Share

Bab IV

Author: Sann dyy
last update Last Updated: 2025-10-22 11:17:24

Dania mengambil kotak obat dan berjalan ke ruang kerja Ryan. Luka di tangan suaminya masih segar di ingatan, dan meski hatinya belum pulih, sisi lembutnya tak tega membiarkan Ryan kesakitan.

Ketika pintu terbuka, Ryan sedang berdiri di depan jendela besar, menatap langit malam yang tak berbintang.

“Ada apa?” tanyanya datar, tanpa menoleh. Tapi nadanya mengendur—hanya Dania yang berani masuk ke ruang itu tanpa izin.

Dania tak menjawab. Ia mendekat, mengambil tangan Ryan, dan mulai membersihkannya perlahan. Bau obat menyebar di antara keheningan. Gerakannya hati-hati, lembut, penuh keheningan yang sulit dijelaskan.

Ryan menatapnya diam-diam. Ada sesuatu di dadanya yang bergetar pelan. Perempuan yang berkali-kali ia sakiti ini… masih saja merawatnya tanpa mengeluh.

“Kenapa kamu masih peduli?” tanya Ryan akhirnya, suaranya nyaris bergetar.

Dania menghentikan gerakannya sejenak, lalu menunduk. “Karena luka tetap harus diobati, siapa pun pemiliknya.”

Mereka saling diam lagi. Membiarkan presepsi saling terbentuk di kediaman malam yang semakin sepi.

“Dania…” ucap Ryan dengan lirih. Ia mengangkat dagu Dania.

Mempersempit jarak keduanya. Ryan mengamati bentuk wajah istrinya yang begitu indah. Napas mereka saling menyapa. Ryan membelai bibir Dania dengan jarinya, kemudian detik berikutnya, ia mencumbunya begitu dalam, seakan tak ingin ada yang memisahkan.

Untuk pertama kalinya, Dania merasakan sesuatu yang berbeda dari sikap Ryan. Menyerupai penyesalan… atau mungkin rasa takut kehilangan.

Ia tak tahu harus memberikan reaksi apa pun selain membiarkan perlakuan Ryan. Tubuh Dania tak memberikan penolakan, seakan menikmati.

Bisakah sikap Ryan berubah karena perasaannya?

***

Pagi-pagi Dania sudah sibuk di dapur. Kali ini ia menyiapkan langsung sarapan untuk Ryan. Bubur hangat dan roti panggang—menu sederhana yang sudah ia kuasai.

“Pagi,” sapanya dengan senyum mengembang saat Ryan duduk di meja makan.

Dania menata piring di hadapannya, lalu mempersilakan. Ryan makan perlahan; meski tak ada pujian yang terucap, lahap makanannya sudah cukup memberi tanda.

Dania duduk di sampingnya. Mereka menyantap sarapan dalam keheningan—sebuah pemandangan biasa bagi pasangan manapun, tetapi terasa mahal dan rapuh bagi mereka.

“Tara…” panggil Ryan, suaranya agak meninggi.

Tara masuk ke ruang makan dengan rapi. “Ya, Pak?”

“Hari ini semua pertemuanku alihkan ke Dania. Aku hanya ke kantor sebentar kemudian bekerja dari rumah, perban di tanganku akan menjadi pertanyaan banyak orang,” kata Ryan, lalu memberi anggukan singkat kepada Tara.

“Baik, Pak,” jawab Tara sambil sibuk mengotak-atik tabletnya.

Ryan menyerahkan sebuah kartu debitnya kepada Dania. “Pergilah untuk ke salon atau spa. Kamu terlihat sangat lelah.”

Hati Dania menghangat. Di balik kerasnya Ryan, dia tak pernah perhitungan soal materi. Perhatian kecil semacam itu, meski jarang, selalu berhasil meredakan luka-luka lama di dadanya.

“Bu Dania, jika Anda ingin ke salon atau spa, saya bisa atur agar tempatnya privat sehingga Anda tak perlu menunggu,” tawar Tara dengan sopan. Ia peka terhadap kebiasaan Dania yang kerap berbaur seperti orang biasa.

“Terima kasih, Tara, nanti aku pikirkan,” jawabnya lembut. Menolak dengan halus karena belum memutuskan.

