Share

Bab VI

Author: Sann dyy
last update Last Updated: 2025-10-22 11:27:17

Ryan mengunci pintu begitu Dania melangkah masuk ke dalam kamar. Suasana yang tadinya hening mendadak berubah panas dan menegangkan. Ia berjalan mendekat perlahan, langkahnya berat tapi pasti.

Dania mundur, satu langkah demi satu langkah, sampai punggungnya menabrak dinding. Ryan menghentikan jarak di antara mereka—mendekat cukup untuk membuat napasnya terasa di wajah Dania.

“Sejak kapan kamu menguping?” tanyanya tajam, suara rendahnya menggema di ruangan yang tertutup rapat. Rahangnya mengeras, urat di pelipisnya menonjol menahan amarah.

Berbeda dari biasanya, kali ini Dania tidak gentar. Ia menatap balik mata Ryan.

“Sejak Byanca mempertanyakan kenapa kamu tidak menceraikanku.”

Hening.

Beberapa detik berlalu, hanya terdengar napas keduanya yang berat.

“Byanca benar,” lanjut Dania lirih tapi tegas. “Mari kita bercerai saja Ryan.”

Kalimat itu jatuh seperti batu yang menghantam dada Ryan. Beraninya Dania. Ia mengepalkan tangan kuat-kuat, lalu memukul dinding tepat di belakang kepala Dania. Suaranya memecah udara.

“Aku sudah bilang,” desis Ryan, menahan emosi. “Itu cuma bisa terjadi dalam mimpi.” Ia mengangkat dagu Dania agar mendongak menatapnya. “Hanya mimpi, Dania.”

Dania memalingkan wajahnya, menahan amarah dan perih yang berbaur jadi satu. Ia muak—muak karena tak pernah punya pilihan. Ia juga punya mimpi untuk hidup bebas di luar sana, bukan terus terkurung dalam rumah tangga yang memilukan ini.

Namun Ryan menarik wajahnya kembali, tatapannya gelap dan tajam. Ia menatap dalam, lalu menunduk, mencium bibir Dania dengan kasar.

Dania terkejut. Ia berusaha melepaskan diri, memukul dada Ryan berulang kali. “Lepas!” serunya, lalu mendorong tubuh Ryan dengan sekuat tenaga. Ia berhasil terlepas dan berteriak, “Aku tidak sudi! Itu bekas Byanca!”

Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke dalam kamar mandi—yang ada di dalam kamar.

Ia memutar keran air, membasahi wajah dan bibirnya yang terasa kotor. Ia mencuci mulutnya dengan gerakan tergesa dan kasar, seolah ingin menghapus rasa jijik yang menempel.

Air matanya ikut mengalir bersama air di wastafel. Bagaimana bisa Ryan melakukan itu padanya setelah bersama Byanca? Dania merasa harga dirinya tidak ada di mata Ryan.

Tiba-tiba—

Pyar

Suara benda pecah memecah kesunyian. Dania terlonjak. Ia mematikan keran dan buru-buru keluar dari kamar mandi

Langkahnya terhenti. Lantai kamar dipenuhi serpihan vas bunga yang hancur berserakan. Airnya mengalir pelan, membentuk genangan kecil di bawah cahaya lampu.

Dania menatap sekeliling.

“Ryan?”panggilnya pelan. Tapi tak ada jawaban.

Hanya pintu kamar yang kini terbuka lebar, bergoyang perlahan tertiup angin dari koridor.

Kosong.

Ryan sudah pergi.

Dania menangkup wajahnya, gusar. Napasnya berat, seolah udara di dalam kamar menolak untuk masuk ke paru-parunya. Perlahan, ia melangkah keluar dan menyebarangi koridor menuju sebuah ruangan di seberang—ruangan yang selama ini dianggap suci oleh seluruh penghuni rumah: kamar Ryan dan Anna.

Pintu itu jarang sekali disentuh. Tak seorang pun berani memutarnya tanpa izin. Tapi kali ini, Dania melakukannya tanpa ragu. Kenop pintu berputar pelan, mengeluarkan suara klik lembut yang justru terdengar bagaikan dentuman keras di keheningan siang.

