Embun pagi masih menempel di dedaunan, berkilau seperti permata kecil ketika cahaya rembulan yang tersisa perlahan tergantikan oleh semburat jingga di ufuk timur. Udara desa terasa dingin menusuk tulang, tetapi rumah kecil milik Gadis sudah dipenuhi dengan aroma sedap dari dapur.
Sejak sebelum matahari menampakkan wajahnya, Gadis sudah terbangun. Ia tidak pernah punya kebiasaan bermalas-malasan. Hidup sendirian membuatnya terbiasa bekerja keras, mengurus rumah, kerja di ladang, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan tangannya sendiri. Namun pagi ini, hatinya terasa lebih berat dari biasanya. Sebab di kamar kecil di sudut rumahnya, ada seorang pria asing yang semalam resmi menjadi suaminya. “Mas Mahen...” lirihnya menyebut nama itu sambil mengaduk panci kecil berisi bubur jagung sederhana. Masih terasa aneh baginya, mulutnya menyebut nama itu dengan status baru. Bukan sekadar orang yang ditolong, tetapi kini menjadi pasangan hidupnya, meski tanpa perencanaan sedikit pun. Ia menghela napas panjang. “Kasihan Mas Mahen... semua ini terjadi karena aku.” Sesekali ia menoleh ke arah pintu kamar yang masih tertutup. Suara napas Mahen terdengar teratur, tanda ia masih tidur nyenyak. Wajar, pria itu masih lemah karena luka-lukanya. Gadis ingat betul bagaimana darah mengalir ketika ia menemukannya. Andai saja ia tidak lewat jalan pintas sore itu, mungkin Mahen sudah tinggal nama. Gadis menaruh bubur ke dalam dua mangkuk tanah liat, lalu kembali ke meja kecil untuk menumbuk daun-daunan. Di hadapannya ada segenggam daun sirih, kunyit, dan beberapa bahan lain yang ia ambil dari kebun belakang. Tangannya luwes, gerakannya penuh keyakinan. Ia sudah terbiasa meramu obat tradisional sejak kecil, diajarkan oleh almarhum ayahnya. Tak lama kemudian, suara kayu berderit terdengar dari arah kamar. Gadis menoleh cepat. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan Mahen yang berjalan tertatih sambil memegang dinding. Wajahnya pucat, rambutnya acak-acakan, tapi sorot matanya tetap tajam meski lelah. “Mas Mahen... sudah bangun?” Gadis meletakkan alu kayu dan segera menghampirinya. Mahen tersenyum tipis, meski jelas senyum itu menahan sakit. “Aku mencium bau makanan. Pikirku... mungkin itu bisa mengalihkan rasa perih di tubuhku.” Gadis menahan tawa kecil. “Seharusnya Mas tetap berbaring. Aku sudah siapkan bubur. Duduklah dulu, aku bantu.” Dengan hati-hati ia memapah Mahen menuju bangku kayu di meja makan. Tangan Mahen terasa hangat, berbeda dengan udara dingin pagi itu. Gadis berusaha tetap tenang, padahal jantungnya berdetak tidak karuan. Belum pernah ia sedekat ini dengan seorang pria, apalagi statusnya kini adalah suami istri, meski hanya karena paksaan keadaan. Setelah Mahen duduk, Gadis mengambil ramuan tumbukannya dan kain bersih. “Sebelum makan, biar aku bersihkan dulu lukanya.” Mahen menghela napas pelan. “Kau tak perlu repot...” “Diamlah. Mas sudah cukup terluka,” potong Gadis lembut tapi tegas. “Aku tahu ini perih, tapi harus dibersihkan agar tidak bernanah.” Ia menyingkap lengan Mahen yang penuh goresan. Darah sudah mengering, namun kulit di sekitarnya bengkak. Gadis mengoleskan ramuan, sementara Mahen meringis menahan perih. “Kau terbiasa melakukan ini?” tanya Mahen, mencoba mengalihkan rasa sakit dengan percakapan. Gadis