Beranda / Romansa / Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku / 6 — Yang Datang Tanpa Diundang

Share

6 — Yang Datang Tanpa Diundang

Penulis: Syuhda
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-19 11:47:12

Pagi itu kampus lebih ramai dari biasanya. Di koridor lantai dua, suara mahasiswa lewat saling tumpang-tindih, mulai dari yang curhat soal kuis dadakan sampai yang panik karena lupa print tugas. Aurelya berjalan pelan sambil menguap, rambutnya dicepol seadanya. Tasnya cuma diselempang dengan satu tangan, tanda dia belum sepenuhnya “online”.

“Rel! Astaga muka lo… lo begadang lagi ya?” Shafira langsung nyamber dari belakang.

Aurelya mendelik lemes. “Gue tuh udah niat tidur cepat, Fir… sumpah. Tapi mata gue punya kemauan sendiri.”

Shafira cekikikan. “Kemauan atau kepikiran seseorang?”

Aurelya berhenti jalan, menatap temennya itu dengan pandangan jangan mulai pagi-pagi. “Gue lempar lo pake buku modul beneran nih.”

Mereka berdua baru mau masuk kelas ketika dari ujung lorong, Raksa muncul sambil bawa map tebal. Dia jalan santai, tapi tetap dengan aura dingin khas dia yang bikin banyak cewek diem sejenak.

Aurelya refleks nahan napas. Jangan liat. Jangan liat. Pret, malah ngeliat.

Raksa lewat tepat di depan mereka. Dan untuk sekian detik yang terlalu lama buat ukuran Aurelya, cowok itu menoleh sedikit. Cuma sedikit—tapi cukup buat bikin jantung Aurelya salto.

“Pagi,” ucap Raksa datar.

Aurelya: “Eh. Iya. Pagi.”

Jawabannya lebih cepat dari otak. Shafira langsung nutup mulut supaya nggak ketawa.

Mereka duduk. Dosen telat datang (lagi), dan kelas belum mulai. Aurelya akhirnya buka laptop, berniat nyiapin file buat rapat kelompok nanti siang.

Tiba-tiba HP-nya bergetar.

Raksa: Udah lo cek semua bagian yang kemarin?

Aurelya: Udah. Ada beberapa gue rapihin.

Raksa: Oke. Makasih.

Simple. Tapi Aurelya langsung mencondongkan badan ke meja, nahan senyum supaya nggak keliatan norak.

Shafira melirik. “Astaga Rel… itu cowok beneran ya? Kok tiap chat-nya singkat tapi nusuk ke hati gitu.”

“Diam, Fir.”

“Tapi lo senyum.”

“Diam, Firaa.”

Siangnya, mereka kumpul lagi di taman belakang kampus. Angin agak kencang, bikin kertas-kertas di meja sempat terbang. Satya buru-buru nahan dengan botol minum.

“Yaelah, kabur lo. Mon maap nih laporan belum selesai,” keluhnya.

Keira menghela napas panjang. “Rel, file yang lo pegang mana?”

Aurelya membuka tas dan mengeluarkan flashdisk. Raksa refleks memperhatikan gerakan itu—halus, tapi ketahuan.

“Gue gabungin data wawancara sama tabel analisisnya, ya?” Aurelya memastikan.

“Boleh,” jawab Keira.

Saat Aurelya colok flashdisk itu, Raksa sedikit mendekat. Bukan niat mau kepoin, lebih ke… ya, mau bantu ngawasin. Tapi dari sudut pandang Aurelya rasanya kayak cowok itu terlalu dekat.

Bangku mereka sempit. Bahu mereka hampir bersentuhan.

Aurelya berusaha fokus ke layar, tapi suara ketikan Raksa di laptopnya terasa jelas banget.

Raksa berdehem pelan. “Bagian itu boleh lo highlight. Biar dosennya gampang ngecek.”

“Oh. Iya.”

Suaranya keluar lebih kecil dari yang dia kira.

Dan sekali lagi—padahal cuma beberapa detik—mata mereka ketemu. Tatapannya nggak intens, tapi ada sesuatu di sana. Tenang, pelan, semacam perhatian yang nggak perlu diucapin.

