Hari itu, Jakarta menyembunyikan panasnya di balik awan mendung. Tapi di dalam mobil hitam berlapis kaca gelap yang membawa Aira ke kampus untuk mengisi seminar tamu, suhu terasa seperti mendidih.
Dante menyetir dengan satu tangan di kemudi, satu lagi menggenggam setengah rokok elektrik yang belum dinyalakan. Wajahnya tenang, tapi setiap otot di rahangnya tampak mengeras. Sejak malam itu—sejak Aira menerima panggilan dari Adrian—ia tak banyak bicara. Dan Aira juga tidak bertanya. Mereka terjebak dalam jarak yang tak bisa diucapkan dengan kata. Jarak yang tidak diciptakan dari pertengkaran, tapi dari kerinduan yang disangkal. "Setelah ini ke mana?" suara Dante datar. "Aku janji ketemu seseorang. Teman lama." "Siapa?" Aira menoleh ke arahnya. "Namanya Leona. Kita kuliah bareng di Belanda." Dante hanya mengangguk kecil, tapi matanya menatap kaca spion dengan lebih tajam. Leona datang seperti badai tropis—berisik, berani, dan terlalu cantik untuk dipercaya. Ia memeluk Aira seperti adik yang tak bertemu bertahun-tahun, bibirnya menyungging senyum yang terlalu lebar saat menatap Dante. "Dan ini siapa?" tanyanya, pura-pura polos. "Dante," jawab Aira singkat. "Dia... pengawal pribadi yang dikirim ayahku." "Oh?" Leona tertawa kecil. "Kau butuh dijaga dari apa? Diri sendiri?" Aira terkekeh pelan. Tapi Dante tak tersenyum. Ia hanya menatap Leona beberapa detik terlalu lama—menilai. Mereka bertiga duduk di sebuah kafe tersembunyi di area Senopati. Dante duduk sedikit menjauh, membiarkan dua wanita itu bicara, tapi telinganya tetap tajam. "Aku dengar soal tunanganmu. Adrian, kan? Si ganteng kaya raya yang punya perusahaan properti?" Leona menyisipkan sedotan ke dalam es kopi-nya. "Kau betul-betul main aman, Air." Aira mendesah. "Aku tidak memilihnya." "Well, siapa yang kau pilih?" Aira terdiam. Dan Leona, dengan mata yang terlalu jeli, menggeser pandangannya ke arah pria yang duduk sepuluh meter dari mereka. "Oh... aku mengerti sekarang." Sore itu, Leona memutuskan ikut Aira pulang. “Kita sudah lama tak ngobrol serius. Kau terlalu sibuk dengan bisnis dan... pria misteriusmu itu.” "Dia bukan—" "Sudahlah, Air. Aku kenal tatapan wanita yang pernah disentuh pria, dan tatapan pria yang tidak bisa melupakan sentuhan itu." Leona menyeringai. "Kalian berdua seperti buku terbuka bagi orang sepertiku." Aira menahan napas. Tapi diamnya adalah konfirmasi. Begitu sampai di apartemen, Dante langsung masuk kamar sebelah. Biasanya ia akan memeriksa keamanan, tapi hari ini ia membiarkan mereka berdua sendiri. Mungkin karena Leona. Atau mungkin karena hatinya sudah terlalu sesak. "Aku harus tahu sesuatu," kata Leona saat mereka duduk di ruang tamu. "Kau bahagia, Air?" Pertanyaan itu sederhana, tapi rasanya menghantam keras. Aira menunduk. "Aku tidak tahu." "Kau mencintainya?" "Aku tidak tahu." "Kau takut padanya?" "Aku juga... tidak tahu." Leona meraih tangan Aira. "Kalau semua jawabanmu 'tidak tahu', itu artinya kau sedang jatuh. Dan kau tidak tahu bagaimana caranya mendarat." Malam itu, hujan lagi. Leona sudah tidur di kamar tamu, dan Aira berdiri di dapur, mengaduk teh hangat dengan tangan gemetar. Saat Dante keluar dari kamarnya, mengenakan kaus gelap dan celana training, Aira nyaris menjatuhkan sendok. "Kau tidak tidur?" "Tak bisa." "Kau ingin bicara?" tanyanya hati-hati. Dante mendekat. Tapi ada batas tak terlihat yang ia tahan malam itu. Tidak seperti sebelumnya. "Aku melihat bagaimana dia menatapmu. Temanmu itu." "Leona orang blak-blakan." "Aku tahu dia mencium sesuatu." Aira menatap matanya. "Dan kau takut?" "Yang aku takuti..." Dante menggenggam meja dapur. "Adalah ketika seseorang yang kau sentuh, yang kau hancurkan, akhirnya sadar kau tak pantas dijaga." Aira hampir menangis mendengar itu. Tapi Dante berbalik. "Tidurlah. Sebelum aku lupa bahwa kau milik orang lain." Aira mengejarnya sebelum ia sempat masuk kamar. "Aku tidak pernah benar-benar jadi milik siapa pun." Dante menoleh cepat. Matanya gelap, napasnya berat. Aira melangkah maju. "Dan kalau aku harus