Diana turun dari kasur dan merasakan kakinya menyentuh sesuatu yang lembut. Karpet berwarna beige dengan bulu-bulu halus itu membuat Diana merasa berdosa untuk menginjaknya. Di samping kiri kakinya ada sandal rumah yang sama lembutnya dengan si karpet.
Menginjak dengan kaki telanjang atau dengan sandal sama saja membuat Diana merasa bersalah tapi ada hal lebih penting dari pada menginjak karpet mahal. Diana harus mengecek tubuhnya. Menjejakkan kakinya pada sandal bulu berwarna merah muda pucat, Diana segera berlari menuju kamar mandiーyang dia duga sebagai kamar mandi dan ternyata benar. Ada kaca bundar di atas wastafel. Diana memperhatikan lamat-lamat pantulan dirinya di cermin. Dia yakin kalau ini masih sama dengan pantulan wajahnya yang dia lihat dari layar ponsel dan jelas ini bukan wajah Diana. Diana tahu kalau parasnya itu di atas standar tapi dia juga sadar kalau tidak secantik pantulannya. Wajah asing itu Diana pegang bahkan dengan sengaja dia menarik, menekan dan menggosok wajah itu sampai berbentuk anehーyang tetap saja terlihat cantikー untuk membuktikan apa ini dirinya. Dan tentu itu memang dirinya, Diana. Pantulan di cermin mengikuti setiap gerak yang Diana lakukan. Sebuah bukti konkrit yang tidak bisa dipungkiri. "Apa aku sedang bermimpi?" tanya Diana sambil menatap pantulannya di cermin. Tangannya menumpu pada wastafel untuk menopang tubuh yang tidak seberapa berat itu. Bicara soal tubuh, badan ini juga memiliki bentuk yang mirip dengan badan Diana dulu. Tubuh langsing yang sekiranya tidak lebih dari lima puluh lima kilogram yang terisi secara pas pada bagian seharusnya. Sesuatu yang Diana syukuri jika sisa hidupnya harus berada di tubuh ini. "Kalau ini mimpi kenapa aku berpikir dengan sangat jelas?" lagi, bertanya sambil menatap pantulannya di depan cermin.Diana tidak mendapatkan jawaban untuk hal ini tentunya dan itu membuat dia semakin frustasi. Tidak ada orang yang bisa Diana ajak bicara tentang hal ini. Bisa-bisa Diana dikirim ke rumah sakit jiwa oleh keluarga pemilik tubuh ini. Keluarga? Oh, tidak. Bagaimana caranya Diana menyembunyikan fakta kalau di dalam tubuh ini sudah berganti orang? Diana dan pemilik tubuh ini pasti punya kebiasaan dan cara bicara yang berbeda. Dilihat dari kamarnya saja, Diana tahu tubuh ini punya uang yang tidak sedikit. Latar belakang mereka terlalu berbeda. Diana seorang budak korporat menjadi putri keluarga kaya yang mungkin tidak tahu tekanan dari atasan itu seperti apa rasanya. Jangankan soal kehidupan, nama tubuh ini saja Diana tidak tahu. Diana memutar otak agar paling tidak dia bisa tahu siapa tubuh yang sekarang ini dia tempati. "Dia pasti punya KTP, 'kan?" gumam Diana. Dia berlari keluar dari kamar mandi dan baru tersadar kalau ada lorong di kanan kiri kamar mandi. Lorong ini berada di balik tembok penuh lukisan yang tadi Diana lihat dari atas kasur. Sebelah kanan berisikan pakaian, tas, sepatu, juga benda lain yang jelas milik wanita dengan ujungnya adalah meja rias dengan kaca kotak besar. Sementara di sebelah kiri. "Oh my." Diana menutup mulutnya dengan satu tangan. Matanya terbelalak melihat jejeran pakaian pria. PAKAIAN PRIA. "Dia....bersuami?!" Ini mimpi buruk. Diana masih lajangーjuga perawanー dan sama sekali belum memikirkan pernikahan. Sekarang dia malah menempati tubuh asing yang sudah bersuami. Dia bahkan melewati rasanya dilamar, rasanya melakukan pesta pernikahan dan MALAM PERTAMA. Detik berikutnya yang Diana cek adalah kasur. Dia memperhatikan apa ada gundukan yang tidak Diana lihat sebelumnya saat bangun tadi untuk mengecek apa suaminya ada disana atau tidak. Diana langsung menghembuskan napas lega begitu melihat kasur itu kosong. Berarti dia sendirian di kamar luas ini. "Aku harus segera mengeceknya." Langkah kakinya hampir seperti berlari, cepat, hingga sampai di meja tengah lorong yang mejangkan dompet juga tas kecil dalam waktu singkat.Diana tahu pemilik tubuh ini kaya tapi apa perlu dompet sebanyak ini? Jika ada sebanyak itu Diana akan kesulitan menemukan KTP-nya.
