Share

Chapter 5

Di tengah derasnya hujan, kudaku masih melaju kencang. Aku masih menggenggam tangan Velian agar tangannya tetap hangat, meskipun tangan dalam tali pacuan ku sudah membiru dan berkerut. Kubiarkan ia terkulai di bahuku. Tubuhnya yang mulai menggigil membuatku semakin cemas.

Tak lama, akhirnya kami sampai di goa. Aku segera memapah Velian yang sudah sangat lemah untuk masuk. Aku segera membetulkan perapian setelah ia sudah duduk dengan posisi hangat. Kuraih buntalan kain yang berisi pakaian Velian dan melemparnya.

“Cepat ganti pakaianmu. Aku akan pergi mencari makanan.”

“Valen.”

Aku menoleh sejenak. “Hmm?”

“Di luar sedang hujan. Biar aku saja yang mencari makanan.”

“Kondisimu sedang tidak baik, jadi...sadar diri lah. Aku usahakan tidak lama.”

Aku segera melesat keluar sebelum Velian berkomentar lebih banyak lagi. Rencananya, aku tidak bermaksud untuk berburu melainkan ingin kembali ke rumahku. Setidaknya...beberapa keping uang sudah cukup. Mungkin memang terlihat seperti perampok, tapi...menggasak rumah sendiri kurasa juga tidak cocok untuk di sebut perampok.

Aku memacu kudaku lebih cepat dan melawan udara dingin yang menggigit. Hujan deras membuat suasana di distrik ku sepi hingga aku bisa melaju tanpa hambatan. Tak butuh waktu lama aku sampai di rumahku yang terpencil.

Dengan mengamati keadaan sekitar, aku melompat masuk ke dalam rumah. Aku kembali masuk ke dalam kamarku untuk mengambil celengan ku dan memasukannya ke dalam tas. Aku juga masuk ke kamar ayah dan ibu, berharap menemukan petunjuk lagi.

Namun hingga satu jam, aku tidak menemukan petunjuk apapun dan kini tatapanku tertuju pada sebuah peti berukuran sedang. Mataku terpaku ketika melihat isi dari peti itu yang ternyata...adalah kepingan emas.

Rasa takut melandaku seperti gulungan awan hitam dan membuatku menjadi gugup. Untuk pertama kalinya aku melihat emas sebanyak ini.  Aku menelan ludah sebelum akhirnya menutup peti itu dan memasukannya ke dalam tas.

“Ayah, maafkan aku. Aku tidak tahu bagaimana lagi caraku untuk hidup tanpa kalian. Aku berjanji akan menjaga harta ini dengan baik,” ucapku dalam hati.

Aku segera melesat keluar dan kembali menerobos hujan deras. Mungkin aku harus mampir ke beberapa penjual makanan dari distrik sebelah dan juga beberapa ramuan obat herbal. Aku mengeluarkan uang yang masih tersisa di sakuku dan mulai berbelanja.

Setelah semuanya cukup, aku kembali memacu kuda dan pulang ke goa. Tubuhku mulai menggigil akibat kedinginan. Aku bisa melihat ujung jariku yang pucat dengan kuku membiru. Pandanganku mulai buram dan kepalaku mulai terasa berat, namun aku harus tetap bertahan.

“Valen!” ujar Velian cemas setelah aku sampai di goa.

Aku berjalan dengan langkah tertatih kemudian membuka salah satu bingkisan kecil berisi makanan.

“Kau harus makan,” sodorku dengan tangan gemetar akibat dingin. “Aku juga sudah membawakan obat untukmu.”

Awalnya ia hanya terdiam namun sedetik kemudian ia menarik tanganku dan memelukku. Butuh waktu untuk sadar bahwa aku sudah dalam dekapannya yang hangat ketika aroma mint khasnya menguar dari tubuhnya.

“Veli-"

“Kau bisa bersandar padaku jika kau lelah,” potongnya.

Aku terdiam sejenak untuk menata pikiranku di antara rasa pening yang bergelayut. Namun sesaat kemudian, aku benar-benar menyandarkan kepalaku di dada bidangnya.

“Ya, aku memang...sedikit lelah. Tapi..." Aku kembali mengangkat kepalaku dan mendorongnya pelan. “Pakaianku masih basah, nanti bajumu juga ikut basah.”

Aku segera berpaling untuk meletakkan tasku dan mengambil beberapa helai pakaian.

“Maaf, hari ini aku tidak berburu tapi aku sudah membeli makanan di pasar distrik sebelah. Aku yakin, rasanya tidak terlalu mengecewakan,” ujarku sambil melangkah ke luar untuk membilas diri.