Tanpa basa-basi, Ryan menambahkan. “Kamu aturkan saja kedatangan Byanca ke rumah ini untuk menemaniku bekerja.”

Dania menoleh, terkejut.  Sekonyong-konyong permintaan itu mengusik rasa malunya—baru saja ia menerima perhatian, kini diminta hadirkan orang lain di rumah. “Jaga sikapmu, Ryan! Kalau sampai ada yang tahu, reputasimu bisa hancur!” bisiknya tajam.

Ryan cuma tertawa ringan, dingin. “Kalau kau diam, tidak akan ada yang tahu dan berani.”

Kata-kata itu menggantung di udara—sebuah ancaman terselubung yang membuat pagi itu terasa hambar di mulut Dania, meski matahari bersinar di luar jendela.

“Dan…satu lagi,” ujar Ryan datar, memecahkan keheningan. “Mulai hari ini, Kiki akan menjadi asistenmu,” tambahnya lagi tanpa meminta persetujuan Dania.

Dania terdiam.

Kiki?

Nama itu terdengar tidak asing di telinganya, tapi otaknya butuh waktu beberapa detik untuk memproses. “Kiki siapa?” tanyanya pelan, memastikan ia tak salah dengar.

“Kiki, teman dekat Anna,” jawab Ryan tanpa ekspresi, lalu berbalik meninggalkan ruang makan tanpa memberi kesempatan Dania menolak.

Dania memejamkan mata erat. Kiki. Nama itu kini terngiang jelas di kepalanya. Ia sahabat almarhumah Anna—mantan istri Ryan. Ia tak mengenal Kiki, hanya pernah mendengar Anna menceritakan tentang wanita itu. Terlebih Kiki pernah secara terang-terangan menghinanya ketika Ryan melamarnya.

Dania menarik napas dalam, dada terasa sesak.

Mungkin setelah ini… hari-hariku akan semakin berat, batinnya getir.

***

Tara telah menyerahkan jadwal kegiatan kepada Dania. Semuanya tampak begitu padat, tanpa memberi ruang sedikit pun baginya untuk beristirahat. Sudah menjadi tugasnya untuk menampilkan diri demi menjaga status politik sang suami. Segala emosi dan kemarahan pun harus disingkirkan begitu ia tampil di hadapan publik. Tak seorang pun boleh mengetahui bagaimana sebenarnya perasaannya.

Seperti yang diucapkan Ryan sebelumnya, Kiki kini resmi menjadi asisten pribadinya. Ia akan mendampingi Dania dalam setiap kegiatan. Saat ini, Kiki telah menunggu di mobil dinas.

“Selamat pagi, Bu Dania,” sapanya dengan ramah.

Dania membalas singkat, “Pagi, Kiki. Panggil Dania aja.”

Kiki mengangguk, lalu membukakan pintu mobil untuk Dania. Tujuan pertama mereka hari itu adalah  kantor urusan agama, tempat Dania dijadwalkan  mengisi seminar tentang pentingnya komunikasi dalam rumah tangga.

Sebenarnya, agenda itu seharusnya dihadiri oleh Ryan. Untungnya, Tara telah memberikan materinya kepada Dania, sehingga ia bisa mempelajarinya selama perjalanan.

“Dania, apakah kamu butuh bantuan saya?” tanya Kiki, memecah keheningan di antara mereka.

Dania menoleh dan tersenyum. “Tidak ada, Ki,” jawabnya lembut sambil kembali menatap layar tabletnya—membaca materi yang diberikan Tara.

“Dania.. aku boleh tanya sesuatu?” tanya Kiki lagi. Nada suaranya terdengar hati-hati, seolah khawatir pertanyaannya akan menyinggung.

Dania mengangguk, “Boleh. Mau tanya apa?”

“Kamu tidak keberatan, kan, aku jadi asisten kamu?” tanyanya ragu.

“Nggak kok. Justru aku senang akhirnya ada yang menemani dan membantu aku,” jawab Dania tulus. Senyumnya mengembang, menatap Kiki dengan hangat. Ia mengusap pelan lengan Kiki, memberikan rasa nyaman. “Santai aja, ya.”

