Share

Pt. 09 - One Step Closer

Catherine membuka matanya secara perlahan. Dia merasa kepalanya masih sakit saat ini. Wanita itu melirik, melihat sekitar. Sepertinya dia ingat, sebelum menutup matanya dan pingsan. Dia sedang berdialog dengan Veronica.

Tapi sepertinya dia pingsan terlalu lama. Terbukti dengan hari yang sudah malam. Catherine bahkan tidak tahu kalau dia bisa tidur seharian penuh.

"Kau sudah bangun?"

Catherine menoleh. Jantungnya nyaris melompat mendengar suara familiar itu. Dia kemudian melihat jauh ke sofa. Sialan. Ternyata dia tidak sendirian.

"Xavier?" panggil Catherine memastikan kalau saat ini dia tidak sedang berhalusinasi. "Xavier? Kau benar-benar Xavier kan?" tanya Catherine sekali lagi.

Sosok panglima perang Victoria itu berdiri. Dia kemudian mendekati ranjang Catherine dan menyentuh keningnya.

Catherine membeku. Apa yang lelaki ini lakukan?

"Aku bisa menyentuhmu. Apa kau sekarang percaya aku nyata?" jawab Xavier enteng. Dia diam-diam bersyukur karena demam wanita ini sudah turun. Saat ini, pria itu tidak memedulikan wajah Catherine yang syok berat karena kehadiran dan tindakannya.

Dalam novel, Catherine ingat kalau Xavier tidak dia ciptakan seperti ini. Harusnya, dia mengabaikan istrinya dan tidak ada adegan berdua seperti ini. Apa ini artinya Catherine perlahan mulai bisa mengubah alurnya?

"Apa kau menungguku bangun?" tanya Catherine setelah beranjak dari keterkejutannya.

"Menurutmu?"

"Aku ingin jawaban bukan pertanyaan balik, Xavier. Aku tanya sekali lagi apa kau menungguku bangun?"

"Aku hanya di sini untuk beberapa menit. Jadi jangan besar kepala."

Catherine mendengus. Lelaki ini ... Catherine cukup menyesal karena menciptakan karakter yang terlalu banyak memilki gengsi.

Di tengah percakapan itu. Perut kosong Catherine berbunyi, menginterupsi semua dialog yang ingin dikatakan oleh wanita itu untuk membalas Xavier. Catherine seakan baru ingat kalau dia memang belum makan apa pun setelah pingsan dari tadi siang.

Sangat pantas jika saat ini perutnya berdemo kelaparan.

"Hehehe, sepertinya aku lapar." Catherine bergumam dengan senyuman lucu miliknya. Jika di dunia nyata, dia mungkin akan membenci nada imut itu. Tapi karena sekarang dia ada di tubuh Catalina yang cantik dan mungil. Dia akan memanfaatkannya.

Xavier yang terdiam karena Catherine baru saja mengeluh lapar padanya itu kemudian mulai tersadar. "Aku akan memanggilkan seseorang untuk menyajikan makanan."

"Tapi ini terlalu malam, Xavier. Aku akan memasak sendiri saja." Catherine melirik. Walaupun tidak ada jam digital seperti di dunianya. Tapi di dunia ini ada satu aturan yang Catherine buat sendiri sebagai penanda waktu.

Setiap kota, terutama rumah bangsawan memiliki menara lonceng yang akan bersuara setiap tiga jam sekali. Tapi bunyi lonceng yang baru saja Catherine dengar berbunyi tiga kali. Itu menandakan kalau saat ini dia terbangun tepat saat tengah malam.

Hal itu juga menjelaskan kenapa dari tadi tidak ada pelayan yang menunggu di kamarnya, bahkan suara Madam Giselle juga tidak terdengar. Semua orang termasuk para pelayan pasti sedang beristirahat.

"Memasak? Dengan kaki yang seperti itu?" Xavier menegur halus.

Catherine yang sudah menyibakkan selimut dari kakinya itu menatap kearah yang sama dengan Xavier. Lelaki ini benar, dia sedang terluka. Sial. Catherine benar-benar lupa.

Baru saja hendak mengeluh. Catherine memikirkan ide cemerlang di kepalanya. Dia kemudian melihat Xavier yang berdiri dengan gagah di sampingnya. Wanita itu lantas tersenyum. Senyum yang membuat Xavier merinding.

"Kenapa? Kenapa kau melihatku seperti itu?" tanya Xavier berusaha menutupi kegugupannya.

Catherine kembali tersenyum lebar. "Aku memang terluka. Tapi kau tidak. Kau bisa mengantarkanku ke dapur kan?"

Alis Xavier mengerut. Lelaki itu tidak bisa menahan ekspresi keterkejutannya dengan ide gila Catherine. Sejak kapan Catalina bisa seberani itu padanya? Lagi pula apa dia benar-benar bisa memasak?

