Share

Bab V

Author: Sann dyy
last update Huling Na-update: 2025-10-22 11:26:55

Terik mentari begitu menyengat, tapi langkah Dania tak boleh goyah. Ia berjalan menelusuri gang sempit, menyapa warga yang menunggu di pinggir jalan, sebelum akhirnya berhenti di depan rumah kecil berwarna kusam—tempat duka sedang bersemayam.

Ini merupakan kegiatan kedua setelah mengisi seminar tadi.

Hari itu, Dania didampingi oleh Kiki dan beberapa dinas terkait serta aparat setempat, membawa santunan dan sedikit perasaan hangat untuk menyalurkan nilai persaudaraan. Tak hanya berupa materi, tapi juga perhatian—hal yang sering kali jauh lebih dibutuhkan oleh hati yang sedang kehilangan.

Musibah yang menimpa keluarga itu sungguh memilukan. Seorang ibu kehilangan anaknya yang masih duduk di bangku sekolah. Sang anak ditemukan tewas setelah melompat dari lantai lima sekolahnya. Dugaan sementara, ia menjadi korban perundungan.

Dari informasi yang diterima Dania, anak itu adalah anak berkebutuhan khusus, ibunya berhasil membesarkannya hingga mampu beradaptasi seperti anak normal lainnya. Ia dikenal baik, rajin belajar, dan jarang marah. Entah tekanan seperti apa yang akhirnya membuatnya memilih jalan sekelam itu. Pihak kepolisian kini tengah mengusut penyebabnya.

Begitu Dania tiba di depan rumah duka, suara tangis pilu langsung menyambutnya. Ibu itu berlari memeluk Dania dengan gemetar, air matanya membasahi bahu Dania.

Dania membalas pelukan itu dengan lembut, menepuk punggung sang ibu, mencoba menyalurkan rasa aman yang tersisa di tengah kehilangan. Ia belum menjadi seorang ibu, tapi hatinya ikut hancur. Ia tahu, tidak ada duka yang lebih dalam daripada kehilangan anak.

“Ibu…” suara Dania lirih namun penuh ketulusan. Ia menggenggam erat tangan wanita di depannya yang gemetar hebat. “Saya turut berduka cita yang sedalam-dalamnya. Tidak ada kata yang bisa menghapus rasa sakit Ibu, tapi… percayalah, Ibu tidak sendirian.”

Tangisan sang ibu pecah. “Saya sudah berusaha, Bu… saya sudah berusaha sekuat mungkin buat anak saya,” suaranya bergetar di sela isak. “Dia anak yang baik, Bu… tapi mereka jahat… mereka semua jahat.”

Dania menunduk, menahan perih di dadanya. Air matanya hampir jatuh, tapi ia tahu di posisi ini, ia harus tetap tegar. Ia mengeratkan genggaman tangannya, seolah mencoba memindahkan sedikit kekuatan untuk sang ibu.

“Saya percaya, Ibu sudah jadi orang tua yang hebat,” ucap Dania pelan. “Kadang dunia memang terlalu kejam untuk anak-anak sebaik dia.”

Ia menatap sekeliling rumah foto anak itu tergantung di dinding—tersenyum manis dengan seragam sekolahnya.

Dania menarik napas dalam-dalam. “Saya akan bicara dengan pihak sekolah dan dinas Pendidikan. Tidak ada anak yang pantas mendapatkan perlakuan seperti itu,” katanya tegas namun tetap lembut. “Kita tidak bisa mengembalikannya, tapi kita  bisa mencegah anak lain mengalami hal yang sama.”

Sang ibu menatap Dania dengan mata sembab, lalu mengangguk pelan. “Terima kasih, Bu Dania… semoga Tuhan membalas kebaikan Ibu.”

Dania menggeleng, senyumnya getir. “Saya hanya ingin semua ibu di negeri ini bisa tidur tenang tanpa takut kehilangan anaknya,” ujarnya lirih.

Kiki yang berdiri di belakang, memperhatikan diam-diam. Ada kekaguman terselip dalam pandangannya. Di balik segala isu miring yang pernah ia dengar tentang Dania, hari ini ia melihat sosok perempuan yang benar-benar berempati—bukan hanya seorang istri walikota yang sedang menjalankan tugas.

***

“Dania, kamu nggak mau makan?” tanya Kiki setelah mereka masuk ke dalam mobil.

