ログインPagi ini Kanaya bergegas menuju ruang dosen, beberapa saat yang lalu Liam telah mengirimnya pesan untuk segera mengambil formulir surat kepindahannya dari asrama.
Begitu sampai di ruang dosen, Kanaya langsung disambut oleh tatapan dingin Liam yang duduk di kursi kerjanya.
“Mau ambil formulir pindahan?” tanya Liam tanpa basa-basi.
“I…iya pak.” Kanaya mengangguk cepat.
Liam langsung berdiri menuju mesin printer dan mengambil kertas yang sudah tercetak sebelumnya disana.
Sembari menunggu Liam, Kanaya hanya bisa diam dan memperhatikan punggung pria itu. Hingga tak lama, pria itu telah kembali ke hadapannya.
Liam menyerahkan formulirnya kepada Kanaya. ”Tinggal kamu isi setelah selesai kamu berikan kepada pengelola asrama.”
Kanaya menerima formulir tersebut dan membacanya sekilas. ”Baik pak, kalau begitu saya permisi sekarang, nanti saya berikan kepada kepala pengelola asrama setelah selesai kelas.”
“Kabari jika sudah selesai semuanya, nanti saya jemput kamu di dekat asrama untuk bawa barang-barangnya.”
“Baik pak.” Kanaya pergi meninggalkan ruangan, sedangkan Liam kembali mengerjakan pekerjaannya.
Kanaya keluar dari ruang dosen dengan langkah pelan, masih menggenggam erat formulir pindah yang baru saja diberikan Liam. Suasana koridor terasa lengang, hanya terdengar suara sepatu mahasiswa yang sesekali lewat.
Kanaya menghela nafas memandangi kerta formulir di tangannya sambil terus berjalan. Semua ini telah benar-benar berubah.
Beberapa menit kemudian, dia sudah berdiri di depan pintu kantor asrama, mencoba merapikan napas sebelum masuk.
Setelah itu, Kanaya mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk, beruntung saat masuk ternyata kepala pengelola asrama sedang ada di ruangan.
“Ada keperluan apa?” tanya pengelola asrama langsung.
“Saya ingin mengurus surat keluar dari asrama,” jelas Kanaya sambil menyerahkan formulir. “Saya akan tinggal dengan orang tua saya.”
Ibu pengelola membaca formulir itu, kemudian menggeleng pelan. “Maaf, untuk saat ini belum bisa diproses.”
Kanaya terbelalak kaget. “Kenapa tidak bisa, Bu? Dua minggu lalu ada yang keluar dari asrama dan diterima.”
“Betul, tapi sekarang peraturannya diperketat. Anak yang sebelumnya tidak jujur, dia bilang kembali ke rumah orang tuanya, tapi ternyata tinggal dengan pacarnya. Sejak itu kami harus selektif dan tidak bisa langsung menyetujui permintaan keluar begitu saja.”
Kanaya menggigit bibir bawahnya, mencoba tetap tenang. “Lalu apa yang harus saya lakukan, Bu?”
Kanaya hanya bisa pasrah tidak bisa memaksa lebih kepada kepala pengelola, dia mencoba memahami kondisi ketika membayangkan posisinya sebagai kepala pengelola saat menceritakan kejadian tersebut.
Pengelola asrama merapikan formulir itu dan menyerahkannya kembali, tapi dia juga memberi satu lembar surat baru. “Silakan bawa formulir ini pulang dan minta tanda tangan persetujuan dari orang tua atau keluarga inti kamu. Setelah itu baru bisa kami proses izin keluarnya.”
Kanaya hanya bisa menghela napas, lalu menerima formulir itu lagi. “Baik, Bu. Saya mengerti. Terima kasih.”
Kanaya keluar dari kantor asrama dengan langkah berat. Sekarang, mungkin dia harus menjelaskannya dulu pada Liam.
“Ah, kenapa semua jadi ribet gini,” gumam Kanaya dalam hati. Langkahnya terasa semakin berat saat kembali ke ruang fakultas.
Akhirnya, Kanaya kembali tiba di ruang dosen. Untungnya, Liam masih ada di sana. Begitu masuk ke ruang dosen, Liam langsung menatapnya dengan sedikit bingung.
“Kenapa cepat sekali? Sudah selesai?” tanya Liam singkat.
Kanaya menelan ludah, lalu mengulurkan formulir yang sudah dilipat rapi. “Belum, Pak. Saya… tidak bisa langsung pindah hari ini.”
Liam menatapnya, menunggu penjelasan tanpa berkata apa-apa.
“Kepala pengelola asrama bilang sekarang peraturannya diperketat. Saya harus membawa formulir ini kembali dengan tanda tangan orang tua atau keluarga inti sebagai persetujuan. Kalau tidak, izin keluarnya tidak bisa diproses.” Suaranya perlahan mengecil.
Hening sejenak.
Liam bersandar ke kursi, mengetukkan jarinya pelan di meja. Ekspresinya tetap datar dan sulit ditebak.
“Ya sudah nanti bisa saya yang urus,” kata Liam akhirnya.