jatuh, setidaknya aku ingin tahu siapa yang akan menjemputku." Dante tidak menjawab. Tapi tubuhnya bergerak. Dalam satu gerakan cepat, ia menarik Aira ke pelukannya, mencium bibirnya dengan rasa lapar yang tak terucap. Dan Aira membalasnya—bukan karena nafsu semata, tapi karena hatinya sudah terlalu lama berdenyut dalam diam. Leona terbangun karena suara napas berat. Ia membuka pintu kamar tamu sedikit. Tapi yang ia lihat membuatnya terpaku. Di dapur yang remang, Aira duduk di meja dapur, tubuhnya melingkar di tubuh pria yang tak salah lagi—Dante. Ciuman mereka kasar, tapi penuh luka. Seperti dua jiwa yang saling menghancurkan hanya karena tidak bisa saling memiliki dengan utuh. Leona menutup pintu perlahan. Tapi wajahnya tidak marah. Ia tersenyum tipis. "Akhirnya aku menemukan celahnya." Pagi harinya, Aira bangun dengan leher penuh bekas merah samar. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, mengenakan hoodie, menutupi segalanya. Tapi hatinya telanjang. Leona sedang duduk di ruang tamu sambil menyesap kopi. Senyum di wajahnya tidak polos. "Aku akan menginap beberapa hari lagi," katanya tenang. "Ada apa?" "Katamu aku teman, kan? Aku ingin memastikan... kau baik-baik saja." Aira menelan ludah. Tapi sebelum ia bisa menjawab, Dante keluar dari kamarnya. Tatapan mereka bertemu. Tapi kali ini, Leona menatapnya lama. "Aku ingin sarapan di luar. Kalian ikut?" tawar Leona. "Kau ingin kami jalan bertiga?" tanya Aira. "Oh tidak," jawab Leona santai, berdiri dan menggenggam tasnya. "Aku cuma ingin mengajak Dante." Aira terdiam. Dan Dante? Ia hanya menatap Aira sebentar, lalu mengangguk. "Baik. Tapi kita tidak lama." Mobil hitam itu meluncur keluar. Leona duduk di samping Dante, menyetel lagu klasik dari ponselnya. "Kau menyentuhnya, kan?" tanyanya tanpa basa-basi. Dante melirik sekilas. "Apa yang kau maksud?" Leona tertawa. "Aku bukan musuhmu, Dante. Tapi aku tahu jenis cinta yang membakar seseorang dari dalam." "Ini tidak cinta." "Oh, itu justru masalahnya. Karena kalian akan saling melukai sampai tinggal abu." Dante mengerem mendadak di lampu merah. Tangannya mencengkeram kemudi. Leona menatapnya. "Kau pikir kau bisa membiarkannya menikah dengan orang lain setelah kau menyentuhnya begitu dalam?" Di apartemen, Aira menerima pesan W******p dari Adrian. “Kita harus makan malam bersama minggu ini. Aku ingin bicara serius soal pertunangan kita.” Dan saat ia melihat ke arah jendela, langit mendadak gelap. Seperti hatinya.Hujan kembali turun, lebih deras dari semalam. Seakan langit ingin mencuci bersih sesuatu yang busuk di dunia ini—meski tahu itu sia-sia.Aira duduk di dalam mobil hitam yang dipinjamkan Dante untuknya, jemarinya mencengkeram tas kecil yang sejak pagi tadi tak pernah dilepas. Sudah dua jam sejak pertemuan itu. Sejak pria bernama Nox muncul dan merobek realita tenangnya yang semu."Aku datang bukan untukmu..."Kata-kata itu masih menggema. Seperti bayangan, mengendap di balik tengkuk. Membuat kulitnya dingin meski AC mobil sudah mati sejak tadi.Ponselnya berdering. Ia menoleh pelan. Nama di layar: Dante.Tangan Aira gemetar saat menyentuh layar.“Halo,” suaranya pelan.“Kau di mana?” suara Dante terdengar datar. Tapi bukan datar karena tenang—melainkan terlalu banyak emosi yang dikunci rapat.“Aku keluar sebentar,” jawab Aira hati-hati. “Aku… butuh udara.”Keheningan.Kemudian Dante berkata, “D
Dante merasakan ada yang tidak seimbang saat ia membuka mata.Udara pagi seharusnya membawa ketenangan, tapi ini seperti jebakan yang terlalu rapi. Hening yang disulam terlalu sempurna. Sunyi yang menunggu untuk memekik.Ia meraih celana panjangnya, mengenakannya sambil berjalan keluar kamar. Langkahnya cepat, naluri lamanya seperti sedang digelitik dari tidur panjang. Belum sampai ke tangga, ia mendengar suara rendah yang tidak asing di telinganya.“Nox,” gumamnya, nyaris tanpa suara.Ia mempercepat langkah, menuruni anak tangga dan menemukan Aira berdiri di ambang dapur, tubuhnya kaku seperti patung, sedang seorang pria asing duduk santai di kursi makan sambil memutar cangkir kopi yang belum disentuh.Pria itu menoleh, dan bibirnya membentuk senyum yang tidak sampai ke mata.“Dante,” ucapnya, seolah menyapa sahabat lama.“Keluar,” kata Dante, dingin.“Tentu. Tapi bukan sebelum kau mendengarkanku.”“Ti
