LOGINKiki duduk di salah satu kursi di posyandu—jauh dari Dania—dengan wajah tegang. Ponselnya masih tergenggam erat di tangan, layar yang menampilkan nama Tara kini sudah gelap. Nafasnya terasa berat, dadanya naik turun cepat menahan emosi yang bercampur panik.
Permintaan Tara barusan—mengatur jadwal makan siang Ryan dan Dania—terasa seperti paku terakhir yang menancap di rencananya. Makan siang bersama? Itu artinya hubungan mereka semakin akrab, semakin sulit untuk dipisahkan.
Ia menggigit bibir bawahnya keras, matanya menatap kosong ke arah cermin di seberang kamar. “Aku nggak boleh diam,” gumamnya pelan. “Kalau mereka semakin dekat, semuanya akan berakhir untukku.”
Kiki memejamkan mata, mencoba berpikir. Tapi semakin keras ia memaksa otaknya, semakin buntu rasanya. Perubahan sikap Ryan terhadap Dania—yang dulu dingin, kini mulai hangat—adalah mimpi buruk baginya.
Satu-satunya
Suara sendok dan garpu mulai terdengar beradu, mengiringi aroma sedap seafood bakar yang memenuhi ruangan. Di meja tersaji ikan bakar, udang jumbo, kepiting alaska, dan capcai hangat.Ryan tanpa banyak bicara langsung bergerak memotong ikan, memisahkan durinya dengan teliti, lalu menaruh daging putihnya ke piring Dania. Setelah itu, ia mengupaskan udang besar satu per satu dan menambahkannya ke piring sang istri.Gerakan itu tidak luput dari perhatian Wulan. Ia menyenggol kaki Nathan di bawah meja, memberi kode untuk melihat sikap Ryan.Nathan menoleh… dan tertegun sejenak.Ia sangat ingat—bahkan terlalu ingat—bahwa Ryan dulu tidak pernah melakukan ini untuk Anna. Pernah sekali Anna meminta Ryan mengupaskan udang saat liburan di Bali, dan Ryan menolak mentah-mentah. “Aku nggak pandai,” katanya waktu itu.Tapi lihatlah sekarang. Dania bahkan tidak meminta. Dan Ryan melakukannya tanpa ragu.“Ryan, cukup,&rd
Tok tokKetukan itu membuat Dania refleks membuka mata. Tubuhnya berat, ototnya seperti masih tersisa getaran dari badai yang ia dan Ryan ciptakan berjam-jam sebelumnya. Ia ingin bangkit, tapi terhenti saat merasakan lengan Ryan melingkari pinggangnya, mengikatnya erat—seolah menolak kenyataan bahwa waktu tidak berhenti hanya untuk mereka.Perlahan ia menurunkan tangan Ryan dari pinggangnya. Begitu tubuhnya terlepas, hawa dingin kamar seakan menggigit kulitnya.“Ah, shit…” gumamnya ketika baru sadar tidak ada apa pun yang menempel di tubuh. Hanya sisa-sisa kemesraan yang masih berjejak di kulitnya.Ia buru-buru mengambil pakaian yang berserakan di lantai: blus yang terbalik, rok yang kusut, dan cardigan yang entah bagaimana bisa berada di ujung ranjang. Ia memakainya asal—pokoknya tertutup dulu.Tok tok.Ketukan kedua membuatnya mempercepat langkah menuju pintu.Asisten rumah tangga itu menunduk
