“What?!” Reza langsung berbalik arah ketika mendengar apa yang baru saja aku sampaikan. “Jadi tidak ada malam pertama sampai detik ini?” matanya hampir saja meloncat keluar.
Aku menghela nafas, masih dengan bertopang dagu. Aku tahu reaksi Reza memang akan selebay itu, namun entah kenapa aku masih juga membicarakan hal ini dengannya.
“Tapi gue lihat dia respect kok Jul sama lo.” Eli yang duduk bersebrangan denganku terlihat santai. Ia memang terlihat sedikit terkejut ketika aku mengatakan bahwa tidak terjadi apa-apa selama dua malam ini, namun itu tak berlangsung lama karena ia berhasil membuat dirinya bersikap seperti biasa.
“Ya….mungkin.” sahutku tidak yakin. “Setelah malam pernikahan itu, dia bekerja. Pasiennya drop, dan yang semalam….aku yakin jika dia memang sudah sangat capek.” Hebat sekali aku dalam menghibur diriku sendiri.
Eli manggut-manggut. Sepertinya sedang mencerna alasanaku yang sangat rasional ini.
“Akh, mana ada cerita harus mengurusi pasien ketika kalian baru saja menikah. Apa hanya dia dokter di rumah sakitnya?” Reza masih terlihat tidak terima.
“Dokter ada banyak. Tapi yang spesialis jantung hanya dia sendiri.” Aku mencoba membela suamiku.
“Tapi bukannya di sana ada residen dan lain sebagainya?”
Aku terdiam.
Memang ada. Banyak. Bahkan aku rasa mereka bias konsultasi via telepon jika benar-benar urgent. Tapi….
Akh sudahlah! Merasa tidak terima dengan malam pertamaku yang ‘dianggurin’ benar-benar bukan alasan yang tepat.
“Dia dokter Reza! Emang lo yang bisa seenak jidat main cancel begitu aja pekerjaan lo kalau ada kepetningan pribadi?” Sela Eli. “Dia punya sumpah yang dijaganya.”
Naaah…aku setuju dengan apa yang Eli katakan.
Reza membeliakkan mata, dengan berkacak pinggang dan ekspresi kesal berjalan ke arah kami.
“Ye….gue juga professional kali El. Kalau udah tanda tangan kontrak, gue juga enggak bakalan main cancel begitu aja. Emang cari kerjaan kayak nyari daun di kebun apa?!” sewotnya.
“Nah lo tau. Begitu juga Reinard. Dia dokter—“
“Ya lihat konteks mak! Apalagi malam pertama. Sekali seumur hidup. Sakral!”
“Ya tapi kan ceritanya—“
“Uhaaah….udaaah… Kalian kenapa sih, kalau ketemu hobinya debat terus!” Aku bangkit dari kursi dengan kesal. Mereka berdua bukannya membuat perasaanku lebih baik, justru membuatku semaki bimbang. Percuma aku meluangkan waktu jam makan siang untuk datang ke rumah Eli dengan bermaksud ‘curhat’ kalau pada akhirnya Eli dan Reza malah beradu argument seperti ini.
“Sepertinya gue salah datang ke mari.” Aku menyelempangkan tasku, mengabaikan tatapan tak mengerti kedua sahabatku. “Gue balik ke kantor.” Aku menatap Reza dan Eli bergantian. “So terusin perdebatan kalian.”
“Lo mau pulang sekarang Jul?” Suara Reza melunak. Aku tak menyahut. Kepalaku sudah cukup pusing untuk tinggal di sini lebih lama lagi.
“Jul….!” panggil Eli namun aku tetap tidak peduli. Terus saja mengayunkan langkahku keluar dari pintu.
Berkali-kali aku mendengar Eli dan Reza bergantian memanggilku, namun aku tidak peduli.
*****
“Oke. Bilang pada klien kita, kalau besok sore salah satu dari kita akan ke sana.” Aku menutup map hitam yang kubawa dan memberikannya pada Fitri—karyawanku.
Fitri hanya mengangguk, lantas segera meninggalkan ruanganku. Dua hari cuti dan beban kerjaku bertambah banyak. Bahkan ada beberapa klien yang harus aku reschedule pertemuan karena pernikahanku kemarin.