Jam sudah menunjukkan pukul dua siang, sudah lewat jam makan siang. Sejak pagi, dari acara seminar hingga kunjungan ke rumah duka, Dania belum benar-benar mengisi perutnya—hanya beberapa potong kue kecil yang sempat disentuh.

“Ah, kamu sama Pak Yanto juga belum makan, ya,” ujarnya dengan nada bersalah. “Kalau begitu antarkan saya pulang saja, Pak. Nanti kalian berdua cari makan di luar.” Dania mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya dan menyerahkan pada Kiki.

Ia memang belum berselera makan, hanya ingin pulang dan beristirahat sejenak. “Nanti jam tiga jemput saya lagi, ya,” katanya pada Pak Yanto sebelum turun dari mobil.

Begitu mobil berhenti di halaman rumah, Dania buru-buru melangkah masuk. Ia sudah tak sabar untuk mandi—setidaknya air bisa sedikit menenangkan letih yang menumpuk. Rumah terasa sepi seperti biasa. Setiap langkah di tangga terdengar menggema, menembus keheningan.

Sesampainya di lantai atas, matanya tertuju pada pintu kamar yang tertutup rapat. Ia merogoh kunci dari dalam tas, tapi tiba-tiba langkahnya terhenti.

“Ryan… kenapa kamu tidak menceraikan Dania?”

Dania terpaku. Suara itu... manja dan lembut—ia mengenalnya dengan baik. Itu suara Byanca—teman sekolah mereka juga. Ia menempelkan telinganya ke daun pintu, dada berdebar tak karuan.

Bagaimana bisa ia lupa, pagi tadi Ryan memang bilang bahwa Byanca akan datang menemaninya?

“Dania akan menjadi istriku seumur hidupku,” terdengar suara Ryan dari dalam kamar.

Dania menahan napas, jantungnya seperti diremas.

“Tapi, dia tidak bisa memuaskanmu,” ucap Byanca, lirih tapi tajam.

Terdengar helaan napas Ryan, begitu berat. “Byanca, itu bukan urusanmu.”

“Ryan,” suara Byanca kembali terdengar, kali ini lebih pelan namun menusuk, “Kalau dia bisa memuaskanmu, kamu nggak akan terus mencari wanita lain.”

Dania memejamkan mata. Setiap kata yang meluncur dari mulut Byanca terasa seperti pisau yang perlahan mengoyak hatinya. Benar. Bagaimana mungkin ia bisa memuaskan suaminya jika bahkan kesempatan pun tak pernah ada?

Ia menatap bayangan dirinya di gagang pintu, bertanya dalam hati—apakah aku memang tidak menarik sama sekali?

“Jangan bilang kalau kamu masih belum bisa melupakan Anna?” suara Byanca kembali terdengar, membuat tubuh Dania bergetar.

Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga—bukan saja karena cemburu, tapi juga kecewa. Ia  bisa menahan cemburu pada wanita lain, tapi tidak pada Anna. Karena ia tahu, Anna masih memiliki tempat istimewa di hati suaminya.

Dania meremas tangannya kuat-kuat, menelan kenyataan pahit yang selama ini berusaha ia abaikan.

Harusnya aku mundur saja, batinnya lirih.

“Bu Dania…”

Dania tersentak. Ia buru-buru mengusap air matanya dan berbalik.

“Loh, Bik.” Kejutnya ketika mendapati salah satu asisten rumah tangga berdiri di belakangnya.

“Ibu ngapain?” tanya sang asisten dengan nada heran—dan sedikit terlalu keras.

Dania panik. Suara itu bisa terdengar sampai ke dalam kamar. Ia buru-buru memberi isyarat agar sang asisten diam dan hendak menariknya menjauh.

Namun—

Klik

Pintu kamar terbuka. Jantung Dania seperti terhenti. Ia menutup matanya rapat, tak berani menoleh ke belakang. Tak siap melihat Ryan berubah menjadi singa kelaparan.

“Eh, ada Dania.” Suara Byanca terdengar ringan, tapi penuh ejekan. “Si cewek culun di zaman sekolah sekarang udah jadi istri walikota aja, Selamat, ya—udah berhasil menggantikan posisi Anna.”

Dania mengangkat wajahnya, mencibir tanpa suara. Perempuan ini sungguh tak tahu tempat. Menghinanya di rumahnya sendiri—dan di depan suaminya.

