LOGINJulia mengirim pesan pada Armand agar tetap tinggal menunggu Ibunya dan akan memberikan makanan untuknya. "Kamu mau apa lagi?" "Aku rasa cukup ini saja. Biar punya Armand aku yang bayar." "Tak perlu. Aku membayar milik Armand atas namamu, bukan untuk dia," ucapnya sengit, membuat Julia tak bisa berkata-kata. Terkadang di depan Miguel, Julia merasa begitu kecil dan rendah diri. Apalagi Ibu Miguel yang terang-terangan tak suka padanya. "Setelah ini aku kembali ke kantor, Julia. Kamu sudah izin dengan Pak Diego? Bukankah dia kadang keberatan?" "Ya, sama saja. Dia tadi juga keberatan ketika aku minta izin, tapi aku berkata, setelah Ibu sembuh, tentu hanya tinggal pengobatan rawat jalan dan pemulihan di rumah. "Julia, ketika nanti kita menikah, aku ingin kamu di rumah dan mengurusku," pinta Miguel. "Itu tidak bisa, Miguel." Julia menatap Miguel dengan serius, menimbulkan rasa heran di benak Miguel. "Kenapa, Sayang?" "Aku harus membayar utang, dan bagaimana aku bisa member
Di rumah sakit, Julia sedang menata selimut Carmen, ibunya. Operasi akan dimulai pukul 10 nanti. "Julia, kamu meminta izin lagi? Nanti Tuan Diego marah?."Aku sudah meminta izin padanya, Bu. Ibu tak perlu khawatir.""Kamu tampak lelah, Nak? Apa kamu masih lembur seperti biasa?."Julia tersenyum simpul. "Ya, bu." Jeda menghela nafas. "Tuntutan pekerjaan." Ya, seperti biasa lembur. Tapi kali ini, lemburan mengurus gairah bos-nya. Begitu, batinnya."Kamu terlalu lelah mencari uang untuk ibu, ibu merasa bersalah."Julia menggeleng. "Jangan berkata demikian, bu. Siapa yang mau sakit? Sudah jangan dipikirkan, dokter Fabio bilang ibu tak boleh banyak pikiran, bukan?." Hibur Julia."Apa Laura menghubungimu ketika Ibu sakit?""Dia mengganti nomornya lagi, Bu. Aku tak tahu nomor barunya sejak dia pindah ke L.A bu, dia tak memberitahuku.Tapi aku sudah mengirim pesan langsung melalui akun media sosialnya, entah dia mau membacanya atau tidak.""Ibu tak habis pikir, mengapa Laura memilih jalan pint
Paginya, sebuah panggilan masuk dari Julia di ponsel Diego. "Pagi, Tuan... maaf mengganggu sepagi ini," sapa Julia, suaranya terdengar ragu."Hmm... ada apa, Julia? Apa uangnya kurang?" jawab Diego, menggeliat di balik selimut. Suaranya terdengar serak, masih diselimuti kantuk."Bukan itu, Tuan. Saya ingin meminta izin untuk menemani Ibu operasi. Seharusnya operasi dijadwalkan besok, tapi dokter memajukannya menjadi hari ini pukul sepuluh pagi. Apakah Tuan mengizinkan saya?""Bukankah ada kakakmu yang tidak bekerja itu? Siapa namanya? Armand?""Armand... dia tidak bisa dihubungi, Tuan. Saya yakin dia sedang di luar kota atau mabuk di suatu tempat. Hanya ada saya sekarang," jelas Julia cepat, berusaha keras agar suaranya terdengar meyakinkan dan tidak memicu kemarahan Diego. "Saya janji akan segera kembali setelah operasi Ibu selesai.""Kamu punya adik, 'kan? Kamu ini terlalu sering meminta izin, Julia." Diego sengaja berkata seolah adik Julia, Laura, masih di Madrid, padahal Laura sud
Julia segera keluar dari penthouse megah namun begitu keluar separti ada kelegaan yang tak terperi, tanpa membuang waktu dia segera memesan taksi dari lobi. Begitu taksi yang dipesannya datang, Julia cepat-cepat masuk, meraih botol air mineral di tas kecilnya, dan tanpa ragu menelan satu butir pil kontrasepsi pemberian Diego. tak ada rasa apa pun, seperti tablet salut gula tapi pahit di hatinya, sepahit kenyataan yang harus dia telan mentah-mentah. Taksi yang ditumpanginya akhirnya tiba di Moratalaz, suatu tempat distrik kelas menengah ke bawah, di kota Madrid tepat pukul 20.30. Lingkungan rumah Julia terasa sepi. Ia yakin sekali Armand, saudaranya, pasti sedang menghabiskan waktu di meja judi atau mabuk-mabukan entah di mana. Saat Julia baru saja turun dari taksi, sebuah mobil dikenalinya berhenti di depannya. Itu adalah mobil Miguel, sang kekasih. "Kamu dari mana saja, Julia?" tanya Miguel, nadanya menuntut, sambil menarik lengan Julia sedikit kasar dan menghentak. "Jawab, Julia!
Inti tubuh Julia terasa sangat ngilu dan perih akibat tekanan benda tumpul Diego. Tentu malam ini keadaanya tidak akan sama lagi seperti sebelumnya. Mahkotanya telah dilepaskan demi ratusan juta Euro yang selama ini, ia susah payah menjaga keutuhan mahkotanya demi Miguel, calon suaminya kelak. Jawaban apa yang akan ia berikan pada Miguel nanti? Entahlah, Julia bingung. Ia merasa bersalah, rendah diri, dan jijik.Kini, Julia tidak ada bedanya dengan Laura, adiknya, yang menjual diri demi uang. Apa bedanya? Mereka sama-sama wanita yang ternoda, meski jalan yang ditempuh berbeda.Laura meniti jalannya sebagai bintang film dewasa di Los Angeles (L.A.) sejak usia belum genap 20 tahun, tiga tahun silam tepatnya.Sementara dia, menyerahkan dirinya pada sang atasan untuk menjadi simpanan di usia 25 tahun, mati-matian dia pertahankan ketika Miguel membujuknya untuk menyerahkan dengan sukarela tapi dia tolak. Kini dia berikan ke Diego dengan imbalan uang untuk jaminan kesehatan ibunya.Siapa sa
Keesokan malamnya, setelah jam kantor berakhir.Julia berdiri di depan pintu apartemen penthouse Diego Torres di salah satu menara tertinggi Madrid. Jantungnya berdebar kencang, memukul dadanya bertalu-talu. Ia mengenakan gaun yang paling sopan yang ia miliki, tetapi ia tahu, di tempat ini, semua formalitas kantor telah dibakar habis.Ia menekan bel dengan satu tarikan nafas, seolah akan mengumpankan diri ke sarang predator yang paling berbahaya malam ini, seolah ini akhir hidupnya. ini demi operasi ring jantung sang ibu, ibunya sudah terlalu lama menderita dan manahan sakit. Julia sementara ini hanya mengupayakan berobat jalan, meski dokter sudah menyarankan tindakan medis yang lebih efektif.Pintu terbuka. Diego sudah menunggunya, hanya mengenakan celana bahan hitam, kemeja kasual yang mahal kini terbuka di bagian atas, memperlihatkan dada bidangnya. Kilatan matanya membara, tidak lagi sebiru es, melainkan sebiru api."Selamat datang, Nona Rivas," sambut Diego, suaranya dalam dan be







