"Saya mungkin tidak bisa membahagiakan kamu. Masih belum bisa menjadi calon suami yang baik mungkin untuk kamu. Bahkan, saya tidak bisa memberikan kenangan manis untukmu atau bisa saja di masa depan saya akan mengecewakan kamu dan membuat kamu menangis. Tapi, yang saya janjikan saat ini hanyalah keseriusan saya untuk menikahi kamu. Kamu bisa lihat dari sikap perilaku saya terhadap kamu. Saya akan berusaha menjadi versi Dewa yang terbaik di depan calon istri saya," katanya tampak serius hingga membuat kedua bola mata Harum berkaca-kaca mendengar kalimat yang baru saja di ucapkan Dewa.
Harum tersenyum lebar. Ia memandangi wajah pria yang terpaut 12 tahun darinya itu dengan pikiran yang tenang, mata yang teduh dan hati yang meluap-luap karena saking bahagianya ia bisa mendengar sebuah kalimat manis dari seorang pria hingga membuatnya tersentuh.Belum pernah ia mendengar kalimat manis itu terucap dari siapa pun termasuk kekasihnya ; Haris. Haris memang bukan tipikal pria yang romantis dan bermulut manis. Tapi, Haris adalah sosok pria keren yang baik hati dan menjunjung tinggi sopan-santun.Selama 3 tahun berpacaran dengannya, Harum selalu merasa nyaman di dekatnya walau terkadang ada beberapa sifat yang ia tidak sukai dari sosok kekasihnya itu.Harum kembali menatap wajah Dewa yang tengah memandanginya. "Terimakasih untuk tidak banyak berjanji kepadaku, Kak. Karena bagaimana pun, aku memang tidak suka dengan sifat pria yang banyak janjinya."Dewa tertawa kecil. Ia memegang kepala gadis yang berada di hadapannya itu dengan lembut dan menatap kedua bola matanya dengan tatapan mata yang menyejukkan hingga membuat Harum merasa tenang dan nyaman saat memandangi Dewa meski kedua bola matanya tertutupi kacamata tebalnya."Mau sampai kapan lihatin saya terus? Kamu nggak akan kuliah?" katanya mengejek hingga membuat Harum tersadar kalau sejak tadi ia belum pergi juga."Oh iya, aku lupa," katanya cengengesan kemudian membuka pintu mobil seraya merapihkan kembali rambutnya di kaca spion."Udah cantik, ko," tutur Dewa pelan kembali hingga membuat Harum tersipu malu mendengarnya."Apaan sih, Kak. Ngejek aku terus, deh.""Saya muji kamu, loh. Nggak ada maksud buat ngejek.""Iya. Terimakasih atas pujiannya.""Harum!" panggil seseorang hingga membuat Harum yang namanya di panggil langsung menoleh ke belakang dan membuat Dewa juga menoleh ke arah seorang pria tinggi yang tengah memanggil nama calon istrinya itu."Haris??" seru Harum yang terkejut begitu melihat sosok Haris berada di belakangnya yang tengah memandanginya dengan tatapan mata yang tajam dan sangat menusuk. "Sejak kapan kamu di situ? Dari tadi?" tanya Harum gugup."Dia siapa, Rum? Kamu di antar sama dia?" selidik Haris dengan mata tak bersahabat."Iya, Harum saya yang antar. Kenapa? Ada masalah?" tanya Dewa yang langsung ke luar dari mobilnya hingga membuat suasana menjadi canggung dan tak menyenangkan lagi.Melihat Haris dan Dewa saling beradu pandang dengan tak bersahabat, membuat Harum begitu gugup. Ia takut hal yang tak dia inginkan akan terjadi di sini sebelum ia menjelaskan semuanya secara mendetail kepada kekasihnya."Siapa lo?" tanya Haris sinis."Har, tenang dulu. Biar nanti aku jelasin semuanya sama kamu.""Saya Dewa, pria yang dijodohkan orang tuanya Harum yang secara tidak langsung adalah calon suaminya. Anda siapa? Apa anda pacarnya Harum?" tanya Dewa hingga membuat suasana terlihat semakin memanas."Rum, bisa kamu jelasin sama aku. Apa yang di katakan pria ini bener?"Harum memejamkan matanya sejenak dan menutupi wajahnya dengan tangannya karena hari ini, ia pasti akan mengalami hal yang akan menyulitkannya."Rum, bener nggak apa yang di katakan pria ini?" tanya Haris kembali untuk memastikan dan nada penekanan.Dengan sangat terpaksa, Harum menganggukkan kepalanya pelan dan