Setelah tubuhku bersih, aku kembali masuk dan kulihat Velian sudah membalikkan tubuh ke arah dinding dan membelakangiku. Aku segera berganti pakaian secepat mungkin meskipun awalnya ragu.

“Aku sudah selesai,” ucapku dan Velian kembali berbalik.

Aku mengambil posisi duduk berseberangan dengannya sambil menatap perapian. Kuambil sehelai kain untuk menyelimuti tubuhku dari udara dingin yang masih terasa.

Aku menatap Zealda dan Aleea yang masih terbaring. Meskipun kondisinya tidak seburuk di awal, tapi mereka belum sadarkan diri dan itu membuatku cemas.

“Terima kasih untuk bantuannya hari ini,” ucapnya tanpa mengalihkan tatapannya dari perapian.

“Kau sudah mengatakannya.”

“Dan aku ingin mengatakannya lagi.”

Aku menatap Velian dan tatapannya begitu kosong dengan wajah pucat.

“Apa yang sudah kau dapat dari rumahmu? Apa kau sudah menemukan petunjuk?”

Ah, aku hampir lupa soal itu. Tanpa pikir panjang aku langsung mengeluarkan buku tebal dan juga secarik kertas yang berisi corak membentuk angka empat.

Velian mengerutkan kening ketika aku menyodorkan buku tebal itu dan menerimanya dalam diam. Ia membukanya perlahan dan matanya semakin menyipit dengan tatapan dingin khasnya.

“Jadi...keluargamu menyimpan buku ini?”

“Aku tidak tahu sebelumnya. Mereka juga tidak pernah membicarakannya.” Aku mengambil posisi duduk di sampingnya. “Menurutmu buku apa itu?”

“Ini...adalah buku ritual kerajaan. Biasanya kerajaan melakukan ritual untuk melindungi keluarga mereka dari berbagai serangan dan marabahaya.”

“Tapi...kenapa rakyat biasa yang bukan dari keluarga kerajaan bisa terlibat?”

“Entahlah. Tapi...kudengar mereka hanyalah mediator.”

Keningku berkerut tak paham. “Maksudmu mediator?”

“Itulah yang ingin kucari tahu.”

Velian menutup buku itu kemudian menatap perapian. “Mungkin...kita harus bergerak lebih cepat. Setelah semuanya pulih, kita harus bergegas.”

“Apa yang akan kita lakukan?”

“Kita akan menyusup ke istana.”

Aku menatap hampa perapian tapi pikiranku berputar. “Istana memiliki penjagaan yang sangat ketat. Menyusup ke sana bukan lah hal yang mudah.”

“Justru karena itu. Kita persiapkan semuanya dari sekarang.”

* * *

Dua hari telah berlalu, meskipun kondisi Aleea dan Zealda membaik, mereka belum juga sadarkan diri. Sepanjang hari aku hanya latihan bersama Velian cara menggunakan Dagger dan Hidden Blade dengan baik. Kecepatan dalam pergerakan juga di butuhkan dengan beberapa keahlian.

Aku melompat dari ketinggian tanpa merasa takut ke dalam sungai, kemudian bergerak ke tepian dengan cepat lalu berlari ke hutan sambil melempar belati ke beberapa pohon yang sudah kutandai.

Di sini, Velian sudah memasang perangkap berupa tali dan jaring. Aku terus berlari sambil sesekali berguling untuk menghindari tali-tali yang tersembunyi. Selain itu, aku juga melompat untuk menghindari jebakan agar tidak terkena jaring.

Aku terdiam sejenak ketika mendengar langkah kaki yang bergerak cepat. Aku mengamati keadaan dengan waspada karena aku tahu, Velian mulai beraksi. Aku memekakkan telinga dan menatap arah sumber suara.

Aku menarik pedang kecil yang tersembunyi di pinggangku, kemudian berlari secepat mungkin untuk menyerangnya. Tapi nihil, Velian tidak ada di sana. Kuedarkan lagi pandanganku dan aku mendengar suara dari atas.

Aku mendongak ke atas dan sedetik kemudian, melompat menghindari serangan Velian. Desingan belati yang saling bergesekan dengan sengit membuat telingaku berdengung. Aku terus melawannya sambil mencari celah dari pergerakannya.

Namun pergerakan Velian begitu cepat, ia menangkap tanganku kemudian memutar. Pergerakan ku terkunci dan sebilah mata pisau dari Hidden Blade di tangannya mencuat. Ia menghentikan gerakannya agar mata pisau itu tidak menggores leherku.

“Lumayan,” ujarnya. “Setidaknya ada perkembangan dalam kelincahan mu.”

Velian melepaskan ku dan membiarkan ku menghirup udara.

