"Kau tidak bisa seperti itu, Diana!"
kira-kira itu tujuh jam yang lalu ketika Diana masih di kantor dan seperti biasa berdebat dengan manajernya. Si lelaki tua itu tidak pernah berhenti untuk mencari-cari kesalahan Diana yang sebenarnya tidak ada.Seperti kali ini. Diana dan klien sudah sepakat kalau mereka tidak akan mengganggu satu sama lain selama akhir pekan. Selain untuk menghargai satu sama lain, siapa juga yang mau bekerja pada hari libur?Tapi sepertinya manajer tua merasa kalau itu bukan etika yang baik karena mereka seharusnya bisa melayani klien dua puluh empat jam per tujuh hari. Gila!Diana menolak keras dan meminta satu timnya untuk mematikan ponsel selama akhir pekan dan tidak menjawab panggilan kerja apapun.Karena hal itu sang manajer marah dan memberikan begitu banyak petuah kepada Diana sebelum dia pulang kerja tadi.Pertengkaran kali ini lebih besar dari biasanya dan rekan Diana cukup khawatir dengan nasib Diana di kantor tapi yang jadi pusat kekhawatiran malah asik membaca novel yang dia beli secara impulsif untuk meredam amarahnya.Buku fiksi adalah pelarian Diana agar tidak menjadi psikopat gila yang akan membunuh manajernya sendiri. Terkadang Diana sendiri takut dengan apa yang dia bayangkan untuk menghabisi manajernya yang kelewat menyebalkan."Kuharap dia dikerumuni oleh semut merah!" umpat Diana sambil menutup novelnya, karena itu halaman terakhir.Padahal sudah lama berlalu dan Diana mencoba menghilangkan amarahnya dengan membaca novel teenlit yang membahas kisah manis saat masih SMA. Rasa kesal itu tetap bercokol di hati Diana."Mungkin aku perlu mengeluhkan hal ini kepada HRD." Demi kemyamanan hatinya dan juga tekanan darahnya. Diana masih muda, dia tidak ingin punya darah tinggi hanya karena kesal.Novel yang ada di pangkuan itu Diana taruh ke atas meja kerja yang berada tepat di samping kasur.Matanya mulai terasa kering yang berarti Diana mengantuk. Dia berjalan ke kamar mandi lalu menggosok gigi. Kontrakannya itu kecil tapi untungnya dia mendapat semua keperluannya disini. Diana masih mendapat dapur dengan harga yang sesuai dengan kantungnya.Diana mengelap wajahnya dengan handuk yang tergantung di sebelah pintu kamar mandi. Dia mematikan lampu kamar mandi juga semua lampu di kontrakannya sebelum menyalakan lampu tidur.Kamar yang tadinya terang itu berubah menjadi redup dengan cahaya kuning oranye hangat yang mengundang rasa kantuk. Diana menarik selimutnya dan memejamkan mata.***KRING. KRING.Rasanya baru saja Diana jatuh ke alam tidur tapi bunyi alarm dari ponselnya sudah berdering kencang memekakan telinga.Diana menarik selimut semakin tinggi untuk menutupi telinga agar suara nyaring itu teredam walau sedikit. Tapi ada kejanggalan yang Diana rasakan.Selimut ini terasa beribu kali lebih halus dibandingkan miliknya yang tipis juga terasa menempel pada kulit ketika berkeringat.Yang ini, terasa hangat dan membuat nyaman berlamaan di bawahnya. Hangat yang terasa juga tidak semakin naik yang membuat kegerahan. Diana serasa bisa bernapas di bawah selimut ini.Mata yang enggan dibuka itu akhirnya menampakan diri demi melihat selimut yang Diana gunakan hanya untuk terkejut akan hal lain.Karena begitu selimut disingkap yang Diana lihat adalah langit-langit kamar berwarna putih dengan hiasan pada pinggirnya berwarna emas. Belum lagi lampu yang menerangi tengah ruangan merupakan lampu gantung mewah yang biasa Diana lihat di hotel.Kebingungan dengan apa yang Diana lihat, dia segera bangun dari kasur. Yang pertama menyapanya adalah sebuah tembok berwarna putih kotor dengan aksen emas pada bagian atas dan bawahnya.Di sepanjang tembok ada lukisan-lukisan yang Diana yakini mahal harganya. Tepat di tengah-tengah tembok ada bagain yang terbuka, jadi seperti lorong sebelum di ujungnya ada sebuah pintu berwarna putih dengan gagang lagi-lagi berwarna emas.Apa orang yang punya rumah ini sangat menyukai emas?Menyadari kalau apa yang dia pikirkan tidak penting dan ponselnya masih saja berdering melantunkan alarm yang menyebalkan, Diana segera menyambar ponsel yang ada di atas nakas di samping kasur.Tapi yang ada Diana malah panik karena ternyata ponsel itu keluaran merk A yang sama sekali belum pernah Diana pakai.Butuh waktu beberapa saat hingga akhirnya Diana bisa mematikan alarm dan mengunci layar ponsel.Kembali, Diana terkejut dengan pantulan wajahnya dari layar