menunduk dengan pasrah."Kenapa kamu nggak pernah bilang apa pun tentang masalah ini sama aku?" tanya Haris dengan nada yang terdengar kesal dan ekspresi wajah yang terlihat kecewa."Sorry, Har. Aku bukannya nggak mau cerita sama kamu, kejadiannya mendadak. Orang tuaku baru cerita kemarin. Aku juga baru ketemu kak Dewa kemarin. Beneran, deh. Aku nggak bohong sama kamu.""Terus, kamu mau nikah sama pria ini?" tanya Haris kembali yang sudah mulai terlihat emosi.Harum terdiam beberap saat dan menatap wajah kekasihnya itu dengan tatapan sendu, mulut bergetar dan bola mata yang memerah."Maaf, tapi ini keinginan orang tuaku. Aku nggak bisa menolak," jawabnya sambil menundukkan kepala."Tapi, kan, kamu masih kuliah dan belum bekerja. Kamu mau nikah muda? Terus, aku gimana? Kamu nggak mau memperjuangkan hubungan kita?" tanya Haris kembali dengan kedua bola matanya yang ikut memerah juga.Haris dan Harum saling beradu pandang dengan sangat lama. Melihat sepasang kekasih ini terlihat dalam situasi yang tegang dan merasa kehadiran Dewa di sini seperti pengganggu, Dewa pun memutuskan untuk pergi dan meninggalkan mereka berdua agar mereka bisa berbicara dengan leluasa tanpa ada yang mengganggu."Saya pergi dulu, Rum. Kalian bicarakan saja dulu masalah ini pelan-pelan berdua. Saya tidak akan mengganggu lagi," katanya pelan kemudian pergi."Tunggu, elo jangan pergi!" sergah Haris yang mencegah Dewa untuk tidak pergi hingga membuat langkah Dewa pun terhenti dan terdiam di tempatnya. "Elo jangan pergi, karena gue juga butuh lo di sini untuk jelasin masalah ini dari sudut pandang lo.""Kamu mau saya menjelaskan apa? Kamu sudah dengar semuanya dari Harum, kan?""Elo tetap mau menikahi Harum?" tanya Haris tampak serius."Iya," jawab Dewa singkat dan begitu lugas.Degghh, jantung Haris berdegup kencang begitu mendengar jawaban Dewa barusan."Emangnya lo suka sama cewe gue? Elo tahu sendiri kan dia punya pacar dan kami saling mencintai. Hubungan kami pun sudah berlangsung selama 3 tahun lamanya," katanya yang berjalan selangkah lebih maju dan lebih dekat dengan Dewa hingga jarak keduanya begitu dekat sekali."Saya tahu. Saya juga sangat menghargai hubungan kalian berdua," jawab Dewa terlihat santai."Lantas?" tanya Haris kembali masih tak mengerti."Saya akan mengatakannya sekali dan kamu dengarkan perkataan saya baik-baik," tegasnya seraya menatap wajah Haris yang berdiri di hadapannya dan menatapnya seperti tatapan mata seorang musuh."Saya menyukai Harum sebelum Harum bertemu dengan kamu, bahkan saya menyetujui perjodohan ini pun karena saya sudah lama menyukai kekasihmu. Saya tidak akan merebut Harum dengan cara yang salah, semua keputusan ada padanya. Apa pun keputusannya saya akan menghargainya. Karena bagaimana pun, walau saya di jodohkan dengannya oleh keluarga kami berdua, tapi saya tidak ingin menikah dengan Harum kalau dia menolak saya. Karena saya juga tidak ingin menikah dengan seseorang yang menolak saya dengan keras. Sudah jelas kan jawaban dari sudut pandang saya? Apa kamu sudah puas mendengarnya?" katanya panjang lebar.Begitu mendengar jawaban Dewa, entah kenapa untuk kesekian kalinya Harum merasa tersentuh dengan semua perkataannya Dewa. Rasa suka Dewa terhadapnya juga terlihat begitu tulus, walau datang di waktu yang tidak tepat."Jadi, apa keputusanmu"? tanya Haris sambil memandangi wajah Harum dengan ekspresi wajah yang cukup khawatir, kedua bola mata yang terlihat sedih, sendu juga gugup."Har, aku . . .""Kamu mau kita putus seperti ini?" tanya Haris memotong pembicaraan hingga membuat Harum yang mendengar kata putus meluncur dari mulut Haris begitu terkejut dan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar."Kamu mau kita putus, Har?" tanya Harum dengan mata berkaca-kaca."Kamu tidak bisa menolak perjodohan ini bukan? Kamu juga tidak mau memperjuangkan hubungan kita kan, Rum? Jadi, salah satu caranya mungkin kita ya harus putus.""Semudah itu kamu bilang kata putus setelah 3 tahun kita mengukir kenangan manis kita bersama?" Harum menitikkan air matanya hingga membuat Dewa yang melihat air mata Harum membasahi kelopak matanya merasa bersalah karena sudah membuat mereka bertengkar."Lalu, aku harus bagaimana? Kamu juga tidak bisa menolak perjodohan ini karena rasa sayang kamu terhadap orang tua kamu bukan
