Share

Saputangan Tanda Cinta

"Iya, aku di sini Nazwa. Aku tahu bukan amplop coklat itu yang membuatmu menangis. Tapi ada hal lain bukan?" tebak Erland.

Nazwa hanya diam sambil menatap ke arah Erland yang masih mengulurkan sebuah saputangan untuknya. Di dalam hati wanita itu membenarkan apa kata lelaki di sampingnya tersebut.

"Baiklah aku tidak perlu ikut campur. Pakailah saputangan ini. Jangan mengotori tanganmu dengan air mata kesedihan itu."

Akhirnya Nazwa memilih untuk menerima saputangan pemberian dari Erland. Lalu segera mengusap air mata yang sudah membanjiri wajahnya.

"Terima kasih, Erland. Maaf, kemarin aku telah mengabaikan pertolongan darimu." Nazwa masih sibuk mengusap sisa-sisa air mata yang masih terjatuh di pipinya.

Sesaat suasana menjadi hening. Keduanya terdiam di bawah pohon itu. Hingga suasana jalan raya mulai terlihat ramai. Jam makan siang para pekerja kantor telah tiba.

"Oh, ya. Apakah kamu sudah makan siang?" tanya Erland mencoba mencari topik pembicaraan yang tepat. Ia tidak ingin menyia-nyiakan jam makan siangnya tanpa mengajak Nazwa bersamanya.

Wanita itu menggeleng pelan. Bibirnya seolah sudah lelah untuk berbicara setelah cukup lama menangis di bawah pohon yang sangat tinggi dan besar itu.

"Ikut aku! Kali ini aku akan mentraktir kamu." Dengan cepat Erland menarik tangan perempuan yang selalu ada di masa lalunya tersebut. Dan kini sepertinya Nazwa akan selalu ada di masa depannya juga. Dulu Erland yang selalu minta traktir kepada Nazwa. Meski ia tahu uang saku wanita itu tidak lebih banyak darinya.

"Erland! Pelan-pelan," protes Nazwa. Meski begitu ia tetap mengikuti ke mana langkah kaki Erland akan membawanya.

Erland terlalu bersemangat untuk bisa menghabiskan waktu makan siang bersama Nazwa. Sehingga ia tidak mendengarkan kata-kata protes dari wanita itu.

Setelah tiba di sebuah restoran, lelaki tampan itu langsung memesan menu spesial. Ia memesan menu yang lengkap dan tak tanggung-tanggung hanya untuk Nazwa. Ia pikir Nazwa harus makan banyak agar tidak stress.

Erland melirik ke arah Nazwa. Ia bisa melihat mantan adik kelasnya itu yang sudah tampak tenang duduk berhadapan dengannya. Seulas senyuman manis terbit di bibirnya. Usahanya untuk membuat Nazwa tersenyum kali ini tidak boleh gagal.

Nazwa meletakkan saputangannya. Ia sudah tidak lagi menangis setelah merasakan kakinya yang lelah akibat berjalan cukup jauh bersama Erland. Bisa-bisanya lelaki itu tidak mengajaknya masuk ke dalam mobil.

"Erland sungguh tega," batin Nazwa merasa kesal.

Sementara Erland tidak terima saputangan pemberiannya diletakkan begitu saja di atas meja. Ia melayangkan sebuah protes kepada Nazwa.

"Simpanlah, saputangan itu. Aku tidak mau kau menghilangkannya."

Tanpa menjawab pertanyaan dari Erland, Nazwa mengambil kembali saputangan itu lalu membukanya. Wanita itu merasa penasaran dengan saputangan berwarna biru muda tersebut. Seolah ia sangat mengenalinya.

"Saputangan ini?" Nazwa tampak terkejut. Ternyata dugaannya tidak meleset.

Saputangan itu adalah saputangan pemberian Nazwa untuk Erland sebagai kenang-kenangan saat perpisahan mereka di masa SMA. Lelaki tampan itu merupakan kakak kelas Nazwa. Otomatis dia lulus sekolah terlebih dahulu.

Nazwa sengaja membuat saputangan itu sendiri. Menghiasinya dengan bunga-bunga kecil dan gambar hati pada bagian sudutnya. Wanita itu juga menambahkan huruf inisial N dan E.

Sungguh ia sangat malu jika mengingat masa itu. Ia tidak ingin berpisah dengan Erland meskipun statusnya hanya sebagai seorang sahabat.

"Ia menemaniku setiap waktu. Sejak saat itu. Apakah kamu percaya?" tanya Erland sambil melirik ke arah saputangannya. Sebuah senyuman terbit di bibirnya tanpa diminta.

Nazwa menaikkan sebelah alisnya. Tentu ia tidak percaya dengan perkataan Erland Sanjaya. Meski kenyataannya saputangan itu masih terlihat terawat dan harum baunya.

Sesaat kemudian pesanan Erland datang. Semua makanan sudah siap tersedia di atas meja hingga meja itu penuh oleh bermacam-macam jenis makanan.

