[Andre POV]
'Jatuh cinta, berjuta indahnya....'
Perkataan itu memang benar adanya. Seperti yang ku rasakan saat ini, ketika akhirnya Arina memberikan aku lampu hijau untuk bisa lebih dekat dengan dia. Semuanya terasa indah. Kalau kata orang sih, bagi orang yang jatuh cinta tahi kucing saja terasa seperti coklat. Weleh! Untung aku masih bisa membedakan benda mana yang benar-benar bisa dimakan dan yang cuma halusinasi.
Memang kami belum resmi pacaran, tapi setidaknya aku punya harapan untuk itu. Mas Fajar pernah bilang padaku hati Arina itu seperti pintu lapis baja, yang digembok rangkap tiga. Maksudnya dalam hal hubungan dengan lawan jenis, dia seperti sangat membatasi diri.
Arina itu perempuan yang ramah dan baik hati pada siapa saja, tak terkecuali pada lawan jenisnya, hanya saja dia baik hati dalam taraf sebagai sesama manusia, bukan untuk menjalin suatu hubungan romantis. Jadi ketika
[Andre POV] Rumah makan untuk keluarga ini memang nyaman, selain tempatnya luas, bersih, pelayanannya baik dan ramah. Teman-teman yang lebih dahulu sampai sudah berada di tempat duduk yang kami pesan, bahkan mereka sudah mulai memesan. Hanya Mas Fajar, Mbak Rere dan Bang Ucok yang belum kelihatan. Mereka masih menjemput Rena and Reno. Arin mengambil tempat duduk, dan tentu saja aku mengekor. Sayangnya di situ juga ada Cici yang langsung sumringah begitu melihat aku duduk di dekatnya. Aku tidak paham dengan perempuan satu ini. Aku sudah jelas-jelas cuek padanya, bahkan aku sudah secara gamblang menunjukkan dari sikapku bahwa aku menyukai Arin, tapi tampaknya dia belum lelah untuk mengharapkan aku. Justru aku yang jadi capek sendiri. Tepuk jidat! Aku dan Arin segera ikut memesan makanan. Kami bisa makan bersama, beli berbagai macam lauk untuk dimakan bareng. Masing-masing boleh pilih minuman da
[Arina POV] Salah satu klien setia kami adalah Diah Dewandari, penulis novel terkenal yang buku-bukunya selalu laris di pasaran. Bu Dana, bos kami, adalah kenalan baiknya. Pada satu kesempatan sewaktu mereka bertemu, Bu Bos mempromosikan kantor kami, dan menawarkan jasa jika sewaktu-waktu Mbak Diah butuh desain sampul novelnya. Aku jadi orang yang beruntung dalam hal ini. Ketika dia mencoba membuat sampul untuk novelnya yang berjudul Introspeksi, dia meminta setiap staf di kantor kami untuk membuat contoh desain sesuai dengan kreativitas masing-masing. Memang begitulah dia, hanya mau buat satu sampul novel tapi mintanya macam-macam, merepotkan orang sekantor. Tapi kami selalu berupaya untuk profesional, kami pun menyanggupinya. Dan desain buatanku lah yang dipilih oleh Mbak Diah. Suatu kebanggaan tersendiri untukku karena aku termasuk penggemar novel-novel karya M
[Arina POV] "Pak Painooo..., minta air putiiiih..., dua gelaaaas...." Pak Paino terkekeh melihat gayaku yang bernyanyi hanya untuk meminta air putih, seperti orang yang bermain opera saja. "Wah, tadi bernyanyi 'ingin marah', lalu minta air putihnya juga dengan gaya bernyanyi. Non Arin mestinya jadi pemain sandiwara radio saja." "Waduh, Pak. Masih ada ya sandiwara radio? Nggak ada yang dengerin nanti," sanggahku menanggapi usul Pak Paino yang sudah tidak sesuai zaman. Dengan penuh kebanggaan dia menyambung usulannya tadi, "Nanti saya yang dengerin, Non. Istri saya juga. Teman-teman di kantor juga." Aku menanggapi dengan cibiran, bercanda tentunya, "Kalaupun orang kantor pada dengerin, jumlahnya nggak lebih dari sepuluh orang. Stasiun radionya nggak ada yang mau, Pak. Sudah bukan zamannya lagi." Sembari mengambi
[Arina POV] "Santi..., sendirian aja nih?" Kudekati sahabat sekaligus teman kerjaku itu yang sedang sibuk dengan perangkat elektronik di hadapannya. "Enggak, bersama bayang-bayang masa lalu." Gadis itu menjawab dengan gaya dramatis. "Idih, yang nggak mau move-on," cibirku menggoda. "Pantesan nggak jadian juga sama si abang." Dia langsung manyun. "Diam kau, Squidward, atau ku tutup mulutmu pakai kartu kredit," ancam Santi dengan wajah sesinis kasir restoran bawah laut itu. Rupanya bila dia mau, Santi bisa lebih mirip si tokoh kartun itu ketimbang aku. "Uang tunai saja, Ratu. Kartu kredit berat cicilannya," selorohku menanggapi ancamannya yang tidak menakutkan. Santi memajukan bibir bawahnya. Akhirnya ia tersenyum juga. "Yang lain ke luar semua, ya? Mbak Resepsionis juga?" aku bertanya lagi. "Iya, urusan masing-masing. Kamu sudah selesai urusan ke penerbit, Rin?" sahut Santi tanpa melepaskan pandangan dari komputernya. "Sudah beres dong! Sekarang Arina tinggal santai," jawabku