"Kita pernah bertemu saat kamu masih SMA. Di kota Bandung, tepatnya saat kamu berlibur dengan keluargamu di sebuah villa. Saat itu kita bertemu dan saat itulah pertama kalinya saya jatuh cinta kepada seorang gadis berusia 16 tahun dan berharap suatu hari nanti kita bisa bersama dan di sandingkan di atas pelaminan.""Serius, Kak?" tanya Harum yang masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengarDewa menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. Masa iya saya bohong soal perasaan saya sendiri?"Harum tersenyum tipis. Kedua bola matanya kembali menitikkan air mata hingga membuat Dewa dengan cepat menghapus air matanya agar tidak terus menetes ke luar."Patah hati wajar. Itu pasti terjadi dalam suatu hubungan agar kamu belajar dari pengalaman untuk lebih dewasa dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan asmaramu, Rum. Jadi, jangan terlalu berlarut-larut dalam kesedihan.""Maaf ya, Kak," katanya terlihat menyesal."Maaf untuk apa?" Dewa kembali bingung."Maaf, karena kakak jadi melihat kej
Semenjak perjodohannya dengan Dewa dan perpisahannya dengan Haris, Harum terlihat termenung dan menyendiri di halaman belakang rumahnya sembari menatap langit malam yang tak berbintang. Sambil mengenang kembali kenangan manisnya dengan Haris, Harum memandangi sebuah aquarium kecil berisi 2 kura-kura yang masih kecil, pemberian dari Haris saat ulang tahunnya tahun lalu."Kenapa, Sayang? Ko, ngelamun?" Sang ibu yang baru saja pulang bekerja langsung menghampiri anaknya dan duduk di sampingnya begitu melihatnya."Mih, apa keputusan Harum sudah tepat untuk memilih berpisah dengan Haris dan menerima perjodohan ini?" Harum menatap wajah ibunya dengan tatapan sendunya."Kamu kecewa dengan perjodohan ini, Nak?"Harum menghela napas pendek dan kembali memandangi kura-kura miliknya dengan mata penuh kerinduan kepada sang pemilik asli kura-kura tersebut."Harum putus sama Haris hari ini, Mih. Bahkan, perpisahan ini disaksikan sendiri oleh kak Dewa.""Dewa? Kalian bertemu hari ini?"Harum mengan
Setelah mendengar cerita tentang Dewa yang sudah menyukainya sejak dulu dari ibunya, Harum terlihat sedang duduk di tempat tidurnya seraya memandangi foto profile whatssapp Dewa beberapa saat.Mungkin, ia sedikit lupa kenangan manis tentang dirinya dengan Dewa dulu, tapi Harum tidak pernah lupa dengan sebuah kenangan tentang dirinya yang tiba-tiba saja melamar Dewa saat ia masih kecil dulu."Ternyata, pria itu adalah kamu, Kak. Maaf, kalau aku lupa. Soalnya, muka kak Dewa dulu sama sekarang itu beda banget. Dulu kan, kamu nggak pake kacamata, terus badannya juga kurus banget nggak kaya sekarang yang udah bagus pake banget. Hmm, jadi, apa gue harus menerima lamaran ini dan menikah dengannya?" gumamnya pelan dan terlihat men zoom beberapa kali foto profile whatssapp Dewa.Karena terlalu sibuk memandangi foto Dewa, Harum sampai terkejut begitu handphonenya bergetar karena tiba-tiba saja Dewa meneleponnya. Karena merasa gugup dan menjdi salah tingkah, Harum langsung mengangkat telepon dar
