Menurut pengalaman mengurus Mbak Giska, ketika ia lumpuh, tidak bisa merasakan kakinya. Ya, aku harus diam-diam mencubit kaki Mas Firman. Dari sini aku akan mengetahui, apa ia hanya pura-pura lumpuh supaya menarik perhatian kami berdua. Kami menghampiri Mas Firman, lalu Mbak Giska kembali bicara dengannya. "Kita ke rumah sakit sekarang, Mas," ajak Mbak Giska. "Ya, kamu harus dibawa ke rumah sakit, Firman," ucap Tante Soraya. "Tidak seperti dulu saat Giska lumpuh, kamu bukan membawanya terapi dan menjalani berbagai pengobatan, tapi justru mendatangkan dokter palsu. Untungnya dokternya sadar," sindir Tante Soraya. Mas Firman menarik pergelangan tangan Mbak Giska. "Maafkan aku, Giska, jujur saja aku merasa ini adalah karma untukku," jawab Mas Firman. Saat itulah aku menyerempet ke kakinya, lalu sedikit mencubit, kalau ia tidak lumpuh pasti teriak kesakitan, namun aku tidak mendengar itu. Cubitan yang aku layangkan tidak membuat Mas Firman berteriak bahkan menunjukkan respon menahan r
Aku sih berharap Mas Firman benar sakit, bukan berpura-pura demi mendapatkan simpatisan dari Mbak Giska. Entahlah jika ia melakukan hal itu, mungkin bukan bui lagi yang harus ia jalani, tapi neraka. "Pasien ini jatuh duduk ya awalnya?" tanya dokter. Mbak Giska yang sempat bilang menemukan Mas Firman terkapar pun maju satu langkah. "Saya tidak tahu jatuhnya, tapi setelah jatuh memang ia tidak bisa bangun." Mbak Giska menjelaskan apa yang ia lihat pertama kali. "Baik, jadi pasien ini ada masalah di tulang ekor, kemungkinan akan lumpuh," terang dokter membuatku terkejut, bukan hanya aku, Mbak Giska dan Airin pun sama, tapi dengan reaksi yang berbeda. Aku menutup mulut dengan telapak tangan, sedangkan Mbak Giska menggelengkan kepalanya, lalu Airin, ia mundur perlahan, kemudian duduk dengan wajah linglung. Hanya Tante Soraya yang memberikan reaksi senyuman miring. Matanya menyipit seakan ingin tertawa atas apa yang menimpa Mas Firman. "Lalu bagaimana, Dok? Apa bisa sembuh? Atau ini
Namun, kelihatannya keputusan Mbak Giska sudah bulat. Ia tetap melanjutkan langkah keluar dari ruangan. Aku pun mengekor di belakangnya. Di luar masih ada Tante Soraya, ia menghampiri kami ketika keluar dari ruang tindakan. Mata ini berkeliling mencari di mana keberadaan wanita itu? Airin, wanita yang sangat dicintai Mas Firman. "Mana Airin, Tante?" tanyaku padanya. "Pergi, entahlah, aku heran kenapa Firman begitu mencintai wanita itu? Cakep juga nggak terlalu, kaya raya apa lagi, buat Tante, si Airin itu hanya benalu!" umpat Tante Soraya sambil memasang wajah cemberut. Kuakui yang dikatakan Tante Soraya benar. Soal fisik, aku dan Mbak Giska tak kalah cantik, entahlah mungkin ada sesuatu yang menarik dalam diri Airin, sehingga membuat Mas Firman tergila-gila bahkan lupa daratan. "Airin pergi, lalu bagaimana Mas Firman di rumah sakit?" tanya Mbak Giska. Wajahnya mulai merenung, ia memang tidak tegaan orangnya. "Kalau suruh Adnan aja gimana?" usulku. Mbak Giska terdiam, ia mengh
Cinta itu sulit ditebak, apalagi wanita, ia mudah luluh dan termakan rayuan laki-laki. Aku hanya kasihan pada Mbak Giska, dimanfaatkan oleh Mas Firman. "Mbak, aku harap kamu sadar, ini salah. Tiga tahun loh, Mbak Giska dikhianati," ucapku mencoba menasihati Mbak Giska. Berharap mata hatinya terbuka dan melek mata untuk melupakan sosok lelaki yang sangat jahat itu. Mbak Giska menggigit bibirnya, ia terdiam menatap wajahku. Sesekali ia memalingkan mata ke lain tempat. "Aku ingin berikan dia pelajaran," jawabnya. Itu lagi yang ia utarakan, balas dendam dan ingin melihat Mas Firman sengsara, bukankah lumpuh sudah benar-benar membuat ia terpuruk? Meskipun awalnya aku sempat ingin menolong Mas Firman, tapi sekarang justru berpikir sebaliknya. Aku takut Mas Firman baik saat sakit saja, setelah sembuh, ia berubah lagi. "Memang gitu sih umumnya, kalau wanita sulit melupakan pria," sindir Tante Soraya. Mbak Giska menoleh, aku pun ikut menyoroti Tante Soraya. "Tadinya aku ingin membiayai