Aku menghela nafas, menatap tumpukan kertas di depanku dengan pandangan hampa. Di luar jendela, semburat warna kuning keemasaan menghiasi langit. Hari sudah beranjak sore, aku belum juga pulang. Bahkan aku lupa untuk makan siang tadi karena cukup kesal dengan Eli dan Reza yang bukannya mencarikan solusi melainkan hanya membuat hatiku terasa gamang.
“Mbak….ditungguin di depan tuh.” Suara Rini dari balik pintu memaksaku menoleh.
“Ditunggu?” aku benar-benar tidak tahu siapa sosok yang dimaksud Rini
Rini mencebik. “Idiiih…pura-pura lupa.” Ia bersidekap. “Kira-kira siapa sih pria yang rela menunggu mbak Julia sekarang?”
Aku berfikir sesaat. Tebakanku tertuju pada seseorang, tapi apa itu mungkin?
“Maksud kamu Reinard? Suamiku?”
Rini tergelak.
“Emang suaminya mbak Julia ada berapa?”
Aku tersenyum lebar mendengar kalimat Rini. Sebuah kejutan ketika Reinard sudah menungguku di lobi seperti sekarang.
“Oke, bilang sama dia aku bakalan cepet turun.”
Segera kusambar tasku setelah Rini beranjak dari balik pintu. Mengobok-obok isinya dan mengambil sebuah lipstick lantas memberikan polesan di bibirku. Tak lupa juga aku menyapukan sedikit bedak di pipiku agar wajahku terlihat lebih segar. Setelah aku rasa cukup baik, segera aku meninggalkan meja. Mengabaikan semua pekerjaan menumpuk di atas meja tanpa peduli.
Dengan cepat aku menuruni tangga, dan ketika melihat bayangan suamiku di lobi, aku segera berteriak memanggil namanya. Tidak peduli dengan mata karyawanku yang berada di sekitar situ. Bodo amat, aku sedang jatuh cinta dan Reinard adalah suamiku. Aku berhak melakukan apapun padanya, bahkan untuk hal seperti sekarang ini ketika aku sudah berdiri di depannya.
Ya!
Memeluknya dengan erat. Sebuah hal yang ternyata sangat menyenangkan sekaligus mendebarkan ketika aku bisa mencium aromanya dari dekat dan merasakan dadanya yang turun naik ketika bernafas. Toxic! Ini benar-benar toxic! Bahkan aku bisa melakukan hal ini sepanjang hari tanpa bosan.
“Kenapa?” tanyanya lembut.
Aku masih menggeleng dipelukannya.
“Pekerjaanku banyak.” Desisku.
Reinard tidak menjawab, kini aku merasakan telapak tangannya menepuk-nepuk punggungku dengan pelan. Oh Tuhan, demi apapun aku suka bagian-bagian takdir yang seperti ini.
“Kamu tidak lembur?” tanyaku beberapa saaat. Perlahan, dengan sedikit berat aku melepaskan pelukan. Bukan apa-apa, aku rasa sore ini aku sudah cukup mendapatkan banyak perhatian dari karyawan-karyawanku karena memeluk suamiku di lobi seperti ini.
“Hari ini tidak ada operasi.” Sahutnya. “Kamu sudah makan?”
Aku menggeleng.
“Mau makan sesuatu?”
Aku mengangguk.
“Bagaimana kalau makan di luar?”
Aku kembali mengangguk.
“Makan apa?”
“Terserah kamu…”
“Sushi?”
“Maauuu….!!!”
“Oke. Kita berangkat sekarang?” Reinard menatapku. Ujung matanya terangkat beriringan dengan senyum yang mengembang di bibirnya.
“Tentu!” kataku lantas melingkarkan tanganku di lengannya.
Ia mengangguk, dan kami berjalan beriringan meninggalkan kantor.
Selamat tinggal pekerjaan! Selamat tinggal kertas-kertas yang menumpuk di meja! Untuk hari ini, biarkan aku menghabiskan waktu bersama suamiku.
