공유

BAB 60

작가: Rayna Velyse
last update 최신 업데이트: 2025-02-02 22:33:54

Damien tidak bisa menghilangkan rasa khawatirnya. Sejak percakapan mereka, pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan buruk. Kekeras kepalaan adalah sifat turun-temurun keluarga Silvercrest, dan Elian jelas tidak terkecuali. Ia tahu betul bahwa adiknya tidak akan tinggal diam meski sudah diperingatkan berkali-kali. Dan itu membuatnya takut.

Selama ini, Damien berusaha keras untuk tetap berada di sisi Elian, melindunginya dari ancaman yang tidak terlihat dan mencegahnya mengambil langkah gegabah. Namun, ia tahu bahwa dirinya tidak bisa selalu ada di sana. Penelitiannya harus segera diselesaikan, dan itu berarti ia harus meninggalkan Elian untuk sementara waktu. Meski begitu, ada kegelisahan yang terus menghantuinya ketakutan bahwa begitu ia berpaling, Elian akan melakukan sesuatu yang berbahaya.

Ia menghela napas berat. Elian bukan lagi anak kecil, dan meskipun Damien ingin selalu melindunginya, ada batasan yang tidak bisa ia lewati. Yang bisa ia lakukan hany
이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요
잠긴 챕터

관련 챕터

  • Sisa Takdir   BAB 61

    Damien masuk ke kamar dengan langkah berat, bahunya sedikit tegang. Napasnya terdengar lebih berat dari biasanya, seolah menahan sesuatu yang sulit diungkapkan. Matanya menatap lurus ke depan, tapi sesekali alisnya bertaut, menandakan pikirannya yang dipenuhi kecemasan. Di tangannya tergenggam sebuah surat berwarna emas, berlambang matahari yang bersinar di tengah gulungan lilin merah. Ia berdiri di ambang pintu sejenak sebelum melangkah lebih dekat dan duduk di tepi ranjang Elian. Elian, yang sedang membaca buku di mejanya, menoleh dan mengangkat alis melihat ekspresi serius kakaknya. "Ada apa, Kak?" Damien menyerahkan surat itu kepadanya tanpa berkata-kata selama beberapa detik. Lalu, ia menghela napas lagi dan berkata, "Entah apa yang sedang terjadi. Biasanya, jika seorang pangeran berulang tahun, setiap keluarga bangsawan hanya perlu mengirim satu perwakilan untuk hadir. Tapi kali ini... Pangeran Ketiga malah mengundang semua bangsawan muda tanpa terkecuali."

    최신 업데이트 : 2025-02-03
  • Sisa Takdir   BAB 62

    Dua hari berlalu dengan cepat. Di pagi yang masih diselimuti kabut tipis, suara derap kuda menggema di halaman Akademi Eldoria. Ronan turun dari kudanya dengan gerakan anggun, mantel panjangnya berkibar tertiup angin saat ia melangkah menuju bangunan utama. Begitu tiba di depan kamar adik-adiknya, Ronan mengetuk pintu dua kali sebelum membukanya. “Elian, Damien,” panggilnya. Damien, yang sedang merapikan gulungan kertas di mejanya, menoleh. “Kau akhirnya datang.” Elian, yang tengah duduk di sofa dengan secangkir teh, hanya melirik sekilas sebelum kembali menyesap minumannya. Ronan menaruh sebuah kotak panjang di atas meja, membuka tutupnya dengan hati-hati. Di dalamnya terdapat dua set pakaian resmi yang megah namun tetap mencerminkan keanggunan keluarga mereka. Jubah biru tua yang dihiasi bordiran perak di tepinya, serta mantel hitam yang memberikan kesan gagah. “Aku membawakan pakaian resmi untuk kalian,” kata Ronan. “Bes

    최신 업데이트 : 2025-02-04
  • Sisa Takdir   BAB 63

    Elian, Damien, dan Ronan melangkah masuk ke koridor utama istana, mengikuti jejak pelayan-pelayan yang sibuk berlalu-lalang. Cahaya lampu kristal yang bergelantungan di langit-langit memancarkan kilauan keemasan, memantulkan bayangan tamu-tamu yang sudah lebih dulu datang. Suasana pesta begitu megah dengan deretan meja panjang yang dipenuhi hidangan lezat serta tumpukan hadiah yang menggunung di sudut ruangan. Dengan penuh wibawa, Ronan memimpin langkah mereka menuju pintu aula utama. Begitu tiba di ambang pintu, ia menyerahkan kartu undangan kepada penjaga yang berjaga di sana. Suara baritonnya terdengar tegas namun sopan, menandakan kedatangan mereka. “Perwakilan keluarga Silvercrest, Ronan Silvercrest, Damien Silvercrest dan Elian Silvercrest telah tiba.” Seruan penjaga itu menggema di seluruh aula, menarik perhatian para tamu yang sedang berbincang dan menikmati anggur mereka. Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan, hanya diiringi oleh gemerincing