Begitu masuk, aroma lembut lavender menyambutnya—aroma khas yang selalu dikaitkan dengan dengan Anna. Ruangan itu bergaya klasik Amerika, bersih dan teratur. Tirai putih menjuntai lembut di sisi jendela, membiarkan cahaya senja merembes masuk, menimpa seprai putih yang tampak nyaris tak tersentuh.

Ryan tidak pernah mengganti apa pun di sini. Semua tetap seperti dulu, seolah Anna masih hidup dan sewaktu-waktu akan kembali. Ia hanya mengizinkan kamar ini dibersihkan, tidak diubah.

Dania berjalan mendekat dan duduk di tepi ranjang. Ujung jarinya menyusuri permukaan meja kecil di sisi tempat tidur sebelum mengambil sebuah pigura yang berdiri di sana—foto pernikahan Ryan dan Anna. Dalam foto itu, Ryan tersenyum hangat, sementara Anna terlihat begitu tenang dan berkelas.

Dania menatap lama wajah Anna di dalam bingkai. Kemudian, dengan lembut ia mengusap permukaannya, seperti berusaha menghapus debu yang tidak ada. “An…” suaranya serak, hampir tak terdengar. “Kalau kamu masih ada, mungkin aku nggak akan berada di sini.”

Ia tersenyum getir.

“Kamar kamu bersih sekali, An. Ryan tak pernah bawa perempuan lain ke sini. Semua tetap sama, seperti kamu masih hidup.”

Napasnya tercekat, suaranya mulai bergetar. “Beda sama kamarku, An. Tempat itu kotor. Jadi wadah untuk amarah, untuk wanita-wanita yang datang silih berganti. Setiap sudutnya menyimpan luka. Dan sekarang… bahkan vas bunganya pun ikut hancur.”

Air mata mengalir perlahan di pipinya. Ia memeluk pigura itu erat, seolah mencari perlindungan dari wanita yang bahkan sudah tiada. Dalam diam, ia menyadari—cinta Ryan mungkin mati bersama Anna, dan yang tersisa hanyalah bayangan yang terus menghantui.

Bayangan masa lalu berkelabat di kepala Dania—memutar kembali lembaran masa putih birunya yang tak pernah benar-benar hilang dari ingatan.

Saat itu, ia baru saja menangis di halaman belakang sekolah. Sepedanya rusak parah karena ulah beberapa siswa—entah siapa, dan entah kenapa mereka tega. Rantai sepeda terlepas, roda bengkok, dan angin sore menertawakan kesedihannya.

Ia berdiri lama, memandangi sepedanya yang ringsek. Air mata menetes pelan di pipi. Ia bingung bagaimana bisa pulang sementara uang untuk naik angkot pulang, tidak ada.

Akhirnya, Dania memilih berjalan kaki. Rumahnya jauh—sekitar sepuluh kilometer dari sekolah. Tapi tak ada pilihan lain. Dengan tas berat berisi buku-buku dan seragam yang sudah basah oleh keringat, ia melangkah pelan di bawah terik matahari.

Langkahnya baru setengah jalan ketika sebuah mobil berhenti di sampingnya. Dari pintu tengah, keluar seorang gadis berambut panjang, rapi, dan berwajah teduh—Anna.

“Dania?” panggilnya, suaranya lembut tapi jelas.

Dania menoleh, terkejut. Ia tidak menyangka siswi sepopuler Anna bisa mengenal namanya.

“Kenapa kamu jalan kaki? Sepedamu mana?” tanya Anna.

Dania menunduk, bingung harus menjawab apa. “Rusak,” katanya pelan.

“Kalau begitu, ayo pulang sama aku,” ajak Anna tanpa pikir panjang. Ia meraih tangan Dania, menariknya lembut.

Dania buru-buru menggeleng. “Nggak usah, An. Aku nanti dijemput kok.” Bohong, tentu saja. Tapi ia terlalu malu untuk menerima bantuan.

Anna tersenyum. “Dania, ini sudah sore. Nanti kamu diculik, lho.” Nada suaranya lembut, tapi tegas. Ada ketulusan yang tak bisa dibantah. Akhirnya Dania mengangguk, dan masuk ke dalam mobil itu.

Sepanjang perjalanan, Dania lebih banyak diam, sibuk menatap ke luar jendela. Tapi Anna justru tampak senang—seperti menemukan sesuatu yang baru.

“Dania,” katanya tiba-tiba, “mulai sekarang kamu temanku, ya.”

