Sinar matahari terbit menerangi awan tipis jarang-jarang di langit. Hari ini sepertinya akan cerah. Angin masih bertiup dari Danau, mengacak-acak rambut Arga dengan lembut. Wangi air danau yang basah menggelitik indra pembau, membawa kesegaran hijau musim panas.
Arga tengah menyusuri jalanan desa bersama Nehan. Kakinya mengarahkannya menuju jalanan setapak yang sudah sangat di ingatnya. Rumah-rumah keluarga yang sudah hafal di luar kepala menyembul dari balik dinding, jendela-jendelanya dibuka untuk mengalirkan udara pagi ke dalam.
Di tiap rumah, panji-panji dinasti aneka warna berkibar-kibar ditiup angin. Merah darah marga Kumara, hijau zamrud marga kuno Pratmatya yang tiada tanding, hitam-silver marga terkemuka Wibisana.
Gapura tinggi dan mulus, membentang lebar dari dinding-dinding pirus-emas di sektor desa. Setelah sampai di suatu pekarangan Arga secara menyelinap memasuki sebuah rumah tersudut di ujung gang.
Rumah itu sendiri,
"Oh jadi itulah sebabnya, suku kita tidak mau bekerjasama dan mematuhi peraturan kerajaan Maheswara." Celutuk Barra, pemuda tampan bersurai perak, sembari mengusap-usap Sigung peliharaan di pangkuannya.Arga tersenyum tipis, sesuai perkiraannya, Orang Kerajaan memang sudah bertindak. "Itulah sebabnya aku mengumpulkan kalian disini, karena aku tidak ingin jika suatu saat nanti, suku kita akan berakhir hancur, hanya karena kita menganggap remeh dan menutup sebelah mata atas penyabotasean ini.""Menurutku kita sebagai generasi muda dalam suku, memang harus melakukan tindakan secepat mungkin." Komentar Farra serius.Arga bangkit dengan keluwesan nan anggun. Ekspresinya tak terbaca,"Oleh sebabnya, disini aku sangat mengharapkan dedikasi kalian, sebagian sudahku rancangkan upaya apa saja yang harus kita lakukan." Arga membuka buku agendanya, dia tampak memilah-milah, "pertama, Melakukan pengamanan, dengan berjaga-jaga dan mengingat kapan saja jadwal penyer
◇❖❖◇Seusai dari pertemuan rapat tadi pagi bersama para sahabatnya, siangnya Arga melanjutkan pergi ke balai desa ingin meminta izin atas kepergiannya kepada sang kepala suku.Tok... Tok... TokArga mengetuk pelan pintu ruang belajar Eyang Abimayu, dia tampak gugup, karena ini kali pertamanya meminta izin secara resmi. Jika sebelumnya, Arga langsung melarikan diri dari desa tanpa sepengetahuan teman dan para warga. Mengakibatkan dirinya berakhir tragis. Kini demi tugas melindungi desa dan rencana balas dendamnya, dia harus bisa membuktikan kepada gurunya itu, bahwa dia bisa dipercayai dalam mengatasi masalah suku."Masuk." suaranya pelan dan tegas. Arga memasuki ruangan yang dipenuhi senjata-senjata tradisional, dengan rak-rak buku menjulang di setiap sisi. Eyang tengah sibuk membaca berkas-berkas yang menggunung, kepalanya menyembul dari tumpukan-tumpukan dokumen."Ada apa Arga?." Tanya Eyang Abimayu t
◇❖❖◇Setelah mengemas dan mempersiapkan segala pembekalan, Arga siap bepergian. Semuanya berjalan dengan lancar sesuai rencananya. Namun, demi keamanan, Arga meninggalkan Nehan untuk mengurus Ibu. Dia tidak ingin identitasnya sebagai Orang Darat terbongkar, karena akan terlalu mencolok membawa seekor Harimau ke khalayak banyak.Kini Arga menyusuri hutan belantara. Setelah berpamitan dengan Eyang, ibu, beserta para sahabatnya. Kakinya akan menapaki jalan selama satu hari dua malam. Suasana hutan masih terasa sama seperti dua bulan yang lalu. Ketika dirinya masih seorang pemuda polos yang gampang dimanfaatkan.Kini setelah semua peristiwa tersebut, menjadikannya diri yang baru, dewasa, ambisius, dan penuh rencana. Dia tidak akan mudah terpengaruh lagi, walaupun harus kembali ke kandang Singa. Dia sudah menyiapkan strategi agar bisa menghukum Singa.Beberapa saat menjelajah kini Arga telah sampai di sebuah lembah, dia merasa kelelahan
