Hari yang dinanti Imran pun tiba. Dirinya sendiri datang ke pengadilan agama tanpa ditemani Pak Surya atau Bu Surya. Kedua orang tuanya enggan untuk sekadar menemani, mereka justru semakin murka atas sikap bodoh Imran. Bahkan tadi sebelum Imran berangkat, wajahnya mendapatkan bogem mentah dari sang Papa dan membuat sudut bibirnya berdarah.Imran hanya bisa terduduk lesu dengan sesekali mengusap pipinya yang masih terasa sakit. Tapi tidak ada seorang pun yang mengerti akan dirinya, jauh di dalam hatinya, Imran pun merasakan sakit dan pedih. Terlebih tidak ada seorang pun yang mendukung keputusannya. Irman benar-benar sendirian.Setelah melalui banyak proses, akhirnya hakim pun mengetuk palu tiga kali.Imran dan Nisa resmi bercerai. Baik secara agama maupun secara hukum.Tubuh Imran nyaris limbung saat mendengar kalimat terakhir sang hakim, terlebih saat telinganya mendengar suara palu yang diketuk. Seolah tusukan anak panah yang menancap di dadanya. Sakit tapi tidak berdarah.Pulang da
Rumah itu memang masih berdiri kokoh, tapi cinta yang menopangnya sudah roboh kala Imran benar-benar meninggalkan rumah itu. Di rumah ini, tertinggal berjuta kenangan manis pernikahan Nisa dan Imran dan kini itu hanya tinggallah masa lalu.Nisa sudah bisa menguasai dirinya. Meski dengan mata yang sembab, ia melangkahkan kakinya ke lantai atas dan masuk ke dalam kamar yang pernah ditidurinya bersama Imran.Aroma tubuh lelaki itu masih tertinggal di sana. Bagaimana mungkin bisa secepat itu bisa melupakan, jika cinta yang dibangun masih bertakhta megah dalam hati. Imran pergi meninggalkan sejuta kenangan beserta segumpal sakit dan itu kini bersemayam di hati Nisa.Nisa berjalan mendekati ranjang, tangannya menyentuh sprei yang sedikit berantakan. Di sini ia pernah memadu kasih bersama Imran dan menghabiskan malam-malam panjang bersamanya. Tapi kini semuanya sudah usai, kesendirian yang akan menemaninya mulai saat ini. Perlahan, Nisa merebahkan tubuhnya di kasur, matanya perlahan terpejam
Fadhil dibuat gamang dan nyaris tidak tidur semalaman. Meski hatinya sudah mantap mengambil keputusan, tapi tetap saja deg-degan tidak karuan.Pagi tadi saat dirinya tengah sarapan, Imran menelepon dan menagih jawaban padanya. Dengan segala kekuatan, Fadhil mengatakan akan memberikan jawaban saat jam makan siang. Kali ini Irman yang menentukan lokasi meeting, bukan untuk membicarakan perusahaan, melainkan untuk Merencanakan MerencanakanDada Fadhil berdebar-debar saat kakinya masuk ke dalam restoran. Ia lantas naik ke lantai dua. Imran sepertinya sengaja menyewa ruang VIP restoran tersebut untuk obrolan mereka.Tangan Fadhil meraih daun pintu, lantas membukanya. Di sana Imran sudah duduk dengan dua gelas minuman dingin tersaji. Irman berdiri dan tersenyum menyambut kedatangan Fadhil.“Sorry, lama, Im. Tadi macet.” Fadhil berdusta. Bukan macet di jalan, melainkan hatinya yang macet, antara datang atau tidak. Ia sendiri pun masih sedikit tahu atas apa jawaban yang akan diberikannya.“N
Ada hati yang hancur berbalut keegoisan. Senyum palsu terus terukir di wajah Imran. Jika dilihat dari sudut pandang orang lain, tentu mereka akan berpikir bahwa Imran bahagia atas perceraian ini. Tapi itu semua hanya manipulasi hati dari seorang Imran. Tangan Imran menggenggam erat ponselnya sesaat pesan untuk Nisa terkirim. Ia berharap Nisa berkenan untuk bertemu dengan lelaki pilihannya. Matanya terus memandangi pemandangan kota dari balkon kamar apartemennya. Semuanya terlihat indah saat senja menjelang.“Andaikan Nisa ada di sini, pasti dia senang melihat pemandangan ini,” gumam Imran dalam hati. Tapi belum sempat kalimat itu terucap dari bibirnya, Imran segera mengucap istighfar. Tidak pantas rasanya membayangkan wanita yang bukan muhrimnya. Nisa tidak lagi halal baginya, haram jika ia memikirkan hal itu.Kacau, Imran masuk ke dalam kamar dan duduk di depan laptop, menyelesaikan pekerjaan yang sedikit tertunda. Ia sudah mengatur jadwal pertemuan nanti dengan Fadhil. Imran juga