ponsel. Seorang wanita yang Diana duga pasti masih di awal umur dua puluh atau pertengahan dua puluh.Wajahnya kecil yang jika Diana raup dengan tangannya semua wajah itu akan masuk. Matanya berwarna coklat jernih seperti madu dengan rambut hitam tergerai panjang agak bergelombang.Bibirnya merah muda yang sedikit basah. Pipi tirus itu juga merona merah alami yang terlihat sangat samar tapi membuat wajahnya terlihat segar.Bingung kenapa pantulannya adalah wajah seperti aktris yang sering bermunculan di layar tv, Diana menampar wajahnya dan.....sakit! Dia meringis dan merutuki kegilaannta untuk menampar wajah yang sepertinya milik Diana sendiri.Tapi sungguh.....INI SIAPA DAN DIMANA DIA?Diana turun dari kasur dan merasakan kakinya menyentuh sesuatu yang lembut. Karpet berwarna beige dengan bulu-bulu halus itu membuat Diana merasa berdosa untuk menginjaknya. Di samping kiri kakinya ada sandal rumah yang sama lembutnya dengan si karpet. Menginjak dengan kaki telanjang atau dengan sandal sama saja membuat Diana merasa bersalah tapi ada hal lebih penting dari pada menginjak karpet mahal. Diana harus mengecek tubuhnya. Menjejakkan kakinya pada sandal bulu berwarna merah muda pucat, Diana segera berlari menuju kamar mandiーyang dia duga sebagai kamar mandi dan ternyata benar. Ada kaca bundar di atas wastafel. Diana memperhatikan lamat-lamat pantulan dirinya di cermin. Dia yakin kalau ini masih sama dengan pantulan wajahnya yang dia lihat dari layar ponsel dan jelas ini bukan wajah Diana. Diana tahu kalau parasnya itu di atas standar tapi dia juga sadar kalau tidak secantik pantulannya. Wajah asing itu Diana pegang bahkan dengan sengaja dia menarik, menekan dan menggoso
Begitu halaman profil terbuka, Diana bisa melihat informasi mengenai Diana Tami Brawija dengan lengkap. Dari penjelasan umum hingga detail kehidupannya bisa dibaca. Ada banyak informasi yang perlu Diana tahu mengenai tubuh barunya ini sebelum bertemu dengan orang lain yang mengenal 'Diana' muncul. Pertama, 'Diana' adalah putri dari keluarga Brawija yang bergelut di industri tekstil sejak tahun 1952. Dia dijodohkan dengan suaminya, Angga, sejak berumur dua belas tahun karena kakek Diana dari pihak ibu dan kakek Angga adalah teman lama. keduanya menikah saat menginjak umur dua puluh satu tahun. Mereka apa yang dibilang cinta dengan teman masa kecil. Tapi sayang itu hanya apa yang dipikir publik untuk sesaat karena pernikahan ini tidak disetujui oleh Angga atau orang tua Angga. Angga jatuh cinta pada Anggun yang merupakan adik tiri 'Diana' hasil perselingkuhan ayah 'Diana'. Ketiganya berumur sama, jadi ayah 'Diana' berselingkuh dari awal pernikahannya dengan ibu Diana. Apa ini sebu
Amarahnya meredam sedikit setelah mengumpat. Diana duduk di atas kloset. Dia kembali membaca artikel yang tadi sedang dibaca sebelum pelayan sial itu mengganggunya. Berita ini baru dikeluarkan pagi ini. Meliput mengenai Angga yang tertangkap kamera masuk ke dalam lingkup apartemen milik Anggun dan tidak keluar sampai pagi. Melihat kasur sebelahnya yang kosong, itu menjelaskan kemana Angga pergi. Dasar tukang selingkuh. Tidak ada lelaki yang benar di sekeliling 'Diana'. Tidak lagi berminat mencari tahu mengenai kehidupan 'Diana' atau pun suaminya, ponsel itu pun di taruh di atas wastafel. Diana mencari sikat gigi yang baru dan membuang sikat giginya yang lama. Hanya ada satu sikat gigi yang tersimpan dan itu berwarna merah muda.Diana yakin itu milik dirinya yang lain tapi Diana enggan memakainya. Membuang satu sikat gigi tidak akan membuat keluarga ini jatuh miskin. Semuanya dilakukan dengan cepat dari membersihkan diri sampai mengeringkan rambut. Diana keluar dengan wajah lebih
Kakek Tanuraja berdiri di ambang pintu. Satu tangannya bertumpu pada tongkat kayu yang bagian pegangannya terdapat bantalan busa berbalut kulit berwarna hitam yang diberi ukiran emas. Sosoknya terlihat gagah dan penuh wibawa walau sudah termakan usia. Kanya menggigit bibirnya gugup. Di bawah meja dia menggenggam gaun terusannya, dan memberikan lirikan gugup kepada ibunya. Sementara ibu mertua Diana diam-diam meremas lembut tangan Kanya untuk menenangkan gadis muda itu. Diana memperhatikan semua itu dalam diam. Dia ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh kakek Tanuraja juga menilai bagaimana hubungan orang-orang ini di dalam rumah dan seperti apa posisi ‘Diana’ disini. “Sudah berapa kali kakek bilang untuk sopan kepada Diana?!” Kakek Tanuraja tidak berteriak atau membentak tapi suaranya lantang dan tegas yang justru membuatnya terlihat lebih menyeramkan. “Apa aku tidak boleh berpendapat?” Kanya berusaha membela dirinya. “Tentu saja boleh tapi berpendapat bukan berarti kau tida