"Pasti ada yang sering dia pakai." Menjauh dari meja itu, Diana berjalan ke meja rias dan melihat banyak benda berserakan di sana. Ada pouch kecil yang terbuka dan beberapa isinya keluar dari dalam pouch. Diambilnya pouch itu dan ketika dibuka, tentu tidak ada KTP. Diana langsung menaruh pouch dan beralih pada tas tangan yang ada di samping pouch. Di dalamnya ada dompet panjang. Diana mengeluarkan dompet dan membukanya. Pada bagian kanan dompet ada bagian yang transparan dan itu menyimpan KTP yang Diana cari. Gadis pada KTP itu tersenyum dan terlihat jauh lebih muda dari wajah yang Diana lihat di pantulan kaca. Tapi matanya terlalu suram untuk anak muda. Diana yakin foto ini setidaknya diambil ketika gadis itu masih SMA. Matanya beralih pada nama yang tertera pada KTP, Diana Tami Brawija. Nama mereka berdua sama, tapi tentu tidak seluruhnya. Namanya sekedar Diana Puteri. Tanpa ada embel-embel nama keluarga. Apakah itu alasan kenapa Diana bisa ditubuh ini?Ini pertama kalinya Diana mendengar nama itu. Bahkan setelah bekerja di tempat yang sering berhubungan dengan perusahaan besar, ini pertama kalinya Diana mendengar nama Brawija. Disaat seperti ini, yang perlu dilakukan adalah mencari di situs. Jaman sekarang semua ada jika menjelajahi internet. Diana kembali ke kasur. Membuka ponsel dengan sidik jari lalu segera mengetik nama yang ada di KTP. "Dia bahkan punya halaman sendiri untuk profilnya?" Berarti wanita ini terkenal, dong?!Kedua saudara itu panik melihat nenek mereka menangis. “Nenek hanya terharu. Sudah lama sekali sejak melihat kalian seperti itu. Kalian sudah tumbuh besar.” Diana dan Reza tentu saja mengerti maksud nenek. Sejak Kakek meninggal, Diana dan Mama tidak pernah datang lagi ke sini. Bahkan saat pernikahan Diana, mereka hanya bertemu sebentar. Keluarga mereka sudah terpecah begitu lama jadi Nenek terharu bisa melihat kedua cucunya bergurai lagi. “Aku akan sering-sering ke sini.” ujar Diana sambil merengkuh pundak Nenek. Pelukannya itu dibalas usapan pada pundak Diana. “Datanglah kapan saja. Nenek senang kalau kau datang.” “Dan aku yang bosan melihatnya, Nek.” Suasana haru itu dihancurkan oleh ucapan mengolok penuh canada dari Reza. Diana yang mendengar itu langsung mengadu kepada Neneknya. Dia memandang Nenek dengan tatapan terluka yang membuat Nenek memukul Reza. “Jangan menggoda adikmu!” Reza hanya terkekeh mendengar ucapan Nenek. “Jadi, kau sudah mengundurkan diri?” Melihat suas
“Diana, maaf nenek ganggu saat kamu lagi kerja tapi apa siang ini bisa makan bareng nenek?”“Nggak ganggu sama sekali kok, Nek. Aku malah seneng nenek ajak makan. Kita makan dimana nek?”“Di rumah aja. Tante kamu mengundang teman-temannya, jadi nenek bikin soto kudus terus inget kamu suka banget sama soto kudus.”Diana tersenyum mendengar ucapan neneknya itu. Dia tidak mengerti kenapa ‘Diana’ bisa menyianyiakan nenek sebaik ini.“Kalau gitu aku kesana sekarang ya. Kebetulan aku lagi diluar kantor.”Setelah bertukar beberapa kalimat lagi, telepon ditutup dan Diana seger