Imran turun dari mobil dan berjalan pelan menuju pintu, tapi ia heran karena pintu rumah dalam keadaan terbuka. Irman tetap berdiri di depan pintu, menunggu si empunya rumah keluar. Entah Nisa sengaja membuka pintu, atau jangan-jangan ....Brak ... terdengar suara benda jatuh dari dalam. Imran yang berdiri di luar terkejut. Panik, lelaki itu pun masuk dan mendapati ruang tengah kosong, tapi kamar yang pernah ditempati Nisa dalam keadaan terbuka. Pun dengan ruangan kerjanya yang bersebelahan dengan kamar itu pun terbuka. Seingat Imran, ruangan itu terakhir ditinggal dalam keadaan tertutup. Nisa pun bukan tipe istri pelupa, ia akan memastikan rumahnya dalam keadaan rapi sebelum melakukan hal lain.Saat tengah merias wajah, Nisa mendengar suara gaduh dari kamar bawah. Terkejut bukan main, firasat buruk mengatakan jika ada orang asing yang masuk ke dalam rumahnya. Dengan langkah pelan, Nisa ke luar kamar.Imran berjalan mengendap-endap saat hendak melangkah ke pintu. Di dalam kamar, terde
Imran menangis tergugu di depan ruang operasi. Tubuhnya merosot dan terduduk di lantai. Dokter dan beberapa perawat sudah berada di sana guna memberikan pertolongan.Sudah setengah jam berlalu, tapi dokter yang menangani Nisa belum keluar dan memberikan kabar bagus. Imran berharap ini semua hanya mimpi dan bukan Nisa yang berada di dalam kamar operasi itu.Imran memeluk lutut, menyembunyikan tangisnya di sana. Ia bahkan tidak peduli pada sekitarnya yang melihatnya dengan tatapan iba. Lelaki itu bahkan terlihat sangat berantakan dengan mimik wajah yang begitu cengeng, karena sejak masuknya Nisa ke dalam ruang operasi, Imran tidak berhenti menangis.Bayangan saat Nisa melindunginya dari serangan pencuri itu masih teringat jelas dalam memorinya. Pisau dapur itu ditancapkan ke arah Nisa dan seketika tubuh Nisa pun ambruk pada pelukannya. Hal yang masih bisa dianggap sebuah keberuntungan adalah bahwa pencuri itu langsung diamankan oleh dua satpam yang dikirimi chat oleh Imran dan tiba tepa
Imran menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan. Dengan terbata-bata dan tangis yang kembali pecah Imran pun menceritakan kronologi kejadian itu pada orang tuanya. Bu Surya menangis tersedu-sedu saat mendengar jika Nisa sudah merelakan nyawanya demi putranya yang bodoh ini. Pak Surya memeluk sang istri berusaha menenangkan.“Wanita mulia seperti Nisa masih sanggup kamu sakiti, Imran! Benar- nggak punya hati kamu!” hardik Bu Surya penuh amarah. Sedari awal memang ia tidak menyetujui sikap egois Imran.“Imran tau, Ma.” Wajah Imran tertunduk dengan air mata yang masih menetes.“Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Nisa. Mama nggak akan maafin kamu!” Telunjuk Bu Surya berada tepat di depan wajah Imran.“Wes, toh, Bu. Ini rumah sakit. Tenang sedikit.”“Tenang opo toh, Pak.” Bu Surya pun memarahi sang suami. Di saat keadaan mulai memanas, pintu ruang operasi terbuka. Seorang perawat mengenakan atribut serba hijau pun muncul di sana.“Keluarga pasien!” serunya“Saya suster!” seru
Fadhil menggandeng tangan sang ibu saat meninggalkan koridor rumah sakit. Sejak tiba di rumah sakit, sang ibu lebih terlihat pendiam dari biasanya. “Kamu kok bisa setenang itu, sih, Fadhil! Ibu nggak paham!” seru Bu Sri kesal saat benar-benar berada di luar gedung rumah sakit.Bu Sri paham bagaimana keadaan hati putra semata wayangnya itu. Fadhil sedang tidak baik-baik saja, terlebih sikap Imran dan orang tuanya. Bu Sri menganggap jika permintaan Imran waktu itu untuk meminta Fadhil menikahi Nisa adalah main-main saja.Kalimat Bu Surya tadi yang menyebut Nisa adalah menantunya masih terngiang-ngiang di kepalanya. Hatinya ngilu jika nantinya Imran membatalkan menjodohkan Nisa dengan Fadhil. Padahal, Bu Sri pun berharap besar bisa menjadikan Nisa menantu di rumahnyaFadhil menyadari kekesalan sang ibu. Lelaki berkacamata itu hanya tersenyum simpul menimpali celoteh ibunya.“Lanjut marahnya nanti di rumah saja, ya, Bu,” ucap Fadhil datar sambil menyalakan mesin mobil.“Kamu, tuh. Selalu