Beranda / Romansa / Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku / 5 — Tatapan yang Nggak Bisa Dibohongin

Share

5 — Tatapan yang Nggak Bisa Dibohongin

Penulis: Syuhda
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-02 13:23:50

Malam itu, di kamar kos yang temaram, Aurelya masih gelisah. Laptopnya menyala, file tugas kelompok terbuka, tapi pikirannya bukan di situ. Ia malah sibuk memandangi flashdisk kecil yang tadi siang dititipkan Raksa.

"Kenapa sih harus lo kasih ke gue dulu? Kan bisa aja langsung ke Keira," gumamnya pelan, memutar flashdisk di tangannya.

Padahal jawabannya jelas. Raksa percaya sama data wawancaranya. Tapi hati Aurelya menolak menerima alasan sesederhana itu. Karena di balik semua keseriusan Raksa, ada cara dia melihat Aurelya—tatapan lurus, tenang, tapi bikin dada berdebar nggak karuan.

Aurelya menggeleng cepat. "Astaga, Rel. Jangan halu. Jangan!" Ia menutup laptop, lalu menenggelamkan wajah di bantal.

Keesokan paginya, kelas kembali penuh. Shafira langsung nimbrung di sebelah Aurelya dengan wajah penuh gosip.

"Rel, lo semalem kepikiran kan? Jangan bohong, gue tau banget tuh muka lo kayak orang nggak bisa tidur," bisiknya sambil nyengir lebar.

Aurelya mendesah panjang. "Fir, sumpah ya… kalau lo nggak berhenti ganggu, gue bakal keluar kelas sekarang juga."

Shafira menahan tawa. "Yaudah, yaudah. Tapi sumpah, tatapan dia ke lo kemarin tuh jelas banget."

Aurelya refleks mendengus. "Jelas apaan. Orang dia kaku gitu."

Namun detik berikutnya, pintu kelas terbuka. Raksa masuk, sama seperti biasa: langkah tenang, ekspresi datar, dan aura "nggak mau diganggu" yang selalu melekat. Tapi kali ini, entah kenapa, Aurelya merasa tatapan cowok itu sempat berhenti sebentar padanya sebelum Raksa duduk di kursi belakang.

Deg.

Shafira menepuk bahu Aurelya pelan. "Tuh kan… gue nggak salah."

Setelah kelas bubar, kelompok mereka kumpul lagi di taman belakang kampus. Raksa duduk paling ujung, mengetik sesuatu di laptopnya. Aurelya berusaha fokus ke catatan, tapi setiap kali ia mengangkat kepala, tatapan Raksa selalu terasa ada.

Bukan tatapan menilai, bukan juga tatapan iseng. Lebih ke… memperhatikan. Dan itu bikin Aurelya nggak nyaman sekaligus—anehnya—seneng.

"Rel," suara Raksa tiba-tiba terdengar.

Aurelya kaget, hampir menjatuhkan pulpen. "A–apa?"

Raksa mendorong laptopnya sedikit ke arah Aurelya. "Coba baca bagian ini. Gue takut ada kalimat yang nggak sesuai sama hasil wawancara lo."

Aurelya maju, membaca cepat. Ia mengoreksi satu-dua kata, lalu menoleh tanpa sadar. Dan sekali lagi, mata mereka bertemu.

Hening.

Tatapan itu nggak intens, nggak penuh drama kayak di film. Tapi sederhana, jujur, dan nggak bisa dibohongi.

Aurelya buru-buru mengalihkan pandangan. "U–udah kok. Bagus," gumamnya, jantungnya masih berdetak keras.

Raksa hanya mengangguk singkat. "Oke. Makasih."

Sementara dari jauh, Shafira menahan senyum geli. Satya dan Keira sibuk berdiskusi soal struktur laporan, tanpa sadar kalau ada "drama kecil" lain yang terjadi di pojokan.

Dalam hati, Shafira sudah mantap. Rel, lo bisa menyangkal sekeras apa pun, tapi gue tau… tatapan itu nggak bisa lo bohongin.

