Share

Status Talak di FB Suamiku
Status Talak di FB Suamiku
Author: Novi Aprilia

Status Talak

Bab 1

[Mulai hari ini dengan segenap kesadaran, Saya Gilang Sentawibara menceraikan istri saya Nia Nirmala dengan talak tiga.]

Gawai mewahku terjatuh dari genggaman. Dada sesak, napas tercekat. Status di F******k suamiku membuat duniaku hitam. Pusing mendera, hingga tak ada kalimat positif yang melintas di dalam kepalaku.

Kling! 

Kling!

Kling!

Notifikasi w******p, f******k, SMS dan aplikasi lainnya terus berdering tiada henti. Dengan tangan gemetar mencoba melihat beberapa pesan yang masuk.

[Nia, lihat status suamimu!!!] Chat dari salah satu sahabatku. 

[Nia, kalian berantem? Kenapa di publik begini?] Isi chat dari iparku. 

[Buk Nia, Pak Gilang kenapa?] Ya Tuhan! Rekan kerja Mas Gilang juga ikut bertanya.

[Dek, kenapa suamimu?] Chat dari Kakak tertuaku. 

Ya Allah! Puluhan chat lain menumpuk. Aku tidak berani membukanya lagi. Ada apa dengan Mas Gilang sebenarnya? 

Kuabaikan ratusan pesan yang tentunya pertanyaan yang belum bisa aku jawab. Segera kucari kontak Mas Gilang. Berulang kali, aku menghubunginya. Namun, sekalipun tidak masuk. 

Mas kamu kemana? Gelisah melanda. Lidah kelu tak bisa berucap. Kaki tak bisa kugerakkan. Apa mungkin ini prank? Tidak! Mana ada prank segila ini. Talak tiga, bukan main-main. Tidak ada kata rujuk kecuali harus menikah dengan pria lain. 

Apa jangan-jangan akun Mas Gilang di hack orang? Tidak mungkin juga, kalau iya, pastinya Mas Gilang sudah menghubungiku. Malah sekarang nomornya tidak aktif. 

Aaarggh! 

Aku menarik napas dalam. Berusaha tenang, meski detak jantung tak lagi normal. Ini ada yang tidak beres. Mas Gilang mencintaiku. Dia tak mungkin membuatku kecewa. Tidak. 

Tok! Tok! Tok!

"Nia! Nia! Buka pintunya!" Suara teriakan Ibu mertuaku jelas terdengar.

Dengan langkah gontai menuruni tangga. Uratku menegang, sulit untuk berjalan. 

"Nia, buka pintunya, Nak!" teriak wanita yang 12 tahun menjadi mertuaku. Wanita tanpa cacat dan cela. Mencintaiku layaknya putri kandung dia sendiri. 

"Sebentar, Bu!" Suaraku parau. 

Bergegas kuputar kunci, pintu didorong sebelum kubuka. Wajah mertuaku terlihat panik. Dia mendorong tubuhku pelan untuk masuk ke dalam. Kemudian, kembali mengunci pintu rapat. 

"Nia, kamu berantem sama Gilang? Kenapa, Nak? Kenapa harus di publik seperti itu?" todong Ibu mertua. Kuhela napas kasar. 

"Tidak, Bu. Nia tidak berantem. Nia juga tidak tahu kenapa bisa begini." Tangisku tumpah seketika.

"Kamu sudah menghubungi Gilang. Ibu berulang kali mencoba, tapi gagal," keluh Ibu dengan wajah lesu.

"Sama, Bu. Mas Gilang juga tidak mengabari Nia. Ditelpon juga nggak nyambung." 

"Sebelumnya kalian ada berantem?" tanya Ibu memastikan. 

"Tidak, Bu. Kami tidak pernah berantem. Sama sekali tidak pernah," ungkapku. 

"Yakin? Kamu tidak melakukan hal yang mengecewakan Gilang, 'kan?" tanya Ibu lagi. Sepertinya dia belum puasa dengan ucapanku. 

"Beneran, Bu. Mas Gilang tidak pernah bilang apa-apa. Hubungan kami biasa saja, Bu," balasku yakin. 

Ibu menghubungi pihak kantor. Nyatanya Mas Gilang tidak masuk kerja. Semua tugasnya dibebankan pada anak buahnya. Berita lebih mencengangkan, Mas Gilang cuti selama sepuluh hari. 

Aku bergegas lari menuju kamar. Biasanya kalau dia pergi ke luar kota atau luar negeri akan membawa banyak perlengkapan. Namun, kali ini dia tidak bilang apa-apa padaku. 

"Nia mau kemana?" tanya Ibu. Wanita senja itu berlari mengikutiku menuju kamar. 

Kakiku lemas ketika koper Mas Gilang tak tertangkap oleh indera penglihatanku. Kuseret langkah menuju lemari bajunya. Ya Allah, sebagian bajunya tidak berada di tempatnya. 

"Bu, Mas Gilang pergi, Bu," lirihku. 

"Pergi kemana?" tanya Ibu yang ikutan panik. 

"Entah, Bu. Nia tidak tahu." Aku menangis histeris. Ibu berusaha menenangkanku. 

"Kapan terakhir kali kalian bertemu?" interogasi Ibu.

"Tadi pagi, Bu. Sebelum Nia berangkat mengajar di panti asuhan. Mas Gilang tidak pesan apa-apa. Dia bersikap biasa saja. Tadi pagi memang duluan Nia yang berangkat," ungkapku pada mertua. 

"Ini aneh. Kenapa Gilang seperti ini?"

"Bu, kita cari Mas Gilang, ya? Ayo Bu!" rengekku.