“Tidak kusangka, kau ahli dalam menyamarkan diri. Bukan hanya itu, kau juga mampu mengecoh lawan,” sahutku sambil meraih sebotol air dan meneguknya.

“Yah, setidaknya bergerak tanpa diketahui adalah hal yang harus diperhatikan.” Velian terduduk di sampingku sambil meneguk air minum miliknya.

“Bagaimana dengan lukamu?” Aku mengamati bekas lukanya akibat pertarungan waktu itu. “Apa masih terasa sakit?”

“Setidaknya sudah mulai membaik,” jawabnya.

Aku termanggut-manggut lega. “Syukurlah.”

“Valen, aku ingin mengenalkan mu pada seseorang.” Velian berdiri untuk memunguti senjatanya. “Ikut aku.”

Meskipun ingin tahu, aku hanya mengikuti langkahnya tanpa bertanya. Kami berjalan mengikuti jalur setapak hingga akhirnya kami sampai di sebuah rumah di tepi hutan.

Kepulan asap putih sudah mengepul dari cerobong asap dan kulihat sosok pria paruh baya menatap kedatangan kami.

“Paman, aku ingin menyewa dua kuda,” ujar Velian setelah sampai.

Pria itu menatapku dan Velian bergantian sebelum menyahut, “Kudaku ada di kandang belakang. Kau tinggal pilih saja.”

“Baiklah, terima kasih paman.” Velian memberikan sebuah kantung kecil berisi keping uang kepada pria tua itu.

Kami langsung menuju ke kandang belakang dan di sana sudah terdapat puluhan kuda.

“Jadi di sini Velian biasa menyewa kuda,” pikirku.

Velian langsung menarik seekor kuda dari kandangnya dan siap untuk menaikinya.

“Nah nona, kau mau pilih yang mana?” Kini pria tua itu bertanya padaku.

Aku terdiam menatap kuda satu persatu dan mataku tertuju pada kuda jantan berwarna hitam yang paling ujung.

“Paman, aku mau yang itu,” tunjuk ku.

Pria tua itu merasa heran sejenak, namun sedetik kemudian sudah menarik kuda itu keluar dari kandangnya.

“Kau yakin ingin menaiki kuda ini, nona?” tanyanya sambil mengelus kudanya. “Dia masih sedikit liar dan kadang susah dikendalikan.”

Aku menatap kuda itu lagi, dan kulihat matanya sedikit redup. Aku penasaran, seliar apa kuda yang satu ini?

“Iya paman. Aku mau yang ini.”

“Baiklah aku serahkan padamu, tapi berhati-hatilah, nona,” ujarnya sambil membantuku untuk menaikinya.

“Terima kasih.”

Aku mulai melaju mengikuti kuda Velian. Kami bergerak menuju distrik Rivira yang tepatnya di Axylon utara dan jaraknya lumayan jauh. Entah aku yang lemah atau kudaku yang kelebihan energi, aku merasa kudaku berlari begitu cepat bahkan mendahului kuda Velian. Aku harus berhenti setiap kali Velian tertinggal jauh, karena dia petunjuk jalannya.

“Meskipun kau menyukainya, tapi kuda perang tidak cocok untuk perjalanan santai seperti ini,” gumamnya setelah melewati ku.

“Kuda perang?” tanyaku baru tahu. “Oh pantas saja dia terlihat gagah.”

Velian hanya menggelengkan kepala namun aku tahu dia tersenyum.

Tak lama, kami sampai di distrik Rivira. Aroma kayu manis tercium begitu jelas ketika melewati rumah kayu yang berkesan hangat. Kemudian, udara berganti menjadi aroma coklat hangat dari sebuah kedai dan kembali berganti menjadi aroma tembaga panas ketika melewati tempat penempa senjata.

“Kita sudah sampai.”

Kami menuruni kuda ketika sampai di sebuah rumah kayu mungil yang juga berkesan hangat. Aroma jahe menguar dari dalam, diiringi suara besi yang sedang di tempa.

Velian memberiku aba-aba untuk mengikutinya masuk ke dalam dan aku hanya menurut. Seorang pria tua gemuk dengan wajah segar langsung menyambut kedatangan kami, terutama Velian. Mereka berpelukan dan terlihat akrab.

“Lama sekali kau tidak kemari. Dasar anak nakal!” ujar pria itu sambil menjitak kepala Velian, sementara yang dijitak hanya meringis.

Jujur, untuk pertama kalinya aku melihat Velian yang meringis seperti itu, karena biasanya ia hanya tersenyum tipis, tertawa mengejek atau memasang wajah dingin dan selalu serius. Bersama pria tua itu, Velian menjadi berbeda dan terlihat hangat. Apa hubungannya dengan pria itu?

