Home / Romansa / Shadow on me / bab 5. hadirnya bayangan lama

Share

bab 5. hadirnya bayangan lama

Author: Dwie_ina
last update Last Updated: 2025-05-10 01:12:38

Hari itu, Jakarta menyembunyikan panasnya di balik awan mendung. Tapi di dalam mobil hitam berlapis kaca gelap yang membawa Aira ke kampus untuk mengisi seminar tamu, suhu terasa seperti mendidih.

Dante menyetir dengan satu tangan di kemudi, satu lagi menggenggam setengah rokok elektrik yang belum dinyalakan. Wajahnya tenang, tapi setiap otot di rahangnya tampak mengeras. Sejak malam itu—sejak Aira menerima panggilan dari Adrian—ia tak banyak bicara.

Dan Aira juga tidak bertanya.

Mereka terjebak dalam jarak yang tak bisa diucapkan dengan kata. Jarak yang tidak diciptakan dari pertengkaran, tapi dari kerinduan yang disangkal.

"Setelah ini ke mana?" suara Dante datar.

"Aku janji ketemu seseorang. Teman lama."

"Siapa?"

Aira menoleh ke arahnya. "Namanya Leona. Kita kuliah bareng di Belanda."

Dante hanya mengangguk kecil, tapi matanya menatap kaca spion dengan lebih tajam.

Leona datang seperti badai tropis—berisik, berani, dan terlalu cantik untuk dipercaya. Ia memeluk Aira seperti adik yang tak bertemu bertahun-tahun, bibirnya menyungging senyum yang terlalu lebar saat menatap Dante.

"Dan ini siapa?" tanyanya, pura-pura polos.

"Dante," jawab Aira singkat. "Dia... pengawal pribadi yang dikirim ayahku."

"Oh?" Leona tertawa kecil. "Kau butuh dijaga dari apa? Diri sendiri?"

Aira terkekeh pelan. Tapi Dante tak tersenyum. Ia hanya menatap Leona beberapa detik terlalu lama—menilai.

Mereka bertiga duduk di sebuah kafe tersembunyi di area Senopati. Dante duduk sedikit menjauh, membiarkan dua wanita itu bicara, tapi telinganya tetap tajam.

"Aku dengar soal tunanganmu. Adrian, kan? Si ganteng kaya raya yang punya perusahaan properti?" Leona menyisipkan sedotan ke dalam es kopi-nya. "Kau betul-betul main aman, Air."

Aira mendesah. "Aku tidak memilihnya."

"Well, siapa yang kau pilih?"

Aira terdiam.

Dan Leona, dengan mata yang terlalu jeli, menggeser pandangannya ke arah pria yang duduk sepuluh meter dari mereka. "Oh... aku mengerti sekarang."

Sore itu, Leona memutuskan ikut Aira pulang. “Kita sudah lama tak ngobrol serius. Kau terlalu sibuk dengan bisnis dan... pria misteriusmu itu.”

"Dia bukan—"

"Sudahlah, Air. Aku kenal tatapan wanita yang pernah disentuh pria, dan tatapan pria yang tidak bisa melupakan sentuhan itu." Leona menyeringai. "Kalian berdua seperti buku terbuka bagi orang sepertiku."

Aira menahan napas. Tapi diamnya adalah konfirmasi.

Begitu sampai di apartemen, Dante langsung masuk kamar sebelah. Biasanya ia akan memeriksa keamanan, tapi hari ini ia membiarkan mereka berdua sendiri. Mungkin karena Leona.

Atau mungkin karena hatinya sudah terlalu sesak.

"Aku harus tahu sesuatu," kata Leona saat mereka duduk di ruang tamu. "Kau bahagia, Air?"

Pertanyaan itu sederhana, tapi rasanya menghantam keras.

Aira menunduk. "Aku tidak tahu."

"Kau mencintainya?"

"Aku tidak tahu."

"Kau takut padanya?"

"Aku juga... tidak tahu."