Aurelya cepat-cepat berpaling. “Oke, lanjut.”

Sementara Shafira dari seberang meja udah mau meledak nahan tawa.

Setelah beberapa jam, rapat selesai. Satya buru-buru pamit karena harus ngurus presentasi kelas lain. Keira juga cabut duluan.

Tinggal Aurelya, Raksa, dan Shafira yang pura-pura ngorek-ngorek tas padahal nunggu momen.

Raksa berdiri. “Rel.”

Aurelya mendongak. “Hmm?”

“Thanks ya. Kalau lo nggak cek, laporan ini pasti banyak bolongnya.”

Aurelya garuk alisnya. “Alah, lo aja yang sebenernya lebih rapi dari gue.”

Raksa menggeleng pelan. “Lo detail. Gue suka itu.”

Deg.

Aurelya beku. Sementara Shafira hampir keselek ludah.

Raksa lanjut, masih dengan nada datar yang… entah kenapa justru bikin semua ucapan kedengeran lebih serius. “Besok kita kirim jam sepuluh. Kalau ada revisi, kabarin gue.”

Aurelya cuma bisa mengangguk. “Iya.”

Raksa berbalik pergi. Langkahnya tenang, seperti biasa. Tapi untuk pertama kalinya, Aurelya sadar: cowok itu nggak cuma dingin. Dia perhatian… cuma caranya beda.

Shafira langsung memeluk lengan Aurelya dari samping. “REL. GUE NGELIAT SENDIRI. DIA NGOMONG ‘GUE SUKA ITU’. DIA NGOMONG. LANGSUNG. DEPAN MUKA LO.”

Aurelya menutup muka dengan kedua tangan. “Fir, sumpah… gue nggak siap.”

“Boong. Lo senyum.”

Aurelya menurunkan tangannya. Senyum tipis itu sudah terlanjur muncul. “Ya nggak tau… aneh aja.”

Shafira nyengir. “Rel… hati-hati. Batas antara ‘aneh’ sama ‘suka’ tuh tipis banget.”

Aurelya yang tadinya mau bantah, malah diam. Karena entah kenapa, hati kecilnya bilang… Shafira mungkin nggak sepenuhnya salah.

Malamnya, waktu Aurelya rebahan di kasur, semua kejadian hari itu berputar ulang di kepalanya. Tatapan Raksa. Komentar pendeknya. Cara dia bilang “gue suka itu” dengan tenang kayak itu hal paling biasa di dunia.

Padahal efeknya ke Aurelya? Hancur lebur.

“Rel…” gumamnya sendiri, menatap langit-langit kamar. “Lo jangan mulai aneh-aneh.”

Tapi bibirnya tersenyum lagi—tipis, malu, tapi tulus.

Dan di luar jendela, angin malam membawa satu kenyataan kecil yang diam-diam mulai tumbuh:

Raksa mungkin bukan tipe yang banyak ngomong.

Tapi tiap kata yang dia pilih… selalu kena di hati Aurelya.

Selesai mandi malam itu, Aurelya berdiri di depan cermin. Rambutnya masih basah, jaket oversized dipakai seadanya. Tapi yang bikin dia diem bukan penampilannya—melainkan bayangan kalimat Raksa yang terus muter di kepala.

“Lo detail. Gue suka itu.”

Aurelya memukul pelan pipinya sendiri. “Rel… sumpah. Move on dari satu kalimat doang. Please.”

Ia mengambil handuk kecil, mengusap rambut, lalu kembali ke meja belajar. Flashdisk Raksa masih di sana, tergeletak santai seolah sengaja ngejek.

Aurelya meraihnya. “Kenapa sih lo bikin hidup gue ribet?”

Flashdisk diam aja. Tapi di kepala Aurelya… ada adegan ulang yang bikin pipinya panas lagi.

Ia akhirnya duduk, membuka laptop, berniat memeriksa ulang laporan. Tapi baru baca dua paragraf, pikirannya mulai kabur.