"Kenapa dibiarkan masuk?" tanya Mbak Giska seakan mengintimidasi. "Maaf, Bu. Saya pikir .... "Belum selesai satpam baru itu berbicara, Mbak Giska sudah beranjak dan meninggalkanku. Akhirnya dengan langkah setengah berlari aku pun mengikutinya dari belakang. Airin berani sekali masuk rumah tanpa permisi dan keluar lagi. Aku berharap ia tidak mencuri apa pun yang ada di dalam rumah ini.Setelah masuk, kami berdua dikejutkan pemandangan yang berantakan, sepertinya Airin mengobrak-abrik rumah dengan sengaja. Apa yang kutakutkan benar terjadi, rumah berantakan, terutama dalam kamar Mbak Giska. "Kita kecolongan lagi, berati tadi Airin pamit ingin obrak-abrik rumah." Mbak Giska bicara dengan disertai banting tangan sebelah kanan. Sesekali ia merapikan hijab yang berantakan. "Coba cari surat-surat, Mbak. Takutnya hilang," usulku."Nggak, kalau itu tidak ada padaku, sebagian masih dalam proses, sebagian lagi ada pada Adnan," jawab Mbak Giska. Tubuhnya bolak-balik ke kanan dan kiri, tangan
Aku bersyukur dengan apa yang telah terjadi. Kenapa? Dengan cepat Allah buka hati Mbak Giska untuk menyudahi balas dendamnya. Padahal awal mula ia pun sepakat untuk menyerahkan kasus ini pada pihak yang berwajib, tapi tiba-tiba saja wanita yang telah memutuskan menutup aurat itu berubah pikiran. "Tante Soraya, aku minta tolong ikuti mereka, aku akan membuat laporan ke pihak yang berwajib," pesan Mbak Giska. "Iya, Giska, kamu tenang aja. Tante juga udah hubungi Adnan kok," tambahnya membuat Mbak Giska mengernyitkan dahinya. Jari jemarinya mengusap kening, lalu menyandarkan kepala itu ke dinding. "Tante, maafin aku. Tadi sempat .... " Mbak Giska ingin bicara sesuatu tapi sudah dipotong oleh Tante Soraya. "Nggak usah bicara gitu, Tante tahu ponakanku seperti apa. Sudah, kamu tenang ya, toh Firman nggak bisa ngapa-ngapain, ia cuma bisa berbaring," jawab Tante Soraya. Kulihat senyum terukir kembali dari wajah Mbak Giska, aku ikut merasakan ada kebahagiaan terpancar saat Tante Soraya b
Seorang laki-laki yang tengah duduk membelakangi kami menoleh, lalu melambaikan tangannya ke arah Mbak Giska. "Astaga, Eric!?" Raut wajah kakak maduku tersenyum semringah ketika menyebutkan nama itu. Kemudian, pria itu bangkit dan menghampiri kami. Lalu ia berdiri di hadapan Mbak Giska dengan mengulurkan tangannya. "Apa kabar, Giska? Lama kita tidak berjumpa, sekitar lima atau enam tahun lamanya," tutur pria berambut belah tengah yang mengenakan jas hitam celana hitam. "Baik, Eric. Aku pikir siapa. Kok kenal aku meskipun sudah berhijab?" Mbak Giska keheranan karena memang biasanya pangling ketika melihat orang yang terbiasa tidak pakai hijab kini mengenakannya. "Kamu ingat nggak waktu ada acara di kampus? Kan saat itu diwajibkan pakai hijab, kamu pakai dan kita sempat foto berdua. Jadi, aku kenal betul lah," tambah Eric membuatku ingin mesam-mesem sendiri. Mbak Giska menganggukkan kepalanya, aku lihat lengan tantenya menyenggol ponakannya genit. Aku kira hanya aku yang merasa in
"Tapi polisi sudah meyakinkan ada Mas Firman, Tante?" tanyaku lebih detail. Tante Soraya menggelengkan kepala, lalu ia menunduk sebentar. "Kata polisi mobilnya udah dijual, tapi yang beli sempat kasih tahu alamat mereka jika mobil itu sewaktu-waktu bermasalah," terang Tante Soraya. Namun, penjelasan barusan, aku rasa tidak akan mungkin, Airin dan Mas Firman tidak mungkin sebodoh itu meninggalkan alamatnya yang sekarang. "Aku rasa ia sudah proses jual beli sebelum Mas Firman lumpuh, masa jual mobil secepat itu, Tante?" Aku benar-benar heran dengan apa yang terjadi saat ini. "Bisa saja dia jual murah, itu banyak kemungkinan, Nurma. Sekarang kita siap-siap aja ke lokasi." Aku menganggukkan kepala seraya menuruti apa katanya. Aku masuk kembali untuk mandi kilat supaya cepat ke lokasi. Berharap mereka tertangkap dan mulai mengikuti proses hukum. Mereka kabur karena tidak ingin ada jerat hukum, tapi justru kaburnya Mas Firman dan Airin membuat mata Mbak Giska terbuka lebar-lebar, bahw