Kini Arga, sedang mengitari pasar plaza yang ada di depan gerbang istana. Dia ingin menyempatkan diri untuk menikmati beberapa makanan lokal.Sebelum kerajaan mengubahnya menjadi guru sang pangeran, selagi dia masih bisa berjalan bebas tanpa harus menyembunyikan diri dalam balutan tudung tebal nan menggerahkan. karena di kehidupan yang lalu, dia tidak sempat untuk menjelajahi salah satu pusat perbelanjaan teramai di Kerajaan itu, apalagi hanya sekedar untuk mencicipi makanannya. Di sisi kanan dan kiri jalan nampak kios-kios penjual kaki lima yang di penuhi aneka barang lengkap, mulai dari kebutuhan pokok, barang-barang unik, hingga barang-barang magis. Para pedagang terlihat cukup sibuk untuk menjajakan barang dagangan yang dimiliki.Arga memutuskan untuk memasuki sebuah kedai teh. Kedai itu penuh ramai dengan pengunjung, untungnya masih ada satu tempat duduk kosong yang berada di ujung ruangan.Lantas Arga segera menuju kesana, t
Gerbang istana membentang kokoh dihadapan, tampak sudah berwarna silver kecoklatan, ia terus membentang kokoh dihadapan.Meski sudah lama melindungi bangunan kastil megah itu sehingga karatan, membuktikan perjuangan panjangnya dalam menghadang teriknya mentari juga guyuran hujan. Selama bertahun-tahun melebihi masa triwulan.Menarik nafas dalam Arga, melangkahkan kakinya siap memasuki kandang lawan. Kini dia berjalan santai tanpa perlu khawatir mendapat cegatan, atau bentakan dari para penjaga. Karena kedatangannya kali ini, sudah berbekalkan Undangan surat resmi dari kerajaan.Arga menyusuri Koridor istana sendirian, dia tidak memerlukan seseorang untuk menunjukkan jalan, sebab semua memorinya masih terpasang lekat di ingatan.Semua ruangan, serta tatanan furnitur, atau bahkan beragam rangkaian bunga masih terlihat sama di benaknya.Bayangan bangunan-bangunan tampak tak terlihat di tanah, berarti posisi matahari berad
Raynar Syaron berjalan menyusuri koridor panjang istana menuju aula utama. Sepatunya berbunyi 'tuk tuk' tergesa diatas lantai es yang memantulkan gema di sepanjang dinding, jubah putih yang ditahan dua buah permata biru di bahunya tampak berdesir saat kaki itu melangkah, pakaian kebesaran kerajaan yang berwarna putih biru melekat dengan sangat pas ditubuhnya yang tegap.Lelaki itu melangkah mantap, lalu mendorong pintu tinggi aula utama dengan kedua tangan, menatap seorang pria paruh baya yang duduk di singgasana di seberang ruangan, sang raja negeri Maheswara."Anakku" sang raja memanggil Raynar dengan nada girang yang dibuat-buat sambil merentangkan tangan untuk menyambut kedatangan anaknya, "Kemarilah, nak. Kau sudah tau kita akan kedatangan tamu. Cepat. Cepat!"Sang pangeran memutar bola mata sebal, namun tetap melangkah dan berhenti di depan singgasana ayahnya, membiarkan pelayan pribad
Seperti biasa, Raynar akan bangun saat para pelayan mulai berdatangan ke kamarnya, lalu dia dilayani oleh puluhan pelayan untuk mempersiapkan diri setiap harinya, sesudahnya Raynar dalam tampilan rapihnya, beranjak pergi ke istana ibunda untuk memberikan salam sebagai rutinitas paginyapermaisuri dalam balutan busana megahnya duduk di atas singgasana, dikipasi dan disuguhi buah-buahan oleh para dayang, "Salam kepada rembulan kerajaan, ibu.""Kemarilah, nak. " panggilnya dengan melambai kepada anak tunggalnya, gerakan itu menghasilkan bunyi gemericik dari perhiasan-perhiasan emas yang dikenakannya."kenapa ibu terlihat lesu, apa ibu sedang sakit?." Raynar meletakkan telapak tangannya di atas kening sang bunda, memeriksa suhu badannya. "Tidak nak, ibu hanya kurang enak badan." sanggah permaisuri, tak ingin membuat anaknya khawatir.Setelah para dayang pergi meninggalkan mereka berdua, Permaisuri menggengam tangan Raynar lantas bertanya, "Jadi bagaiman
"Kakak, kenapa kau lama sekali..." Seorang gadis tengah duduk menyadar ke sebuah pohon besar yang tersembunyi, dirinya terlihat kesal lantaran sudah cukup lama menunggu sang kakak.Seharusnya acara perundingan itu sudah selesai dari sepuluh menit yang lalu, tapi batang hidung orang yang ditunggunya masih belum terlihat juga.Gaun sutra berwarna krem dan sepatu senada yang dikenakannya terlihat basah juga kotor, akibat terkena cipratan lumpur dari hentakan kakinya, begitupun tangannya juga terlumuri noda kecoklatan tanah yang sedari tadi di main-mainkannya untuk mengusir kebosanan.Terdengar suara langkah kaki mendekat, karena kondisi khusus yang dimiliki Zea, dia tidak bisa bertemu dengan sembarangan orang. Lantas segera menyembunyikan diri di balik pepohonan besar.Sinar matahari yang tertutupi oleh pepohonan rindang di sekitar menghasilkan cahaya teduh remang-remang sehingga membuat penglihatan putri Zea tidak terlalu terfokus. Dari kejauh