Hallo .... Terima kasih readers yang sudah baca cerita aku sampai selesai.
FYI, untuk cerita Alsha, Alma, dan Dito akan dilanjutkan di novel baru berikutnya ya? Dengan judul "Skandal Calon Kakak Ipar" belum fix. Kira-kira Dito bakalan menikah sama Alsha atau Alma ya?Untuk saat ini mampir dulu di cerita keduaku yang berjudul "Diselingkuhi Tunangan Dinikahi CEO Tampan" nggak kalah seru kok. Hehehe.Dan ini ada cuplikan kisah Alsha setelah pulang dari luar negeri ya .... Cekidot pemirsah!***"Hai calon adik ipar. Tumben ngajakin ketemuan," ucap Alma kepada Marco—kekasih baru Alsha.Tiba-tiba Marco meminta Alma menemuinya di sebuah kafe. Kafe itu letaknya berada di dekat dengan apartemen milik Alsha yang dibelikan oleh Dito."Kamu apa kabar, mantan?" Bukannya menjawab pertanyaan Alma, Marco justru menggodanya dengan sebuah pertanyaan."Seperti yang kamu lihat. Aku sedang bad mood. Aku merasa jika Dito sengaja menjauhiku. Dia lebih betah kerja di luar kota tanpa menghubungiku sama sekali."Marco tergelak. Ia menertawakan mantan pacarnya yang terlihat sangat lemah. Padahal dulu Alma tidak pernah merasa segalau itu."Kamu menyebalkan, Marco. Katakan apa tujuanmu mengajakku ketemuan. Aku nggak mau berlama-lama di sini."Alma merajuk. Dulu ia selalu bersikap manja kepada Marco. Namun kebiasaan itu berakhir sejak Alma memutuskan untuk bertunangan dengan Dito."Aku ingin tidur dengan Alsha. Aku mau dia hamil anakku.""Kamu serius, Marco?" tanya Alma tidak percaya. Ia pikir Marco hanya ingin bermain-main dengan saudara kembarnya."Aku tidak mau putus dengan Alsha. Kecuali jika kamu mau kembali denganku.""Kamu gila, Marco. Saat ini aku mencintai Dito. Tidak mungkin kita kembali lagi seperti dulu."Marco memainkan gelas di depannya. Ia memang masih mencintai Alma. Karena ia lebih suka wanita yang agresif. Sedangkan Alsha selalu menolak saat Marco menemui gadis itu di luar negeri dan meminta untuk tinggal satu kamar.Kalau saja Alma lebih memilih dirinya daripada Dito, pasti dia akan sangat bahagia. Lelaki itu terus mendekati Alsha karena tahu jika kembaran Alma tersebut masih perawan."Baiklah, aku akan membantumu. Alsha akan pulang ke Indonesia. Aku akan memintanya untuk datang ke apartemenku. Besok kamu harus datang pukul delapan malam. Jangan sampai terlambat.""Thanks, Alma."Marco tidak tahu jika Alsha akan pulang. Gadis itu tidak memberitahukan tentang rencana kepulangannya.Alma segera pergi meninggalkan Marco. Ia mencoba menghubungi Dito meski panggilannya sering diabaikan."Kamu kenapa sih, Sayang. Tidak pernah membalas pesan-pesanku. Panggilanku juga selalu kamu abaikan. Kamu jahat sekali."Sudah berkali-kali Alma meminta Dito untuk segera menikahinya, tetapi lelaki itu selalu banyak alasan.***Keesokan harinya."Kak Alma, Kakak di mana? Aku sudah di bandara ini.""Alsha, kamu langsung saja ke apartemenku ya? Penting."Alma segera memutus sambungan teleponnya ia yakin jika Alsha akan datang ke apartemennya.Alma bersiap menghubungi Marco untuk menjalankan rencananya.***Sampai jumpa di novel berikutnya Kakak. Terima kasih."Ambil uang ini dan tinggalkan Raka Dewangga sekarang juga!" ucap mertua Nazwa lantang seraya meletakkan segenggam uang seratus ribuan di meja dekat Nazwa sedang duduk.Tubuh Nazwa terdiam kaku di tempatnya. Ia tidak pernah menyangka jika mama mertuanya datang tiba-tiba dan memintanya meninggalkan sang suami tercinta."Apa salah Nazwa, Ma?" tanya wanita itu dengan menahan air matanya agar tidak terjatuh.Suasana malam itu berubah seketika. Harusnya Nazwa tengah berbahagia karena hari itu adalah hari anniversary pernikahannya dengan Raka—sang suami yang ke delapan. Namun yang terjadi sungguh di luar dugaannya. Mama Raka yang biasanya tidak ikut campur dengan hubungan rumah tangganya, kini dengan berani mencoba mengusirnya.Wanita paruh baya itu berjalan memutari menantunya yang mulai beranjak dari tempatnya. Ia bisa melihat menantunya yang lemah tak berkutik di dekatnya."Keluarga Dewangga membutuhkan seorang cucu laki-laki yang akan menjadi penerus kekayaan keluarga ini. Dan kamu tida
