"Negatif, Dok?" tanyaku dan Mami bersamaan.Dokter tersebut mengangguk sembari tersenyum. Sementara aku dan Mami saling berpandangan saking bahagianya. Mas Reno pun tanpa aba-aba langsung memelukku di depan dokter dan Mami."Kita negatif, Dek! Kita negatif!" serunya.Aku sampai menitikkan air mata saking bahagianya. Mami merengkuhku dan Mas Reno. Kami bertiga saling berpelukan, menangis karena kebahagiaan. Malam harinya di rumah Mami, Mami dan Papi mengadakan tasyakuran. Untuk kehamilanku dan hasil tes kami yang negatif. Walaupun aku tahu, Mami tak bisa seratus persen bahagia karena masalah yang sedang menimpa Mas Randi dan Viola. Namun, wanita itu terlihat berusaha menutupinya.Hari berganti dengan begitu cepat. Viola divonis hukuman lima tahun penjara dan Mas Randi atas kasus penggelapan dana perusahaan dan perzinahan mendapat vonis tujuh tahun. Papi Viola pun divonis tiga tahun. Keluarga besar Viola hancur. Maminya menjual rumah mereka dan membawa anak-anak Viola. Kata Mami merek
Usia bayi kami sudah tiga bulan saat aku mulai menyadari Mas Reno tampak lebih kurus dari sebelumnya. Padahal nafsu makan dan aktivitasnya tidak banyak berubah. Malam hari pun ia tak lagi ikut begadang menjaga Cilla karena aku tidak tega. Siang dia sudah cukup lelah bekerja untuk kesejahteraan kami, jadi biar malam hari aku yang mengurus bayi kami, Priscillia Salsabila. Bayi cantik yang biasa kami panggil Cilla. Namun, aku mengamati berat badan Mas Reno saat ini menyusut cukup jauh dari sebelum kami mempunyai anak."Mas, coba deh, kamu timbang!" saranku saat menemani Mas Reno sarapan sebelum ke kantor."Kenapa emangnya? Aku kegemukan, ya?" Mas Reno menyengir kuda mengajak bercanda.Aku menautkan kedua alis. Tak menanggapi candaannya. Aku memang paling khawatir kalau sudah menyangkut kesehatan orang-orang yang kucintai. "Emang kamu enggak merasa kalau badan kamu kurusan, Mas?""Kamu ngerasa gitu?"Aku mengangguk. "Tuh, kemeja kamu juga kayak kebesaran gitu.""Kayaknya emang iya, sih.
Kakiku laksana tidak menapak bumi saat mendengar berita Mas Reno pingsan. Rasa takut seperti awan hitam yang mengepul sangat besar dan tiba-tiba saja menyelimutiku. Kini seolah-olah aku bisa tahu bahwa ketakutanku selama ini akan menjadi kenyataan. Padahal bisa saja sebenarnya Mas Reno hanya kelelahan. Namun, hati kecilku berkata Mas Reno pingsan bukan karena itu."Mbak, tolong pesankan taksi online sekarang!" titahku pada Mbak Sum setelah menutup telepon dari Kinan."Baik, Bu. Tujuannya kemana?"Kukatakan rumah sakit dimana Mas Reno saat ini berada. Aku langsung mengambil tas dan gendongan Cilla kemudian setelah taksi online yang dipesan Mbak Sum datang, kami pergi bertiga.Sepanjang perjalanan, aku berusaha untuk bersikap tenang. Aku takut kalau aku terlalu cemas, akan mempengaruhi Cilla yang sudah tidak rewel lagi. Karena saat ini anak itu bahkan sudah mau digendong oleh Mbak Sum. Sehingga saat aku menemui Mas Reno, Cilla dibawa Mbak Sum jalan-jalan di luaran rumah sakit."Mas, kam
Nyawaku belum terkumpul sepenuhnya setelah mendengar vonis dari dokter. Namun, Dokter Heru rupanya tak membiarkan aku untuk sedikit saja bisa bernapas. Dokter dengan kaca mata berbingkai hitam itu kembali berkata, "Sebaiknya Ibu dan anak Ibu, segera melakukan tes juga."Aku membuka mulut, tetapi yang keluar hanya udara tanpa suara."Kami tahu, Ibu pasti sangat syok, tapi demi kebaikan semua, kami sarankan Ibu dan anak-anak dari Pak Reno segera melakukan tes juga.""Ta-tapi, Dok. S-sebelumnya kami sudah pernah tes. Dan waktu itu kami berdua negatif. Kenapa sekarang jadi positif, Dok? Apa mungkin tes seperti itu bisa salah?" Aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Mas Reno positif HIV. Enggak! Dokter Heru pasti salah! Kami pernah tes, dan kami berdua negatif! Aku akan minta Dokter Heru untuk tes ulang.Dokter Heru menghela napas. Raut lelaki dengan usia sekitar 50 itu cukup tenang. Sepertinya dokter itu telah sangat terbiasa menghadapi keluarga pasien yang bereaksi sepertiku."Be