*****
Aku duduk di sofa dengan tidak tenang. Berkali-kali mataku tertuju pada arah pintu kamar mandi yang tertutup. Dari balik pintu itu aku mendengar gemericik air dari shower. Jelas saja, di balik pintu itu Reinard tengah mandi. Setelah makan, Reinard mengajakku untuk segera pulang tanpa mampir kemana-mana. Tentu saja hal itu aku sambut dengan baik. Bagaimanapun, aku berharap malam ini semua akan berjalan sesuai rencana.
Pintu kamar mandi terbuka, dan suara gemericik air dari shower sudah tidak terdengar lagi. Sosok Reinard dengan rambut basah tampak berdiri gagah meskipun hanya berbalut handuk. Tanpa sadar aku menenggak salivaku, setiap kali Reinard muncul dengan tampilan di depanku seperti itu membuat degup jantungku berdetak dua kali lebi cepat. Aku takut terkena serangan jantung di usia muda jika terus-menerus disuguhkan tampilan suamiku yang nafsu-able seperti itu.
“Aku kira sudah tidur.” Katanya santai. Mengambil pakaian dari dalam lemari.
Aku menunduk, masih terlalu canggung melihat suamiku berganti pkaian tepat di depan mataku seperti ini.
“Belum. Aku……..” apa yang harus aku katakan sekarang? Bolehkah aku jujur padanya, jika aku sedang menunggunya untuk malam pertama kami?
“Aku…..!” Reflek aku berdiri, untung saja kini Reinard sudah berpakaian lengkap.
Ia menatapku datar sambil menggosok rambutnya dengan handuk.
“Aku….” Akh, kenapa susah sekali mengatakan ‘ayo melakukan itu malam ini.’
“Iya….?”
Pria di depanku ini memang bodoh atau hanya pura-pura tidak tahu dengan kode-ku?
“Aku…..” Aku menggigit bibir. “Karena tempat tidur kita cuma satu. Bagaimana kalau aku tidur di sofa saja.”
Astaga Julia! Apa yang sedang kamu katakan? Tidak bisakah kamu berkata jujur dengan apa yang kamu inginkan?
Reinard tertawa, ia lantas berjalan ke arahku.
“Kamu yakin?” tanyanya ketika sampai di depanku.
“Aku….” Sejak kapan aku punya semacam penyakit gagap? Perasaan aku tidak pernah se-tidak percaya diri ini berbicara dengan siapapun, bahkan dengan klien atau rival yang jauh lebih hebat daripada aku.
“Tidurlah di tempat tidur.” Reinard mengedik ke arah tempat tidur.
Aku kembali menelan saliva dengan susah payah.
“Lalu kamu?”
“Aku juga tidur di sana. Sejujurnya aku tidak bisa tidur di tempat tidur sempit seperti di sofa.” Jawab Reinard lalu naik ke atas kasur dengan santainya. “Kamu tidak keberatan kan Jul?”
Aku menggeleng.
Tidak! Tentu saja tidak! Aku akan sangat berbahagia menyambutmu di atas tempat tidur kita.
Aku mengikuti Reinard dan perlahan naik ke atas kasur. Menarik selimut dengan pelan dan merebahkan badanku di sampingnya.
Untuk beberapa saat kami saling terdiam menatap langit-langit. Hanya ada suara nafs kami di sana, dan itu sangat menganggu. Apakah yang harus aku lakukan sekarang? Apakah aku harus memulainya terlebih dahulu? Tapi….aku kan wanita. Rasanya tidak begitu pantas jika aku meminta terlebih dahulu untuk hal yang baru pertama kali ini akan kami lakukan.
“Jul….” suara Reinard mengaburkan monolog di kepalaku. “Sudah tidur?”
“Belum.”
“Aku mau bicara.”
“Apa?” akau menoleh.
Reinard terdiam sesaat, kemudian menarik nafas pelan. Dia menatapku, namun dengan pandangan yang sulit ku artikan.
“Mungkin kamu sudah menunggu saat ini. Tapi, maafkan aku Jul. aku belum bisa memberikan nafkah batin itu padamu sekarang.”
Aku melongo, lalu mengerjap.
“Hah?” hanya suara itu yang bisa keluar dari mulutku.