"Kita cari kemana, Nia?" tanya Ibu bingung.

"Nggak mau tahu, Bu. Nia harus ketemu sama Mas Gilang. Nia harus tanya kejelasan talak itu, Bu. Nia malu masalah ini diketahui semua orang ...."

"Ya, seantero negeri," sahut ibu mertuaku.

"Bu, Ayo!" Aku bangkit dan meraih pergelangan Ibu mertuaku. Dia tidak protes mengikutiku turun ke lantai dasar rumahku. 

"Nak, kita mau cari Gilang kemana? Sebentar lagi malam, Nia. Percuma saja muter-muter nggak jelas," ucap mertuaku pelan. Dibelainya wajahku berulang kali.

Aku terus merenggek bak anak kecil tak kebagian permen. Pokoknya, aku harus mencari keberadaan Mas Gilang. Aku tidak bisa diperlakukan seperti ini. Malu sampai ke ubun-ubun. 

Kling! 

Kling! 

Kling!

Notifikasi WhatsAppku dan Ibu berbunyi berbarengan. Chat masuk dari grup keluarga besar Mas Gilang. 

[Nia, Gilang kenapa? Kamu dimana sekarang?] Pertanyaan dari kakak tertua Mas Gilang.

[Kak Nia! Yang sabar ini belum tentu benar.] Ucapan penyemangat dari adik bungsu Mas Gilang.

[Iya, Mbak. Mungkin F* Mas Gilang di hack orang tak bertanggung jawab. Mas Gilang itu baik, sangat baik.] Kalimat pujian dari ipar Mas Gilang.

Arrrghhh!

"Bu, semua orang sudah tahu masalah ini? Apa salah Nia, Bu?" tanyaku dengan isakan tangis.

Ibu tidak menjawab. Jemarinya menari-nari atas benda pipih kesayangannya. Entah apa yang dia lakukan. Setelah, jemarinya lepas dari layar gawai. Suara notifikasi whatsAppku kembali berbunyi. 

[Ibu dan Nia di rumah Gilang. Tidak ada yang tahu kemana Gilang. Keadaan Nia memprihatinkan.] 

Ternyata, ibu dari tadi membalas pesan di group keluarganya. 

Hanya butuh beberapa detik, balasan dari keluarga Mas Gilang. 

[Nia dan Ibu tetap di rumah. Kami akan ke sana. Jangan kemana-mana, sebentar lagi malam.] Kakak tertua Mas Gilang mengingatkan. 

Kuhempaskan tubuh ke sofa. Aku tak tahu bagaimana cara menumpahkan lara. Nyeri dada tak mampu kulukis dengan kata. 

"Bu, tampar Nia, Bu! Tampar," pintaku pada mertua. Aku berharap, jika ini semua hanya mimpi. 

Ibu mertua meletakkan gawainya atas meja. Melangkah mendekat. Dijatuhkan bokongnya di dekatku. Bukan tamparan yang kuterima. Namun sentuhan halus.

"Nak, tenang. Ibu panik juga, kita semua malu dengan ulah Gilang. Kamu tenang, kalau kamu panik, Ibu juga ikutan panik, Nak." Ibu membingkai wajahku dengan kedua tangan lembutnya. Mata kami beradu, kutemukan keteduhan di dalamnya. 

Ditarik tubuhku dalam pelukannya. Diusap punggungku perlahan. Ibu menenangkanku dengan kalimat penyemangat. Ayat-ayat Al-Quran di dengungkan di telingaku. Keluarga Mas Gilang sangat agamis. Segala yang dikerjakan selalu sesuai dengan Hukum Islam. Kelakuan Mas Gilang hari ini, berbanding terbalik dengan kepribadiannya. 

"Assalamua'laikum!" 

"Nia, Itu suara Lukman," ujar ibu. 

Ibu bangkit tanpa menunggu balasan dariku. Dia berjalan tergesa untuk membukakan pintu. Aku hanya mampu berlinang air mata. Pikiran kalut, hati serara diiris sembilu. Detak jantung sama sekali tidak normal. 

Aku melirik ke pintu depan. Selain Mas Lukman ada juga Mbak Tari_istrinya. Mereka melangkah mendekat. Mbak Tari menghambur memelukku. Tangisku kembali tumpah. 

"Bu, Gilang tidak cerita apa-apa sama Ibu?" selidik Mas Lukman.

"Tidak, Nak. Jumpa dengannya pun minggu lalu, ketika jumpa keluarga," ungkap Ibu. 

"Sama kamu, Nia?"

"Ti---tidak ada Mas," jawabku terbata. 

"Ini aneh. Sangat aneh. Kalian selama ini baik-baik saja. Kenapa langsung bisa seperti ini?" tanya Mbak Tari. 

Aku mengeleng tidak tahu. Mas Gilang tidak pernah menunjukkan tanda apa-apa. Hubunganku dengan Mas Gilang biasa saja. Kami berdua menjalani rumah tangga semestinya. Kesibukan kami juga banyak menyita waktu. 

Mas Gilang menjalankan perusahaan keluarga. Kesepakatan bersama keluarganya. Hasilnya cuma perlu dibagikan dengan Ibu. Semenjak Ayah mertua tidak ada lagi. Tanggung jawab merawat Ibu sepenuhnya jatuh di pundak putra-putrinya. 

Aku sama sekali tidak keberatan. Bahkan, aku ikut mengurus segala keperluan ibu. Hal itu, membuat semua saudara Mas Gilang menyayangiku tanpa batas dalam kasih sayang. Kalau masalah batasan mahram atau bukan itu poin utama yang harus dijaga dalam keluarga suamiku. 

"Assalamua'laikum!" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status