Raksa tadi beneran ngomong kayak gitu ya? Atau cuma halu? Tapi Shafira dengar juga… Berarti bener dong?!

Aurelya jatuh tersandar ke kursi sambil menutup wajah. “Aduh Rel… sumpah lu lemah banget sama cowok kaku.”

HP-nya bunyi.

Raksa: Jangan lupa cek lagi bagian tabel perbandingannya. Kayaknya ada satu data yang bisa lo tambah.

Aurelya buru-buru duduk tegak.

Aurelya: Bagian yang mana?

Butuh lima detik sebelum balasan masuk.

Raksa: Baris ketiga. Yang lo wawancara sendiri.

Barusan aja Aurelya pengen berhenti mikirin dia. Tapi cowok itu malah muncul lagi.

Aurelya: Oke. Gue cek sekarang.

Ada jeda beberapa menit. Aurelya mikir Raksa udah offline. Tapi lalu…

Raksa: Jangan maksain kalau capek. Besok juga bisa.

Aurelya menatap layar lama banget.

Wah. Ini Raksa loh. Orang yang jarang banget ngomong hal-hal begitu. Dan sekarang dia bilang jangan maksain?

Aurelya langsung ngetik cepat.

Aurelya: Nggak capek kok.

Padahal jelas-jelas dia capek. Tapi gengsi mengalahkan logika.

Beberapa detik kemudian, ada bubble typing… lalu hilang… lalu muncul lagi… kayak Raksa mikir dulu sebelum ngetik.

Raksa: Oke. Makasih ya.

Simple. Tapi hati Aurelya udah jungkir balik.

---

Sekitar jam sembilan malam, hujan turun. Bukan hujan deras, cuma rintik-rintik yang nempel di jendela. Aurelya membuka tirai, menatap lampu jalanan yang jadi buram karena kaca basah.

Samar-samar, dia mikir sesuatu.

Sesuatu yang nggak mau dia akuin keras-keras.

Kayaknya gue takut kalau besok dia nggak ngomong apa-apa lagi.

Aurelya menutup tirai cepat-cepat, lalu menjatuhkan diri ke kasur. Dia meraih HP, membuka grup W******p kelompok.

Satya: Besok jam 10 fix ya.

Keira: Flashdisk aman kan, Rel?

Shafira: Aman kok! (Biar Rel gak ngelak 😆)

Aurelya mengetik balasan, tapi sebelum dikirim, notifikasi baru muncul.

Dari Raksa.

Raksa: Kalau ada yang perlu gue bantu, bilang aja.

Aurelya langsung bengong. Itu bukan kalimat template. Bukan kalimat “formal kelompok”. Itu kalimat pribadi. Kalimat perhatian.

Tangannya gemetaran dikit waktu ngetik jawaban.

Aurelya: Iya. Makasih.

Lama. Nggak ada typing bubble. Aurelya hampir taro HP-nya… tapi tiba-tiba masuk lagi.

Raksa: Selamat istirahat, Rel.

Aurelya jatuh terduduk di kasur.

“Rel… kenapa sih lo deg-degan cuma gara-gara ‘selamat istirahat’???”

Tapi kenyataannya, jantungnya beneran kayak mau copot.

Ia balas pendek karena takut keliatan geer:

Aurelya: Iya. Lo juga.

Setelah itu dia lempar HP ke samping bantal kayak barang panas.

Wajahnya merah. Tangannya nutup muka. Napasnya pendek-pendek.

“Gila… itu cowok kalo ngomong santai aja efeknya begini.”

Aurelya akhirnya masuk selimut, tapi matanya masih terbuka. Hujan di luar makin halus, hampir kayak white noise yang bikin suasana kamar jadi terlalu tenang… dan terlalu gampang buat mikir hal-hal aneh.

Perlahan, dia berguling sambil memeluk guling.

“Raksa tuh… kenapa sih?” bisiknya lirih.

Siapa pun yang denger mungkin bakal nyangka Aurelya lagi jatuh cinta. Tapi Aurelya masih harus berdebat sama dirinya sendiri dulu.