Ia memberi isyarat pada asistennya untuk pergi, lalu membalikkan badan ke hadapan Byanca. “Jaga ucapanmu, Byanca. Ini rumahku, dan kamu tidak punya hak menghina ku di sini.”

Byanca terkekeh pelan, lalu dengan sengaja bergelayut manja di lengan Ryan. “Betul begitu, Ryan?” tanyanya manja, menempelkan pipinya ke dada Ryan sambil menatap Dania dengan tatapan mengejek.

Ryan hanya berdiri diam. Pandangannya lurus ke arah Dania, tanpa emosi, tanpa pembelaan.

Sampai akhirnya, suaranya terdengar rendah tapi tegas.

“Byanca, ambil semua barangmu dan pulanglah.”

Nada suaranya tak bisa dibantah. Ia bahkan tidak menoleh ke arah Byanca. Tatapannya tetap tertuju pada Dania—datar, dingin, sulit ditebak.

Byanca mendengus kesal, lalu melangkah masuk ke kamar untuk mengambil tasnya. Saat melewati Dania, langkahnya melambat.

“Dania,” bisiknya agar Ryan tak mendengar. “Cepat atau lambat, aku akan menggantikan posisimu.”

Dania memejamkan mata. Ia tidak membalas apa pun. Tidak perlu.

Jika hari ini pun Ryan menceraikannya, ia siap—bahkan mungkin akan merasa lega.

Byanca pikir memliki suami seperti Ryan itu menyenangkan?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Sisi Gelap Sang Penguasa   Bab XCIII

    Tara tak membuang waktu sejak pertemuannya dengan Dandy. Dari restoran itu, langkahnya langsung berbelok ke rumah sakit.Di depan kamar perawatan Dania, ia mendapati Ryan duduk dengan bahu merosot. Tatapannya kosong, menembus dinding kaca seolah pikirannya berada di tempat lain. Tara menghela napas sejenak, menenangkan diri, sebelum menghampiri.“Pak,” sapanya pelan. “Saya sudah selesai bertemu dengan Dandy.”Ryan sontak mendongak. Sorot matanya tajam, meski jelas lelah. “Apa hasilnya?”Tara menyerahkan map di tangannya—ragu, seolah sadar betul apa arti isi di dalamnya.Ryan menerima map itu. Jarinya terasa dingin saat membuka lembar demi lembar, namun raut wajahnya justru semakin tenang. Terlalu tenang. Seolah badai sedang dikurung rapat di balik ketenangan itu.Nama itu tercetak jelas.Ema — staf pribadi Pak Danny.Ryan menutup map perlahan, lalu menegakkan punggungnya. “Ini

  • Sisi Gelap Sang Penguasa    Bab XCII

    Dunia Ryan seolah berhenti berputar. “Janin?” ulangnya pelan, nyaris tak bersuara.Dokter mengangguk pelan. “Masih sangat kecil. Perkiraan usia kandungan sekitar empat hingga lima minggu. Benturan dan stres berat memicu keguguran spontan.”Ryan terhuyung satu langkah ke belakang. Tangannya refleks menahan dinding lorong rumah sakit agar tidak jatuh. “Dania…” gumamnya. “Dia… hamil?” Kata itu terasa asing, sekaligus menghancurkan.Istrinya. Anaknya. Hilang—dalam satu hari yang sama.Bayangan Dania semalam terlintas jelas di kepalanya. Tawa kecilnya. Tatapan lembutnya. Candanya tentang “adik untuk Issa”.Dadanya sesak. Napasnya tercekat.Ryan menunduk, menekan wajahnya dengan kedua telapak tangan. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, ia kehilangan kendali sepenuhnya.“Pak Ryan,” suara dokter kembali terdengar, “secara fisik, masih ada risiko perdarahan lanjutan. Kami juga mengkhawatirkan kondisi psikologis pasien saat sa