Leona meraih tangan Aira. "Kalau semua jawabanmu 'tidak tahu', itu artinya kau sedang jatuh. Dan kau tidak tahu bagaimana caranya mendarat."

Malam itu, hujan lagi.

Leona sudah tidur di kamar tamu, dan Aira berdiri di dapur, mengaduk teh hangat dengan tangan gemetar. Saat Dante keluar dari kamarnya, mengenakan kaus gelap dan celana training, Aira nyaris menjatuhkan sendok.

"Kau tidak tidur?"

"Tak bisa."

"Kau ingin bicara?" tanyanya hati-hati.

Dante mendekat. Tapi ada batas tak terlihat yang ia tahan malam itu. Tidak seperti sebelumnya.

"Aku melihat bagaimana dia menatapmu. Temanmu itu."

"Leona orang blak-blakan."

"Aku tahu dia mencium sesuatu."

Aira menatap matanya. "Dan kau takut?"

"Yang aku takuti..." Dante menggenggam meja dapur. "Adalah ketika seseorang yang kau sentuh, yang kau hancurkan, akhirnya sadar kau tak pantas dijaga."

Aira hampir menangis mendengar itu.

Tapi Dante berbalik. "Tidurlah. Sebelum aku lupa bahwa kau milik orang lain."

Aira mengejarnya sebelum ia sempat masuk kamar. "Aku tidak pernah benar-benar jadi milik siapa pun."

Dante menoleh cepat. Matanya gelap, napasnya berat.

Aira melangkah maju. "Dan kalau aku harus jatuh, setidaknya aku ingin tahu siapa yang akan menjemputku."

Dante tidak menjawab. Tapi tubuhnya bergerak. Dalam satu gerakan cepat, ia menarik Aira ke pelukannya, mencium bibirnya dengan rasa lapar yang tak terucap. Dan Aira membalasnya—bukan karena nafsu semata, tapi karena hatinya sudah terlalu lama berdenyut dalam diam.

Leona terbangun karena suara napas berat.

Ia membuka pintu kamar tamu sedikit. Tapi yang ia lihat membuatnya terpaku.

Di dapur yang remang, Aira duduk di meja dapur, tubuhnya melingkar di tubuh pria yang tak salah lagi—Dante. Ciuman mereka kasar, tapi penuh luka. Seperti dua jiwa yang saling menghancurkan hanya karena tidak bisa saling memiliki dengan utuh.

Leona menutup pintu perlahan. Tapi wajahnya tidak marah.

Ia tersenyum tipis. "Akhirnya aku menemukan celahnya."

Pagi harinya, Aira bangun dengan leher penuh bekas merah samar. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, mengenakan hoodie, menutupi segalanya. Tapi hatinya telanjang.

Leona sedang duduk di ruang tamu sambil menyesap kopi. Senyum di wajahnya tidak polos.

"Aku akan menginap beberapa hari lagi," katanya tenang.

"Ada apa?"

"Katamu aku teman, kan? Aku ingin memastikan... kau baik-baik saja."

Aira menelan ludah. Tapi sebelum ia bisa menjawab, Dante keluar dari kamarnya. Tatapan mereka bertemu. Tapi kali ini, Leona menatapnya lama.

"Aku ingin sarapan di luar. Kalian ikut?" tawar Leona.

"Kau ingin kami jalan bertiga?" tanya Aira.

"Oh tidak," jawab Leona santai, berdiri dan menggenggam tasnya. "Aku cuma ingin mengajak Dante."

Aira terdiam.

Dan Dante? Ia hanya menatap Aira sebentar, lalu mengangguk.

"Baik. Tapi kita tidak lama."

Mobil hitam itu meluncur keluar. Leona duduk di samping Dante, menyetel lagu klasik dari ponselnya.

"Kau menyentuhnya, kan?" tanyanya tanpa basa-basi.

Dante melirik sekilas. "Apa yang kau maksud?"

Leona tertawa. "Aku bukan musuhmu, Dante. Tapi aku tahu jenis cinta yang membakar seseorang dari dalam."