“Yah, akhir-akhir ini aku sedang menyelidiki sesuatu paman. Jadi...belum sempat kemari. Dan ini-" Velian menunjukku. “Valen, temanku.”

“Valen, ini paman Thomas. Dia ahli membuat senjata.”

“Salam kenal, paman.” Aku membungkuk sopan.

Paman Thomas tersenyum sambil menepuk bahuku. “Ah, akhirnya Velian mengajak seorang gadis kemari. Aku senang sekali.”

Aku hanya tersenyum dan sedikit tersipu. “Kami hanya kebetulan bertemu dan berteman.”

“Yah meskipun begitu-" Paman Thomas mendekati telingaku dan berbisik. “Aku bisa merasakan aura tubuhmu mirip dengan aura Velian.”

Aku mematung dengan ucapannya dan pikiranku dipenuhi tanya. “Maaf paman, aku...masih belum mengerti.”

“Ehmm.” Velian berdeham menginterupsi obrolan paman Thomas denganku. “Begini paman, kedatanganku kemari karena aku ingin meminta bantuan paman.”

“Apa kau kehabisan senjata?” tebak paman Thomas sambil membimbing kami menuju ruang tamu. “Kalian datang dari jauh, silahkan duduk.”

Kami menuruti titahnya untuk duduk, sembari menikmati udara hangat yang muncul dari perapian.

“Paman, aku butuh senjata yang lebih ringan. Mungkin bentuknya seperti pedang kecil tapi lebih ramping dan kokoh.”

“Bukankah tiga bulan yang lalu aku sudah memberimu sebuah Dagger?”

“Ah, sebenarnya itu...bukan untukku, tapi untuk Valen,” jawabnya.

Aku langsung menoleh kearahnya dengan bingung tanpa bertanya.

“Dia...belum ahli menggunakan Dagger dan Hidden Blade yang paman buatkan untukku,” lanjutnya. “Bisakah paman membuatkan Hidden Blade khusus untuknya?”

Paman Thomas menatapku dan Velian bergantian sebelum akhirnya dia berkata, “Velian aku ingin berbicara denganmu empat mata.”

Velian menatapku yang masih bingung, kemudian mengangguk pada paman yang berarti menyetujuinya. Tak butuh waktu lama, mereka berdua meninggalkanku yang masih terduduk di ruang tamu.

Aku tidak mengerti kenapa Velian meminta paman Thomas membuatkan senjata untukku. Apa aku seburuk itu menggunakan Hidden Blade miliknya?

“Kau yakin ingin menjadikan gadis polos seperti itu menjadi pembunuh?”

Keningku berkerut ketika tidak sengaja mendengar percakapan mereka dengan nada pelan, namun masih terdengar sedikit di telingaku.

“Dia tidak sepolos yang paman pikirkan.”

Aku memekakkan telinga ketika Velian yang bersuara.

“Dia pandai menggunakan pedang dan bisa bertarung,” lanjutnya.

Paman Thomas terdiam cukup lama.

“Dia hanya memiliki satu pedang dan dia butuh senjata yang lebih kecil dari pedangnya. Di tambah, Hidden Blade yang paman buatkan untukku membuat pergerakan tangannya sulit dan terlihat berat. Tangannya sangat kecil jadi butuh waktu lama untuk mengaitkan talinya.”

“Hmm...kalau begitu. Aku akan membuat desainnya terlebih dahulu, tapi aku tidak bisa menjamin akan selesai dalam waktu cepat. Meskipun begitu, aku akan mencoba membuat senjata yang cocok dengannya.”

“Ah, terima kasih paman.”

“Tapi Velian, aku merasa bahwa gadis itu memiliki kesamaan sepertimu.”

Keningku berkerut seketika mendengar ucapannya.

“Tidak semua orang memiliki perbedaan kan? Mungkin...dia hanya kebetulan.”

Paman Thomas terdiam cukup lama, namun pada akhirnya ia berkata, “Seharusnya kau melindunginya, tapi kau malah memintaku membuat senjata untuknya?”

“Maaf paman, hanya itu cara satu-satunya agar ia selalu terlindungi. Dia bisa melindungi dirinya.”

Paman Thomas seperti menarik napas berat. “Baiklah kalau begitu. Aku akan membuatnya.”

Berbagai pertanyaan kembali mengisi pikiranku. Namun yang paling mengganggu ketika paman Thomas mengatakan bahwa auraku sama dengan Velian.

Sejenak aku teringat pada ucapan pembunuh itu. Apa Velian mengetahui sesuatu tentang putra raja terdahulu? Berdasarkan reaksinya ketika melihat bukuku, dia seperti mengetahui sesuatu tapi...ia juga terlihat ingin mengetahui sesuatu.

_______To be Continued_______

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status