Selama ini Dirga tahu betul kalau kakaknya itu waspada terhadapnya. Dirga sendiri tidak tahu kenapa tetapi hubungan mereka memang agak rumit. Tidak seperti anak bungsu lainnya, Dirga tidak pernah dimanja. Perlakuan ayah dan ibunya juga biasa saja. Seolah dia ada atau tidak bukan sesuatu hal yang penting. Terkadang dia sendiri merasa dirinya seperti orang asing dalam keluarga sendiri. Itu sebabnya Dirga jarang dirumah dan setelah menginjak bangku SMA dia semakin jauh dengan keluarganya. Satu-satunya orang di keluarga ini yang masih memperhatikannya hanya kakek. Kepala keluarga itu sering memperhatikan Dirga dalam diam. “Tenang saja. Aku belum punya kekasih.” jawab Dirga dengan pasti dan Angga mengangguk percaya dengan ucapan adiknya. Dirga akhirnya pamit. Ketika sudah di mobil Dirga menghela nafas lega. Dia tahu betul kalau kakaknya tadi itu sedang mengujinya. Jika Angga merasa ada yang aneh dari dirinya, Dirga yakin kalau Angga akan menyuruh orang untuk mengawasinya. Dirg
Angga melihat istrinya yang baru saja masuk memandangnya tidak suka. Dia menaikan satu alisnya. “Apa yang salah dengan aku disini? Ini kamarku.” Jawaban itu membuat Diana mendelik. Memang benar ini kamarnya yang menjadi kamar mereka berdua. Semenjak Diana pindah ke rumah ini Angga tidak pernah menginjakan kaki di kamar ini. Angga lebih memilih untuk tidur di kamar tidur tamu dibandingkan satu kamar dengan Diana. Jadi wajar saja bagi Diana untuk terkejut melihat Angga berada di kamar ini. Yang tadi pun, ketika Angga mandi di sini juga sebuah kejanggalan. TIdak mau pusing dan melakukan interaksi lebih banyak dengan tukang selingkuh ini, Diana berjalan masuk tanpa menjawab pertanyaan Angga. Dia mengambil ponsel yang berada di atas nakas lalu berjalan keluar dari kamar. Angga yang tadinya diam melihat itu semua pun terheran. “Kau mau kemana?” Diana berbalik, “Tidur. Apa lagi?” “Lalu kenapa keluar?”“Aku tidur di kamar tamu.”Mendengar itu, Angga mengerutkan dahi. Dia yang biasanya
Ketika selesai mandi Diana tidak merasakan ada orang lain di dalam kamar. Melihat bagaimana kasur tetap rapi dan tidak ada barang yang berantakan selain bagian lemari Angga, Diana rasa lelaki itu tidak lama di sini. Baguslah. Diana kira rencananya untuk berbicara dengan Kakek Tanuraja harus ditunda karena kehadiran Angga dan Anggun tapi sepertinya itu tidak perlu. Selesai dengan kegiatan sehabis mandinya, Diana segera keluar dari kamar. Ruang kerja Kakek Tanuraja berada di lantai satu. Dulu kamar dan ruang kerjanya berada di lantai dua. Tapi karena lutut Kakek semakin memburuk, semuanya dipindahkan ke lantai satu agar memudahkan Kakek untuk beraktifitas. Diana berjalan menuruni tangga dan berhenti saat menyadari dia harus melewati ruang tempat Ibu mertua, suami dan adik Diana sedang bercanda ria. Dia harus melewati ruangan itu untuk berjalan ke lorong yang akan membawanya ke ruang kerja Kakek Tanuraja. Ugh, mau bagaimana lagi. Diana berjalan melewati ruangan itu tanpa menoleh yang
Hari keduanya menjadi Diana si istri lelaki konglomerat tidak seheboh hari pertama. Tidak ada teriakan dan ujaran angkuh dari adik iparnya tapi ada tambahan mata yang menatapnya tajam selain ibu mertuanya. Diana tidak ambil pusing dengan itu. Di kantor Tika juga tidak banyak bertingkah. Walau masih dengan wajah masam setiap kali harus melakukan sesuatu atas perintah Diana tapi Tika melakukannya. Proyek yang sedang dilakukan oleh divisinya juga berjalan lancar. Diana sudah mulai bisa mengikuti alur kerjanya juga aturan-aturan yang perlu diperhatikan. Pekerjaan memang bukan hal yang Diana khawatirkan. Soal Mama, masih belum ada kabar. Biar sajalah. Diana juga tidak terburu-buru untuk hal itu. Selagi ada kesempatan, Diana ingin menikmati rasanya menjadi anak keluarga kaya yang hidupnya santai tanpa perlu khawatir soal uang. Siapa sih yang tidak mau hidup sebagai anak sultan? Diana sih mau sekali. Apalagi setelah bertahun-tahun menjadi budak korporat yang hanya tahu berangkat kerja