"Kalau Reno enggak kenapa-kenapa, terus kenapa kamu nangis gini?" tanya Mami. Sepertinya wanita itu tidak mudah untuk aku bohongi."Mas Reno ... kena meningitis, Mi," jawabku akhirnya. "Sisil takut ...."Mami langsung memelukku. "Reno pasti sembuh, Sil. Nanti Mami akan minta biar Reno ditangani dokter terbaik di sini. Kamu tenang aja!"Namun, air mataku tak bisa begitu saja berhenti mengalir karena aku tahu sakit Mas Reno yang sebenarnya. Suamiku itu seumur hidupnya tidak akan pernah bisa sembuh. Bahkan ada kemungkinan aku dan Cilla ikut terkena juga."Sudah, Sil. Semua pasti baik-baik aja. Mami sama Papi akan pilihkan pengobatan yang terbaik untuk Reno." Mami terus mengelus punggungku dengan lembut."Ma ...." Mas Reno memanggilku tanpa membuka matanya."Iya, Mas. Gimana?" Mami mengurai pelukan dan kami langsung mendekati Mas Reno."Pusing ...." Mas Reno mencengkeram kepalanya. "Tolong, mintain obat," pintanya masih sambil memejamkan mata."Sebentar aku tanya perawat dulu, Mas." Karen
"Gimana kabarnya, Bu Sisil?" tanya Dokter Rahardian membuat aku terjaga dari lamunan."Ah, ba-baik, kok, Dok."Dokter Rahardian kemudian menghela napas panjang. Sementara aku menundukkan kepala. Aku malu bertemu kembali dengan dokter itu dalam kondisi seperti ini. Rasanya aku seperti menjadi manusia kotor karena penyakit yang diderita Mas Reno, karena kemungkinan besar kalau Mas Reno benar-benar positif, maka aku juga positif."Aku baca rekam medis Pak Reno, beliau sebelumnya udah pernah cek, ya?" tanya Dokter Rahardian memulai pembicaraan.Aku mengangguk. "Iya, Dok.""Bu Sisil sendiri udah pernah cek juga?""Sudah." Sungguh, kalau bisa aku ingin masuk ke dalam bumi saat ini juga. Aku tidak pernah bermimpi sama sekali akan bergelut dengan penyakit kotor ini sebelumnya. Aku malu, aku merasa diriku kotor, menjijikan. Walaupun aku belum tes lagi dan belum tahu hasil tesku seperti apa."Jadi, waktu itu ada peristiwa yang membuat kalian berdua memutuskan untuk cek?"Aku mengangguk. Aku suda
Tiga hari dirawat di rumah sakit, kondisi Mas Reno semakin membaik. Sakit kepalanya ia bilang sudah berkurang. Dalam pikiranku, besok pagi Mas Reno sudah diizinkan pulang. Dokter Rahardian pun mengatakan kalau hasil tesnya bisa diambil ke rumah sakit bersamaan dengan Mas Reno kontrol."Ma, aku mau ke toilet," ucap Mas Reno saat aku menekuri ponsel membaca-baca soal HIV."Ah, iya." Kuletakkan ponsel kemudian beranjak mendekati Mas Reno. Kubantu Mas Reno turun dari tempat tidur kemudian menuntunnya ke toilet sembari memegangi tiang infusnya."Bisa sendiri?" tanyaku saat Mas Reno hendak memasuki toilet."Bisa."Selama Mas Reno di toilet, aku berdiri di depan pintu."Sudah, Mas?" tanyaku saat Mas Reno keluar.Mas Reno mengangguk. Namun, ada yang beda dari saat ia masuk ke toilet. Laki-laki itu cegukan."Loh, Mas, kok, cegukan?" tanyaku khawatir. "Iya, nih. Enggak tahu."Aku kemudian kembali menuntun Mas Reno menuju tempat tidurnya.Aku memang sangat khawatir dengan kondisi Mas Reno. Wala
Aku sudah tidak selera makan sama sekali sejak Mas Reno tidak sadarkan diri. Setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, Mas Reno dinyatakan koma. Suamiku itu juga terkena toksoplasma. Apalagi sebabnya kalau bukan karena daya tahan tubuhnya telah digerogoti virus mengerikan itu.Aku takut. Sangat takut. Apa jadinya aku dan Cilla jika Mas Reno sampai tidak mampu lagi bertahan? Apalagi kalau ternyata aku dan Cilla juga positif HIV. Rasanya, akan lebih baik kalau kami bertiga mati bersama."Sil, sabar ...." Mami mengusap-usap punggungku yang berguncang karena menangis. Aku tidak mampu untuk tidak menangis lagi. Semua ini terlalu berat untukku. Dunia ini seperti sudah kiamat bagiku. Aku sudah tidak punya masa depan lagi."Reno pasti bisa bangun lagi, Sil." Kali ini Papi yang menenangkanku.Kedua orang tua Mas Reno hanya tahu kalau Mas Reno terkena meningitis dan toksoplasma. Mereka tidak tahu penyebab Mas Reno sampai mengidap penyakit dua mematikan itu sekaligus. Aku belum mampu. Sungguh