Shafira menahan senyum geli. Satya dan Keira sibuk berdiskusi soal struktur laporan, tanpa sadar kalau ada "drama kecil" lain yang terjadi di pojokan.

Dalam hati, Shafira sudah mantap. Rel, lo bisa menyangkal sekeras apa pun, tapi gue tau… tatapan itu nggak bisa lo bohongin.

Aurelya sendiri masih berusaha fokus. Ia mencatat seadanya, padahal pikirannya melayang ke arah Raksa yang duduk nggak jauh darinya. Tiap kali cowok itu menunduk serius ke laptop, Aurelya justru merasa pengen melirik.

Kenapa sih gue jadi kepo? Harusnya gue sebel, bukannya penasaran.

Saat rapat hampir selesai, Satya menutup mapnya. “Oke, besok kita udah bisa masuk tahap final. Tinggal digabungin aja semua data.”

Keira mengangguk. “Gue siapin format laporan. Raksa, lo bisa kirim file mentahnya ke gue nanti sore?”

Raksa menutup laptop. “Udah ada di flashdisk. Aurelya pegang.”

Spontan semua mata menoleh ke Aurelya.

“Eh?!” Aurelya nyaris keselek sendiri. “Kenapa harus gue lagi?”

Raksa menatapnya tenang. “Lo yang paling ngerti isinya. Jadi lo yang cek sebelum gue kirim ke Keira.”

Aurelya membuka mulut, siap membantah, tapi entah kenapa lidahnya kelu. Ujung-ujungnya ia cuma bisa menghela napas keras dan menyambar flashdisk itu.

“Yaudah deh. Tapi kalau ada salah, jangan salahin gue.”

Raksa mengangkat alis sedikit. “Gue percaya lo nggak bakal salah.”

Kalimat itu sederhana, datar. Tapi di telinga Aurelya, rasanya kayak… berat banget. Ada percikan aneh yang bikin wajahnya memanas lagi.

Shafira menunduk cepat-cepat, pura-pura nyari sesuatu di tasnya supaya nggak ketahuan ngakak.

Sementara Aurelya masih sibuk menunduk, berusaha menyembunyikan senyum kecil yang nggak sengaja muncul di bibirnya.

Sore itu, kamar kos Aurelya sepi. Hanya suara kipas angin berputar dan notifikasi HP yang sesekali bunyi. Ia duduk di depan meja belajar, flashdisk kecil masih tergeletak di samping laptop.

Aurelya menatapnya lama. “Kenapa sih gue jadi deg-degan kayak mau buka surat cinta…” gumamnya, lalu tertawa kecil menertawakan dirinya sendiri.

Dengan ragu, ia colok flashdisk itu ke laptop. File langsung terbuka—puluhan halaman laporan dengan tabel rapi, catatan kaki, bahkan highlight warna di bagian penting.

Aurelya terdiam. Ia tidak menyangka Raksa segini detailnya.

“Ya ampun… niat banget. Ini anak hidupnya nggak ada salah-salahnya apa?” bisiknya sambil menggulir halaman.

Di bagian akhir dokumen, matanya tertahan. Ada satu baris tulisan kecil dengan font berbeda, seolah sengaja disembunyikan.

‘Kalau ada yang kurang, tambahin aja. Gue yakin lo bisa lebih lengkap dari gue.’ – R

Deg.

Aurelya menutup mulutnya dengan tangan. “Astaga…”

Entah kenapa, tulisan sederhana itu bikin dadanya hangat. Rasanya kayak—di antara semua keseriusannya—Raksa bener-bener menghargai dia.

Aurelya buru-buru menutup laptop, menyandarkan kepala ke kursi, dan menatap langit-langit kamar. Pipinya masih merah.

“Rel, jangan geer… jangan geer…” ucapnya pelan. Tapi senyum kecil di bibirnya susah banget hilang.

Dan tanpa ia sadari, itu jadi awal kebiasaan baru: setiap kali kerja kelompok, Aurelya selalu nunggu bagian komentar singkat dari Raksa.

Sederhana. Tapi selalu bikin jantungnya berantakan.