Di kantor Walikota.Ryan bersandar dalam-dalam pada sofa panjang di ruang pribadinya. Kepala tertekuk ke belakang, jemarinya menutupi wajah yang sudah sangat letih. Ia baru saja selesai rapat dengan dinas perhubungan kota. Rapat barusan terasa seperti pertarungan tanpa ujung. Semakin dibahas, semakin jelas aroma kecurangan proyek itu—tapi ia tidak bisa gegabah. Semua harus dibongkar dengan bukti.Napasnya berhembus berat.“Tara…” panggilnya pelan, nyaris seperti desahan.Pintu langsung terbuka. Tara muncul dengan bahu tegak, selalu siap kapan pun ia dipanggil. “Iya, Pak,” suaranya rendah namun sigap.Ryan menurunkan tangannya, menatap Tara dengan mata lelah namun tajam. “Apa pendapat kamu soal rapat tadi?”Tara sempat ragu. Ia bukan tipe bawahan yang suka sok tahu apalagi menyampaikan opini tanpa diminta. Tapi tatapan Ryan seolah berkata bicara saja.“Saya rasa proyek pen
Ratih menegakkan punggung, mencoba mempertahankan dominasi. “Kita sedang membahas beberapa keputusan penting dan—”“Oh,” Dania menyela halus, matanya melirik layar presentasi. “Keputusan penting… yang menyangkut kepemilikan klinik ini?”Beberapa staff langsung menunduk menahan senyum.Tasya meneguk ludah, sementara Ratih mengepalkan tangan di bawah meja.Dania melanjutkan, masih tenang — lebih menakutkan daripada teriakan mana pun.“Bagus sekali. Aku suka ketika semua berjalan transparan.” Ia menyandarkan tubuh ke kursi, tangan terlipat anggun. “Jadi aku ingin mendengar semuanya langsung dari kamu, Bu Ratih. Mulai dari awal… sampai bagian ancaman pemecatan.”Ruangan menjadi semakin sunyi. Udara serasa menahan napas.Ratih kehilangan kata.Dan di saat itu pula semua staff menyadari satu hal: Dania bukan perempuan yang diam dan bisa did
Sinar mentari pagi menyelinap perlahan melalui celah tirai, menari di udara sebelum akhirnya jatuh tepat pada wajah Dania. Kelopak matanya sempat bergetar, namun belaian lembut di wajahnya membuatnya enggan kembali sepenuhnya ke dunia nyata. Sentuhan itu begitu hati-hati… seolah seseorang sedang menikmati keberadaannya.Dania membuka mata pelan—dan langsung menemukan Ryan duduk di sebelahnya, wajahnya dekat sekali, jarinya membingkai bibir Dania seolah itu hal paling berharga yang pernah disentuhnya.“Ryan…” panggil Dania lirih, lebih seperti hembusan napas daripada suara.Ryan tersenyum—senyum hangat yang jarang ia lihat sebelumnya. Ia menunduk, mengecup kening Dania dengan penuh kelembutan. “Pagi, Sayang.”Sapaan itu membuat hati Dania bergetar aneh—bahagia sekaligus takut merasa terlalu nyaman.“Pagi,” balasnya pelan. Ia mencoba bangkit duduk, namun Ryan mendahuluinya, memegang
Ryan tiba-tiba menarik pinggang Dania, seperti tak ingin memberi kesempatan bagi keraguan untuk menyelinap lagi di antara mereka. Jarak yang semula aman kini hilang tanpa jejak. Tatapannya penuh kekaguman—penuh rasa yang menumpuk dan tidak pernah ia ucapkan dengan jelas sebelumnya.Ia mendekat… sangat dekat sampai napas mereka saling menyentuh.Setitik ragu muncul di mata Dania, namun tidak ada penolakan. Tidak ada langkah mundur.Ryan menangkap isyarat itu. Dengan perlahan tapi pasti, ia menempelkan bibirnya pada bibir Dania. Sentuhan lembut itu hanya berlangsung sebentar… sebelum akhirnya ia memperdalam ciumannya—mencurahkan seluruh gejolak yang selama ini ia tahan.Bibir Ryan bergerak lebih menuntut. Tangan yang satu tetap di pinggang Dania, sementara yang lain naik ke tengkuknya, menarik sang istri lebih dekat lagi hingga tak ada ruang tersisa.Dania membuka mata sekejap—masih diselimuti amarah yang belum tuntas&