Nazwa menggeleng pelan tanpa menyambut uluran tangan dari Erland."Tidak untuk saat ini."Wanita itu melanjutkan langkahnya kembali. Ia memilih pergi dari Erland yang masih berdiri tenang di tempatnya tanpa bergeser sedikitpun."Ternyata kamu tidak pernah berubah Nazwa. Untuk berteman denganmu saja ... begitu sulit."Erland pun segera masuk ke dalam mobil. Diam-diam ia ingin mengetahui di mana Nazwa tinggal. Ia juga merasa penasaran, apakah mantan sahabatnya itu sudah menikah atau belum.Sementara Nazwa segera masuk ke dalam taksi yang kebetulan lewat di jalan. Ia tidak merasa bersalah sama sekali telah mengabaikan sebuah pertolongan dari lelaki yang dulu pernah singgah di hatinya."Kita mau ke mana, Bu?" tanya sopir taksi yang belum mendapatkan perintah apapun dari penumpangnya."Jalan saja dulu, Pak." Nazwa mulai mencari tempat kos terdekat dari tempat itu melalui ponselnya. Ia harus mencari tempat tinggal untuk berteduh malam itu.Sopir taksi pun hanya menurut. Ia mulai melajukan t
"Iya, aku di sini Nazwa. Aku tahu bukan amplop coklat itu yang membuatmu menangis. Tapi ada hal lain bukan?" tebak Erland.Nazwa hanya diam sambil menatap ke arah Erland yang masih mengulurkan sebuah saputangan untuknya. Di dalam hati wanita itu membenarkan apa kata lelaki di sampingnya tersebut."Baiklah aku tidak perlu ikut campur. Pakailah saputangan ini. Jangan mengotori tanganmu dengan air mata kesedihan itu."Akhirnya Nazwa memilih untuk menerima saputangan pemberian dari Erland. Lalu segera mengusap air mata yang sudah membanjiri wajahnya."Terima kasih, Erland. Maaf, kemarin aku telah mengabaikan pertolongan darimu." Nazwa masih sibuk mengusap sisa-sisa air mata yang masih terjatuh di pipinya.Sesaat suasana menjadi hening. Keduanya terdiam di bawah pohon itu. Hingga suasana jalan raya mulai terlihat ramai. Jam makan siang para pekerja kantor telah tiba."Oh, ya. Apakah kamu sudah makan siang?" tanya Erland mencoba mencari topik pembicaraan yang tepat. Ia tidak ingin menyia-nyi
Nazwa masih menunggu sebuah kendaraan umum. Ia memilih naik sebuah angkot untuk menghemat biaya.Walau bagaimanapun tabungan Nazwa tidak begitu banyak. Uang sisa dari setiap belanja, selalu ia sisihkan. Sementara untuk kebutuhan lainnya, Raka selalu memenuhi dengan membelikan sendiri untuk istrinya.Beberapa saat kemudian, sebuah angkot lewat. Dengan semangat Nazwa naik ke mobil itu. Sepertinya ia merasa kekenyangan gara-gara makan terlalu banyak."Harusnya aku tidak makan berlebihan tadi. Sekarang jadi sakit perut."Tidak butuh waktu lama Nazwa sudah sampai di rumah kosnya. Saat memasuki daerah perumahan dengan banyaknya tempat kos-kosan itu, Nazwa sudah disapa oleh beberapa mahasiswi yang juga kos di tempat itu. Semuanya ramah-ramah, begitupun ibu pemilik kos-kosan.Wanita itu segera masuk ke dalam rumah. Kemudian menuju toilet untuk mengeluarkan kotoran yang sudah penuh di dalam perutnya."Ah ... lega rasanya," ucap Nazwa setelah keluar dari toilet seraya mengelus perutnya yang leb