Dania terkejut, tapi hanya mengangguk. Dalam hati ada perasaan hangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Sejak hari itu, Anna sering menhampirinya—di kantin, di taman sekolah, bahkan kadang di perpustakaan. Dania yang awalnya canggung perlahan terbiasa dengan kebaikan itu. Walau banyak yang mencibir, menuduhnya memanfaatkan Anna, ia tak peduli.

Dan Ryan…

Dania masih ingat, Ryan sering mengikuti mereka. Semua orang tahu, bahkan guru pun bisa melihat bahwa Ryan menyukai Anna. Dari cara Ryan memandang Anna bahkan dari cara ia memperlakukan Anna. Tapi Anna selalu bilang kalau mereka hanya berteman. “Aku baru boleh pacaran setelah lulus SMA,” katanya ringan.

Mereka sering menghabiskan waktu bertiga—Anna, Dania dan Ryan. Dania sangat senang dengan interaksi antara Anna dan Ryan. Dengan adanya Ryan, Anna terlindungi dari beberapa orang yang usil. Pertemanan mereka tak bertahan lama dikarenakan Dania harus pindah ke luar kota setelah mereka lulus.

Sahabat seperti Anna sangat sulit dicari. Dania tidak pernah melupakan setiap kebaikan Anna. Ia tak pernah berpikir bahwa suatu hari, masa lalu kecil itu akan menjadi beban besar dalam hidupnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sisi Gelap Sang Penguasa   Bab XCIII

    Tara tak membuang waktu sejak pertemuannya dengan Dandy. Dari restoran itu, langkahnya langsung berbelok ke rumah sakit.Di depan kamar perawatan Dania, ia mendapati Ryan duduk dengan bahu merosot. Tatapannya kosong, menembus dinding kaca seolah pikirannya berada di tempat lain. Tara menghela napas sejenak, menenangkan diri, sebelum menghampiri.“Pak,” sapanya pelan. “Saya sudah selesai bertemu dengan Dandy.”Ryan sontak mendongak. Sorot matanya tajam, meski jelas lelah. “Apa hasilnya?”Tara menyerahkan map di tangannya—ragu, seolah sadar betul apa arti isi di dalamnya.Ryan menerima map itu. Jarinya terasa dingin saat membuka lembar demi lembar, namun raut wajahnya justru semakin tenang. Terlalu tenang. Seolah badai sedang dikurung rapat di balik ketenangan itu.Nama itu tercetak jelas.Ema — staf pribadi Pak Danny.Ryan menutup map perlahan, lalu menegakkan punggungnya. “Ini

  • Sisi Gelap Sang Penguasa    Bab XCII

    Dunia Ryan seolah berhenti berputar. “Janin?” ulangnya pelan, nyaris tak bersuara.Dokter mengangguk pelan. “Masih sangat kecil. Perkiraan usia kandungan sekitar empat hingga lima minggu. Benturan dan stres berat memicu keguguran spontan.”Ryan terhuyung satu langkah ke belakang. Tangannya refleks menahan dinding lorong rumah sakit agar tidak jatuh. “Dania…” gumamnya. “Dia… hamil?” Kata itu terasa asing, sekaligus menghancurkan.Istrinya. Anaknya. Hilang—dalam satu hari yang sama.Bayangan Dania semalam terlintas jelas di kepalanya. Tawa kecilnya. Tatapan lembutnya. Candanya tentang “adik untuk Issa”.Dadanya sesak. Napasnya tercekat.Ryan menunduk, menekan wajahnya dengan kedua telapak tangan. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, ia kehilangan kendali sepenuhnya.“Pak Ryan,” suara dokter kembali terdengar, “secara fisik, masih ada risiko perdarahan lanjutan. Kami juga mengkhawatirkan kondisi psikologis pasien saat sa