"Ini tidak cinta."

"Oh, itu justru masalahnya. Karena kalian akan saling melukai sampai tinggal abu."

Dante mengerem mendadak di lampu merah. Tangannya mencengkeram kemudi.

Leona menatapnya. "Kau pikir kau bisa membiarkannya menikah dengan orang lain setelah kau menyentuhnya begitu dalam?"

Di apartemen, Aira menerima pesan W******p dari Adrian.

“Kita harus makan malam bersama minggu ini. Aku ingin bicara serius soal pertunangan kita.”

Dan saat ia melihat ke arah jendela, langit mendadak gelap.

Seperti hatinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Shadow on me   bab 28. stasiun yang terkubur waktu

    Angin pagi menyusup masuk ke sela-sela jaket mereka saat kelima pejuang itu berjalan menyusuri hutan jarang menuju reruntuhan Stasiun Varra—sebuah bangunan kuno yang konon pernah digunakan sebagai tempat penyimpanan data awal sistem pemetaan cinta. Bangunan itu ditinggalkan sejak lebih dari satu dekade lalu, dikabarkan ambruk karena kebakaran misterius. Namun bagi Leona, tempat itu lebih dari sekadar reruntuhan. Ia menyebutnya “akar dari segalanya”.“Tempat ini yang pertama kali memproses basis data emosi,” jelas Leona sembari menatap peta digital dari gawai kecilnya. “Di sinilah algoritma awal dikembangkan sebelum dipindahkan ke server utama pemerintah pusat.”Aira mengerutkan kening. “Jadi di tempat ini... manusia pertama kali mulai dipelajari seperti objek?”“Ya,” jawab Leona lirih. “Dipetakan. Diberi nilai. Lalu diarahkan seperti boneka.”Langkah mereka berhenti di depan sebuah dinding beton besar yang penuh semak merambat. Dante mengamati permukaan kusam itu dan menemukan celah l

  • Shadow on me   bab 27. denting yang tak bisa dibungkam

    Sungai kecil di balik bukit itu membawa air yang dingin dan beraroma lumut. Aira menggigil, menahan napas sambil menyusuri arus dangkal bersama Dante, Lana, Leona, dan Joel. Langit mulai menggelap, namun tidak benar-benar gelap—sisa-sisa siaran yang tadi mereka pancarkan masih terasa, seperti arus listrik halus yang mengalir dalam udara malam.Mereka berjalan beriringan, tidak bicara, hanya suara gemericik air dan napas yang berat yang mengisi keheningan. Tubuh mereka lelah, tapi hati mereka penuh.Saat mereka akhirnya mencapai tebing rendah di sisi timur, Leona memberi isyarat berhenti. Mereka berlindung di balik formasi batu-batu alam, duduk berjajar, menggeliat mengeringkan pakaian dan peralatan.“Ini akan membekas,” gumam Joel sambil membuka bagian bawah tasnya yang basah kuyup, memperlihatkan alat komunikasi kecil yang masih menyala.Dante mengangguk. “Bukan hanya karena kita hampir mati. Tapi karena siaran itu… sampai.”Leona mengusap rambut basahnya ke belakang. “Tiga jaringan

  • Shadow on me   bab 26. menara yang menunggu nyala

    Langit tampak pucat saat matahari menggeliat dari balik awan, menyinari jalan setapak penuh batu tajam dan reruntuhan logam. Angin di perbukitan utara berembus dingin, membawa bau karat dan abu dari menara tua yang menjulang jauh di atas sana.Mereka berenam mendaki dalam diam. Setiap langkah diatur dengan waspada. Leona memimpin, diikuti oleh Joel yang membawa perangkat siaran dalam tas hitam. Di belakang mereka, Aira dan Dante berjalan beriringan, sementara Lana menjaga posisi paling belakang dengan mata tajam dan tangan siap di senjata api kecilnya.“Menara itu dulunya milik penyiar independen,” kata Leona tanpa menoleh. “Tapi setelah penggabungan sistem, sinyalnya dipadamkan dan lokasinya dikunci. Sekarang, satu-satunya yang tersisa adalah struktur usang dan... jejak sinyal yang kadang masih menyala sendiri.”“Seolah tempat itu belum siap mati,” gumam Dante.Leona berhenti mendadak di balik semak berduri. Ia berjongkok dan mengangkat tangan. “Penjaga.”Dari atas, tampak dua orang