Dan tanpa ia sadari, itu jadi awal kebiasaan baru: setiap kali kerja kelompok, Aurelya selalu nunggu bagian komentar singkat dari Raksa.

Sederhana. Tapi selalu bikin jantungnya berantakan.

Malam itu, sebelum tidur, Aurelya membuka lagi catatannya. Ia menatap tulisan tangan Raksa yang kemarin sempat ia temukan di kertas observasi. Sekilas dingin, tapi entah kenapa setiap hurufnya terasa… penuh perhatian.

“Raksa tuh kenapa sih…” bisiknya pelan sambil menutupi wajah dengan bantal. “Bikin orang salah paham aja.”

HP-nya tiba-tiba bergetar. Ada notifikasi dari grup W******p kelompok.

Satya: “Besok jangan telat ya, kita fix-in draft terakhir sebelum diserahin ke dosen.”

Keira: “Copy-an file udah di Aurelya kan? Nanti lo share ya, Rel.”

Raksa: “Iya. Aurelya yang pegang.”

Aurelya melotot ke layar. “Astaga, kenapa harus ditegaskan gitu sih?!” serunya kesal sendiri, padahal dalam hati seneng banget namanya disebut.

Ia melempar HP ke kasur, lalu menutup mata. Tapi senyum kecil tetap nyangkut di bibirnya, susah banget dihapus.

“Bodo amat deh… tapi kayaknya gue nggak bakal bisa tidur cepat malam ini,” gumamnya lirih, membalikkan badan.

Di luar kamar, malam semakin sunyi. Namun di kepala Aurelya, satu nama terus berputar-putar: Raksa.

Di luar kamar, malam semakin sunyi. Namun di kepala Aurelya, satu nama terus berputar-putar: Raksa.

Ia gelisah di atas kasur, berguling ke kiri lalu ke kanan. “Astaga, Rel… lo kenapa sih? Baru juga beberapa hari kuliah, udah mikirin orang segitunya,” gumamnya, setengah kesal pada diri sendiri.

Akhirnya ia bangun lagi, menyalakan lampu meja, dan membuka laptop. File laporan tadi masih terbuka. Aurelya membaca ulang satu paragraf, lalu tanpa sadar senyum muncul lagi di wajahnya.

“Ini anak… kalau nulis laporan aja bisa bikin gue kagum, apalagi kalau ngomong serius begitu.”

Tiba-tiba ia berhenti sendiri. Pipinya memanas. “Ih, apaan sih gue ngomong gitu!”

Ia buru-buru menutup laptop dengan keras, lalu menutupi wajah pakai bantal. Dalam hening malam itu, jantungnya masih berdebar cepat.

Satu hal yang pasti—meski Aurelya mati-matian menyangkal, ia tahu hubungannya dengan Raksa nggak akan pernah sama lagi setelah hari ini.

Karena sejak awal kerja sama yang aneh itu, hatinya diam-diam mulai ikut terlibat.

Satu hal yang pasti—meski Aurelya mati-matian menyangkal, ia tahu hubungannya dengan Raksa nggak akan pernah sama lagi setelah hari ini.

Karena sejak awal kerja sama yang aneh itu, hatinya diam-diam mulai ikut terlibat.

Aurelya memeluk gulingnya erat-erat. Lampu kamar sudah ia matikan, hanya cahaya redup dari jalanan luar jendela yang menembus tirai tipis.

Matanya menatap langit-langit gelap, tapi pikirannya sibuk memutar ulang adegan tadi siang—flashdisk di meja, bahu Raksa yang hampir menyentuhnya, tatapan lurus cowok itu yang bikin napasnya nyaris berhenti.

“Rel… serius deh, jangan kepikiran. Jangan,” bisiknya pelan.

Tapi semakin dilarang, bayangan itu justru makin jelas. Bahkan samar-samar, Aurelya merasa seperti masih mencium aroma parfum Raksa yang sempat dekat dengannya.

Ia mendesah panjang, menutup wajah dengan selimut sampai kepala. Jantungnya masih berdetak cepat.

“Ya Tuhan… kalau tiap hari kayak gini, gue bisa gila sendiri,” keluhnya lirih.