[Arina POV] "Wah...." Santi terpukau ketika melihat wujud kafe Magnolia, seperti aku ketika pertama datang ke sini. Akhirnya aku bisa datang ke sini lagi, sekaligus mengajak sahabatku ke tempat asyik nan romantis ini. Kesampaian juga kami pergi dengan pacar kami, eh bukan ding, gebetan. Jadi ketahuan nih kalau ngarep. Kami berempat datang berboncengan. Awalnya aku mau kami berangkat sendiri-sendiri saja, jadi nanti bisa langsung pulang ke rumah masing-masing. Tapi pria-pria kami keberatan, lebih baik kami berboncengan saja berdua-dua. Oke lah. Aku bilang aku mau berboncengan dengan Santi, tapi gebetan Santi langsung bilang kalau dia tidak setuju. Malu katanya, masa dua pria gagah membiarkan dua wanita cantik pergi sendirian, eh pergi berdua? Cowok harus boncengin cewek, bukan cewek boncengin cewek, apalagi cewek boncengin cowok, nggak boleh! Begitulah gaya bicara Pak Pr
[Andre POV] Akhir-akhir ini kantor desain grafis kami mulai berubah menjadi kantor tabloid gosip. Anggota klub Lambe Turah mulai bermunculan. Mereka ribut membicarakan aku dan Arin, serta Bang Ucok dan Santi. Dalam hal ini Arin ternyata ikut-ikutan, tentu saja dia bukan membicarakan dirinya sendiri. Anti! Yang ada kalau ditanya soal hubungan dia denganku, dia akan ambil langkah seribu. Begitulah Arin, tukang melarikan diri. Coba bayangkan bagaimana lambe-lambe turah bermunculan. Dari 3 karyawan dan 3 karyawati lajang sudah terbentuk 2 calon pasangan. Jangan-jangan kantor kami ini biro jodoh terselubung? Belum resmi, tapi sudah ada acara 'jodoh-jodohan'. "Ciee, Arin dan Andre," atau "Wah, Ucok dan Santi, nggak nyangka deh," atau "Kapan jadian?" semacam itulah. Sedangkan 1 pasangan tersisa yang tidak masuk kategori berjodoh, jadi ikut dijodoh-jodohkan. Bikin keki nggak sih? Pertanyaan, "Kalian nggak mau jadian juga? Biar kantor kita couple
[Arina POV] "No, thanks." Kata-kata itu diucapkan Cici dengan begitu sinis, hingga membuatku terperangah. Hari ini kami ingin makan siang di kantor saja, karena masih banyak desain yang harus dikerjakan. Aku menawarkan ide untuk beli makanan pesan antar, dan sebagian besar sudah setuju. Jadi aku berniat menawari Cici juga kalau dia mau ikutan. Aku mendatangi dia yang baru kembali dari toilet, bertanya apa dia mau join. Tapi tawaran baikku hanya ditanggapi dengan dingin. Aku pun kembali ke mejaku dengan perasaan sedikit terluka. Santi yang memperhatikan kami menyuruhku duduk lalu mengusap-usap lenganku. "Sudah, biar aku saja yang pesankan," ujarnya mengambil ponsel di tanganku. Aku menghela napas lalu menghembuskannya dengan begitu keras. Sudahlah, mari kembali bekerja. Beberapa menit kemudian Bu Bos masuk ke ruangan kami. Aku sempat melihat dia te
[Arina POV] Draft untuk desainku sudah kelar. Nanti tinggal dipercantik, dan siap dicetak. Si Fotografer Jahil sibuk di depan komputer Bu Jasmine. Seperti janjinya tadi dia mengerjakan pekerjaan yang tidak bisa aku lakukan, membuat website dan memasang aplikasi untuk jualan online. Dia memang selalu bisa diandalkan untuk urusan pekerjaan, cekatan sekali, pegawai serba bisa. Entah apa yang tidak bisa dia lakukan... eh, katanya tak bisa melupakanku? Gombal, ah. "Mbak Arin, kenapa senyum-senyum sambil ngelihatin Mas Andre?" tanya Bu Jasmine tiba-tiba. "Nggak apa-apa, Bu. Cuma ngelihatin, takut kalau ada yang salah. Ternyata Mas Andre sudah jago, nggak perlu dibantuin," elakku sambil meringis malu. Mati gue! Andre tersenyum mencemooh tanpa memalingkan muka dari komputer. Tampaknya dia sedang berkonsentrasi penuh, mungkin ingin pekerjaannya