Share

Pt. 08 - The Trauma

"Bagaimana keadaannya?" tanya Xavier yang datang ke kamar Catherine dengan terburu-buru.

Veronica yang baru saja mengecek kondisi Catherine mengisyaratkan pada Xavier untuk berbicara berdua saja.

Xavier pun akhirnya memerintahkan semua orang untuk keluar dari kamar itu. Setelah memastikan kalau tidak ada orang. Veronica kemudian berbicara.

"Catalina pingsan setelah aku menanyainya soal insiden kecelakaan yang menimpanya. Kepalanya tiba-tiba sakit. Aku yakin ini gejala trauma."

Xavier tidak tahu harus merespons apa. Jadi dia hanya diam mendengarkan penjelasan Veronica dengan saksama.

"Apa kau sempat menyelidiki penyebab Catalina jatuh di istana malam itu?" tanya Veronica yang berniat mewawancarai Xavier soal kronologi yang terjadi. Selama ini, dia tahu kalau Xavier berkepribadian acuh dan dingin. Tapi dia tidak akan mungkin membiarkan seseorang melukai istrinya.

Xavier, dia adalah lelaki yang menjunjung tinggi martabatnya.

"Semua orang sepakat menganggap itu sebagai kecelakaan." Xavier akhirnya berpendapat. Dia memang berkepribadian dingin. Tapi bukan berarti pria itu tidak tahu apa-apa tentang semua hal yang terjadi di sekitarnya.

Xavier sempat menanyakan kronologi jatuhnya Catalina pada Nolan yang berada di tempat kejadian saat itu. Tapi Nolan bercerita kalau dia hanya meninggalkan Catalina sebentar untuk memeriksa sesuatu, mungkin tidak sampai sepuluh menit. Lalu saat dia kembali, orang-orang sudah heboh karena melihat wanita itu yang terjatuh dan tenggelam di kolam istana kekaisaran.

Kejadiannya begitu cepat dan mengejutkan, sampai banyak orang yang bingung untuk bereaksi.

"Xavier, bagaimana jika itu bukan kecelakaan?" Mata Veronica terlihat memincing. Bukan hal yang baru jika ada seseorang yang memang berniat mencelakai Catalina atau bangsawan mana pun di kekaisaran.

Mereka tinggal di lingkungan penuh konflik dan kepalsuan. Bahkan mungkin, tempat tidur sutra yang setiap hari mereka tempati lebih berbahaya dari pada medan perang itu sendiri.

"Maksudmu?" Xavier terlihat cukup terkejut denga. deduksi Veronica.

"Maksudku, bagaimana jika selama ini ada yang mencoba melukai Catalina." Dari awal Veronica tak pernah membenci Catalina. Dia cukup memahami sikap menyebalkan wanita itu sebelumnya.

Catalina adalah putri dari seorang Baron yang miskin. Tapi karena kecantikannya dia berhasil menarik perhatian banyak orang. Banyak bangsawan yang melamarnya dan mengiriminya hadiah. Catalina menerima semuanya.

Sikap Catalina yang seperti itu membuatnya mendapatkan banyak rumor, yang paling terkenal adalah saat dia diisukan berpacaran dengan Putra Mahkota Kekaisaran ini, Jayden.

Jayden George Sebastian.

Siapa yang tak mengenalnya? Dia adalah Putra Mahkota berambut emas yang diincar oleh kerajaan seluruh negeri. Ratusan putri dari setiap kekaisaran mengantri untuk menjadi istrinya. Tapi, diantara puluhan wanita. Putra Mahkota kekaisaran Victoria itu malah dekat dengan Catalina.

Catalina si pembuat onar.

"Jangan gila, apa maksudmu?"

"Hari ini Catalina bilang padaku kalau dia takut tempat gelap, Xavier. Dia takut saat berada di kegelapan. Jelas itu adalah bentuk trauma. Tapi tidak mungkin dia menderita trauma itu tiba-tiba. Menurut pengamatanku, selama ini hanya orang-orang yang pernah diculik atau dikurung di tempat gelaplah yang akan takut pada kegelapan. Bahkan jika itu hanya ketakutan biasa, dia tidak akan se trauma itu. Apa kau yakin Catalina tidak punya riwayat penculikkan sebelumnya?"

Xavier terdiam. Sebelum menikah dengannya, Catalina adalah sosok yang sering digunjingkan orang. Banyak orang yang membencinya karena dia selalu menempel dengan Jayden sang Putra Mahkota. Jadi tidak heran jika suatu saat muncul orang-orang yang ingin membunuhnya.

Penculikkan? Sepertinya dia tidak pernah mendengar kata-kata itu muncul dari Catalina. Atau mungkin dia saja yang selama ini tidak tahu?