Mendengar itu, Kanaya langsung membulatkan matanya. Dia buru-buru menggelengkan kepalanya. “Eh, jangan, Pak. Nanti biar saya minta tanda tangan ibu saya aja. Soalnya saya bilang mau tinggal dengan orang tua.”
Liam mengernyitkan dahinya. “Kelamaan, Kanaya. Nenek bisa marah kalau kamu tidak segera pindah.”
Namun, Kanaya masih berusaha menolak. “Tapi, kalau Bapak yang urus, nanti status pernikahan kita bisa diketahui orang kampus …”
Liam kembali terdiam. Mereka sudah sepakat untuk merahasiakan itu terlebih dahulu, tapi sekarang situasinya berbeda.
“Saya bisa minta pengurus asrama untuk diam.” Liam manatap Kanaya dengan serius. “Staff kampus tidak akan berani membicarakan ini.”
“T–Tapi …”
“Kalau kamu banyak berpikir, akan semakin lama prosesnya.” Liam bangkit dari kursinya dan bersiap untuk keluar dari ruangan.
Akhirnya, Kanaya hanya bisa pasrah dan mengikuti langkah Liam.
Namun, begitu pintu ruangan itu terbuka, seseorang telah berdiri di sana dengan wajah tegang.
“Kak Sean …” lirih Kanaya begitu melihat orang itu.
Laki-laki itu adalah kakak tingkat Kanaya, sekaligus mantan kekasihnya. Seketika Kanaya menegang. Jika sampai Sean mendengar pembicaraannya dengan Liam tadi, semua bisa gawat.
Liam yang menyadari ekspresi terkejut Kanaya dan Sean tampak memahami situasi yang terjadi. Dia menghela napas, lalu berkata, “Berikan formulirnya, biar saya yang urus. Kamu urus ini saja.”
Tanpa penolakan, Kanaya langsung memberikan formulir itu dan membiarkan Liam pergi.
Setelah itu, Kanaya mengajak Sean untuk ke lorong dekat ruang dosen.
“Kak Sean dengar semuanya?” tanya Kanaya tanpa basa-basi.
Hubungannya dengan Sean memang tidak begitu bagus. Dulu, mereka berpacaran karena Sean kalah taruhan. Namun, belakangan laki-laki itu kembali mendekatinya dengan dalih ingin meminta maaf dan telah sadar dengan perasaannya selama ini.
Sean mengangguk pelan.
“Kak, tolong rahasiakan status pernikahanku dari orang-orang di kampus ini,” pinta Kanaya terus terang, tanpa memperdulikan ucapan Sean sebelumnya.
Sean mengernyitkan dahinya, tidak langsung menjawab. Lalu, dia tersenyum tipis, “Kalau aku tidak bisa, bagaimana?”
Pagi ini Kanaya bergegas menuju ruang dosen, beberapa saat yang lalu Liam telah mengirimnya pesan untuk segera mengambil formulir surat kepindahannya dari asrama.Begitu sampai di ruang dosen, Kanaya langsung disambut oleh tatapan dingin Liam yang duduk di kursi kerjanya.“Mau ambil formulir pindahan?” tanya Liam tanpa basa-basi.“I…iya pak.” Kanaya mengangguk cepat.Liam langsung berdiri menuju mesin printer dan mengambil kertas yang sudah tercetak sebelumnya disana.Sembari menunggu Liam, Kanaya hanya bisa diam dan memperhatikan punggung pria itu. Hingga tak lama, pria itu telah kembali ke hadapannya.Liam menyerahkan formulirnya kepada Kanaya. ”Tinggal kamu isi setelah selesai kamu berikan kepada pengelola asrama.”Kanaya menerima formulir tersebut dan membacanya sekilas. ”Baik pak, kalau begitu saya permisi sekarang, nanti saya berikan kepada kepala pengelola asrama setelah selesai kelas.”“Kabari jika sudah selesai semuanya, nanti saya jemput kamu di dekat asrama untuk bawa baran
Kanaya terdiam, terasa seperti baru ditampar kata-katanya sendiri.“Tidak … bukan begitu …”Mobil menepi perlahan.“Selesai. Silakan,” gumam Liam datar.Kanaya menghela napas, lalu buru-buru membuka pintu, menunduk dalam. “Terima kasih sudah mengantar. Selamat malam.”Dia melangkah cepat pergi tanpa berani menoleh kembali, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh.****Beberapa hari berlalu. Siang itu Kanaya berlari tergesa menembus kerumunan orang di trotoar. Waktu hampir habis dan sekarang dia terjebak macet dalam perjalanan menuju kantor catatan sipil.Padahal hari ini adalah jadwal Kanaya dan Liam menandatangani berkas akhir pembuatan akta nikah setelah semua proses online selesai.“Tadi kenapa nggak naik motor saja…” gumam Kanaya pelan sambil memijat betis yang mulai kram. Namun dia kembali berlari, menuruni tangga dengan hampir saja terpeleset karena terburu-buru.Sebelumnya, Liam sempat menghubunginya untuk menjemput di dekat asrama, katanya permintaan Nenek Riana. Kanaya me