mengangguk. “Ayahku dulu sering sakit-sakitan. Ibuku juga sama. Jadi sejak kecil aku belajar bagaimana menggunakan tanaman sebagai obat. Murah, mudah, dan cukup manjur.” Mata Mahen menatapnya lebih lama. Ada sesuatu di balik sorot itu, kagum, mungkin juga terpesona. “Kau bukan hanya cantik... tapi juga cerdas.” Pipi Gadis merona. Ia buru-buru menunduk, berpura-pura sibuk merapikan kain balutan. “Sudahlah, jangan menggoda. Mas Mahen sebaiknya makan sekarang sebelum buburnya dingin.” Mereka pun duduk berhadapan. Meja kecil itu terasa hangat oleh kebersamaan yang asing tapi menenangkan. Gadis menyuapkan bubur ke mulutnya sendiri dengan pelan, sementara sesekali menoleh memastikan Mahen bisa makan dengan nyaman. Mahen menatap bubur sederhana itu, lalu menoleh pada Gadis. “Kau tidak merasa keberatan... berbagi makananmu denganku? Aku tahu, hidupmu tak mudah. Kau bahkan nyaris tak punya apa-apa.” “Mas terlalu banyak bicara,” balas Gadis dengan senyum samar. “Apa gunanya makanan jika tidak dibagi? Lagipula, sekarang kita sudah suami istri...” suara Gadis melemah di akhir kalimatnya, wajahnya kembali panas oleh rasa malu. Keheningan sebentar menyelimuti ruangan. Hanya suara sendok yang beradu dengan mangkuk. Namun dalam keheningan itu, hati keduanya bergejolak. Ada rasa baru yang tak bisa dijelaskan. Selesai makan, Gadis membereskan mangkuk. Mahen hanya memperhatikan diam-diam, setiap gerakan Gadis seolah punya irama yang menenangkan. Gadis benar-benar berbeda dengan perempuan lain yang pernah ditemuinya. Tidak ada kemewahan, tidak ada polesan, hanya ketulusan yang murni. Setelah semua rapi, Gadis duduk kembali. Tatapannya ragu, tetapi akhirnya ia membuka mulut. “Mas Mahen... boleh aku bertanya sesuatu?” “Tentu,” jawab Mahen singkat. “Mengapa Mas Mahen bisa berada di hutan... jatuh sampai ke dasar jurang? Siapa sebenarnya dirimu Mas?” Pertanyaan itu membuat Mahen terdiam sejenak. Wajahnya sedikit berubah, matanya menatap kosong seakan melihat kembali peristiwa yang terjadi. “Aku... sedang dikejar seseorang,” jawabnya perlahan. “Orang-orang yang ingin aku lenyap. Malam itu, aku berusaha kabur, tapi mereka terlalu banyak. Aku terdesak hingga akhirnya jatuh ke jurang.” Gadis menahan napas. “Dikejar? Kenapa? Apa Mas... penjahat?” Mahen menoleh, menatap dalam ke mata Gadis. “Apakah wajahku terlihat seperti penjahat?” tanyanya dengan senyum samar, seakan mencoba menutupi luka di hatinya. Gadis salah tingkah. “Bukan begitu maksudku... aku hanya khawatir. Aku tidak mengenal Mas Mahen, tapi tiba-tiba Mas ada di rumahku. Dan sekarang...” Ia berhenti, menunduk lagi. “Sekarang kita bahkan sudah terikat pernikahan.” Mahen menarik napas panjang. “Aku bukan penjahat. Tapi ada alasan yang membuatku harus bersembunyi. Untuk sekarang, lebih baik kau tidak tahu terlalu banyak. Demi keselamatanmu juga.” Gadis mengangguk pelan, meski hatinya masih dipenuhi tanda tanya. Ia tidak ingin memaksa. Ada sesuatu pada diri Mahen yang membuatnya yakin pria itu tidak berniat jahat. Beberapa saat kemudian, Gadis berdiri. “Aku harus pergi ke ladang. Siang nanti aku akan pulang untuk menyiapkan makan.” Mahen menatapnya dengan rasa bersalah. “Kau meninggalkanku sendirian?” “Mas Mahen cukup beristirahat di rumah. Jangan banyak bergerak. Aku percaya Mas bisa menjaga diri... dan rumah ini.” Gadis tersenyum tipis. “Kalau Mas lapar, ada singkong rebus di dapur.” Mahen menahan keinginan untuk mencegah. Ia ingin Gadis tetap di sini, tapi ia tahu Gadis juga punya tanggung jawab. “Baiklah. Hati-hati di jalan.” Gadis mengangguk. Ia mengambil topi anyaman bambu, lalu melangkah keluar rumah. Udara pagi menyambutnya, membawa serta semangat baru meski hati masih diliputi kerisauan. Dari dalam rumah, Mahen hanya bisa memandang punggung Gadis yang menjauh. