Share

Bab 3

Menjadi seorang mahasiswa perantau itu sangat tidak mudah, apalagi bagi orang yang belum pernah jauh dari orangtuanya, seperti Kayla. Dia tidak terbiasa jauh-jauh dari Ibu dan Ayahnya, karena dia seorang anak tunggal.

Awal datang ke kota Bandung, dia mengalami culture shock, walapun hanya sedikit. Kayla harus cepat beradaptasi dan bersosialisasi dengan orang-orang di lingkungannya, teman satu kosan, teman kelasnya dan teman-teman di organisasi yang dia ikuti.

Statusnya sudah berganti dari siswa SMA menjadi seorang mahasiswa, dan tentu saja pola pikir yang dimiliki oleh Kayla harus berubah juga. Karena katanya jadi mahasiswa itu harus berpikir kritis dan berani menyuarakan pendapat. Tapi untungnya dia tidak sendiri di kota Bandung ini, ada sebuah perkumpulan organisasi asal daerahnya dan juga kak Janu mantan ketua OSIS pada masa SMA. Dia rela membantu dan menemani Kayla jika dia perlu bantuan.

Janu dan Kayla sudah saling kenal sejak SMA, Kayla yang saat itu sebagai anggota OSIS dan Janu sebagai ketuanya. Tentu saja mereka sering mengobrol, apalagi rumah mereka di satu komplek yang sama. Membuat keduanya sering sekali bertemu.

“Pokoknya kalau Lo udah jadi mahasiswa di sini, Lo nggak boleh malas-malasan Kay. Sesekali boleh lah main, tapi ingat tujuan awal dan mimpi-mimpi Lo dan orang-orang yang menggantungkan mimpinya sama Lo itu gimana? Perasaan mereka yang berharap Lo berhasil di sini,” pesan Janu saat itu dirinya dalam serius mode on.

Kayla mengangguk-angguk saja, sebenarnya dia sedang menahan untuk tidak tertawa setiap Janu dalam sikap serius. Karena biasanya dia selalu saja bercanda, orangnya terlalu humoris.

“Heh dengerin jangan malah mesem-mesem, nanti suka sama gue kan gue yang ribet harus punya pacar dua!”

Kayla akhirnya tertawa. Ia sangat tidak kuat melihat muka serius Janu.

“Gue nggak bisa nggak ketawa liat muka kak Janu yang seserius ini.”

“Lah emang gue serius? Gue bercanda kali, ya biar keliatan keren aja. Hahaha.”

“Idih, kan mulai mode anehnya,” ledek Kayla dengan kesal.

Menduduki semester 4 ini Kayla dipusingkan dengan berbagai tugas mata kuliah, belum lagi dirinya menjabat sebagai ketua di salah satu bidang himpunan jurusan, tambah beban lagi. Pagi kuliah, siangnya rapat karena proker yang ia ajukan saat itu belum juga terlaksana.

Dia merasa sedikit menyesal telah ikut himpunan, ia pikir bisa numpang nama seperti pas zaman SMA, tapi salah.

“Pengen rebahan, nggak mau punya pikiran tugas-tugas atau organisasi apapun!” Keluh Kayla kedua temannya, mereka sedang asik makan sore sambil tipis-tipis mengerjakan jurnal yang ditugaskan di mata kuliah komunikasi persuasif.

“Gue bilang apa, jadi mahasiswa kupu-kupu aja,” komentar Dinda dengan santai, tangannya masih menari di atas keyboard laptop.

Kayla menyuap satu sendok nasi ke mulutnya, lalu kembali fokus mengetik, “Tapi kalau gue jadi kupu-kupu, nggak bakalan dapat nilai plus dong di CV gue.”

Karin melempar bekas kuaci ke arah Kayla, “Jangan ngeluh, gue capek dengerin keluhan Lo. Berisik!”

“Tetaplah mengeluh walupun pada akhirnya tugas-tugas terselesaikan.”

“Bodo amat!” Sembur ketiganya kepada Janu.

Manusia yang sering muncul tiba-tiba, datang tak diundang tapi pulang pengen diantar.

“Kak, kenapa sih sering nemuin Kayla. Nggak cemburu pacarnya?” Tanya Karin, yang ternyata dia sudah selesai mengerjakan jurnalnya.

“Lo udah Rin?”

Karin mengangguk.

“Gercep amat!” Komentar Dinda tak suka jika Karin tidak menemani dirinya menjadi Lambat dalam mengerjakan tugas.

“Tenang aja, Cecilia nggak akan tahu kok. Kan dia beda fakultas,” ujarnya sembari tertawa.

Kayla sama sekali tidak terganggu oleh celotehan Janu yang dianggapnya berisik itu, biarkan saja dia berbicara sesukanya.

“Jadi selain aneh kak Janu juga playboy ya?” Tanya Karin kembali yang sudah santai.

“Aku setia.”

“Setiap tikungan ada maksudnya,”lanjut Janu

“Ya ya ya terserah kak Janu aja.”

Mungkin Karin capek meladeni sikap Janu yang terlalu humoris, apa-apa dibuat bercanda. Tetapi gitu-gitu dia adalah ketua himpunan di fakultas. Sikapnya jika diluar kelas dan organisasi adalah tegas, dingin jika berkomentar dan bijaksana. Pemimpin sekali.

Janu memerhatikan Kayla yang masih saja serius pada laya laptopnya, sembari menopang kepalanya dengan tangan kanan.

“Sini mau dibantuin nggak?”

“Enak banget ditawarin bantuan. Tugas aku nggak mau nih kak?” Tanya Dinda yang sudah menyodorkan laptop nya ke arah Janu.

“Ya udah sini dua-duanya, siapin budget aja 1 halaman gocap!”

Kayla menanggapi ucapan Janu, “gue bilang apa jangan percaya sama manusia satu ini. Nggak ada seriusnya.”

Janu kembali tertawa.

“Ada apa sih kak?” Kayla sudah menutup laptopnya dan mengarahkan fokusnya ke Janu, sembari menyeruput es jeruk kesukaannya.

“Gue kehilangan flashdisk, dan kayaknya ketinggalan di kosan lo.”

“Nanti aku cari, sambil bawa richeese ya?

Juna mengacungkan jempolnya ke arah Kayla. “Oke kalau gitu gue balik.” Tangan Janu yang nakal, sempat-sempatnya mengusap rambut Kayla.

Karin dan Dinda yang melihat itu langsung kompak terkejut. Kayla si biasa aja, mukanya yang tegang.

“Tadi apa?” Tanya keduanya sangat kompak sekali pada Kayla.

“Kok sama deg-degannya kayak diusap Revan?”

****

Wah wah kenapa tuh kok bisa salting sama Janu?

Masih penasaran kah?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status