"Bagaimana pekerjaanmu hari ini Nazwa? Apakah kamu bisa mengerjakannya dengan baik?" tanya lelaki itu pelan dan lembut sambil memperhatikan raut wajah Nazwa yang kebingungan."Erland?" lirih Nazwa tidak percaya jika yang didepannya adalah Erland Sanjaya yang sudah ia kenal sebelumnya.Semua karyawan di bagian marketing ikut melongo menyaksikan sang CEO menyambut karyawan baru dengan sangat spesial. Selama ini Pak Erland tidak pernah peduli dan perhatian seperti itu."Ya Tuhan. Padahal baru tadi siang dia mentraktir banyak makanan. Dan aku kabur begitu saja. Sekarang dia berada di depanku sebagai seorang CEO perusahaan yang aku tempati untuk bekerja," batin Nazwa. Dirinya sudah berasa mau pingsan."Kamu tidak perlu merasa takut. Jika ada yang tidak kamu pahami, kamu bisa bertanya langsung kepada saya. Have a nice today."Lelaki tampan itu tersenyum manis lalu pergi begitu saja. Meninggalkan Nazwa yang masih diam tak percaya.Langsung saja Mila mendekati Nazwa kembali. Dan berteriak his
"Kamu lucu sekali Nazwa. Siapa yang dengan berani memecat kamu maka saya akan memecatnya juga. Saya akan mengantarkan kamu sampai di ruangan kamu bekerja."Nazwa pun tak menghiraukan ucapan dari Erland. Ia memilih untuk segera beranjak dari tempat itu."Tunggu Nazwa! Keningmu berkeringat." Erland hendak menyapu keringat dingin di kening Nazwa, namun wanita itu menghindar dan bergerak mundur. Hingga tak sengaja kakinya menyentuh sesuatu."Nazwa, awas!" Dengan cepat Erland menopang tubuh Nazwa. Kedua mata mereka saling bertemu. Seakan detik waktu berhenti, mereka terdiam dengan pikirannya masing-masing."Kamu sangat cantik, Nazwa." Erland tidak bisa menahan ucapannya. Kalimat itu ke luar begitu saja dari mulutnya.Nazwa yang tersadar segera berdiri tegak. Melepaskan diri dari dekapan tangan Erland. "Sebaiknya saya segera kembali." Nazwa langsung berlari meninggalkan Erland yang masih terdiam kaku menatapnya."Ya, Tuhan. Seharusnya saya tidak mengatakannya."Nazwa telah berhasil kembal
Raka memberikan sebuah anggukan. Kemudian ikut masuk ke kamar setelah beberapa menit lamanya Nazwa belum juga menampakkan diri.Suami Nazwa tersebut menanti di ranjang kamar dengan tidak sabar. Ia sudah sangat merindukan sosok sang istri yang telah menemaninya hingga delapan tahun lamanya.Nazwa yang baru keluar dari kamar mandi merasa terkejut kala melihat sang suami tersenyum manis dan menghampirinya. Wanita itu masih terlihat canggung setelah kepergiannya malam itu. Meski dalam hati kecilnya pun sangat merindukan Raka."Mas, Raka? Mas mau mandi, juga?" tanya Nazwa salah tingkah. Sebenarnya bukan hal itu yang ingin ia tanyakan. Tentu saja Nazwa tahu jika Raka pasti sudah mandi saat memutuskan untuk menemuinya. apaTanpa menjawab pertanyaan dari sang istri, Raka semakin mendekat. "Aku sangat merindukanmu, Nazwa." Sekejap saja bibir Raka telah menempel di bibir Nazwa. "Nazwa belum pakai baju Mas," ucap Nazwa setelah berhasil menghentikan penyatuan bibir mereka."Untuk, apa?" Dengan c
"Maaf, ya Mas, kalau Nazwa masih kepikiran tentang ucapan Mama malam itu. Nazwa juga ingin memberikan seorang cucu untuk Mama. Tetapi Tuhan belum berkehendak."Raka menangkup kedua pipi sang istri agar menatapnya. "Cukup, sayang. Tidak perlu kamu memikirkan suatu hal yang membuatmu sakit hati. Yang penting kita sudah berusaha. Dan Mas janji, tidak akan menuntut hal itu kepadamu.""Makasih ya Mas," ucap Nazwa seraya memeluk Raka.Keduanya saling berpelukan cukup lama. Nazwa merasa lega karena Raka masih setia mendukungnya.Setelah Raka mampu menenangkan hati istrinya. Ia pun benar-benar menolong Nazwa untuk memasak dan menyiapkan sarapan di atas meja makan."Pelan-pelan saja, Mas. Tidak usah buru-buru." Nazwa memandangi suaminya sambil tersenyum. Raka terlihat sangat antusias berada di dapur. Padahal biasanya ia hanya duduk manis di kursi dan menunggu kedatangan Nazwa dengan semua masakannya.Pagi itu terasa sangat indah bagi Nazwa. Ia berangkat ke kantor diantarkan oleh sang suami. Dan