    최신 업데이트 : 2025-02-05
  • Sisa Takdir   BAB 64

    Pesta malam itu berjalan dengan lancar. Lampu-lampu kristal yang menggantung indah di langit-langit ruang utama memancarkan cahaya lembut, sementara suara musik yang dimainkan oleh orkestra menciptakan suasana elegan yang mengisi setiap sudut ruangan. Para tamu, dengan pakaian mewah dan raut wajah penuh kegembiraan, berbincang ringan dan menikmati hidangan lezat yang disajikan. Namun di balik kemewahan dan kebahagiaan yang tampak, ada banyak ketegangan yang tersembunyi, dan Elian merasa semakin terperangkap di dalamnya. Pangeran Caelum, Pangeran Ketiga yang menjadi pusat perhatian malam itu, akhirnya turun dari singgasana tinggi yang selama ini ia tempati. Dengan langkah elegan, ia mulai mendekati kelompok bangsawan yang tengah berbincang. Senyum penuh kepercayaan diri terpancar di wajahnya, menarik perhatian banyak orang, terutama para gadis muda yang berusaha mendekati sang pangeran. Mereka berdiri dengan malu-malu, namun terlihat jelas bahwa niat mereka hanya satu untuk

    최신 업데이트 : 2025-02-06
  • Sisa Takdir   BAB 65

    Alunan musik menggema di ruangan pesta, memenuhi udara dengan nada yang merdu. Cahaya lilin dan lampu kristal berpadu sempurna, menciptakan suasana megah yang memanjakan mata. Para bangsawan berbincang, tertawa, dan bersulang, merayakan ulang tahun Pangeran Ketiga dengan penuh suka cita. Di tengah keramaian, Adipati Vaught, pemimpin wilayah barat, melangkah dengan percaya diri ke arah Elian dan Damien. Senyum khasnya menghiasi wajahnya yang berwibawa, sementara di tangannya tergenggam dua gelas wine berwarna merah rubi yang menggoda. “Apakah Anda berdua menikmati pestanya, Tuan Muda Silvercrest?” tanyanya sambil menyodorkan gelas-gelas tersebut. Elian dan Damien menunduk hormat sebelum menerima gelas masing-masing. “Selamat malam, Tuan Vaught. Menyenangkan dapat berjumpa dengan Anda,” ujar Damien dengan sopan. Adipati Vaught tertawa ringan. “Aku melihat kalian berdua hanya berdiri di sini sambil menikmati camilan. Kuharap kalian juga mencicipi

    최신 업데이트 : 2025-02-07
  • Sisa Takdir   BAB 66

    Angin malam masih berembus lembut ketika Damien membawa Elian kembali ke kamar mereka di istana. Wajah adiknya yang merah karena alkohol membuatnya menghela napas panjang. Meski sudah berulang kali memperingatkan Elian untuk tidak minum, anak itu tetap saja mengabaikannya. "Kau ini benar-benar merepotkan," gumam Damien sembari membaringkan Elian di tempat tidur. Damien merebahkan tubuh Elian dengan hati-hati. Wajah adiknya terlihat damai, tetapi alisnya sesekali berkerut, seolah sedang memimpikan sesuatu yang buruk. Tidak lama, bibir Elian bergerak, bergumam dengan suara pelan, "Jangan ambil mereka lagi dariku..." Damien yang tengah duduk di sampingnya menoleh, mendekatkan wajahnya ke arah Elian. "Apa maksudmu?" bisiknya pelan, namun tak ada jawaban selain desahan napas yang teratur. "Apa kau bermimpi buruk?" lanjutnya sambil bersandar di kursi. "Seharusnya kau lebih takut membayangkan hari esok. Bagaimana kau akan bertemu dengan Pangeran Ketiga setelah