Namun diam-diam, di balik semua rasa kesalnya… ada bagian kecil dari dirinya yang nggak keberatan.

Dan bagian itu, justru bikin Aurelya tersenyum tipis dalam gelap.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   8 — Yang Pelan-Pelan Mulai Mengganggu

    Shafira akhirnya ngorok kecil, tanda udah beneran tidur. Aurelya membuka mata sekali lagi, menatap langit-langit kamar. Hatinya terasa pelan tapi pasti… jalan ke suatu arah. Arah yang dia sendiri belum siap tapi juga… nggak bisa nolak. Dada hangat. Pipi panas. Senyum kecil muncul lagi, mau ditahan sekuat apa pun tetap bocor. Dan sebelum akhirnya dia benar-benar terlelap, satu pikiran terakhir datang: “Mungkin besok… gue bakal lebih nunggu dari hari ini.” Pagi datang lebih cepat dari yang dia kira. Aurelya kebangun bukan karena alarm—tapi karena jantungnya yang berdetak kayak lagi latihan sprint. Dia bahkan sempat bengong beberapa detik sebelum sadar: dia bangun dengan perasaan… beda. Entah kenapa, matahari pagi yang nyelip dari celah gorden keliatan lebih ramah dari biasanya. Udara kamar, walaupun dingin, nggak terasa nyebelin. Bahkan suara Shafira yang masih tidur pulas pun terdengar lucu. Aneh. Semua yang biasanya biasa-biasa aja, sekarang kayak punya kualitas “lebih”.

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   7 — Yang Mulai Terasa Tanpa Disadari

    Besok paginya, alarm HP Aurelya bunyi berkali-kali. Tapi seperti biasa, dia cuma mindahin tangan, pencet snooze, lalu balik meringkuk. Sampai akhirnya… “REL. BANGUN. KALO LO TELAT, GUE GAK MAU NEMENIN LO LARI KE KELAS.” Suara Shafira dari luar kamar ngegedor pintu asrama. Aurelya ngedumel, bangkit dengan mata separuh kebuka. Rambutnya awut-awutan, tapi yang paling kacau adalah hatinya—karena begitu buka mata, hal pertama yang keinget bukan jadwal kelas… tapi satu kalimat itu. “Selamat istirahat, Rel.” Aurelya buru-buru nutup wajah pakai bantal. “Ih, apaan sih… pagi-pagi udah keinget dia.” Shafira nyelonong masuk (kebiasaan jeleknya). “Lo mandi sekarang. Mukanya masih muka habis mimpi cowok.” Aurelya lempar bantal. “Gue nggak mimpi apa-apa!” “Rel… pipi lo merah.” “Karena gue kesel sama lo!” “Hmm… kesel atau keinget Raksa ngucapin selamat tidur?” “FIR.” Cukup satu nama, Shafira langsung tutup pintu sebelum kena lemparan kedua. Di kampus, udara masih seger. Mahasiswa baru p

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   6 — Yang Datang Tanpa Diundang

    Pagi itu kampus lebih ramai dari biasanya. Di koridor lantai dua, suara mahasiswa lewat saling tumpang-tindih, mulai dari yang curhat soal kuis dadakan sampai yang panik karena lupa print tugas. Aurelya berjalan pelan sambil menguap, rambutnya dicepol seadanya. Tasnya cuma diselempang dengan satu tangan, tanda dia belum sepenuhnya “online”.“Rel! Astaga muka lo… lo begadang lagi ya?” Shafira langsung nyamber dari belakang.Aurelya mendelik lemes. “Gue tuh udah niat tidur cepat, Fir… sumpah. Tapi mata gue punya kemauan sendiri.”Shafira cekikikan. “Kemauan atau kepikiran seseorang?”Aurelya berhenti jalan, menatap temennya itu dengan pandangan jangan mulai pagi-pagi. “Gue lempar lo pake buku modul beneran nih.”Mereka berdua baru mau masuk kelas ketika dari ujung lorong, Raksa muncul sambil bawa map tebal. Dia jalan santai, tapi tetap dengan aura dingin khas dia yang bikin banyak cewek diem sejenak.Aurelya refleks nahan napas. Jangan liat. Jangan liat. Pret, malah ngeliat.Raksa lewat