Tau apa yang aku rasakan saat ini? Seperti ribuan peluru berderai menancap di dadaku, seperti ujung tombak runcing yang mencabik-cabik hatiku. Semua terasa berbeda dari beberpa menit lalu. Harapan dan keinginanku untuk menjadi istri yang sempurna lenyap sektika. Semua terasa dingin, bahkan aku merasa asing berada di atas kasur ini bersama Reinard.
Aku telah ditolak. Oleh suamiku sendiri. Ketika biasanya wanita yang akan menolak dan mengatakan tidak siap, kini justru aku yang mendapatkan kata-kata itu dan rasanya begitu menyakitkan.
“Oh…tidak masalah. Karena aku juga belum siap melakukannya sekarang.” Aku mencoba tersenyum setelah berhasil menguasai hatiku.
Reinard tersenyum lega, tangannya terulur kemudian mengelus pucuk kepalaku.
“Terimakasih.”
Aku mengangguk lemas.
“Jadi, mari kita tidur. Karena besok kita akan sangat sibuk.” Kataku lalu menggeser badanku membelakanginya. Semenit kemudian, air mata berderai dari mataku.
****
“Oke…..selamat berbelanja.” Kata Brian sebelum mengakhiri teleponnya.Siang ini aku pergi berbelanja ke supermarket untuk membeli kebutuhan harianku yang sudah menipis. Aku juga butuh beberapa coklat agar pikiranku rileks. Semenjak pertemuanku dengan Reinard dua hari yang lalu, aku jadi sulit tidur dan pikiranku bergejolak tidak tenang.Aku membeli beberapa ikat sayuran, makanan olahan, daging beku, ikan beku dan kebutuhan yang lain seperti peralatan mandi.Nge-mall untuk sekedar membeli sayuran atau sabun adalah hal paling menggembirakan bagiku. Setidaknya aku berhasil membuat perasaanku menjadi lebih tenang dan bahagia. Apalagi jika aku sudah disuguhkan dengan toko sepatu, tas ataupun toko pakaian. Yakin, aku bisa lupa diri.Setelah lebih dari satu jam asyik mengitari satu etalase ke etalase yang lain, akhirnya aku menyerah. Menuju kasir untuk membayar lalu pulang. Aku ingin bersantai sambil selonjoran kaki di rumah, menonton TV dan meminum soda.Saat siap mengambil plastic belanjaa
Seandainya bisa, aku ingin memutar waktu kembali ke satu jam yang lalu. Dimana aku mengenyahkan perasaanku dan menggunakan logikaku untuk berfikir. Karena yang terjadi sekarang, aku menyesal dengan tindakan gegabahku dan bertemu dengan Reinard.Aku bisa melihat jika sorot mata pria yang duduk di hadapanku sekarang ini begitu bahagia. Mungkin karena aku datang setelah ia menunggu berjam-jam.“Kenapa baru datang sekarang Jul?” tanyanya dengan nada lembut.“Awalnya aku tidak ingin datang.” Sahutku ketus.“Tapi nyatanya kamu datang kan?” ia tertawa kecil.Aku membuang wajahku keluar jendela. Hujan masih terlihat rintik-rintik dan beberapa orang masih menggunakan payung agar terhindar dari basah, dan beberapa yang tidak membawa payung tengah berteduh di emperan toko yang sudah tutup.“Aku memang sengaja datang di jam segini. Aku pikir kamu sudah tidak ada.” Jawabku pada akhirnya, menahan malu.“Aku kan sudah bilang, kalau aku bakalan nungguin kamu disini Julia.”“Kalau aku tidak datang?” a
“Halo ma……” Brian mencium pipi mamanya, lalu menarik kursi di sebelahku dan duduk di sana.“Kenapa baru datang? Mama dan Julia sudah menunggu kamu sejak tadi.” Sahut Lydia ketika putranya tersebut sudah duduk.“Tadi sore setelah kelas terakhir, Brian ada keperluan dengan rector.” Brian menoleh kepadaku. “Kamu sudah pesan makan?” tanyanya kemudian.Aku mengangguk dan mengedik kearah meja. Ada beberapa makanan yang tersaji di sana, dan semua itu Lydia-lah yang memesan. Perutku masih cukup kenyak meskipun baru terisi makanan ketika sarapan tadi. Tapi pertemuanku dengan Reinard tadi berhasil membuatku tidak berselera makan.“Kami berdua sudah pesan, tinggal kamu Brian.” Lydia yang menyahut.Brian memanggil salah satu waiters lalu memesan beberapa makanan. Selama menunggu makanan tiba, kami berbincang.“Bagaimana kesehatan mama?” Tanya Brian sambil menuang air putih ke dalam gelas.“Kata dokter mama sudah membaik kok.” Sahut Lydia. “Iya kan Julia?”Aku mengangguk. “Iya bibi.” Meskipun sebe