  • Sisi Gelap Sang Penguasa   Bab XCII

    Dalam waktu yang hampir bersamaan, Dania tak melepaskan ponselnya sejak pagi. Layarnya terus menyala—notifikasi datang silih berganti, sebagian berisi pesan simpati, sebagian lagi hinaan tanpa wajah. Tangannya gemetar setiap kali membaca satu per satu.Sesekali ia meneguk air putih, lalu menangis lagi. Sejak Ryan pergi bekerja, Dania mengurung diri di kamar. Tirai tertutup rapat. Cahaya matahari hanya menyelinap tipis di sela-sela jendela, sama seperti harapannya hari itu—kecil dan rapuh.Ia tak peduli berapa kali pintu diketuk.Kadang suster Issa.Kadang ART.Semua diabaikan.Dania tak ingin siapa pun melihat dirinya dalam keadaan hancur. Lukanya cukup ia tanggung sendiri. Dunia hanya berhak melihat senyum palsunya—bukan kepedihan yang menggerogoti dada.Tak ada makanan yang masuk ke perutnya. Aneh, ia tak merasa lapar sama sekali. Yang ada hanya mual dan sesak, seolah tubuhnya ikut menolak semua yang terjadi hari i

  • Sisi Gelap Sang Penguasa   Bab XCI

    “Pak Ryan…” Suara Tara terdengar pelan namun tegas saat ia masuk ke ruang kerja Ryan. Ia menutup pintu dengan hati-hati, lalu menunduk sopan.Ryan mengangkat kepalanya dari tumpukan berkas di meja. Pena di tangannya berhenti bergerak. Sorot matanya tajam—kebiasaan lama setiap kali ada interupsi di tengah pekerjaannya. “Ada apa, Tara?”“Pak Suryo mengundang Bapak makan siang di salah satu restoran,” lapor Tara singkat, tapi nada suaranya mengisyaratkan ada sesuatu yang tak biasa.Ryan menyandarkan punggung ke kursinya. Alisnya sedikit berkerut. “Dalam agenda apa?”Tara ragu sesaat, menimbang kata-kata sebelum menjawab. “Ajudannya hanya menyampaikan bahwa Pak Suryo ingin membahas beberapa hal secara privat dengan Bapak. Tidak dijelaskan detailnya.”Ryan melirik jam di pergelangan tangannya, lalu menatap kembali layar laptop. Berita pagi ini, isu yang menyeret nama Dania dan Issa

  • Sisi Gelap Sang Penguasa   Bab XC

    Dania terbangun dari tidurnya ketika merasa seperti ada yang memperhatikan. Begitu perlahan ia membuka mata, wajah Ryan yang tersenyum sudah menatapnya dari jarak dekat.“Morning,” bisik Ryan, lalu mengecup keningnya singkat namun penuh rasa.“Morning, Ryan,” balas Dania hangat. Ia tersenyum, lalu mencium telapak tangan Ryan yang sejak tadi menyentuh pipinya.Ryan terkekeh kecil. “Kamu lelah?”“Sangat,” jawab Dania dengan tatapan sayu. “Kamu menggempurku berkali-kali.” Ia menggembungkan pipinya seperti anak kecil yang sedang mengeluh.Ryan mencubit pipinya gemas. “Mau lagi…” godanya.Sontak Dania melompat turun dari ranjang dan berlari ke kamar mandi. “Tidakk!” teriaknya sambil tertawa.Ryan ikut tertawa keras. “Ayolah, Sayang. Mumpung masih jam enam!”Bruk.Pintu kamar mandi ditutup cukup keras sebagai jawaban.Ryan tertawa semakin lepas, sampai sudut matanya berair. Sudah sangat lama—terlalu lama—ia tidak merasa

  • Sisi Gelap Sang Penguasa   Bab LXXXIX

    Ryan menggeleng mantap. Perlahan, ia berlutut di hadapan Dania. Dari saku jasnya, ia mengeluarkan sebuah cincin yang berkilau sederhana namun bermakna.“Dania,” ucapnya dengan suara penuh keyakinan, “meski ini terlambat, aku akhirnya sadar sepenuhnya. Aku mencintaimu. Bukan karena kewajiban, bukan karena keadaan—tapi karena kamu.”Ia menelan napas. “Maukah kamu menjadi istriku… selamanya?”Air mata Dania jatuh lebih deras, kali ini tanpa ia tahan. “Ya,” jawabnya sambil terisak. “Aku mau.”Ryan bangkit dan langsung memeluk Dania erat—namun lembut, seolah takut perasaan itu akan pecah jika terlalu kuat. Di pelukan itu, Dania merasa lega. Untuk pertama kalinya, cintanya tak lagi berjalan sendirian.Sementara Ryan… ia baru menyadari satu hal yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Bahkan bersama Anna, ia tak pernah jatuh sedalam ini.Ryan merenggangkan pelukan mer

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status