    최신 업데이트 : 2025-02-08
  • Sisa Takdir   BAB 67

    Elian menatap bayangannya di cermin dengan wajah penuh kecemasan. Pakaian yang dikenakannya rapi seperti biasanya, tetapi ketegangan di matanya tidak bisa disembunyikan. Ia menarik napas dalam-dalam, berharap itu bisa meredakan kegelisahannya. Namun, sekeras apa pun ia mencoba, bayangan samar dari ingatan semalam terus menghantui pikirannya. Pangeran Ketiga tertawa. Kenapa? Apa yang telah ia lakukan? Ia mengusap wajahnya dengan frustasi. Tidak peduli seberapa keras ia berusaha mengingat, hanya potongan-potongan kecil yang muncul cahaya temaram, suara tawa rendah, dan perasaan canggung yang luar biasa. Semakin ia mencoba mengingat, semakin kuat rasa takutnya. Apa dia telah mengatakan sesuatu yang tidak sopan? Atau lebih buruk, melakukan sesuatu yang tidak pantas? “Elian, kau sudah siap?” Suara Damien membuatnya tersentak. Ia menoleh dan melihat kakaknya berdiri di ambang pintu dengan ekspresi santai. Di belakangnya, Ronan menyeringai, tampak menikmati si

    최신 업데이트 : 2025-02-09
  • Sisa Takdir   BAB 68

    Elian tidak bisa menikmati sarapannya. Meskipun berbagai hidangan lezat tersaji di hadapannya, setiap suapan terasa hambar. Wajahnya masih terasa panas, dan ia terus menunduk, berusaha menghindari tatapan Pangeran Ketiga yang jelas-jelas masih menikmati situasi ini. Ronan yang duduk di sebelahnya tampak menikmati makanannya tanpa beban, tetapi sesekali ia melirik Elian dengan senyum geli yang sama sekali tidak membantu. Sementara itu, Damien hanya menghela napas pelan, meski ada kilatan hiburan di matanya. "Kau tidak makan, Elian?" Suara Pangeran Ketiga membuatnya tersentak. “Apa kau perlu aku menyuapimu juga?” goda Pangeran Caelum, suaranya terdengar begitu santai, seolah benar-benar mempertimbangkan tawarannya. Telinga Elian terasa panas, dan ia merasakan tatapan orang-orang di meja makan seakan menekan tubuhnya. Jari-jarinya menggenggam garpu erat, mencoba mengabaikan detak jantungnya yang berdebar tak wajar. Apa orang ini tidak punya malu?

    최신 업데이트 : 2025-02-10

최신 챕터

  • Sisa Takdir   BAB 148

    Petir menggelegar di kejauhan. Cahaya putih kebiruan itu menerangi gua selama satu detik sebelum semuanya kembali tertelan hitam. Di luar, badai belum juga mereda. Air terus mengalir deras dari tebing, menabrak bebatuan dan menciptakan denting yang keras dan kacau. Namun di dalam gua, keheningan baru mulai terbentuk. Elian terlelap di pelukan Caine, napasnya mulai tenang meski masih sesekali terisak pelan dalam tidur. Tubuhnya tidak lagi gemetar seperti tadi, dan suhu tubuhnya mulai menghangat. Entah karena pelukan Caine atau karena rasa aman yang perlahan menyusup kembali ke dalam hatinya. Caine mengusap rambut Elian dengan lembut. Ia tak bergerak dari posisi itu selama berjam-jam. Bahunya kaku, punggungnya sakit karena duduk bersandar pada batu tanpa alas yang layak, tapi ia tak mengeluh. Rasa lelahnya tak sebanding dengan penderitaan yang baru saja dilalui Elian. Ia hanya bisa menjaga. Menjaga, hingga seseorang datang… atau hingga pagi tiba.

  • Sisa Takdir   BAB 147

    Langkah-langkah di luar gua perlahan menjauh, menyisakan suara gemuruh hujan yang kembali mendominasi. Caine mematung dalam diam, jantungnya masih berdetak cepat, menggema di telinga seperti genderang perang. Ia menunggu. Lima detik. Sepuluh detik. Tiga puluh detik... Namun tak ada suara lagi. Tak ada cahaya lentera. Tak ada teriakan. Hanya suara air yang menetes dari dinding gua, dan desir angin dingin yang membawa aroma basah dan tanah. Beberapa saat kemudian, seekor rusa kecil berlari melintas di depan gua, cipratan air dari tapaknya menyebar liar di tanah berlumpur. Hanya rusa. Hanya hewan kecil yang tersesat. Caine menghela napas panjang, perlahan. Napas yang menahan segalanya: rasa waspada, rasa takut, dan sedikit harapan. Ia memejamkan mata sejenak, lalu menatap langit kelabu di mulut gua yang mulai semakin menghitam. Badai itu belum usai. Hujan deras terus mengguyur, menciptakan aliran kecil di lantai gua. Air mulai merembes