Satu hal pasti: malam itu, dia tidur dengan perasaan aneh—nyaman, deg-degan, dan… nunggu besok.

Nunggu tatapan itu muncul lagi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   8 — Yang Pelan-Pelan Mulai Mengganggu

    Shafira akhirnya ngorok kecil, tanda udah beneran tidur. Aurelya membuka mata sekali lagi, menatap langit-langit kamar. Hatinya terasa pelan tapi pasti… jalan ke suatu arah. Arah yang dia sendiri belum siap tapi juga… nggak bisa nolak. Dada hangat. Pipi panas. Senyum kecil muncul lagi, mau ditahan sekuat apa pun tetap bocor. Dan sebelum akhirnya dia benar-benar terlelap, satu pikiran terakhir datang: “Mungkin besok… gue bakal lebih nunggu dari hari ini.” Pagi datang lebih cepat dari yang dia kira. Aurelya kebangun bukan karena alarm—tapi karena jantungnya yang berdetak kayak lagi latihan sprint. Dia bahkan sempat bengong beberapa detik sebelum sadar: dia bangun dengan perasaan… beda. Entah kenapa, matahari pagi yang nyelip dari celah gorden keliatan lebih ramah dari biasanya. Udara kamar, walaupun dingin, nggak terasa nyebelin. Bahkan suara Shafira yang masih tidur pulas pun terdengar lucu. Aneh. Semua yang biasanya biasa-biasa aja, sekarang kayak punya kualitas “lebih”.

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   7 — Yang Mulai Terasa Tanpa Disadari

    Besok paginya, alarm HP Aurelya bunyi berkali-kali. Tapi seperti biasa, dia cuma mindahin tangan, pencet snooze, lalu balik meringkuk. Sampai akhirnya… “REL. BANGUN. KALO LO TELAT, GUE GAK MAU NEMENIN LO LARI KE KELAS.” Suara Shafira dari luar kamar ngegedor pintu asrama. Aurelya ngedumel, bangkit dengan mata separuh kebuka. Rambutnya awut-awutan, tapi yang paling kacau adalah hatinya—karena begitu buka mata, hal pertama yang keinget bukan jadwal kelas… tapi satu kalimat itu. “Selamat istirahat, Rel.” Aurelya buru-buru nutup wajah pakai bantal. “Ih, apaan sih… pagi-pagi udah keinget dia.” Shafira nyelonong masuk (kebiasaan jeleknya). “Lo mandi sekarang. Mukanya masih muka habis mimpi cowok.” Aurelya lempar bantal. “Gue nggak mimpi apa-apa!” “Rel… pipi lo merah.” “Karena gue kesel sama lo!” “Hmm… kesel atau keinget Raksa ngucapin selamat tidur?” “FIR.” Cukup satu nama, Shafira langsung tutup pintu sebelum kena lemparan kedua. Di kampus, udara masih seger. Mahasiswa baru p

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   6 — Yang Datang Tanpa Diundang

    Pagi itu kampus lebih ramai dari biasanya. Di koridor lantai dua, suara mahasiswa lewat saling tumpang-tindih, mulai dari yang curhat soal kuis dadakan sampai yang panik karena lupa print tugas. Aurelya berjalan pelan sambil menguap, rambutnya dicepol seadanya. Tasnya cuma diselempang dengan satu tangan, tanda dia belum sepenuhnya “online”.“Rel! Astaga muka lo… lo begadang lagi ya?” Shafira langsung nyamber dari belakang.Aurelya mendelik lemes. “Gue tuh udah niat tidur cepat, Fir… sumpah. Tapi mata gue punya kemauan sendiri.”Shafira cekikikan. “Kemauan atau kepikiran seseorang?”Aurelya berhenti jalan, menatap temennya itu dengan pandangan jangan mulai pagi-pagi. “Gue lempar lo pake buku modul beneran nih.”Mereka berdua baru mau masuk kelas ketika dari ujung lorong, Raksa muncul sambil bawa map tebal. Dia jalan santai, tapi tetap dengan aura dingin khas dia yang bikin banyak cewek diem sejenak.Aurelya refleks nahan napas. Jangan liat. Jangan liat. Pret, malah ngeliat.Raksa lewat