Kanaya membuka mulutnya, namun tak satu kata pun keluar. Jantungnya berdegup begitu keras hingga terasa menyakitkan.“Saya…” suaranya nyaris tidak terdengar, tenggorokannya seakan terkunci.Liam menatapnya lebih dalam, lalu berkata, “Katakan nanti saja di pertemuan keluarga.”Setelah itu, Liam langsung melangkah pergi, meninggalkan Kanaya yang masih kebingungan.Kanaya mematung beberapa detik setelah punggung Liam menghilang dari pandangannya. Nafasnya tercekat, batang tenggorokannya terasa mengering. Ia memejamkan mata sesaat, mencoba menenangkan dirinya yang hampir limbung.Tanpa benar-benar sadar, kakinya melangkah kembali ke perpustakaan. Langkahnya terdengar terburu-buru di antara derit kursi dan suara ketikan keyboard. Naira sempat menoleh ketika Kanaya muncul dengan wajah pucat.“Eh, Nay—”“Aku pulang dulu, ada urusan” ucap Kanaya cepat, berusaha terdengar tenang meski suaranya bergetar. Naira hendak bertanya, namun Kanaya hanya tersenyum tipis sebelum meraih tasnya, memasukka
Tiba-tiba saja, potongan ingatan soal kejadian di ruang dosen itu kembali terputar di kepala Kanaya, ketika Liam menyinggung sikap Kanaya dengan menyebutnya sebagai wanita yang dijodohkan dengannya.Saat itu, Kanaya sama sekali tak paham dengan maksud ucapan Liam. Dia pikir, Liam mungkin salah bicara atau asal sebut.Namun, sekarang semua terasa masuk akal. Mungkin saat itu Liam memang sudah tahu semuanya.“Jadi… Naya akan dijodohkan, Bu?” tanya Kanaya lirih setelah selesai membaca surat tersebut.“Ibu tidak akan memaksamu jika kamu tidak mau dijodohkan, Kanaya. Ibu bisa bicarakan baik-baik dengan keluarga teman kakekmu,” jawab Tania lembut. “Lagi pula, perjanjian itu sudah lama. Jika kamu menolak, tidak apa-apa.”Kanaya menggigit bibir, menunduk.‘Tapi jika aku menolak… Ibu akan diperlakukan lebih buruk lagi oleh Ayah. Dan aku tidak sanggup melihat Ibu menderita hanya karena aku egois tidak ingin dijodohkan…’ pikirnya.Suara teriakan dan perlakuan kasar ayah sambungnya masih terngian
Kanaya membulatkan matanya, ini akan benar-benar menjadi akhir dari perkuliahannya.Entah apa yang dilakukannya di masa lalu hingga harus menghadapi situasi seperti ini sekarang. Kini, dia hanya bisa menghela napas dan menerima semua ini. Setidaknya jika dia tidak melawan, mungkin hidupnya masih akan berjalan cukup normal.“Baik, saya akan tutup mulut dan melupakan kejadian itu, karena saya juga tidak ingin kabar ini sampai tersebar dan merugikan perkuliahan saya yang tinggal dua semester lagi.” Kanaya mencoba tetap tenang, meski sekarang pikirannya sudah kemana-kemana.Cara terbaik untuk mengamankan kuliahnya saat ini dengan mengikuti apa yang diminta pria yang berada di hadapannya ini, jangan sampai kerja kerasnya untuk kuliah sampai di tahap ini sia-sia karena skandal tersebut.Dia hanya ingin selesai kuliah tepat waktu, bekerja dengan baik dan membahagiakan ibunya.“Saya juga minta bapak untuk benar-benar menjaga rahasia ini, meskipun saya sudah tutup mulut tidak menutup kemungkin
“Uhh … tolong pelan-pelan …”Kanaya menggeliat ketika pria itu menjamah tubuhnya. Rasa geli sekaligus nikmat menyerang seluruh indera di tubuh Kanaya.Beberapa menit yang lalu, gadis–tidak, wanita itu masih dalam keadaan sadar di pesta ulang tahun temannya. Namun, entah apa yang terjadi, tiba-tiba dia telah berada di kamar hotel ini dalam keadaan tanpa baju.Terlebih, pria itu terus menghujani Kanaya dengan sentuhan-sentuhan yang memabukkan.Kanaya ingin menolak karena dia tahu ini tidak benar. Namun, tubuhnya berkhianat dan justru menikmati semua itu.“Ahh … sakit …” rintih Kanaya lagi ketika sesuatu yang asing menerobos tubuhnya.“Sakit atau enak?” tanya pria itu dengan suara rendah. “Tubuhmu bilang sebaliknya.”Kanaya menggelengkan kepalanya dengan mata setengah terpejam. Sementara pria itu mulai bergerak perlahan, tapi sangat pasti seolah ingin menikmati tiap inci dari tubuh Kanaya.“Mhhh …” pria itu menggeram rendah, seperti merasa puas dengan apa yang diberikan Kanaya.Rasa saki