  • Sisa Takdir   BAB 146

    Hujan di luar menggila. Gemuruh air memukul tanah dengan keras, dan langit, yang sejak tadi mendung, kini sepenuhnya kelam. Malam datang lebih cepat daripada biasanya, seolah badai membawa kegelapan bersamanya. Di dalam gua kecil itu, Caine dan Elian hanya bisa mengandalkan kehangatan tubuh masing-masing untuk melawan dingin yang menembus sampai ke tulang. Elian sudah mulai tenang. Nafasnya pelan dan teratur, meskipun sesekali terdengar sedikit berat. Ia kembali tertidur, wajahnya lebih damai dibandingkan sebelumnya. Caine perlahan menyentuh dahi tuannya, telapak tangannya berhati-hati menilai suhu tubuh yang lemah itu. Hangat. Tapi tidak panas. Tidak ada demam. Caine menghela napas lega, merasakan beban berat sedikit berkurang dari dadanya. Dalam kondisi seperti ini, satu masalah kecil saja seperti demam bisa berakibat fatal. Namun kelegaannya tidak bertahan lama. Saat menurunkan tangannya, matanya menangkap warna merah yang samar di celana E

  • Sisa Takdir   BAB 145

    Hujan belum turun, tapi aroma tanah basah sudah memenuhi udara malam. Caine memandang tubuh Elian yang tergeletak di pelukannya terluka, lemah, sekarat. Setiap tarikan napas pemuda itu terdengar berat, seakan dunia terlalu kejam untuk membiarkannya bernapas lebih lama. Caine menahan napas saat merasakan betapa ringan tubuh Elian. ‘Bagaimana mungkin seseorang yang begitu kuat di dalam, terlihat begitu rapuh dari luar?’ Ada darah di mana-mana mengalir dari luka di pahanya, dari lebam di rusuknya, dari sayatan kecil yang berserakan di seluruh tubuhnya. Caine tahu dia tak bisa diam saja. Kalau dibiarkan, Elian akan mati malam ini. Dengan gerakan cekatan yang bersembunyi di balik tangan yang gemetar, Caine membaringkan Elian di atas tanah kering, dekat api kecil yang ia buat dari ranting basah. Ia mengeluarkan kantung air dan beberapa potong kain bersih seadanya. Jari-jarinya bergerak cepat, namun pikirannya berantakan. ‘Aku gagal...’ Rasa bersalah

  • Sisa Takdir   BAB 144

    Lorong batu itu seperti mulut naga gelap, sempit, dan seolah menghirup seluruh udara dari paru-paru Elian. Setiap langkahnya menggema pelan, seakan mengumumkan keberadaannya di tengah kekacauan yang baru saja meledak di belakang. Napasnya kasar, tubuhnya berguncang dengan setiap gerakan, tapi ia tidak berhenti. Tidak bisa. Cahaya api dari ruang tahanan masih menari di dinding-dinding lorong, menciptakan bayangan liar yang bergerak bersamaan dengan langkahnya. Elian menekan dirinya ke dinding saat mendengar teriakan beberapa penjaga berusaha mengendalikan api, yang lain mulai mencari dirinya. Dia harus lebih cepat. Tangan kirinya yang bebas menggenggam tongkat kayu yang tadi ia rebut, jemarinya yang berdarah nyaris kehilangan kekuatan untuk memegangnya dengan erat. Tapi Elian tahu, bahkan tongkat sederhana ini adalah perbedaan antara hidup dan mati. Lorong itu bercabang. Tanpa waktu untuk berpikir panjang, ia memilih jalur kiri lebih gelap, leb