Kiki mengangguk perlahan. “Makasih, Dania. Aku pikir kamu bakal menolak aku… karena aku sahabatnya almarhumah Anna.”

Senyum di wajah Dania perlahan memudar. Nama itu—Anna—selalu meninggalkan rasa aneh di dadanya. Bukan cemburu, bukan benci, tapi seperti bayangan yang tak pernah benar-benar hilang dari rumah tangga mereka. Namun, ia tetap menjaga ekspresi ramahnya. “Semoga kita juga bisa bersahabat, ya,” ujarnya lembut.

Kiki tersenyum kecil. “Ternyata kamu nggak seburuk yang orang-orang bilang.”

Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, suaranya lirih namun tajam seperti pisau yang diselipkan di antara kata. “Kalau saja Anna masih hidup, dia pasti sangat senang bisa membantu kegiatan politik Ryan.”

Dania terdiam. Tatapannya lurus ke depan, tapi hatinya bergetar. Kalimat itu mungkin terdengar biasa—tapi baginya, seperti pengingat bahwa ia masih hidup di bawah bayang-bayang wanita lain.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sisi Gelap Sang Penguasa   Bab XCIII

    Tara tak membuang waktu sejak pertemuannya dengan Dandy. Dari restoran itu, langkahnya langsung berbelok ke rumah sakit.Di depan kamar perawatan Dania, ia mendapati Ryan duduk dengan bahu merosot. Tatapannya kosong, menembus dinding kaca seolah pikirannya berada di tempat lain. Tara menghela napas sejenak, menenangkan diri, sebelum menghampiri.“Pak,” sapanya pelan. “Saya sudah selesai bertemu dengan Dandy.”Ryan sontak mendongak. Sorot matanya tajam, meski jelas lelah. “Apa hasilnya?”Tara menyerahkan map di tangannya—ragu, seolah sadar betul apa arti isi di dalamnya.Ryan menerima map itu. Jarinya terasa dingin saat membuka lembar demi lembar, namun raut wajahnya justru semakin tenang. Terlalu tenang. Seolah badai sedang dikurung rapat di balik ketenangan itu.Nama itu tercetak jelas.Ema — staf pribadi Pak Danny.Ryan menutup map perlahan, lalu menegakkan punggungnya. “Ini

  • Sisi Gelap Sang Penguasa    Bab XCII

    Dunia Ryan seolah berhenti berputar. “Janin?” ulangnya pelan, nyaris tak bersuara.Dokter mengangguk pelan. “Masih sangat kecil. Perkiraan usia kandungan sekitar empat hingga lima minggu. Benturan dan stres berat memicu keguguran spontan.”Ryan terhuyung satu langkah ke belakang. Tangannya refleks menahan dinding lorong rumah sakit agar tidak jatuh. “Dania…” gumamnya. “Dia… hamil?” Kata itu terasa asing, sekaligus menghancurkan.Istrinya. Anaknya. Hilang—dalam satu hari yang sama.Bayangan Dania semalam terlintas jelas di kepalanya. Tawa kecilnya. Tatapan lembutnya. Candanya tentang “adik untuk Issa”.Dadanya sesak. Napasnya tercekat.Ryan menunduk, menekan wajahnya dengan kedua telapak tangan. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, ia kehilangan kendali sepenuhnya.“Pak Ryan,” suara dokter kembali terdengar, “secara fisik, masih ada risiko perdarahan lanjutan. Kami juga mengkhawatirkan kondisi psikologis pasien saat sa

  • Sisi Gelap Sang Penguasa   Bab XCII

    Dalam waktu yang hampir bersamaan, Dania tak melepaskan ponselnya sejak pagi. Layarnya terus menyala—notifikasi datang silih berganti, sebagian berisi pesan simpati, sebagian lagi hinaan tanpa wajah. Tangannya gemetar setiap kali membaca satu per satu.Sesekali ia meneguk air putih, lalu menangis lagi. Sejak Ryan pergi bekerja, Dania mengurung diri di kamar. Tirai tertutup rapat. Cahaya matahari hanya menyelinap tipis di sela-sela jendela, sama seperti harapannya hari itu—kecil dan rapuh.Ia tak peduli berapa kali pintu diketuk.Kadang suster Issa.Kadang ART.Semua diabaikan.Dania tak ingin siapa pun melihat dirinya dalam keadaan hancur. Lukanya cukup ia tanggung sendiri. Dunia hanya berhak melihat senyum palsunya—bukan kepedihan yang menggerogoti dada.Tak ada makanan yang masuk ke perutnya. Aneh, ia tak merasa lapar sama sekali. Yang ada hanya mual dan sesak, seolah tubuhnya ikut menolak semua yang terjadi hari i