Sejam lalu, Brian menelponku agar aku bisa menyisihkan waktu untuk menemani mama-nya check up ke rumah sakit. Awalnya aku bingung, apakah yang terjadi antara aku dan dia beberapa malam yang lalu itu membuat hubungan kami berubah? Apakah sebuah ciuman memang bisa merubah status seseorang dari lajang menjadi berpacaran?Aku sulit memahami itu. Namun dari yang tersirat, sepertinya Brian memang sudah menganggap aku sebagai kekasihnya. Mungkin tindakan yang aku lakukan malam itu memang sepenuhnya tidak benar, aku terlalu terpukul sehingga logikaku memang tidak jalan. Saat itu aku butuh sebuah sandaran, sebuah kekuatan. Dan nyatanya kekuatan itu hadir dari ciuman Brian yang berhasil membuat dadaku terasa nyaman.“Maaf bibi, sudah menunggu lama.” aku berjalan tergesa untuk menemui Lydia yang sudah menungguku di depan rumah sakit. Wanita itu sendirian, aku tak menemukan Yohana di sampingnya.“Tidak. Bibi juga baru datang kok.” Sahut Lydia tersenyum manis ke arahku.“Bibi Yohana kemana?” tanya
Aku hanya tersenyum ketika melihat Claire yang sudah asyik berbincang dengan seorang pria yang baru dikenalnya. Pria itu bernama Jo dan seorang keponakan dari teman sekelas kami. Pria itu masih single dan terlihat jika Jo maupun Claire saling tertarik satu sama lain. Maka dari itu, sebagai teman yang baik aku memberi mereka ruang untuk saling berbincang, lagipula sebentar lagi Marina juga akan datang menemuiku.“Kamu seharusnya di dalam, di luar begitu dingin.” Brian datang menyusulku.Aku menoleh padanya. Aku pikir setelah apa yang dilakukannya semalam dengan tiba-tiba menungguku di depan pintu apartement, lalu memelukku akan membuatnya canggung ketika bertemu denganku. Namun kenyataannya, pria itu malah semakin memperlihatkan perasaannya kepadaku. Ia begitu hangat, bahkan sore tadi ia datang menjemputku. Mengabaikan bisik-bisik dari orang-orang di kampus yang menerka-nerka tentang hubungan kami.“Aku sedang menunggu Marina.” Sahutku.“Perempuan kemarin?” Ia mengerutkan dahinya. Memp
Marina langsung memelukku ketika kami saling berhadapan. Pelukannya sangat erat, seakan ini wujud pelampiasan rindunya yang ia tahan untukku selama ini. Karena memang semenjak perceraian itu, aku sama sekali tidak bertemu dengannya. Bahkan saat bercerai, aku hanya mengabarinya lewat telepon dan itu benar-benar membuat Marina menangis terisak-isak.“Julia, aku tak menyangka bahwa akan bertemu denganmu lagi.” Perempuan itu melepaskan pelukannya, lalu mengusap ujung matanya yang basah. Marina tak banyak berubah. Wajah perempuan itu masih saja terlihat cantik. Hanya saja rambutnya kini berubah warna menjadi coklat terang.“Aku juga tidak menyangka jika kamu akan menelponku Marina. Bagaimana kabarmu? Dan dimana si kecil Lily?” tanyaku bertubi-tubi. Mataku beralih pandang ke sekeliling. Tapi aku tak menemukan Lily di sekitar sini. Padahal aku sudah berharap akan menemukan gadis cantik itu disana. Lily sudah berusia kurang lebih lima tahun sekarang. Dan pasti ia akan bertambah cantik dan men