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   5 — Tatapan yang Nggak Bisa Dibohongin

    Malam itu, di kamar kos yang temaram, Aurelya masih gelisah. Laptopnya menyala, file tugas kelompok terbuka, tapi pikirannya bukan di situ. Ia malah sibuk memandangi flashdisk kecil yang tadi siang dititipkan Raksa. "Kenapa sih harus lo kasih ke gue dulu? Kan bisa aja langsung ke Keira," gumamnya pelan, memutar flashdisk di tangannya. Padahal jawabannya jelas. Raksa percaya sama data wawancaranya. Tapi hati Aurelya menolak menerima alasan sesederhana itu. Karena di balik semua keseriusan Raksa, ada cara dia melihat Aurelya—tatapan lurus, tenang, tapi bikin dada berdebar nggak karuan. Aurelya menggeleng cepat. "Astaga, Rel. Jangan halu. Jangan!" Ia menutup laptop, lalu menenggelamkan wajah di bantal. Keesokan paginya, kelas kembali penuh. Shafira langsung nimbrung di sebelah Aurelya dengan wajah penuh gosip. "Rel, lo semalem kepikiran kan? Jangan bohong, gue tau banget tuh muka lo kayak orang nggak bisa tidur," bisiknya sambil nyengir lebar. Aurelya mendesah panjang. "Fir, sumpah

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku    — Awal Kerja Sama yang Aneh

    Keesokan paginya, suasana kelas sudah kembali ramai. Mahasiswa baru saling sapa, ada yang sibuk membicarakan tugas kelompok kemarin, ada juga yang masih mencari posisi duduk nyaman. Aurelya datang dengan wajah masih setengah malas. Ia menaruh tas di bangku, lalu langsung merebahkan kepala di atas meja. “Hhh… baru hari kedua, tugas udah numpuk. Rasanya pengen balik tidur.” Shafira duduk di sampingnya sambil nyengir. “Rel, lo jangan drama deh. Lagian kemarin kan kerjaan kita udah lumayan banyak beres.” “Lumayan beres, tapi beres total kan belum,” sahut Aurelya ketus. Shafira mengedikkan dagu ke arah pintu. “Tuh, yang satu udah dateng.” Raksa masuk kelas dengan langkah tenang, tas hitam tersampir seperti biasa. Matanya langsung melirik sebentar ke arah Aurelya, tapi tanpa kata-kata ia duduk di bangku belakang, membuka buku catatannya, dan mulai menulis sesuatu. Aurelya buru-buru menegakkan kepala. “Kenapa dia keliatan rajin banget, sih? Nggak capek apa serius mulu?” Shafira

  • Si Paling Galak, Tapi Hanya Manis di Depanku   4 — Awal Kerja Sama yang Aneh

    Keesokan paginya, suasana kelas sudah kembali ramai. Mahasiswa baru saling sapa, ada yang sibuk membicarakan tugas kelompok kemarin, ada juga yang masih mencari posisi duduk nyaman. Aurelya datang dengan wajah masih setengah malas. Ia menaruh tas di bangku, lalu langsung merebahkan kepala di atas meja. “Hhh… baru hari kedua, tugas udah numpuk. Rasanya pengen balik tidur.” Shafira duduk di sampingnya sambil nyengir. “Rel, lo jangan drama deh. Lagian kemarin kan kerjaan kita udah lumayan banyak beres.” “Lumayan beres, tapi beres total kan belum,” sahut Aurelya ketus. Shafira mengedikkan dagu ke arah pintu. “Tuh, yang satu udah dateng.” Raksa masuk kelas dengan langkah tenang, tas hitam tersampir seperti biasa. Matanya langsung melirik sebentar ke arah Aurelya, tapi tanpa kata-kata ia duduk di bangku belakang, membuka buku catatannya, dan mulai menulis sesuatu. Aurelya buru-buru menegakkan kepala. “Kenapa dia keliatan rajin banget, sih? Nggak capek apa serius mulu?” Shafira

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status