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Kau bahkan tidak tahu, Gadis... mungkin kaulah satu-satunya alasan aku harus bertahan hidup.”Malam menua di atas atap rumah sederhana itu. Angin berhembus lembut dari sela dinding, membawa aroma tanah basah dan nyanyian jangkrik yang tiada henti. Langit bersih tanpa awan, tapi suasana di dalam rumah terasa sesak, seperti langit yang menggantungkan hujan di ujung malam.Sejak pertengkaran siang tadi, Gadis dan Mahen sama-sama diam. Tidak ada suara selain gesekan piring dan sendok, atau langkah kaki pelan yang kadang terdengar dari kamar. Gadis duduk di sudut dapur, memetik bayam sambil menunduk. Mahen duduk di kursi kayu, tak jauh dari sana. Ia berpura-pura sibuk memperbaiki perban di tangannya yang mulai longgar, tapi pikirannya melayang-layang entah ke mana. Tatapannya beberapa kali mencuri pandang ke arah Gadis yang menunduk.Ia ingin bicara, ingin meminta maaf, ingin menjelaskan bahwa tadi siang kata-katanya keluar tanpa pikir panjang. Tapi setiap kali melihat wajah Gadis yang diam dan tenang, lidahnya terasa kelu."Kenapa aku seperti ini?" pikir Mahen. "Kenapa aku kesal
Matahari sudah mencapai puncaknya ketika Gadis akhirnya melangkah gontai di jalan setapak menuju rumah. Keringat membasahi pelipis dan tengkuknya, pakaian sederhana yang dikenakannya lengket di kulit karena sengatan panas yang menyiksa. Namun bibirnya tetap tersenyum tipis, rasa syukur sederhana yang tak pernah luntur meski hidup keras terus menghadangnya.Di pelukan tangannya, tergenggam beberapa ikat sayur segar hasil jerih payahnya di ladang Pak Warno, bayam hijau mengkilat, kangkung yang masih segar, dan kacang panjang yang panjang-panjang. Pemberian sang pemilik ladang karena ia bekerja ekstra keras hari ini. Setidaknya untuk makan siang dan malam nanti, perut tidak akan keroncongan."Alhamdulillah," bisiknya pelan sambil mengelap keringat dengan punggung tangan. "Mas Mahen pasti sudah menunggu."Hanya menyebut nama itu saja membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ada perasaan aneh yang berkembang di dadanya, sesuatu yang hangat namun membingungkan. Mahen memang masih mi
Embun pagi masih menempel di dedaunan, berkilau seperti permata kecil ketika cahaya rembulan yang tersisa perlahan tergantikan oleh semburat jingga di ufuk timur. Udara desa terasa dingin menusuk tulang, tetapi rumah kecil milik Gadis sudah dipenuhi dengan aroma sedap dari dapur.Sejak sebelum matahari menampakkan wajahnya, Gadis sudah terbangun. Ia tidak pernah punya kebiasaan bermalas-malasan. Hidup sendirian membuatnya terbiasa bekerja keras, mengurus rumah, kerja di ladang, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan tangannya sendiri. Namun pagi ini, hatinya terasa lebih berat dari biasanya. Sebab di kamar kecil di sudut rumahnya, ada seorang pria asing yang semalam resmi menjadi suaminya.“Mas Mahen...” lirihnya menyebut nama itu sambil mengaduk panci kecil berisi bubur jagung sederhana. Masih terasa aneh baginya, mulutnya menyebut nama itu dengan status baru. Bukan sekadar orang yang ditolong, tetapi kini menjadi pasangan hidupnya, meski tanpa perencanaan sedikit pun.Ia menghela
