... tak bisa menggenggam tanganmu saat kau melahirkan bayi kita."

  • Shadow Under The Light   Kabar Tak Terduga

    "Ms. Ellena, ini hasil pemeriksaannya." Dokter itu menatapku dengan senyum terkembang lebar pada bibir tipisnya."Ya," jawabku pelan. Masih merasa pusing setelah terbangun dari pingsan.Dokter melirik kehadiran George, Boni, Jodi, dan juga Eve."Tidak apa-apa, langsung katakan saja, Dok." pintaku."Selamat, Anda sedang mengandung.""Apa?" Seketika keempat rekanku berteriak terkejut."Maksud Dokter?""Ya, kandungan masih sangat kecil. Satu bulan."Apa? Bagaimana mungkin? Seketika bayangan pemaksaan itu kembali hadir dalam benak. Oh ya benar, Axel melakukannya tanpa proteksi waktu itu. Di saat seperti ini, kenapa harus terjadi."Selamat ya. Jaga kondisi, istirahat cukup agar morning sicknes tak semakin parah," pesan dokter itu sebelum pergi.Setelah pintu ditutup, Eve segera mendekatiku. "A

  • Shadow Under The Light   Koma

    Jeritanku membahana membelah kericuhan di tengah baku tembak. Perlahan, priaku menoleh menatap tangan gemetar ini.Tidak. Bukan aku yang menembak. Kami telah dikelilingi para polisi berseragam anti peluru dari lantai empat. Asad, berikutnya mendapat tembakan setelah Axel, tepat di kepalanya. Pemuda berambut keriting itu jatuh dengan suara berdebum keras."Tenanglah, kau aman sekarang!" Seseorang memelukku dari belakang, menyeretku pergi sementara dalam kegamangan aku melihat Axel terhuyung jatuh bersimbah darah.Jiwaku seakan meninggalkan raga. Hampa. Kosong. Tanpa kehendak tubuhku dibawa pergi. Semua menjadi kesunyian abadi. Berkomat-kamit dalam gerak lambat membuatku berkedip bingung. Otakku tak mau mencerna. Tubuhku gemetar hebat. Dan kegelapan absolut menelanku dalam kedamaian.***Suara dengungan mesin membangunkanku. Aku mengedip bingung mencerna plafon putih di atas kepala.

  • Shadow Under The Light   Dia Terluka

    Asap mengepul dari salah satu pojokan. Aku bisa melihat dari sini rombongan pria memakai rompi khusus sedang membidik ke arah tersebut.Jantungku bertalu semakin kuat. Memohon dalam hati semoga di sana Axel tidak berada. Aku merunduk saat melihat salah seorang dari mereka berbalik."Hei siapa itu?" teriaknya.Sial, dia melihatku. Aku berlari ke salah satu kamar dan menutupnya. Segera bersembunyi ke bawah tempat tidur.Langkah kaki terdengar mengejar di luar kamar. Berdentum seperti irama jantungku.Pergilah, kumohon. Suara tembakan lagi terdengar dari luar pintuku."Periksa setiap kamar!" Teriakan terdengar dari luar."Tidak! Mereka berada di sayap kiri. Lihat, mereka membalas tembakan! Di sini butuh bantuan!" Sahutan terdengar samar-samar."Satu orang memeriksa di sini! Sisanya bantu ke sayap kiri!" perintah sebuah suara berat.

  • Shadow Under The Light   Mengancam

    Aku memberontak, lecetnya kulit tak kuhiraukan sama sekali. Semakin cepat aku membebaskan diri, kemungkinan dirinya selamat lebih besar. Apa pun itu, aku akan melakukannya demi Axel. Betapa bodohnya diriku, aku mengutuk dalam hati, tapi jeratan itu terlalu kuat untuk bisa kubebaskan. Benang takdir yang tak bisa kami putuskan. Cinta semenyakitkan ini. "Kumohon, sekali ini saja, bantu aku!" Aku memohon pada Yang Kuasa. Keajaiban yang kunanti, yang tak kunjung datang seumur hidup. Namun kali ini, keajaiban itu terjadi. Aku melihat lempengan besi kecil bagian dari sparepart jamku terjatuh tak jauh dari jangkauan. Menggunakan kaki aku menggapai benda kecil itu menuju lenganku. Bersyukur, tubuhku sefleksibel itu hingga bisa menjangkaunya. Menggunakan benda kecil itu aku mulai mengerat tali yang mengikatku ke ranjang. Dalam sepuluh menit kemudian semua tali sudah terlepas. Aku berla

  • Shadow Under The Light   Penculikan

    Terbangun dalam pusing parah membuatku terbatuk-batuk. Udara berbau tak enak, apek dan lembap. Belum lagi ruangan yang gelap gulita.Aku berusaha menggerakkan tangan, tapi tak ada yang terjadi. Tubuhku bergeming. Apa ini? Tanganku terasa seperti diikat oleh tali."Axel?" panggilku parau. "Kau di sini?" Pipiku menyentuh seprai lembut. Dia membaringkanku ke tempat tidur. Kakiku juga terikat kuat dan terhubung pada ranjang."Axel!" teriakku marah. Dia membiusku dan mengikatku layaknya tawanan. Apa maunya pria sialan ini?"Apa maumu? Kuperingatkan kau, lepaskan aku sekarang!" Aku memberontak marah. Hidungku berdenyut nyeri saat aku berteriak.Lampu tiba-tiba dihidupkan. Terang benderang membuatku berkedip tak fokus demi menyesuaikan intensitas cahaya."El, apa ini?" Axel berjalan mendekat. Menatapku lekat-lekat.Ia mengangkat telepon gantungan kunci ke atas su

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status