Pintu tidak langsung dibuka.Aira berdiri mematung di dalam kamar, tubuhnya hanya diselimuti oleh kain tipis dan napas yang memburu. Dante berdiri tak jauh darinya, punggungnya tegak namun dagunya menunduk. Seolah baru saja dijatuhkan dari ketinggian yang terlalu akrab.Suara Camille kembali terdengar dari balik pintu, lebih tegas, lebih menusuk.“Kalau kau tidak percaya padaku, bukalah laptopnya. Lihat folder yang bernama RAVEN. Kata sandinya: 0611Nox. Itu tanggal pertama kali dia membunuh seseorang.”Darah Aira terasa surut dari wajahnya.Dante menggeram pelan, hampir tidak terdengar. “Dia melampaui batas.”“Benarkah?” bisik Aira. “Jadi... itu semua benar?”Dante menatapnya lama, dan saat ia akhirnya bicara, suaranya seperti batu basah yang digores silet.“Aku pernah jadi tentara. Itu bukan rahasia. Tapi setelah keluar, hidup tidak sesederhana berjualan senjata bekas atau buka gym pelatihan. Dunia gelap tidak
Camille.Nama itu terpatri di layar ponsel Dante. Mengusik dalam satu kedipan. Mengubah atmosfer ruangan seperti angin dingin yang menyusup dari celah jendela.Aira menatap layar ponsel itu tanpa berkedip. Detik demi detik terasa seperti gesekan belati ke kulitnya.“Apa kau tidak akan angkat?” tanyanya pelan, hampir berbisik. Suaranya dingin, walau matanya terbakar.Dante tidak menjawab. Ia hanya menatap layar itu dalam diam sebelum akhirnya menekan tombol merah—menolak panggilan itu begitu saja.“Kenapa kau—”“Bukan urusanmu,” potong Dante, nada suaranya berubah. Lebih tajam. Tegas. Seolah mencoba menarik kembali dinding yang nyaris runtuh tadi.Aira mengerjap. “Bukan urusanku?” katanya lambat, seperti mencicipi kata-kata itu. “Kau menarikku ke kamar ini, menggenggamku seolah aku milikmu, dan sekarang... Camille meneleponmu tengah malam, dan kau bilang bukan urusanku?”Ia menertawakan kata-katanya sendiri. Tawa
Aira masih merasakan denyut halus di pergelangan tangannya—sisa dari cengkeraman Dante semalam. Ia menatap kulitnya yang kini sedikit merah muda, nyaris memar, lalu menoleh ke kaca besar di kamar mandi suite pribadinya. Matanya belum sepenuhnya jernih, seperti belum siap kembali ke kenyataan.Ia telah mencium Dante.Bukan dalam lamunan, bukan karena dorongan iseng—tapi sungguh-sungguh. Nyata. Terjadi.Dan pria itu membalasnya. Bukan dengan kelembutan, bukan dengan bisikan cinta, tapi dengan tatapan yang mengunci, tangan yang menggenggam terlalu erat, dan ciuman yang seolah menelan habis seluruh keberaniannya.Aira menyentuh bibirnya pelan.“Aku sudah gila…” gumamnya lirih.**Di lantai bawah, Dante berdiri di dekat jendela kaca. Kopi hitam di tangannya sudah dingin. Tatapannya terpaku pada pohon palem di kejauhan, tapi pikirannya terjebak di kamar atas, pada aroma tubuh Aira, pada desahan samar yang nyaris membuatnya keh
Hari itu, Jakarta menyembunyikan panasnya di balik awan mendung. Tapi di dalam mobil hitam berlapis kaca gelap yang membawa Aira ke kampus untuk mengisi seminar tamu, suhu terasa seperti mendidih.Dante menyetir dengan satu tangan di kemudi, satu lagi menggenggam setengah rokok elektrik yang belum dinyalakan. Wajahnya tenang, tapi setiap otot di rahangnya tampak mengeras. Sejak malam itu—sejak Aira menerima panggilan dari Adrian—ia tak banyak bicara.Dan Aira juga tidak bertanya.Mereka terjebak dalam jarak yang tak bisa diucapkan dengan kata. Jarak yang tidak diciptakan dari pertengkaran, tapi dari kerinduan yang disangkal."Setelah ini ke mana?" suara Dante datar."Aku janji ketemu seseorang. Teman lama.""Siapa?"Aira menoleh ke arahnya. "Namanya Leona. Kita kuliah bareng di Belanda."Dante hanya mengangguk kecil, tapi matanya menatap kaca spion dengan lebih tajam.Leona datang seperti badai tropis—berisik, berani, dan terlalu cantik untuk dipercaya. Ia memeluk Aira seperti adik ya