Malam telah merangkul desa Karangmulyo dengan dinginnya yang menusuk tulang. Puluhan obor bambu yang dibakar warga berjajar di halaman rumah Gadis, menciptakan bayangan-bayangan yang bergoyang menakutkan di dinding kayu lapuk. Suara derap kaki, bisikan, dan tawa mengejek bercampur dalam satu alunan yang menyesakkan dada. Hampir seluruh warga desa berkerumun, dari anak-anak yang mengintip di balik kain sarung ibunya, hingga para tetua yang duduk dengan wajah masam. Udara malam yang sejuk berubah menjadi panas menyesakkan karena desakan tubuh manusia dan asap obor yang mengepul. Di tengah kerumunan yang riuh itu, Pak Kades Sutarman duduk di kursi kayu dengan wibawa yang dipaksakan. Di hadapannya, sebuah meja kecil dengan kitab nikah lusuh yang sudah berdebu, buku yang jarang digunakan karena kebanyakan warga menikah di kantor catatan sipil kota. Gadis duduk di tikar pandan dengan wajah pucat pasi, mata sembab merah karena tangisan yang tak henti-henti. Rambutnya yang biasanya rapi ki
Hujan baru saja reda ketika Gadis akhirnya bisa memejamkan mata. Seharian ia kelelahan mengurus Mahen yang masih lemah karena luka-lukanya. Lelaki itu kini terbaring di dipan kayu sederhana dengan tubuh yang sebagian terbalut kain perban seadanya.Suasana hening. Hanya suara jangkrik dari luar jendela yang sesekali terdengar. Gadis menghela napas panjang, berusaha menenangkan hatinya yang masih kacau. Ia belum sempat memikirkan siapa sebenarnya Mahen, dari mana asalnya, atau mengapa ia bisa terluka separah itu. Yang ia tahu hanyalah satu, ia tidak bisa membiarkan seorang manusia mati begitu saja.Baru beberapa menit matanya terpejam, tiba-tiba suara ketukan keras menggema dari pintu depan.Dug! Dug! Dug!“Gadis! Gadis! Buka pintunya sekarang!”Gadis tersentak kaget. Mahen yang masih setengah sadar ikut membuka matanya. Suara ketukan itu begitu keras dan kasar, disertai teriakan yang sudah tidak asing lagi.“Itu… suara Bibi Nimas,” bisik Gadis panik.Mahen menoleh lemah. “Siapa dia?”“
Senja merangkak perlahan di langit desa Karangmulyo. Cahaya emas merembes di antara rimbun dedaunan, menimbulkan bayangan panjang yang bergoyang lembut mengikuti hembusan angin sore. Di tengah keheningan itu, langkah kaki seorang gadis terdengar berderap pelan di tanah berbatu.Gadis menggenggam erat kantong anyaman pandan, warisan terakhir dari ibunya. Di dalamnya tersimpan beras sekarung kecil, beberapa batang kangkung layu, dan sepotong ikan asin yang aromanya menyengat.Ayah dan ibunya telah berpulang tiga tahun lalu karena demam berdarah yang melanda desa. Kini ia hidup sebatang kara di rumah kayu sederhana yang mulai lapuk, namun tetap ia rawat dengan penuh cinta."Harus cepat sampai rumah sebelum gelap," gumamnya sambil mempercepat langkah. Langit mulai berubah warna, dari jingga menjadi ungu kebiruan.Alih-alih mengambil jalan utama yang meski lebih aman namun memakan waktu lebih lama, Gadis memutuskan memotong jalan melalui hutan kecil di belakang bukit. Jalan setapak itu mem