"Erland, kamu memesan makanan banyak sekali." Nazwa sampai geleng-geleng kepala. Mana mungkin mereka yang hanya berdua bisa menghabiskan makanan sebanyak itu.

"Em, tentu saja. Spesial for you."

Erland sengaja menghentikan ucapannya. Memperhatikan raut wajah Nazwa yang mulai bersemu merah.

"Okey, sebaiknya kita segera menikmati makanan ini. Tidak baik jika membiarkannya terlalu dingin."

Dengan sebuah kecanggungan wanita itu mengangguk pelan. Jantungnya berdetak lebih kencang. Ia sudah lupa atas pertanyaan Erland tentang saputangan beberapa menit yang lalu.

Beberapa menit telah berlalu. Nazwa dan Erland makan siang dengan suasana hening. Keduanya tidak saling berbicara sama sekali.

Setelah merasa cukup kenyang, Nazwa membersihkan mulutnya dengan sebuah tisu. Ia jadi teringat akan saputangan yang diletakkannya begitu saja di sampingnya.

Nazwa melipat kembali saputangan itu. Lalu memasukkan saputangan itu ke dalam tasnya. Entah mengapa sebuah kalimat lolos begitu saja dari bibir tipisnya.

"Konon katanya, saputangan itu tanda cinta seorang lelaki kepada seorang perempuan. Begitupun sebaliknya," ucap Nazwa sambil tersenyum mengejek kepada Erland.

Erland meletakkan sendoknya. Ia tersenyum simpul sambil melirik ke arah Nazwa. "Apakah saat itu kau menyukaiku? Sehingga memberikan saputangan itu kepadaku," selidik Erland.

Kali ini ia tak ingin lagi menyia-nyiakan kesempatan. Dulu ia sangat pengecut. Sehingga tidak pernah memiliki keberanian untuk mengungkapkan rasa cintanya kepada Nazwa.

Mendengar pertanyaan dari Erland, Nazwa terbatuk-batuk. Ucapannya menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Padahal niatnya hanya ingin menggoda Erland.

"Nazwa, kau baik-baik saja 'kan?" Erland langsung memberikan segelas minuman kepada wanita itu. "Maafkan, aku. Aku hanya bercanda."

Nazwa segera meminum air putih pemberian Erland. Setelah itu ia menghirup nafas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan.

"Kau tidak salah Erland. Mengapa harus meminta maaf?" batin Nazwa.

Wanita itu merasa bersalah telah membuat Erland mengungkit kembali masa lalu mereka. Ia tidak pernah tahu jika di dalam hati Erland justru merasa bahagia.

"Jadi, bagaimana dengan pertanyaanku yang kemarin?" Ucapan dari Erland sukses membuat lamunan Nazwa terhenti.

"Pertanyaan? Pertanyaan apa, Erland?" ujar Nazwa yang tidak paham maksud kalimat dari Erland.

Untuk kesekian kalinya Erland harus mencari cara agar Nazwa mau berteman dengannya. Lelaki tampan itu mengulurkan tangannya kembali. "Maukah kau bersahabat lagi, denganku?"

Erland terlihat memohon. Ia ingin menyambung jalinan persahabatan yang sempat terputus. Lelaki itu tidak ingin berpisah dengan Nazwa seperti beberapa tahun yang lalu.

Dengan sebuah senyuman tipis, Nazwa melihat ke arah tangan Erland. Seolah ia tak ingin mengulang masa lalu yang hampir membuatnya putus asa kala itu.

Bagaimana tidak, ia yang mulai menaruh hati kepada Erland tiba-tiba ditinggalkan jauh ke luar negri untuk melanjutkan pendidikannya. Dan semenjak saat itu Erland tidak pernah memberi kabar sama sekali.

Terkadang memang tindakan tidak selaras dengan otak. Nazwa dengan santai menyambut uluran tangan dari Erland. Padahal hatinya mengatakan tidak.

"Hanya berteman, saja! Tidak lebih."

Lalu Nazwa melihat jam di tangannya. Ia ingin segera pulang karena sudah merasa sangat lelah.

"Maaf, Erland. Aku harus segera pergi. Terima kasih untuk traktirannya."

Nazwa berjalan pelan meninggalkan Erland seorang diri. Ia melupakan amplop coklat yang dibawanya tadi.

Karena waktu makan siang pun sudah berlalu begitu lama, Erland juga harus kembali ke kantornya. Ia ada jadwal pertemuan dengan seseorang. Dengan berat hati Erland tidak bisa mengantarkan Nazwa untuk pulang.

Erland tersenyum kala melihat amplop coklat milik Nazwa yang tertinggal. "Ini akan menjadi sebuah kesempatan yang bagus," lirihnya.

Beberapa detik kemudian, lelaki itu menerima sebuah panggilan telepon. Dengan wajah yang tenang Erland meraih ponselnya.

"Bagus! Aku akan segera ke sana," ucap Erland dari balik teleponnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status