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   5 — Tatapan yang Nggak Bisa Dibohongin

    Malam itu, di kamar kos yang temaram, Aurelya masih gelisah. Laptopnya menyala, file tugas kelompok terbuka, tapi pikirannya bukan di situ. Ia malah sibuk memandangi flashdisk kecil yang tadi siang dititipkan Raksa. "Kenapa sih harus lo kasih ke gue dulu? Kan bisa aja langsung ke Keira," gumamnya pelan, memutar flashdisk di tangannya. Padahal jawabannya jelas. Raksa percaya sama data wawancaranya. Tapi hati Aurelya menolak menerima alasan sesederhana itu. Karena di balik semua keseriusan Raksa, ada cara dia melihat Aurelya—tatapan lurus, tenang, tapi bikin dada berdebar nggak karuan. Aurelya menggeleng cepat. "Astaga, Rel. Jangan halu. Jangan!" Ia menutup laptop, lalu menenggelamkan wajah di bantal. Keesokan paginya, kelas kembali penuh. Shafira langsung nimbrung di sebelah Aurelya dengan wajah penuh gosip. "Rel, lo semalem kepikiran kan? Jangan bohong, gue tau banget tuh muka lo kayak orang nggak bisa tidur," bisiknya sambil nyengir lebar. Aurelya mendesah panjang. "Fir, sumpah

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku    — Awal Kerja Sama yang Aneh

    Keesokan paginya, suasana kelas sudah kembali ramai. Mahasiswa baru saling sapa, ada yang sibuk membicarakan tugas kelompok kemarin, ada juga yang masih mencari posisi duduk nyaman. Aurelya datang dengan wajah masih setengah malas. Ia menaruh tas di bangku, lalu langsung merebahkan kepala di atas meja. “Hhh… baru hari kedua, tugas udah numpuk. Rasanya pengen balik tidur.” Shafira duduk di sampingnya sambil nyengir. “Rel, lo jangan drama deh. Lagian kemarin kan kerjaan kita udah lumayan banyak beres.” “Lumayan beres, tapi beres total kan belum,” sahut Aurelya ketus. Shafira mengedikkan dagu ke arah pintu. “Tuh, yang satu udah dateng.” Raksa masuk kelas dengan langkah tenang, tas hitam tersampir seperti biasa. Matanya langsung melirik sebentar ke arah Aurelya, tapi tanpa kata-kata ia duduk di bangku belakang, membuka buku catatannya, dan mulai menulis sesuatu. Aurelya buru-buru menegakkan kepala. “Kenapa dia keliatan rajin banget, sih? Nggak capek apa serius mulu?” Shafira

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   4 — Awal Kerja Sama yang Aneh

    Keesokan paginya, suasana kelas sudah kembali ramai. Mahasiswa baru saling sapa, ada yang sibuk membicarakan tugas kelompok kemarin, ada juga yang masih mencari posisi duduk nyaman. Aurelya datang dengan wajah masih setengah malas. Ia menaruh tas di bangku, lalu langsung merebahkan kepala di atas meja. “Hhh… baru hari kedua, tugas udah numpuk. Rasanya pengen balik tidur.” Shafira duduk di sampingnya sambil nyengir. “Rel, lo jangan drama deh. Lagian kemarin kan kerjaan kita udah lumayan banyak beres.” “Lumayan beres, tapi beres total kan belum,” sahut Aurelya ketus. Shafira mengedikkan dagu ke arah pintu. “Tuh, yang satu udah dateng.” Raksa masuk kelas dengan langkah tenang, tas hitam tersampir seperti biasa. Matanya langsung melirik sebentar ke arah Aurelya, tapi tanpa kata-kata ia duduk di bangku belakang, membuka buku catatannya, dan mulai menulis sesuatu. Aurelya buru-buru menegakkan kepala. “Kenapa dia keliatan rajin banget, sih? Nggak capek apa serius mulu?” Shafira

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status