  • Sisi Gelap Sang Penguasa   Bab XCI

    “Pak Ryan…” Suara Tara terdengar pelan namun tegas saat ia masuk ke ruang kerja Ryan. Ia menutup pintu dengan hati-hati, lalu menunduk sopan.Ryan mengangkat kepalanya dari tumpukan berkas di meja. Pena di tangannya berhenti bergerak. Sorot matanya tajam—kebiasaan lama setiap kali ada interupsi di tengah pekerjaannya. “Ada apa, Tara?”“Pak Suryo mengundang Bapak makan siang di salah satu restoran,” lapor Tara singkat, tapi nada suaranya mengisyaratkan ada sesuatu yang tak biasa.Ryan menyandarkan punggung ke kursinya. Alisnya sedikit berkerut. “Dalam agenda apa?”Tara ragu sesaat, menimbang kata-kata sebelum menjawab. “Ajudannya hanya menyampaikan bahwa Pak Suryo ingin membahas beberapa hal secara privat dengan Bapak. Tidak dijelaskan detailnya.”Ryan melirik jam di pergelangan tangannya, lalu menatap kembali layar laptop. Berita pagi ini, isu yang menyeret nama Dania dan Issa

  • Sisi Gelap Sang Penguasa   Bab XC

    Dania terbangun dari tidurnya ketika merasa seperti ada yang memperhatikan. Begitu perlahan ia membuka mata, wajah Ryan yang tersenyum sudah menatapnya dari jarak dekat.“Morning,” bisik Ryan, lalu mengecup keningnya singkat namun penuh rasa.“Morning, Ryan,” balas Dania hangat. Ia tersenyum, lalu mencium telapak tangan Ryan yang sejak tadi menyentuh pipinya.Ryan terkekeh kecil. “Kamu lelah?”“Sangat,” jawab Dania dengan tatapan sayu. “Kamu menggempurku berkali-kali.” Ia menggembungkan pipinya seperti anak kecil yang sedang mengeluh.Ryan mencubit pipinya gemas. “Mau lagi…” godanya.Sontak Dania melompat turun dari ranjang dan berlari ke kamar mandi. “Tidakk!” teriaknya sambil tertawa.Ryan ikut tertawa keras. “Ayolah, Sayang. Mumpung masih jam enam!”Bruk.Pintu kamar mandi ditutup cukup keras sebagai jawaban.Ryan tertawa semakin lepas, sampai sudut matanya berair. Sudah sangat lama—terlalu lama—ia tidak merasa

  • Sisi Gelap Sang Penguasa   Bab LXXXIX

    Ryan menggeleng mantap. Perlahan, ia berlutut di hadapan Dania. Dari saku jasnya, ia mengeluarkan sebuah cincin yang berkilau sederhana namun bermakna.“Dania,” ucapnya dengan suara penuh keyakinan, “meski ini terlambat, aku akhirnya sadar sepenuhnya. Aku mencintaimu. Bukan karena kewajiban, bukan karena keadaan—tapi karena kamu.”Ia menelan napas. “Maukah kamu menjadi istriku… selamanya?”Air mata Dania jatuh lebih deras, kali ini tanpa ia tahan. “Ya,” jawabnya sambil terisak. “Aku mau.”Ryan bangkit dan langsung memeluk Dania erat—namun lembut, seolah takut perasaan itu akan pecah jika terlalu kuat. Di pelukan itu, Dania merasa lega. Untuk pertama kalinya, cintanya tak lagi berjalan sendirian.Sementara Ryan… ia baru menyadari satu hal yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Bahkan bersama Anna, ia tak pernah jatuh sedalam ini.Ryan merenggangkan pelukan mer

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status