  • Sisa Takdir   BAB 143

    Denyut pelan di pelipis Elian terasa seperti ketukan genderang perang yang hampir tak terdengar, tapi cukup untuk membangunkannya dari tepi kehancuran. Setiap tarikan napas terasa seperti menghirup pisau tumpul, menggores bagian dalam paru-parunya. Namun di balik rasa sakit itu, ada kesadaran yang perlahan-lahan mengeras kesadaran bahwa waktu sedang habis. Ia menahan napas, mengerahkan sisa tenaga untuk tidak bergerak sembarangan. Telinganya masih berdengung, tapi ia bisa menangkap suara langkah menjauh, percakapan yang semakin memudar ke ujung ruangan. Mungkin mereka mengira ia sudah terlalu lemah untuk mendengar. Mungkin itu kesalahan pertama mereka. Dalam kegelapan yang berdenyut itu, Elian memaksa dirinya berpikir. Batu sihir. Energi hidup. Penyiksaan perlahan. Mereka ingin memerasnya hingga kering, meninggalkannya sebagai cangkang kosong. Tapi tidak. Ia tidak akan menyerahkan dirinya begitu saja. Perlahan, Elian mengerakkan jari-jarinya.

  • Sisa Takdir   BAB 142

    Keheningan menyeruak di ruangan itu seperti kabut dingin yang tak diundang. Sunyi bukan lagi jeda; ia berubah menjadi makhluk hidup, mengendap-endap dengan napas dingin, seolah mengintai setiap detak jantung sebagai mangsa. Menyusup ke setiap celah dinding batu yang lembab, merayap perlahan melalui retakan-retakan tua yang tak pernah disentuh cahaya. Ruangan itu luas, tapi tertutup. Dinding-dindingnya kokoh dari batu hitam yang memantulkan dingin ke udara. Lentera kuno bergoyang pelan di dinding sebelah kanan, nyalanya redup dan bergetar, seolah ketakutan terhadap suasana yang menyelimuti sekitarnya. Asap tipis mengepul dari dasar lentera, mengaduk aroma logam, darah, dan kelembapan yang terlalu lama terperangkap. Di dekat sudut ruangan, tubuh Elian bersandar lemah pada dinding yang basah. Napasnya pendek-pendek, seperti sedang berusaha tetap hidup meski paru-parunya menolak. Kepalanya tertunduk, rambut hitam yang berantakan menutupi sebagian wajahnya. Darah meng

  • Sisa Takdir   BAB 141

    Leandor duduk di sudut ruangan, diam, tubuhnya condong sedikit ke depan, tangan terkepal di atas lutut. Cahaya temaram dari obor di dinding memantulkan bayangan wajahnya yang masih muda, tapi penuh tekanan. Napasnya berat. Matanya menatap lantai batu seperti hendak menembusnya. Ia masih mencoba mengontrol emosi meski jelas gagal. ‘Sungguh mudah,’ pikir Elian, untuk membuat Leandor kehilangan kendali. Meskipun ia telah memasuki usia dewasa, cara berpikirnya masih sangat kanak-kanak. Ia meledak karena kata-kata, bukan karena alasan. Sebenarnya bukan Elian yang membuatnya marah. Leandor hanya iri dengan semua pencapaian kakak dan adiknya. Ia hidup di antara bayang-bayang. Bayang-bayang Kaelian yang sempurna, bayang-bayang Caelium yang menawan. Dan mungkin, pikir Elian lagi, tawaran Azrael terlalu menggiurkan baginya. Kekuasaan, pengakuan, kesempatan untuk akhirnya menjadi ‘yang paling menonjol’ dalam hidupnya. Siapa yang bisa menolak? D

  • Sisa Takdir   BAB 140

    Kain hitam masih membalut mata Elian, menyekat pandangannya dari dunia luar. Tak ada cahaya, tak ada bentuk. Hanya suara langkah kaki, derit ranting yang patah, dan deru napas yang berat. Mereka telah berjalan entah berapa lama. Tubuh Elian lunglai, setiap langkah seperti menyeret tulangnya sendiri. Kaki-kakinya becek oleh lumpur, kadang tenggelam dalam genangan air dangkal yang terasa dingin menembus sepatu. Angin menyapu wajahnya sesekali, membawa aroma tanah basah dan dedaunan membusuk. Itu satu-satunya petunjuk yang bisa ia rasakan aroma dan tekstur dunia yang masih bisa disentuhnya, saat matanya tertutup rapat oleh kain kasar. Langkah-langkah itu berhenti. Sebuah tangan kasar menarik paksa lengannya, menyeret tubuhnya menuju suatu tempat. Tidak ada kata, hanya gemeretak sepatu dan suara percikan air dari bawah mereka. Semakin jauh mereka masuk, semakin pekat bau tanah lembab menusuk hidungnya. Bau logam tua juga mulai terasa sam

좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status