"Seminggu ini kau tidak mengizinkannya keluar dari kamar ini kan? Aku sarankan jangan biarkan dia sendirian dan jangan terlalu keras padanya." Veronica menceramahi. Dia kemudian memeriksa Catherine sekali lagi, memastikan kalau kondisi wanita itu baik-baik saja.

"Aku sudah memberikannya obat tidur dan anti demam. Dia mungkin akan tidur beberapa jam ke depan." Veronica berkata dengan lembut. Dia menoleh pada Catalina sekali lagi sebelum benar-benar pergi dari kamar wanita itu.

Sementara itu Xavier diam-diam merenung. Apakah selama ini Catalina menderita sendirian? Apakah sejatinya wanita itu membutuhkan perlindungan?

"Tuan, saya meminta izin untuk mengantarkan Nona Lancaster." Nolan yang muncul setelah kepergian Veronica membuat Xavier menoleh ke arahnya.

"Pergilah. Jangan terlalu lama, karena aku ada tugas untukmu."

"Baik, Tuan. Apa ini berkaitan dengan Nyonya?"

"Hm, selidiki latar belakang Catalina sekali lagi. Laporkan kejanggalan apa pun padaku."

***

Sementara itu di ruangan bawah tanah yang dingin. Para tahanan tengah menikmati makan siang mereka. Meskipun berstatus sebagai tahanan. Tapi di bawah kediaman Duke Victoria ini. Mereka masih diperlakukan cukup manusiawi.

Rata-rata dari mereka adalah mantan prajurit yang kerajaannya dikalahkan oleh penguasa Victoria. Mereka adalah tawanan perang yang sudah kehilangan kedaulatan mereka.

"Yang Mulia," Seorang wanita berambut kepang berwarna coklat itu menyerahkan sepotong roti yang diterimanya dari penjaga yang membagikan mereka makanan yaitu sepotong roti gandum dengan madu dan air putih.

Isabella, wanita cantik berambut coklat lurus dengan mata berwarna ungu Violet itu menoleh. Dia menatap mantam pelayannya yang kini menghuni satu sel kosong bersamanya.

Beberapa minggu yang lalu, kerajaannya diratakan. Dia yang merupakan putri bungsu dari Raja Albenian itu adalah satu-satunya orang yang bertahan hidup. Atau mungkin, musuh membiarkannya sengaja untuk hidup agar bisa meratap dalam kesedihan.

"Aku tidak lapar Lili." Isabella bergumam. Selama menjadi tahanan, dia dikurung di ruang bawah tanah ini. Menantikan hukuman apa yang akan diberikan penguasa Victoria padanya. Sebagai tahanan dan sandera, Isabella tak berharap banyak. Jika tidak dibunuh, mungkin dia akan dijadikan selir seorang bangsawan atau bahkan mengabdikan diri sebagai pelayan.

Tragis. Tapi itulah kenyataan yang harus dihadapinya.

"Yang Mulia, tapi Anda belum memakan apa pun selama tiga hari ini. Sejak Anda bangun, Anda semakin kurus karena hanya meminum air saja." Lili, pelayan yang turut dibawa saat perang itu adalah pelayan pribadi Isabella. Dia adalah gadis muda yang mungkin berusia dua puluh tahunan.

"Bukankah jika aku mati, mereka akan mengeluarkanku dari sini?" balas Isabella retoris.

"Anda tidak boleh berkata seperti itu, Yang Mulia. Mendiang Yang Mulia Raja dan Permaisuri pasti tidak akan senang mendengarnya."

Isabella terdiam. Dia mengingat ayah dan ibunya. Saat perang terjadi, dia bahkan tidak ada bersama mereka. Seakan dikutuk, Isabella seolah tidak diizinkan untuk melihat jasad ayah dan ibunya untuk yang terakhir kali. Dia benar-benar menyimpan dendam. Dendam pada kekaisaran yang membuat tempat tinggalnya luluh lantak.

"Yang Mulia, tapi Anda harus tetap makan." Lili menyodorkan piring berisi sepotong roti itu kembali pada Isabella. Wanita dengan rambut kepang itu terlihat menunjuk bagian bawah piring dengan kelingkingnya.

Isabella yang sadar kalau itu adalah salah satu isyarat yang digunakan lama olehnya dan sang pelayan kemudian menoleh. Dia diam-diam memperhatikan piring itu dan terkejut saat menemukan lambang kerajaannya di sana.

"Anda harus makan Yang Mulia. Setidaknya sedikit. Anda mungkin masih harus makan untuk suatu alasan."

Isabella paham. Kata-kata yang diucapkan Lili semacam kode yang mengisyaratkan kalau mereka harus bertahan, mereka harus hidup.

Mungkin di sebuah tempat. Mungkin di sel yang dingin ini. Isabella tidak sendirian.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status