Ini di dalam novel. Ini di dalam novel. Ini di dalam novel. Kalimat itu terus berulang di kepala Diana dan membuatnya pusing. Pertanyaan demi pertanyaan muncul di kepala Diana seperti bagaimana dia bisa ada disini, kenapa dia yang ada disini, dan caranya dia bisa disini. Seberapa keras pun Diana berusaha mencari jawaban dia tidak menemukannya. Gila. Ini gila. Diana membenturkan kepalanya pada kepala jok mobil di depannya membuat supir yang sedang menyetir melirik ke arahnya melalui kaca. Diana tidak memperdulikan itu karena sekarang dia terlalu sibuk untuk memikirkan tentang hidupnya yang begitu konyol. Masuk ke dalam novel. Jika sekarang Diana masih duduk di bangku SMA mungkin Diana akan berjingkrak senang tapi umurnya akan menginjak kepala tiga dua tahun lagi. Dia sudah terlalu tua untuk hal seperti ini. Jika harus jujur, tidak ada hal yang benar-benar mengikat Diana di dunianya. Karirnya bagus, Diana bangga dengan pekerjaannya tapi hubungan Diana dengan atasannya buruk da
“Apa kau sudah gila?!” Diana menarik kasar tangannya dari genggaman Tina. Jika Diana tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya, maka bokong Diana sudah berciuman dengan lantai. Tina sendiri terkejut karena tarikannya tadi begitu kuat hingga membuat tubuh Diana limbung. Suara teriakan Diana menarik perhatian karyawan yang berada di divisinya. Diana bisa merasakan sorot pandang penasaran dari belakang punggungnya tapi begitu Diana membalikan tubuh, mata yang tadinya menatap ke arahnya kini menunduk takut dengan buru-buru. Berkas yang ada di tangan Diana diangkat tinggi agar bisa dilihat, “Dimas. Kenapa baru memberi ini sekarang?” tanya Diana tanpa tahu mana yang bernama Dimas di antara meja-meja berisikan staff-nya. Lelaki dengan kemeja putih bergaris biru yang memiliki tubuh agak berisi berdiri dengan ragu lalu mengangkat tangannya. “Anu…..Saya sudah kasih itu sejak minggu lalu, Bu.”“Kasih ke Saya?”“Bukan, ke Bu Tina.” Diana berbalik menatap Tina lalu melipat kedua tangannya, “Kenapa
!!Trigger Warning!!Mention of Suicide“Dengar Diana,” Mama mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat. Suaranya lebih pelan tapi jauh lebih tegas dari sebelumnya. “Lupakan apa yang kau pikirkan kemarin malam dan bertahanlah menjadi istri Angga dan tetap menjadi menantu keluarga Tanuraja.” ujar Mama dengan penuh penekanan di setiap katanya. Diana merasa sangat tidak enak mendengar ucapan Mama. Perutnya terasa diaduk oleh tangan bayangan yang juga meremas jantungnya. Itu bukan reaksi Diana. Dia yakin kalau pun wanita di depannya itu berulah tidak akan membuat Diana merasa takut, gugup atau apapun itu karena pada dasarnya dia hanya menganggap Mama sebagai orang asing. Reaksi ini adalah reaksi dari Diana yang asli atau reaksi asli dari tubuh ini yang memiliki hubungan emosional dengan Mama. Hal yang tidak dimiliki oleh Diana. Diana memandang mata hazel milik Mama yang sialnya begitu mirip dengan mata yang dimiliki tubuhnya sekarang. Diana bahkan bisa melihat pantulan dirinya di mata Ma
“Aku masih sangat waras.” Setidaknya untuk Diana dia waras walau tidak begitu untuk Mama. Mata hazel milik Mama yang serupa dengan milik Diana itu tengah menatap Diana lamat-lamat.Mama mencoba mencari sesuatu yang berbeda dari Diana dan menemukan alasan kenapa Diana seperti ini agar dia bisa kembali memegang kendali atas situasi ini. Atas Diana. Tapi itu sepertinya percuma. Tatapan mama sama sekali tidak membuat Diana takut atau pun tegang karena bagi Diana saat ini Mama hanya menatapnya dengan rasa curiga, penasaran berlebih dan berusaha memahami bukan sesuatu yang menusuk, menuntut dan mengulik.Melihat Diana yang sama sekali tidak bereaksi dengan apa yang Mama lakukan membuat wanita itu gusar. Dia meremas kedua tangannya di bawah meja dan mengelus ibu jarinya ke punggung tangan. Diana tidak perlu melihat itu untuk benar-benar tahu bahwa Mama gusar. Cangkir teh yang tadi dia minum kini diputar-putar lalu kembali di taruh tanpa diminum oleh Diana. Dia hanya ingin membuat Mama jauh