Harum memandangi 2 buah cincin pemberian dari Dewa di atas meja belajar yang berada di dalam kamarnya. Cincin yang sangat berarti dan memiliki makna tersebut merupakan cincin pemberian dari Dewa dalam jangka waktu yang tak lama, bahkan hanya terpaut beberapa hari saja.Cincin pertama yang berbentuk bunga mawar itu adalah pemberian dari Dewa untuk pertama kalinya. Cincin itu diberikannya sebagai tanda ketulusan dan keseriusannya untuk menjalin hubungan perjodohan ini. Untuk cincin kedua, dengan mutiara putih yang berkilauan diberikan oleh Dewa sebagai cincin yang menandakan bahwasanya Dewa secara resmi melamar Harum sebagai tanda pengikat hubungan mereka untuk ke tahap selanjutnya yaitu sebuah pernikahan.Harum tersenyum tipis memandangi dua buah cincin itu yang sengaja ia pakai dua-duanya sekaligus. Cincin berbentuk mawar merah di jari tengah dan cincin mutiara putih itu di jari manisnya."Semoga, aku tidak salah mengambil langkah. Aku akan menjaga baik-baik kedua cincin ini," katany
Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Namun, Dewa masih terlihat di kantornya dan masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya. Karena terlalu lelah berada di depan komputer berjam-jam lamanya, Dewa membuka kacamatanya seraya memijat-mijat leher dan keningnya yang terasa pegal dan juga penat.Begitu melihat handphonenya yang ia anggurkan berjam-jam karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya, ia begitu terkejut karena ada pesan whatssapp masuk dari Harum jam 7 malam tadi. Kak, sibuk nggak? Bisa ketemu nggak malam ini? Aku lagi butuh teman mengobrol.Begitu membaca pesan tersebut, Dewa langsung meneleponnya dengan terburu-buru karena merasa bersalah karena tidak membalas pesannya secepat mungkin."Hallo, Harum? Maaf, saya telat balas pesan kamu. Saya hari ini sibuk banget dengan kerjaan di kantor, makanya nggak megang handphone dari tadi. Maaf, yah?" katanya terdengar menyesal dan merasa bersalah."Iya, nggak apa-apa ko, Kak," katanya terdengar serak dengan suara paraunya."Rum, kamu baik-bai
Harum dan Dewa langsung terdiam tak bersuara begitu mereka berada di dalam mobil setelah kejadian di tempat makan tadi. Karena sama-sama malu, Harum dan Dewa saling melirik satu sama lainnya. Bahkan, saat Dewa menoleh ke arahnya, kedua pipi Harum bersemu merah hingga seperti warna tomat yang merah menyala."Kak, jangan lihat aku terus kaya gitu," katanya terdengar malu-malu."Rum, kamu serius tadi?" tanyanya lagi untuk memastikan."Serius apanya?" Harum terlihat bingung."Ngajak saya menikah?" katanya kembali masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan Harum saat ia mengajaknya menikah tadi."Aku serius, Kak." Harum terlihat serius."Kamu nggak akan tiba-tiba mengubah atau menarik perkataanmu tadi, kan?"Harum menghela napas pendek. Ia menatap wajah Dewa yang tengah memandanginya. Ia juga memegang kedua pipi Dewa dan menatapnya dalam-dalam."Aku tidak akan menarik lagi perkataanmu tadi, Kak. Aku serius untuk mengajak kamu menikah."Dewa terlihat masih tidak percaya dan menatap kedua
"Gimana skripsimu?" tanya Dewa yang baru saja datang berkunjung ke rumah Harum, kemudian duduk bersama di teras rumah calon istrinya itu."Baru nyari judul sih, Kak. Tapi, selebihnya lumayan lancarlah.""Dosen pembimbingnya gimana? Tidak mempersulit, kan?" tanya Dewa kembali.Harum membulatkan kedua bola matanya dan menatap wajah Dewa dengan tatapan sedih yang sepertinya sudah mengerti dengan ekspresi wajah Harum kalau sudah seperti itu."Killer, yah?" tanya Dewa kembali seraya tertawa kecil.Harum menganggukkan kepalanya pelan, dan kembali memasang ekspresi wajah memelasnya. "Dosenku terkenal pelit nilai dan sangat menyulitkan anak didiknya. Sudah banyak tuh, korban dosen pembimbingku yang seperti itu."Dewa tertawa kecil kembali seraya menyeruput teh manis yang dibuatkan Harum untuknya. "Harusnya, kamu senang mempunyai dosen pembimbing yang tipikal killer seperti itu.""Seneng gimana? Ke depannya aku pasti bakalan dipersulit terus. Nanti, jadwal sidangku pasti ditunda-tunda! Ah, aku