  • Sisi Gelap Sang Penguasa   Bab XCII

    Dalam waktu yang hampir bersamaan, Dania tak melepaskan ponselnya sejak pagi. Layarnya terus menyala—notifikasi datang silih berganti, sebagian berisi pesan simpati, sebagian lagi hinaan tanpa wajah. Tangannya gemetar setiap kali membaca satu per satu.Sesekali ia meneguk air putih, lalu menangis lagi. Sejak Ryan pergi bekerja, Dania mengurung diri di kamar. Tirai tertutup rapat. Cahaya matahari hanya menyelinap tipis di sela-sela jendela, sama seperti harapannya hari itu—kecil dan rapuh.Ia tak peduli berapa kali pintu diketuk.Kadang suster Issa.Kadang ART.Semua diabaikan.Dania tak ingin siapa pun melihat dirinya dalam keadaan hancur. Lukanya cukup ia tanggung sendiri. Dunia hanya berhak melihat senyum palsunya—bukan kepedihan yang menggerogoti dada.Tak ada makanan yang masuk ke perutnya. Aneh, ia tak merasa lapar sama sekali. Yang ada hanya mual dan sesak, seolah tubuhnya ikut menolak semua yang terjadi hari i

  • Sisi Gelap Sang Penguasa   Bab XCI

    “Pak Ryan…” Suara Tara terdengar pelan namun tegas saat ia masuk ke ruang kerja Ryan. Ia menutup pintu dengan hati-hati, lalu menunduk sopan.Ryan mengangkat kepalanya dari tumpukan berkas di meja. Pena di tangannya berhenti bergerak. Sorot matanya tajam—kebiasaan lama setiap kali ada interupsi di tengah pekerjaannya. “Ada apa, Tara?”“Pak Suryo mengundang Bapak makan siang di salah satu restoran,” lapor Tara singkat, tapi nada suaranya mengisyaratkan ada sesuatu yang tak biasa.Ryan menyandarkan punggung ke kursinya. Alisnya sedikit berkerut. “Dalam agenda apa?”Tara ragu sesaat, menimbang kata-kata sebelum menjawab. “Ajudannya hanya menyampaikan bahwa Pak Suryo ingin membahas beberapa hal secara privat dengan Bapak. Tidak dijelaskan detailnya.”Ryan melirik jam di pergelangan tangannya, lalu menatap kembali layar laptop. Berita pagi ini, isu yang menyeret nama Dania dan Issa

  • Sisi Gelap Sang Penguasa   Bab XC

    Dania terbangun dari tidurnya ketika merasa seperti ada yang memperhatikan. Begitu perlahan ia membuka mata, wajah Ryan yang tersenyum sudah menatapnya dari jarak dekat.“Morning,” bisik Ryan, lalu mengecup keningnya singkat namun penuh rasa.“Morning, Ryan,” balas Dania hangat. Ia tersenyum, lalu mencium telapak tangan Ryan yang sejak tadi menyentuh pipinya.Ryan terkekeh kecil. “Kamu lelah?”“Sangat,” jawab Dania dengan tatapan sayu. “Kamu menggempurku berkali-kali.” Ia menggembungkan pipinya seperti anak kecil yang sedang mengeluh.Ryan mencubit pipinya gemas. “Mau lagi…” godanya.Sontak Dania melompat turun dari ranjang dan berlari ke kamar mandi. “Tidakk!” teriaknya sambil tertawa.Ryan ikut tertawa keras. “Ayolah, Sayang. Mumpung masih jam enam!”Bruk.Pintu kamar mandi ditutup cukup keras sebagai jawaban.Ryan tertawa semakin lepas, sampai sudut matanya berair. Sudah sangat lama—terlalu lama—ia tidak merasa

  • Sisi Gelap Sang Penguasa   Bab LXXXIX

    Ryan menggeleng mantap. Perlahan, ia berlutut di hadapan Dania. Dari saku jasnya, ia mengeluarkan sebuah cincin yang berkilau sederhana namun bermakna.“Dania,” ucapnya dengan suara penuh keyakinan, “meski ini terlambat, aku akhirnya sadar sepenuhnya. Aku mencintaimu. Bukan karena kewajiban, bukan karena keadaan—tapi karena kamu.”Ia menelan napas. “Maukah kamu menjadi istriku… selamanya?”Air mata Dania jatuh lebih deras, kali ini tanpa ia tahan. “Ya,” jawabnya sambil terisak. “Aku mau.”Ryan bangkit dan langsung memeluk Dania erat—namun lembut, seolah takut perasaan itu akan pecah jika terlalu kuat. Di pelukan itu, Dania merasa lega. Untuk pertama kalinya, cintanya tak lagi berjalan sendirian.Sementara Ryan… ia baru menyadari satu hal yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Bahkan bersama Anna, ia tak pernah jatuh sedalam ini.Ryan merenggangkan pelukan mer

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status