"Xavier, bagaimana?" tanya Catherine lagi, kali ini nadanya membujuk.

Sekarang, telinga Xavier merasa geli. Sebelumnya, tidak ada yang pernah memanggil namanya dengan nada panggilan semacam itu. Bahkan Veronica yang dia izinkan untuk memanggil namanya langsung juga tidak pernah membuatnya tergelitik dengan nama panggilannya sendiri.

"Bagaimana? Aku lapar, Xavier!" Catherine tidak bisa berkompromi. Dia paling tidak senang jika harus menahan lapar tengah malam. Dia mantan penulis, memasak masakan sederhana bukan sesuatu yang sulit karena dia memang terbiasa memasak sendiri.

Melihat Xavier yang terdiam dan tak banyak bereaksi akhirnya membuat Catherine gemas. Wanita itu pun mulai menjulurkan kakinya keluar dari kasur dan hendak berdiri dengan kakinya sendiri. Xavier pasti tidak sudi menyentuhnya. Sudah dia duga. Lelaki itu memang menyebalkan.

Belum selesai Catherine mengumpati Xavier di kepalanya. Wanita itu kembali dikejutkan dengan tindakan Xavier yang langsung menggendongnya tanpa aba-aba. Catherine yang membeku itu lantas menatap wajah dingin nan tampan Xavier dengan cukup dramatis.

"Kau mau menggendongku?" tanya Catherine hilang kata.

"Menurutmu siapa lagi? Nolan? Apa aku harus membiarkan istriku dibawa pria lain?"

Posesif.

Catherine lupa kalau dia menciptakan karakter dingin yang juga posesif ini. Tapi karena hal itu Catherine merasa senang. Sepertinya dia tahu bagaimana caranya menarik perhatian Xavier dan membuatnya melindungi tubuh wanita ini dari pedang milik Jayden.

"Tuan,"

Catherine menoleh. Dia melihat Nolan yang terperanjak saat dia dan Xavier keluar kamar. Berdua.

"Apa ada yang bisa saya bantu Tuan?" tanya Nolan yang memang berjaga seharian di depan kamar Catherine. Catherine pikir, dia benar-benar ditinggalkan sendirian bersama Xavier. Ternyata sebagai Ksatria pribadi Xavier. Nolan memang selalu mengikutinya.

"Siapkan saja dapur. Aku akan memasak."

"Ya? Memasak? Selarut ini?" tanya Nolan yang sama syoknya dengan Catherine yang saat ini masih ada di pangkuan Xavier.

Keduanya, diikuti Nolan tengah berjalan di lorong dari kamar Catherine menuju dapur yang jaraknya lumayan jauh. Catherine yang belum bisa mengeksplor Mansion Duke ini bahkan bertanya-tanya seberapa luas rumah yang saat ini dia tinggali.

Jika dia hidup di dunia modern dengan kekayaan Xavier saat ini. Mungkin dia akan masuk jajaran orang terkaya versi majalah Forbes. Bangunan tiga lantai ini begitu megah dan berkilau. Walaupun berarsitektur minimalis. Tapi dalam sekali lihat orang-orang akan tahu kalau harga bangunan serta furnitur di Mansion ini berharga sangat mahal.

"Kau tunggu apalagi? Segera siapkan dapurnya." Xavier memerintah. Nolan yang tahu kalau Xavier tidak suka dibantah akhirnya pergi mendahului mereka untuk melaksanakan perintah khusus dari Xavier.

"Kau memangnya bisa memasak?" tanya Catherine penasaran.

"Kau meremehkanku?"

"Bukan seperti itu, Xavier. Tapi kau kan panglima perang. Apa panglima perang bisa memasak?"

"Kau ingat aku sebagai panglima perang?"

Cathterine terdiam. Sial. Dia nyaris saja keceplosan. Dia lupa kalau saat ini, Veronica bahkan orang-orang di mansion ini termasuk Xavier percaya bahwa dia amnesia.

"Iya. Entah kenapa aku hanya mengingatmu. Apa Veronica pernah bilang kalau hanya identitas dirimu yang tidak aku lupakan?" Catherine berkata dengan polos.

Langkah Xavier otomatis berhenti. Membuat degupan jantung Catherine menggila. Apa lelaki itu marah padanya? Dia tahu alasannya memang cukup konyol. Tapi hanya itu solusi yang terpikirkan oleh Catherine sekarang.

Xavier terlihat berdehem pelan. Saat ini rasa panas menyengat wajahnya. "Katakan padaku semua tentangku yang kau ingat. Aku tidak ingin ingatanmu ada yang keliru," balas Xavier berusaha kalem.

Catherine hanya mengangguk, dia diam-diam bersyukur karena Xavier tidak marah atau curiga dengan alasan konyolnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status