Share

Bab 7

"Ibu tidak menyangka, jika Romi bisa sejahat itu sama kamu, Nak. Padahal dulu ia memohon-mohon kepada Bapak dan Ibu untuk bisa menikah denganmu. Tetapi setelah kamu didapatkan olehnya, kamu malah disia-siakan. Tega betul si Romi itu, padahal kamu itu kurang apa lagi untuk jadi seorang istri. Cantik iya, baik iya, penurut juga iya. Bahkan kamu juga rela, merawat mertua kamu yang sedang sakit. Jujur, Nak, Ibu tidak terima anak Ibu dimanfaatkan begini." Ibu mengomentari tindak-tanduk Mas Romi, yang di luar ekspektasinya.

"Iya benar, apa yang dikatakan Ibumu itu semuanya benar. Ternyata si Romi hanya ingin memanfaatkan kebaikan dan keluguan kamu, Nak. Ternyata kita semua telah kecolongan, dengan keluguan sikapnya," timpal Bapak.

"Tapi kamu punya buktinya kan, Nak, kalau si Romi telah berselingkuh?" tanya Ibu lagi.

Ia menanyakan tentang bukti perselingkuhan suamiku tersebut.

"Ada kok, Bu," sahutku.

"Syukurlah kalau memang ada. Sebab Ibu takut, jika dia nanti berkelit, atau malah membalikan fakta, kalau kamu lah yang bersalah." Ibu mengucap syukur, sebab ia merasa tenang, saat aku bilang memiliki bukti perselingkuhan suamiku tersebut.

Saat kami sedang membicarakan perihal Mas Romi, Mbak Iren memanggilku. Ia membetitahuku, kalau di depan ada Mas Romi. Mbak Iren memberitahu aku dari pintu dapur, tanpa mau menghampiri kami. Benar-benar tidak ada sopan santunnya, ia kepada kami.

"Jadi di depan ada Mas Romi, Mbak?" tanyaku.

"Iyalah, kalau nggak ada mana mungkin aku memberitahu kamu? Males banget," ketusnya.

Sikap Mbak Iren benar-benar tidak menyenangkan menurutku, di depan orang tuaku sendiri saja, ia berani bersikap seketus itu, seolah aku ini menumpang hidup kepadanya.

'Ih, ini orang nyebelin banget sih! Lagian juga mau ngapain sih, Mas Romi datang ke sini? Padahal aku sedang males banget menemuinya,' geruruku.

"Ayo cepatan dong, Amira! Dibilangin malah diam saja," teriak Mbak Iren.

Ia tidak sabaran sekali, sepertinya ia juga gedeg banget, saat mengatakan semua itu kepadaku. Ucapannya begitu sinis, serta menusuk hati.

"Iya, Mbak, sebentar," ucapku.

"Bu, Pak, ayo kita samperin Mas Rominya, aku lagi malas jika harus menemuinya seorang diri," ajakku.

"Ya sudah, Nak. Ayo, Pak, kita temuin dia," ajak Ibu kemudian.

Setelah itu kami bertiga pun berdiri, sedangkan Azka digendong oleh Kakeknya. Kami melangkah menuju ruang tamu, mau menemui suamiku, yang sebentar lagi bakal menjadi Mantan. Sedangkan Mbak Iren sudah ngeloyor pergi entah kemana.

Sesampainya di ruang tamu, Mas Romi seakan terkejut dengan kehadiran kami bertiga. Sepertinya ia sedang asyik melamun, atau mungkin juga sedang merangkai kata-kata untuk membujukku.

"Bapak, Ibu," sapanya, sambil mencium tangan kedua orang tuaku secara takzim.

"Iya, Nak Romi, bagaimana kabar Ibumu? Sudah ada perubahan?" tanya Bapak berbasa-basi.

"Alhamdulillah, Pak. Kondisi Ibu sudah banyak perubahan, sebab diurus oleh Amira dengan baik," jawab Mas Romi dengan begitu sopan.

Ia berkata sambil menunduk, tanpa mau melihat ke arah wajah kedua orang tuaku. Sopan santunnya Mas Romi, memang berbanding terbalik dengan sikapnya Mbak Iren. Biar dia tukang selingkuh, tetapi Mas Romi tetap sopan terhadap orang yang lebih tua.

Makanya dulu aku sampai kepincut sama dia. Aku memilih dia, sebab terpesona dari sikapnya yang santun. Tapi tanpa sedikit pun aku tahu, kalau sebenarnya dia itu serigala berbulu domba.

"Syukurlah, kalau memang Ibumu sudah agak membaik karena perawatan Amira. Berarti kalau Amira bekerja sebagai perawat, ia sudah menjadi perawat profesional dong! Biasanya harga tenaganya itu mahal sekali lho, Rom. Sebab banyak orang kaya, yang membutuhkan perawat model Amira ini." Ibu mengomentari ucapan Mas Romi, seakan meledaknya.

"I-iya, Bu," ujar Mas Romi gugup.

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status