  • Shadow on me   bab 25. pantulan yang tak pernah ilang

    Malam belum benar-benar surut saat Aira berdiri di depan monitor besar dalam ruangan bawah tanah. Gema suara-suara sistem terdengar seperti napas terakhir dari bangunan tua yang sudah lama ditinggalkan. Pipa-pipa menggantung di atas kepala mereka, dan suara tetesan air mengiringi detak jantung yang semakin tak karuan.Di layar, wajah Aira terekam secara langsung.Joel berdiri di balik konsol kendali, jari-jarinya cepat menari di atas keyboard. Dante mengawasi ruangan dari belakang, mata waspada. Sementara Lana, bersandar pada dinding, menggenggam pisau lipat kecil—satu-satunya yang membuatnya merasa masih bisa bertahan hidup.Siaran dimulai.“Namaku Aira Vex,” ucapnya dengan suara tenang tapi bergetar, “dan jika kalian melihat ini... berarti sistem telah gagal menyembunyikan kami lagi.”Ia berhenti sejenak, menatap langsung ke kamera. Tak ada naskah. Tak ada arahan. Hanya kebenaran yang menggantung di lidahnya.“Kami dulu hanyala

  • Shadow on me   bab 24. gema dari kota mati

    Sore itu, langit tampak lebih berat daripada biasanya. Awan menggumpal seperti rahasia-rahasia yang belum terucap. Kabut tipis menyelimuti jalan berkerikil menuju ke kota tua—kota yang dulu mereka tinggalkan karena bahaya, dan kini mereka masuki kembali karena pilihan.Mobil mereka bergerak lambat, sunyi. Tidak ada musik, tidak ada obrolan ringan. Hanya denting waktu dan suara ban yang menelan jarak.Dante menyetir. Matanya tertuju lurus ke depan, tapi tangannya sesekali mengetuk setir seperti menahan gelisah. Aira duduk di sampingnya, menggenggam peta lama yang sudah direvisi dengan tinta biru dan coretan tangan Joel. Di kursi belakang, Lana memeriksa senjata untuk kesekian kalinya, dan Joel memandangi layar kecil yang menampilkan sinyal dari tiga drone kecil yang dilepaskan sebelumnya.“Berapa menit lagi kita sampai di titik aman?” tanya Dante tanpa menoleh.“Kurang dari sepuluh menit,” jawab Joel. “Kalau tak ada drone patroli musuh. Tapi… aku t

  • Shadow on me   bab 23. di antara retakan kota

    Udara kota menyambut mereka dengan aroma logam dan beton tua. Langit seperti dinding kusam yang menggantung terlalu rendah, dan cahaya lampu jalan menyapu wajah mereka dalam bayangan bergerak. Aira duduk di kursi belakang mobil van yang mereka pakai, jantungnya berdetak perlahan tapi berat. Sesuatu dalam dirinya menolak untuk merasa aman. Bahkan sekarang, ketika pintu belakang dunia tampak terbuka di hadapan mereka.Dante duduk di kursi pengemudi, tangannya menggenggam setir seperti menahan seluruh beban langit. Di sebelahnya, Joel memeluk koper berisi data, seperti seorang ayah yang menolak menyerahkan anaknya. Lana diam, menatap ke luar jendela, matanya mengikuti siluet bangunan yang mereka lewati.Mereka tiba di markas bawah tanah Elias menjelang tengah malam. Sebuah ruangan tersembunyi di balik lorong parkiran tua, terlindung dari radar, kamera, dan sinyal umum. Elias menyambut mereka seperti seorang tuan rumah yang terlalu tenang untuk dunia yang sedang terbak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status